Share

7. William Adler

Aku berusaha melotot dan tak berkedip agar mataku berkaca-kaca, tetapi itu adalah cara paling bodoh saat kusadari Carla berusaha menahan tawanya, disusun William yang menghela napas panjang. Konsentrasikan seketika buyar. Aku menahan maluku dengan terus menatap ke satu titik tanpa berkedip agar air mataku turun.

"Konyol." Kudengar William bergumam.

Aku tak punya pembelaan untuk kegagalanku yang pertama. Aku menghela napas panjang. "Tolong beri aku waktu sedikit lagi," pintaku.

William melempar berkas di tangannya ke atas meja. Dia lantas melipat tangannya di depan dada. Wajahnya berkali-kali lipat lebih serius sekarang. "Aku tak punya banyak waktu untuk omong kosong ini. Katakan. Berapa ukuran penis yang bisa kau toleransi?"

Pertanyaan itu hampir membuatku lompat dari tempatku dan pulang. "Ti-tidak ada, Mr. Adler."

"Apa kau pernah berkencan?"

Aku menggeleng. "Tidak."

"Berciuman?"

"Tidak."

"Berpelukan?"

"Per-"

"Dengan orang yang kau sukai?"

Aku menelan kembali ucapanku saat ingin mengatakan 'pernah'. "Tidak."

"Kau pernah melakukan sex?"

Keringat dingin mulai mengalir di punggungku. Kurasakan kemejaku mulai basah. "Tidak."

"Masturbasi?"

"Ti-tidak." Suaraku semakin mengecil. Kepercayaan diriku seratus persen hilang. Cengkramanku di paha mengerat. Aku takut aku akan gagal.

"Kau pernah menonton film porno?"

Aku menggeleng.

"Bagaimana dengan mimpi?"

Aku mengigit bibirku. "Sepertinya pernah," cicitku. Rasanya benar-benar tak nyaman. Ini seperti aku baru saya mengakui dosa di hadapan Bapa. Kali ini, kudengar Carla yang menghela napas panjang.

Apakah aku akan ditolak? Aku tak boleh ditolak. Aku sudah sejauh ini. Aku harus pulang membawa uang. Tempat ini satu-satunya harapanku.

Sekarang bukan hanya wajahku saja yang memanas, mata dan otakku juga, dan jemariku tak berhenti gemetar sampai aku harus memeganginya dengan jemari tanganku yang lain. "Tapi, tapi aku pernah membaca buku tema dewasa." Aku berkata cepat, berusaha meyakinkan. Sampai akhir, aku harus berusaha.

"Benarkah?" William melontarkan pertanyaannya lagi, apatis. "Apa judulnya? Apa yang kau tau dari buku itu? Bagaimana cara pria dan wanita melakukan sex? Gaya seperti apa yang mereka lakukan? Apa kau mengerti isi di dalamnya?"

Suaraku tercekat. Aku menunduk semakin dalam. Pertanyaannya seperti sengaja menekan dan menelanjangiku. Meskipun kepalaku mengetahui jawabannya, tak mungkin mulutku mampu menjawabnya. Lidahku masih tertahan oleh norma dan agama.

"Angkat wajahmu, Elina." William tak memintaku, dia memerintahku, tetapi aku tak punya keberanian menurutinya.

"Elina? Kau oke? Kalau kau tak berani melihat William, kau bisa melihatku saja." Kali ini Carla yang bicara.

Berlahan aku mengangkat wajahku. Aku tak bisa melihat wajah Carla, tetapi aku bisa mendengar suara di sekitarku dengan jelas. Kudengar Carla memekik dan meminta Janice mengambil tissue.

"Akhirnya bisa menangis juga, hm?" Itu bukan suara Carla. Itu suara William.

Aku mengangkat telapak tanganku dan mengusap pipiku sendiri. Basah. Apa aku begitu takut pada pria itu sampai akhirnya menangis?

Kudengar suara kursi yang didorong ke belakang, lalu langkah kaki mendekat. "Oh Tuhan, maafkan William, Elina. Dia memang suka membuat anak gadis menangis, tapi percayalah, dia hanya bermaksud membantumu." Carla berbisik sambil menyodorkan tissue yang sebelumnya diantarkan Janice.

Aku menganggukan kepalaku saja dan berterimakasih kepadanya. Aku bingung dan masih tak mengerti.

Selagi sibuk membenahi diriku sendiri, William dari tempatnya kembali bertanya. "Kau mendaftar sebagai gravure idol. Apa motifmu? Kau bukan ekshibisionis. Dan berhenti menangis. Dasar cengeng."

"A-aku membutuhkan uang," jawabku berterus terang.

"Semua orang membutuhkan uang."

"A-aku membutuhkan uang untuk melunasi hutangku. Waktunya hanya sampai hari Minggu. Aku tak memiliki pilihan lain selain ini. Tolong beri aku kesempatan," pintaku memelas.

"Berapa banyak yang kau butuhkan?"

"70.000 dolar."

Kulihat Carla tersentak. "Itu jumlah yang besar! Setidaknya pendatang baru harus menyelesaikan dua film dan mendapat rating yang bagus kalau ingin dibayar sebesar itu. Bagaimana pendapatmu, Will?"

Kutatap Carla penuh harap.

Carla tertawa. "Ya Tuhan! Jangan melihatku seperti itu. Aku lemah terhadap permohonan."

William bedehem, mengambil atensiku dan Carla kembali. "Perawakanmu tak cocok untuk proyek film mendatang. Aktingmu juga buruk. Yang bagus darimu hanya menangis seperti bayi. Orang sepertimu akan mudah dilupakan. Terlebih kau menginginkan bayaran dalam jumlah besar. Kau hanya akan berakhir ditertawakan."

Komentar William membuat kepercayaan diriku yang sempat kembali, meluntur. "Apakah aku tak memiliki kesempatan?" tanyaku, sekali lagi mencoba peruntungan.

"Kalau kau berani menatapku, aku akan memberimu kesempatan."

Dengan cepat aku melihat ke arah William dan dengan cepat pula aku menyesal.

Carla yang melihat tingkahku menjadi begitu terhibur. Tawanya pecah. "Astaga, maafkan aku Elina," katanya.

Sedangkan William hanya melempar senyum tipis saja. "Apa kau punya waktu sampai nanti malam?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk.

"Kalau iya, kau bisa membaca naskah film yang akan kau bintangi."

Aku terkejut. "Aku diterima? Kau bilang tadi-"

"Aku mencoba memberimu kesempatan. Hanya sekali. Kalau kau mengacau, aku akan menendangmu keluar," potong William. Pria itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Carla. "Berikan dia Insider."

Insider? Bukankah itu judul novel yang tadi kutemukan di ruang tunggu?

"Tunggu, Will, tokoh mana yang akan dia perankan?" tanya Carla. Wajahnya terlihat was-was.

"Gabriella."

Carla membelakak. "Kau yakin?! kupikir dia tipe vanila," tukasnya sambil melirik ke arahku. "Insider terlalu berat untuknya. Dia masih polos seperti kertas putih tanpa noda," ujarnya dramatis.

Namun William tetap pada keputusannya. "Lakukan, Carla. Keputusan ada di tanganku, bukan di tanganmu. Dan jangan lupa periksa kesehatannya. Kalau dia mengidap penyakit khusus, kontrak kita batalkan."

"Terimakasih atas kesempatannya, Sir."

Dari sudut pandangku, aku mulai bisa melihat sosok William yang lain. Dia bukan hanya seorang pria dengan kepribadian yang serius dan tegas. Kalau diperlukan, dia tak ubahnya diktator yang kejam dan menuntut.

Aku menjadi sedikit khawatir sekarang. Pria seperti William, apakah akan cocok kalau bekerja sama denganku? Dia terlalu 'sempurna', terlalu mencolok dengan sinarnya. Menjadi dekat dengannya pasti akan membuatku kesulitan. Akan lebih baik kalau aku tetap menjaga jarak saja. Lagipula, aku hanya akan bertemu dengannya untuk urusan bisnis. Di luar itu, aku tak memiliki kewajiban untuk beramah-tamah dengannya.

.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status