Share

9. Dealing

Aku tak memiliki sesuatu yang patut disombongkan demi menolak tawaran William.

"Deal," ujarku. Kulihat senyum William merekah setelahnya.

"Kapan aku bisa mulai bekerja, Sir?" tanyaku.

"Kapan kau punya waktu luang?"

Satu-satunya waktu luang yang kumiliki adalah saat mendapatkan libur dari restauran. "Aku libur di hari Kamis dan Jumat."

"Datanglah Kamis ini."

"Baik, Sir."

Ketika melihat William menyentuh lembar katalog lagi, aku merasa butuh penegasan sekali lagi. Aku takut kupingku melewatkan hal-hal yang penting. Aku takut itu dapat berpotensi memberiku masalah di masa depan. Setelah penipuan yang Sherry lakukan, aku harus lebih berhati-hati lagi.

"Mr. Adler, aku benar-benar hanya perlu berfoto dengan alat-alat ini saja, benar?"

William menaikan alisnya. Wajahnya menawan saat dia menahan tawa. "Iya. Hanya itu, tapi kalau kau mau mencoba, silakan."

Aku menggelengkan kepalaku kencang. "Tidak perlu. Terimakasih," tolakku cepat. Aku tak sanggup menatapnya lebih lama lagi, jadi aku mengalihkan pandanganku ke samping dan mulai mengusap lenganku sendiri. Kebiasaanku saat aku mulai merasa tak nyaman.

Tiba-tiba kurasakan jemari dingin hinggap di daguku. Menarik wajahku berlahan sampai pandangan kami bertemu. "Belajarlah menatap lawan bicaramu. Kau bisa membuat orang lain tersinggung," ujar William.

Mendengarnya membuatku meneguk ludah. Apakah dia baru saja menasehatiku? Atau dia baru saja menyindirku karena aku membuatnya tersinggung? Atau dia sedang menggodaku? Ah, itu paling tidak mungkin!

Dengusan lembut terdengar samar. "Aku tau kau masih perawan, tapi kau tak perlu menunjukannya secara terang-terangan. Saat kau memutuskan datang ke tempat ini, kau sudah menjadi seorang pendosa. Bangun dan hadapi kenyataan. Kau tak lebih dari sampah yang tengah mengemis bantuan padaku sekarang."

Napasku tertahan. Sesak menghantamku kuat. Meskipun William mengatakannya dengan santai, bahkan kilatan matanya tak mengancam, makna perkataannya begitu menyakitkan. Dia menamparku telak. Dia memaksaku melihat ke dalam diriku sendiri. Diriku yang menyedihkan ini. "Aku mengerti, Sir."

.....

Aku segera pergi dari Blue Light Entertaiment setelah sesi penandatanganan kontrak berakhir. Carla sudah menjelaskan padaku kalau produksi film akan berlangsung selama sebulan di Manhattan, dua minggu lagi dari sekarang. Selama itu aku tak boleh berkeliaran tanpa pengawasan darinya. Sedangkan William mengingatkanku agar datang ke gedung XX setiap hari libur tiba. Aku memiliki jadwal pemotretan dengan brand alat- aku tidak ingin menyebutnya. Aku juga harus memikirkan alasan agar Lucy memperbolehkanku ijin dalam waktu panjang.

Sekarang aku berada di dalam bus umum dengan earphone menyumpal telingaku. Tak ada musik keras. Hanya ada Coldplay yang diputar dengan volume kecil. Inginnya aku berkonsentrasi pada pemandangan di luar jendela, tetapi apa yang kini berada di hadapanku membuatku bernostalgia.

Ada pasangan kakek dan cucu di seberangku. Rambut si kakek sudah memutih, pun kulitnya keriput. Matanya jelas sayu. Berbanding terbalik dengan manik si cucu yang masih begitu jernih. Si kakek memangku tongkat di pahanya, sedangkan si cucu memegangi lengannya, menjaga agar si kakek tetap duduk di posisinya.

Melihat mereka membuatku tersambung kembali pada masa lalu. Jauh sebelum aku pindah ke Amerika, saat nenek masih ada. Natal kami lewati di musim hujan, bukan musim dingin. Pohon natal, kado-kado, makanan hangat, pelukan saat mengucapkan hari raya. Semua kenangan itu, harta karunku yang berharga, sengaja kutinggalkan begitu saja demi mengejar apa yang kuyakini dapat menjadikan hidup mereka lebih baik.

Aku rindu keluargaku. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apa mereka sehat? Apa mereka hidup dengan benar? Apa mereka tidur di tempat yang nyaman? Apa mereka makan makanan yang enak? Apa mereka merasa aman?

Kulihat pantulan diriku di jendela yang berembun. Tau-tau air mataku meleleh. Aku mengusapnya cepat. Malu kalau sampai dilihat orang lain. Bukan hanya fisikku saja, tetapi hatiku juga merasa jauh sekali dari rumah. Sebelumnya aku tak pernah merasa serindu itu pada keluargaku sebab Sherry bersamaku. Sekarang, setelah dia pergi, aku benar-benar merasa sendirian.

.....

Setelah turun dari bus, aku menyempatkan diri mengecek saldo tabunganku di mesin ATM terdekat. Aku menahan napasku saat melihat tampilan layar yang mengejutkan. Ada 70.000 dolar persis seperti yang William janjikan. Ini adalah nominal terbesar yang pernah masuk ke dalam rekeningku. Aku sampai gemetar saat melihat ulang nominalnya. Sayangnya aku akan kehilangan uang itu cepat, atau lambat.

Ketika aku keluar dari mesin ATM, dua pria besar yang kukenal menghadangku. Aku terbelakak. Secara naluriah aku mundur sampai punggungku menghimpit tembok. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, lantas baru menyadari kalau ini sudah hampir tengah malam. Tak ada orang yang berkeliaran di sekitar sini, kecuali kami.

"Wa-waktunya masih sampai Minggu nanti," ujarku.

Mereka terkekeh. Salah seorang dari mereka, yang membawa pisau lipat, mendekatiku dan menempelkan benda tajam itu di pipiku. Aku menahan napas. Kulihat pisau itu dengan penuh kengerian.

"Ya, kami hanya mau mengingatkanmu. Kalau kau sudah mendapatkan uangnya, segera lunasi utangnya. Jangan sampai kehabisan waktu, ingat, kepalamu di tangan kami. Sampai sekarang kami masih berusaha bersabar dan tak menyentuh orang-orang di sekitarmu, tapi kalau kau berani bertingkah, jangan salahkan kami kalau kami mencelakai mereka."

Aku mengangguk hati-hati.

Mereka melihatku lama sekali, lalu tertawa. Aku semakin mengkerut di tempatku, tak bisa berbuat apa-apa. Ketika kupikir mereka akan memukulku, mereka hanya melambai padaku dan pergi begitu saja.

Sepeninggalan mereka, aku merosot, jatuh terduduk lemas dengan tubuh yang tak hentinya gemetar. Aku tak mampu menghadapi mereka. Aku tak mau bertemu dengan mereka. Aku harus menyetorkan uang ini segera. Itu adalah pilihan yang paling baik.

.....

Keesokan harinya, aku memutuskan datang ke bank terdekat pagi-pagi sekali. Shifku akan dimulai pukul sepuluh. Masih ada dua jam lagi dari sekarang.

"Tolong alihkan semua dananya ke North Wallet Settle. aku ingin melunasi hutangku di sana," pintaku pada seorang teller.

"Pengalihan dana dalam jumlah besar akan membutuhkan waktu konfirmasi kurang lebih 30 menit. Apakah anda bersedia menunggu?"

"Saya bersedia."

"Baik, mohon anda berpindah ke lantai dua."

Aku menghela napas lega. Sebentar lagi utangku akan lunas. Aku tak perlu khawatir akan nasibku minggu depan. Para penagih itu tak akan berkeliaran mencariku di jalanan. Kuharap setelah ini hidupku bisa menjadi lebih tenang.

Berjalan ke lantai dua sambil melihat orang-orang di sekitarku, bola mataku tertuju pada seorang anak perempuan yang digendong wanita paruh baya di barisan nasabah. Dia terlihat bahagia. Senyumnya begitu lebar. Gigi susunya yang ompong lucu sekali. Apa semua anak selalu seperti itu? Apakah aku dulu juga seperti itu? Naif dan mudah dibohongi. Terjebak dalam dongeng yang penuh dengan happy ending. Ketika mereka dewasa nanti, berlahan-lahan mereka akan mengerti kalau happy ending itu hanyalah sebuah ilusi.

Aku menepuk pipiku sendiri. "Sadarlah, Elina." Akhir-akhir ini aku menjadi lebih melankolis. Sering membandingkan diriku yang dulu dan yang sekarang, juga membandingkan diriku dengan orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status