Share

8. Gravure Idol

.....

Setelah casting selesai, aku ditinggal sendiri di ruang baca lantai dua. Carla pergi menyiapkan Medical Check-Up dan mengurus kontrak kerja. Sedangkan William, pria itu terakhir kali masih berada di ruang casting. Dia tak bangkit dari kursinya saat kami pergi.

Novel Insider berada di hadapanku, masih terbuka di atas meja. Belum selesai kubaca. Aku berhenti membacanya beberapa menit lalu. Bukan karena novel itu terlalu vulgar, melainkan karena novel itu terlalu 'sakit'.

Secara singkat Insider bercerita tentang Rex Lender, seorang pria dari keluarga agamis yang memiliki apa yang disebut 'monster' di dalam dirinya. Kemudian dia bertemu dengan seorang gadis bernama Gabriella Hargate. Gadis naif yang harus menjadi wadah untuk memuaskan 'monster' itu. Tak ada romantisme yang kutemukan, kecuali rasa sakit sepihak yang gadis itu rasakan. Juga tak ada ending yang bahagia, sebab gadis itu berakhir dibuang.

Ironinya, gadis itu akan diperankan olehku. Gabriella Hargate yang naif dan penuh harapan itu akan diperankan olehku yang skeptis dan pesimis. Kecuali mudah tersentuh akan hal-hal yang menyedihkan, tak ada lagi kesamaan di antara kami. Tidakkah film itu nantinya hanya akan menjadi lolucon? Live action yang gagal.

Derit pintu yang terbuka membuatku menoleh. William baru saja masuk. Rambutnya masih setengah basah, mungkin habis mandi. Tanpa syal yang melilit lehernya, aku bisa melihat tatonya dengan jelas. Monokrom dan bukan hanya motif ular, tetapi juga harimau. Dan dia membawa katalog.

"Sudah mendapat gambaran dari tokoh yang akan kau perankan?" tanyanya.

Aku menatap novel di hadapanku dan menggeleng. "Aku belum mengerti."

"Bagian mana yang belum kau mengerti?" William duduk di hadapanku dan menaruh catalog di atas meja.

"Semuanya ...," bisikku.

"Elina, apa kau sedang berkumur? Katakan dengan jelas dan lantang," tegasnya.

Aku meneguk ludahku. "Bagaimana Gabriella-" Suaraku tercekat di tenggorokan. Apakah sopan kalau menanyakan hal ini langsung pada editornya? Aku takut dia tersinggung. William Adler. Dia adalah editor dari novel best seller ini. Namanya terlampir di balik cover book. Aku bukan orang bodoh yang berani mengkritisi sesuatu yang bahkan belum aku mengerti secara keseluruhan.

"Bagaimana Gabriella, apa?" William mengulang kembali pertanyaanku.

"Bagaimana Gabriella menikmati rasa sakit dari sex yang diberikan Lender?"

Sekilas kulihat bibir William berkedut. "Kau akan tau nanti."

Jawaban William membuatku gamang. Itu bukan jawaban yang ingin kudengar. Dia memintaku memberikan pertanyaan yang jelas, tetapi dia sendiri tak memberikanku jawaban yang jelas.

William menutup Insiden di atas meja dan meletakkannya kembali ke dalam rak. "Aku senang kau bertanya. Artinya kau mulai membangun kedekatan emosional dengan tokoh yang akan kau perankan."

Apakah dia baru saja memujiku? "Terimakasih." Aku tak memiliki jawaban lain selain itu.

"Elina," panggilnya ketika duduk di kursi hadapanku.

"Y-ya?" Ini adalah pertama kalinya William memanggil namaku. Sebelumnya dia hanya memanggilku 'kau', 'kau' dan 'kau'.

William membuka katalog yang dia bawa. Isinya membuatku menganga. Ternyata itu bukan hanya sekedar album foto biasa. Di dalamnya ada banyak wanita tanpa busana yang mengenakan alat-alat aneh.

"Gabriella Hargate adalah seorang submisif. Dia juga masokis," jelas William.

Submisif? Masokis? Apa yang pria itu bicarakan?

"Aku ingin kau memilih satu diantara foto-foto ini. Satu sex toy yang paling kau sukai."

Aku menatap foto-foto tak mengerti. Apa katanya tadi? Sex toy? Apakah alat-alat berbentuk aneh, tak wajar dan tak manusiawi ini digunakan dalam bercinta? William Adler, apakah dia sedang bercanda? Bagaimana bisa dia menyuruhku memilih satu yang paling kusukai dari alat-alat asing tersebut, kecuali, "Apa kau akan memintaku menggunakan ini?" tanyaku waspada.

William melipat tangannya di atas meja. "Bagaimana menurutmu? Apakah Rex Lender adalah sadistik dengan bantuan alat?"

Aku menggeleng. Sejauh yang kibaca, Rex Lender tidak menggunakan alat apapun dalam hubungan badan. Dia hanya suka mencekik. Dia tak sama dengan Christian Grey, tokoh utama pria dari satu-satunya novel dewasa yang pernah kubaca, yang suka memecut lawan mainnya.

Sebenarnya rasanya malu. Jemariku sudah merapat dan saling meremas di bawah meja. Membicarakan hal vulgar tak membuatku nyaman, tetapi William Adler nampaknya biasa saja. Pembicaraan ini pasti sudah menjadi makanan sehari-harinya.

"Aku ingin memberimu penawaran," katanya tiba-tiba.

Lagi. Ketika aku tak sengaja menatap matanya, maka matanya akan mengunciku dengan cepat. Kali ini aku menahan diriku agar tak melarikan diri darinya. Setelahnya aku menyesal. Tubuhku terdiam kaku.

"Aku tak bisa membayarmu 70.000 dolar untuk Insider. Seperti yang sudah Carla jelaskan, kau akan mendapatkan 30.000 dolar," jelas William ketika memutus pandangannya dariku.

Aku mengangguk. "Bisa mendapatkan 30.000 dolar adalah sebuah keberuntungan. Aku akan berusaha sebaik mungkin, Mr. Adler."

Aku tak tau, apakah aku boleh memanggilnya dengan nama depan atau tidak. Dari wajahnya, William jelas lebih tua dariku. 30-an ke atas, mungkin? Namun dia tak terlihat seperti pria yang gila hormat, tetapi juga tak terlihat seperti pria ramah yang mudah disentuh, yang mengizinkan siapapun dengan asal memanggil namanya. Jadi kupikir memanggilnya dengan nama belakang adalah pilihan yang tepat. Lagipula dia tak terusik saat aku memanggilnya Mr. Adler.

"Jika kau menginginkan 40.000 dolar, kau bisa berinvestasi," tawar William.

"Pada siapa?" tanyaku.

"Padaku."

Ujung mataku berkedut.

"Lakukan pemotretan dengan brand ini." William menunjuk sebuah alat di album foto. "Anggaplah aku memberimu fee di muka. 40.000 dolar seperti yang kau butuhkan," jelasnya.

Aku terdiam.

Tawaran itu terdengar menggiurkan, tetapi juga menjebak. Artinya aku harus tenggelam di industri ini lebih dalam lagi. Bagaimana kalau aku kehabisan napas dan tenggelam? Aku tak mau selamanya terjebak di tempat ini.

Diriku yang skeptis terus memperingatiku. Namun diriku yang penuh takut mati terus mengingatkanku pada hutang yang harus kubayar. Dua sisi dalam diriku berperang. Bagiku, ini seperti pedang bermata dua.

"Berapa banyak pemotretan yang harus kulakukan?" tanyaku.

"Sebanyak apapun sampai keuntungan yang kau hasilkan setara dengan fee yang kuberikan."

Ucapannya tak membuatku terkejut. Aku sudah menduganya. Tak mungkin William mau menghamburkan uangnya secara cuma-cuma. Dia adalah seorang pebisnis. Selain lidah, otaknya pasti juga licin seperti ular.

"Dengar Elina. Aku tak hanya sekedar memberimu umpan, tapi juga pancingan. Ini adalah investasi jangka panjang. Kalau kau nyaman dengan pekerjaan ini di masa depan, kau bisa melanjutkan kontraknya tanpa harus berada di bawah naungan Blue Light Ent."

Kalau aku punya nyali, aku akan menertawai William sekarang. Nyaman dengan pekerjaan ini, katanya? Kalau masih ada pekerjaan normal yang dapat menghasilkan uang dalam waktu singkat, aku tak akan memilih ini. Namun siapa diriku? Aku bukan seseorang yang bisa mengangkat daguku tinggi-tinggi. Aku tak memiliki sesuatu yang patut disombongkan untuk menolak tawarannya.

....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status