Share

BAB-06

Author: Kanunu
last update Last Updated: 2025-04-20 20:01:12

Ainsley tak bisa tidur malam itu. Bayangan langkah-langkah asing di depan toko masih menghantui kepalanya, seakan suara itu menempel di dinding-dinding pikirannya. Ia berbaring di ruang belakang, di atas kasur tipis yang beralaskan selimut tua. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan tampak bersembunyi di balik awan kelabu.

Ia mendengar suara langkah Valenha di ruang depan—tenang, ritmis, seperti seseorang yang terbiasa berjaga sepanjang malam. Mungkin memang begitu. Valenha tak pernah tampak benar-benar istirahat. Mungkin karena dunia tak memberinya kesempatan untuk merasa aman.

Ainsley duduk perlahan, lalu berdiri dan menyibak tirai ruangan. Ia berjalan pelan menuju ruang utama toko. Lampu gantung menyala temaram. Di balik meja kasir, Valenha sedang duduk bersandar, memandangi pintu yang sudah ia kunci dua kali.

“Apa kau tidur sama sekali?” Ainsley bersuara pelan.

Valenha menoleh. “Tidak malam ini.”

Ia menepuk kursi di sampingnya. Ainsley berjalan dan duduk. Sejenak mereka hanya diam. Lalu, tanpa peringatan, Valenha berkata, “Orang yang lewat tadi... dia tidak asing.”

Ainsley menahan napas. “Apa dia aparat?”

“Bukan,” jawab Valenha cepat. “Tapi dia pernah bekerja untuk orang yang menghancurkan keluargaku.”

Mata Ainsley membelalak. “Berarti mereka sudah tahu kau di sini?”

“Mungkin. Atau mungkin dia hanya sedang mengendus.”

Ainsley memejamkan mata. Ketakutan menyusup dari dalam tulangnya. Rasanya seperti dilempar kembali ke malam ia kabur dari kejaran pertama—ketika ia meninggalkan satu-satunya tempat yang bisa disebut rumah.

“Kalau mereka datang… apa kau akan lari lagi?”

Valenha menoleh, menatap dalam ke arah Ainsley. “Tidak. Tidak kali ini. Aku sudah terlalu lelah berlari.”

Ia meraih tangan Ainsley. Genggamannya hangat, erat, seolah menyalurkan semua janji yang tak sanggup ia ucapkan.

“Aku ingin bertahan. Untuk sesuatu… atau seseorang.”

Ainsley menatapnya, dadanya berdegup tak karuan. Dalam dunia yang selalu menuntutnya untuk curiga, rasa percaya tumbuh seperti tunas kecil di tengah reruntuhan. Ia tak tahu apakah itu akan bertahan lama, tapi malam ini… ia ingin percaya.

“Valenha,” gumam Ainsley, “jika semuanya berakhir buruk, aku tidak akan menyalahkanmu.”

Pria itu tersenyum tipis, namun sorot matanya mengeras. “Tapi aku akan menyalahkan diriku sendiri.”

Keheningan kembali menggantung, tapi kali ini, lebih hangat dari sebelumnya. Valenha menarik Ainsley ke pelukannya—perlahan, seperti memeluk sesuatu yang takut pecah. Ainsley membiarkan tubuhnya bersandar, mendengarkan detak jantung pria itu yang tenang namun berat, seperti membawa beban bertahun-tahun yang belum sempat dibagi.

Di luar, bayangan kembali melintas. Tapi kali ini, Valenha tidak berdiri. Ia hanya memeluk Ainsley lebih erat.

“Mereka bisa menunggu,” bisiknya.

Dan malam pun berlanjut. Tak ada janji bahwa esok akan baik-baik saja, tapi malam ini, mereka saling menjaga.

****

Ainsley masih bersandar dalam pelukan Valenha, tubuhnya diam, tapi pikirannya bergerak liar. Kehangatan itu anehnya membuatnya lebih takut daripada tenang—karena semakin ia merasa aman, semakin besar kemungkinan semuanya akan direnggut darinya lagi.

Valenha perlahan melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah Ainsley dalam-dalam, lalu berdiri. Ia berjalan menuju meja kayu dekat rak, menarik laci tersembunyi, dan mengeluarkan sebuah amplop besar yang telah menguning di sudut-sudutnya.

“Kau pernah bertanya kenapa aku tinggal di toko ini,” ucapnya tanpa menoleh.

Ainsley mengangguk pelan. Ia bangkit, berjalan mendekat, lalu berdiri di seberang meja. “Karena ini satu-satunya warisan dari keluargamu?”

Valenha membuka amplop itu. Di dalamnya, ada beberapa foto lama, potongan koran yang terlipat rapi, dan sebuah peta kecil yang penuh garis merah dan catatan tangan. Ia meletakkannya satu per satu di atas meja, membentuk mozaik masa lalu yang selama ini dikuburnya dalam diam.

“Tempat ini dulu milik ibuku. Ayahku… dia dibunuh karena menolak menjualnya kepada seseorang yang ingin mengubah kawasan ini jadi proyek perumahan mewah.” Valenha menunjuk sebuah nama di potongan koran: Aruon Gazerad. “Dia, dan dua rekannya.”

Ainsley membaca cepat—kasus yang ditutup tanpa penyelidikan mendalam, konspirasi properti, aparat yang tutup mata. Semuanya terasa seperti potongan cerita yang pernah ia dengar… atau bahkan alami.

“Aku tahu dia masih hidup. Dan sekarang, dia kembali ke kota ini. Orang yang kau dan aku dengar malam tadi… dia salah satu anjingnya.”

Ainsley menggigit bibir. “Dan kau ingin membalaskan dendam itu.”

Valenha menatapnya, keras tapi tidak memaksa. “Aku sudah siapkan semuanya selama bertahun-tahun. Tapi sekarang aku tahu aku tak bisa melakukannya sendiri. Aku butuh seseorang yang bisa menembus tempat-tempat yang tak bisa aku datangi. Seseorang yang tidak dikenali… seperti kamu.”

Sunyi mengembang di antara mereka. Ainsley merasa tubuhnya dingin. “Kau ingin aku memata-matai mereka?”

“Bukan hanya itu. Aku ingin kau ikut masuk ke lingkaran mereka. Aku tahu caranya. Tapi aku tidak bisa melakukannya tanpamu.”

“Valenha… aku buronan. Kalau aku tertangkap—”

“Kau sudah tertangkap sejak pertama kali menjejakkan kaki ke toko ini,” potongnya lembut. “Tertangkap oleh pilihan. Oleh takdir.”

Ainsley menunduk. Kata-kata itu seperti jerat yang mengikat pelan namun pasti. Ia tahu ini bukan hanya tentang membalas dendam—ini tentang keadilan yang dirampas, tentang suara yang dimatikan bertahun-tahun lalu.

“Tapi kalau aku ikut, tak akan ada jalan pulang lagi.”

Valenha mengangguk. “Aku tahu. Tapi mungkin memang tak ada rumah untuk orang seperti kita, Ainsley. Kita membangun rumah dari satu sama lain, atau kita terus jadi bayangan.”

Ainsley memandangi foto-foto tua itu. Salah satunya menampilkan seorang anak kecil berdiri di depan toko buku dengan wajah bahagia. Di belakangnya, ada sosok pria dewasa—ayah Valenha.

“Beri aku waktu,” katanya akhirnya.

Valenha mengangguk, dan kali ini, ada sesuatu yang melunak dalam sorot matanya. “Aku akan menunggumu, sesulit apapun keputusan itu.”

Malam kembali sunyi. Tapi kali ini, sunyi yang penuh dengan pilihan yang menggantung di udara—tentang masa lalu yang menuntut balasan, dan masa depan yang belum tentu membawa cahaya.

Dan di antara lembar-lembar rahasia di atas meja itu, Ainsley tahu: hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LOVE THE LAW   BAB 39

    Ainsley duduk di lantai toko buku, tubuhnya bersandar pada rak bagian pojok. Matanya sembab. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir yang kini dingin sepenuhnya, dan tangan kirinya menutup perut—seolah mencoba melindungi sesuatu yang baru tumbuh, sesuatu yang kini terasa begitu rapuh. Tak ada suara lain kecuali detik jam dinding dan sesekali bunyi kayu tua yang mengerang terkena angin lembap. Dunia di sekitarnya membeku. Sampai pintu belakang toko dibuka dengan paksa. Elric masuk, setengah basah oleh hujan, jaket kulitnya meneteskan air ke lantai. Ia berhenti sejenak saat melihat Ainsley duduk di lantai, wajahnya tanpa warna, seperti lilin yang hampir padam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. Ainsley tidak menjawab. Elric meletakkan dokumen di atas meja kasir. “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya. Ini bukan karena kami tidak percaya padamu.” Ainsley mengangkat wajah perlahan. Matanya kosong. “Tapi kalian mencabut hakku untuk memilih.” Elric mendesah, lalu duduk di bangku d

  • LOVE THE LAW   BAB 38

    Langit berwarna putih pudar, seperti lembaran kosong yang menunggu untuk ditulisi. Kota masih sunyi ketika mobil hitam tua milik Elric meluncur perlahan keluar dari gang belakang toko buku. Di dalamnya, Ainsley duduk dengan tangan yang tak henti meremas-remas tas kecil di pangkuannya, sementara Valenha duduk di samping, menyapukan pandangan ke jendela. Beberapa hari yang lalu, Elric dengan wajah setengah cemas menyerahkan secarik kertas berisi alamat rahasia kepada Valenha. "Dokter ini tak banyak tanya dan tak punya hubungan apa pun dengan lembaga medis resmi. Dia milik keluarga lamaku. Aman." Valenha mengangguk. “Kalau ada yang bisa jaga rahasia, itu yang kita butuhkan.” Hari ini, alamat itu menjadi tujuan mereka. Seorang dokter pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, tak terlihat dari jalan utama, dan terdaftar di bawah nama palsu. Sebuah klinik kecil berdinding kayu dengan cat biru pudar dan tirai putih di jendela. Ketika mereka tiba, seorang wanita paruh baya menyambut mer

  • LOVE THE LAW   BAB 37

    Ainsley tengah merapikan buku-buku pada rak depan, jemarinya sibuk menyusun ulang koleksi novel sejarah yang baru mereka susun ulang setelah perombakan beberapa hari lalu. Valenha berdiri di belakang meja kasir, matanya terus memandangi layar laptop yang menampilkan hasil pemindaian kamera keamanan toko. "Kau memandangi layar itu sejak dua jam lalu," komentar Ainsley tanpa menoleh. "Aku terus menatapnya sampai yakin semua terkendali," sahut Valenha pelan. Sorot matanya tak meninggalkan layar, mencermati setiap gerakan bayangan yang muncul di sudut-sudut bingkai video. Ainsley berbalik, menyandarkan tubuh ke rak buku. "Kau tahu itu bukan cara sehat untuk hidup." "Aku tahu." Valenha menghela napas. "Tapi ini juga bukan hidup biasa." Suara bel pintu berbunyi pelan. Elric masuk dengan mantel panjang berwarna gelap, membawa dua kantong kertas besar. Ia meletakkannya di atas meja kasir sambil mendesah. "Kau bisa menyambutku dengan senyuman, Valenha. Aku sudah setengah basah kuyup demi

  • LOVE THE LAW   BAB 36

    Toko buku tua yang dulunya terkesan mati kini suasananya menjadi lebih hidup. Pelanggan datang silih berganti meski hanya sekadar melihat-lihat. Rak-rak yang dulu tertutup debu kini tampak tertata, dengan label baru dan catatan tangan kecil dari Ainsley tentang rekomendasi bacaannya. Bahkan, aroma kopi hangat dari sudut dapur kini menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke toko tersebut. Siang yang agak mendung, ketika suara radio pelan memutar musik klasik dan Ainsley sedang menyusun kembali buku-buku memoar, bel toko berbunyi. “Selamat siang,” sapa suara tenang dari seorang perempuan yang melangkah masuk. Rambutnya rapi disanggul, jas panjang berwarna abu-abu muda melapisi blus biru langit, dan tatapan matanya tajam namun dibuat seramah mungkin. Ainsley menoleh dan tersenyum kala melihat siapa yang datang. “Dokter Agrina? Sudah lama kita tidak bertemu.” Dokter Agrina tersenyum hangat. Ia berujar, “Aku hanya ingin melihat perkembangan seseorang yang dulu sempat dalam penang

  • LOVE THE LAW   BAB 35

    Pagi datang tanpa sempat mengusir sisa gelap di langit. Udara dingin membekukan jendela rumah perlindungan itu, membuat embun seperti kristal menempel di kaca. Ainsley terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya terasa ringan, tapi firasatnya berat. Sesuatu mengganjal—bukan mimpi, bukan kecemasan samar, tapi lebih kepada kenyataan yang tertinggal di malam sebelumnya. Begitu turun ke ruang tengah, pandangannya langsung membeku. Di meja makan, Valenha duduk dengan kepala tertunduk, baju bagian kiri robek, memperlihatkan luka lebam di sepanjang sisi tubuhnya. Elric berdiri di dekat wastafel dapur, wajahnya bengkak dan ada bercak darah kering di rahangnya. “Apa yang terjadi?” Suara Ainsley terdengar kaget, nyaris putus di akhir kalimat. Matanya menyapu tubuh keduanya. Napasnya tertahan. Valenha mengangkat kepala pelan, seperti tak ingin membuatnya semakin panik. “Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan.” “Benar-benar bukan?” Ainsley mendekat, memegang bahu Valenha dan dengan cep

  • LOVE THE LAW   BAB 34

    Di lantai atas, Ainsley menyapu lantai dapur kecil dengan langkah lambat. Perutnya mulai menunjukkan tanda. Tubuhnya cepat lelah, tapi ini terasa tenang. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Belum tahu bahwa Valenha sedang mempersiapkan pengorbanan terakhir demi menjaganya tetap hidup. Ketika suara langkah kaki menaiki tangga, ia menoleh. Valenha muncul di ambang pintu, ekspresinya seperti biasa—dingin, tapi tidak mengancam. Ia membawa semangkuk sup kaldu hangat dan sepotong roti. "Kau lupa makan lagi," katanya. Ainsley tersenyum tipis. "Kau terlalu sering memperhatikanku." "Karena kau terlalu sering lupa memperhatikan dirimu sendiri," jawab Valenha sambil meletakkan mangkuk di meja. Ia duduk di kursi seberang, menyandarkan diri dengan letih. "Kau terlihat lebih tua dari seminggu lalu." "Mungkin karena aku mimpi dikejar bayi raksasa berwajah Elric." Ainsley terkekeh pelan, untuk sesaat dunia terasa hangat. Valenha mengusap wajahnya, lalu menatap Ainsley d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status