Share

BAB-03

Author: Kanunu
last update Last Updated: 2025-04-20 19:42:41

“It looks so beautiful...”

Ainsley duduk di loteng itu selama beberapa lama, memandangi langit melalui jendela kecil yang buram. Bulan belum muncul malam ini, tapi cahaya dari kota jauh masih menembus masuk seperti bisikan samar yang tak ingin dilupakan.

Langit-langit kamar miring, dindingnya dari kayu yang mulai rapuh. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa aman. Seperti ruang kecil dalam dunia yang penuh retakan—satu-satunya celah di mana ia bisa bernapas tanpa takut dikejar.

Ia memejamkan mata. Nafasnya kini lebih tenang, tapi bayang-bayang tetap menari di balik kelopak. Sorot lampu polisi. Teriakan. Bunyi tembakan. Tangannya mengepal pelan. Ia ingin tidur. Tapi tidur artinya kembali ke mimpi yang tak pernah damai.

Langkah pelan terdengar dari bawah. Bukan derap. Bukan tergesa.

Itu Valenha.

Ainsley turun perlahan, melewati tangga kayu yang dingin. Ia mendapati pria itu berdiri di depan meja kayu besar yang kini dipenuhi kertas, gunting kecil, dan lem usang. Sejumlah buku tua terbuka di hadapannya, halaman-halamannya rusak, sobek, atau hampir lepas.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya pelan.

“Memperbaiki yang tak sempat diselamatkan waktu.”

Valenha tidak menoleh. Tangannya terampil membalik halaman, merekatkan pinggirnya, menghaluskan lipatan yang patah.

Ainsley mendekat. “Kau selalu melakukannya sendiri?”

“Buku rusak bukan berarti tak layak dibaca. Tapi tak semua orang tahu cara menyentuhnya.”

Ainsley terdiam. Kalimat itu menampar halus. Ia merasa seperti salah satu buku di meja itu—robek, usang, tapi belum sepenuhnya habis.

“Kau bisa bantu, kalau mau,” ucap Valenha akhirnya, menggeser salah satu buku kecil ke arah Ainsley.

Ia ragu. Tapi kemudian duduk, menyentuh pinggiran halaman yang mulai rontok. Ada sesuatu yang hangat dalam kesunyian itu. Dua orang, duduk tanpa banyak bicara, menyelamatkan potongan-potongan kisah yang hampir hilang.

Waktu berlalu pelan. Jam berdetak nyaris tak terdengar di antara bunyi kertas dan napas.

“Siapa yang mengajarkanmu ini?” tanya Ainsley, tanpa mengangkat kepala.

Valenha berhenti sejenak. “Ibuku.”

“Kau dekat dengannya?”

“Dulu.”

Jawaban itu seperti pintu yang hanya terbuka setengah. Tapi Ainsley tahu batas. Ia hanya mengangguk pelan dan kembali menempelkan halaman.

Valenha meliriknya dari sudut mata. Gadis itu masih gemetar kadang-kadang. Masih menarik napas dalam seperti sedang menyembunyikan ketakutan di balik dada. Tapi ia tak bertanya. Karena kadang, memberi seseorang tempat untuk diam lebih berharga dari memaksa mereka bicara.

Saat malam menjelang dan kopi di cangkir mereka sudah dingin, Ainsley menoleh. “Kalau aku ingin membantu di toko ini... boleh?”

Valenha menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Boleh. Tapi kau tak dibayar.”

Ia tersenyum tipis. “Aku hanya butuh tempat untuk merasa berguna.”

Di luar, langit mulai menampakkan bulan yang mengintip malu-malu. Dan di dalam toko tua itu, dua hati yang retak mulai membangun sesuatu dari lem, kertas, dan kesunyian yang tak lagi terasa menakutkan.

****

Malam sudah menjelma menjadi senyap yang utuh. Listrik toko dinyalakan hanya seperlunya—satu lampu gantung kuning redup di atas meja kayu, dan cahaya dari lilin kecil di rak pojok. Di sela kegelapan dan cahaya itu, Ainsley merasa seperti hidup di dalam halaman buku yang belum diberi judul.

Valenha sedang menulis sesuatu di buku catatan kulit yang tampak lebih tua dari sebagian besar novel di toko ini. Setiap guratan penanya lambat tapi pasti, seperti seseorang yang menulis bukan untuk dibaca, tapi untuk mengingat.

Ainsley hanya mengamati. Diam-diam bertanya-tanya siapa sebenarnya pria itu—bagaimana seseorang bisa terlihat begitu hancur sekaligus tenang dalam satu waktu.

“Sedang menulis apa?” tanyanya, suaranya nyaris setipis bisikan angin.

Valenha mengangkat kepala. “Nama-nama.”

“Siapa?” tanya Ainsley setengah penasaran.

“Mereka yang harus diingat. Mereka yang harus dilupakan. Mereka yang harus diadili," jawab Valenha. Intonasi suaranya tajam.

Ainsley membeku. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat cara pria itu kembali menunduk dan melanjutkan tulisannya, ia tahu waktunya mungkin belum tiba.

Ia berdiri perlahan, berjalan menuju rak-rak belakang yang lebih gelap, tempat buku-buku tua tanpa label menumpuk seperti reruntuhan. Di sudut itu, udara lebih dingin, dan aroma kertasnya lebih pekat menyengat seperti rahasia yang lama dikunci.

Saat jemarinya menyentuh satu buku bersampul hitam, ada suara jatuh halus dari rak atas. Sebuah amplop cokelat yang terjepit di antara dua buku tebal, jatuh tepat di kakinya.

Ia membungkuk, mengambilnya.

Tak ada nama. Tak ada tulisan. Tapi terasa berat—berisi sesuatu.

“Jangan buka itu.”

Suara Valenha terdengar dari belakang, tak keras, tapi cukup untuk membuat Ainsley menoleh cepat.

“Apa ini?”

“Bagian dari masa laluku. Dan masa lalu bukan untuk dibuka oleh orang yang masih ingin hidup.”

Ainsley menggenggam amplop itu erat, lalu perlahan meletakkannya kembali ke tempat semula. Tapi pikirannya mulai penuh tanya.

“Aku takkan menyentuhnya kalau kau berjanji suatu hari akan memberitahuku.”

Valenha menatapnya. Matanya tajam, tapi tidak marah.

“Kenapa kau ingin tahu?”

“Karena jika aku harus tinggal di tempat yang penuh rahasia, aku ingin tahu rahasia mana yang bisa membunuhku.”

Untuk pertama kalinya, Valenha terlihat kalah. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena keberanian Ainsley.

Ia membalikkan badan, berjalan kembali ke meja, dan memadamkan lilin.

“Kalau begitu, bertahanlah cukup lama di sini. Mungkin suatu malam aku akan memberitahumu, semuanya.”

Ainsley berdiri sendiri di antara rak-rak yang mulai gelap. Suara langkah Valenha menghilang di tangga menuju ruang atas.

Dan malam pun menutup kelopaknya perlahan.

Tapi hati Ainsley tetap terbuka—dengan pertanyaan, dengan ketakutan, dan sesuatu yang baru.

Sesuatu yang hangat, tapi asing.

Seperti cahaya bulan yang jatuh di telapak tangan. Terasa nyata, meski tak pernah bisa digenggam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LOVE THE LAW   BAB 39

    Ainsley duduk di lantai toko buku, tubuhnya bersandar pada rak bagian pojok. Matanya sembab. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir yang kini dingin sepenuhnya, dan tangan kirinya menutup perut—seolah mencoba melindungi sesuatu yang baru tumbuh, sesuatu yang kini terasa begitu rapuh. Tak ada suara lain kecuali detik jam dinding dan sesekali bunyi kayu tua yang mengerang terkena angin lembap. Dunia di sekitarnya membeku. Sampai pintu belakang toko dibuka dengan paksa. Elric masuk, setengah basah oleh hujan, jaket kulitnya meneteskan air ke lantai. Ia berhenti sejenak saat melihat Ainsley duduk di lantai, wajahnya tanpa warna, seperti lilin yang hampir padam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. Ainsley tidak menjawab. Elric meletakkan dokumen di atas meja kasir. “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya. Ini bukan karena kami tidak percaya padamu.” Ainsley mengangkat wajah perlahan. Matanya kosong. “Tapi kalian mencabut hakku untuk memilih.” Elric mendesah, lalu duduk di bangku d

  • LOVE THE LAW   BAB 38

    Langit berwarna putih pudar, seperti lembaran kosong yang menunggu untuk ditulisi. Kota masih sunyi ketika mobil hitam tua milik Elric meluncur perlahan keluar dari gang belakang toko buku. Di dalamnya, Ainsley duduk dengan tangan yang tak henti meremas-remas tas kecil di pangkuannya, sementara Valenha duduk di samping, menyapukan pandangan ke jendela. Beberapa hari yang lalu, Elric dengan wajah setengah cemas menyerahkan secarik kertas berisi alamat rahasia kepada Valenha. "Dokter ini tak banyak tanya dan tak punya hubungan apa pun dengan lembaga medis resmi. Dia milik keluarga lamaku. Aman." Valenha mengangguk. “Kalau ada yang bisa jaga rahasia, itu yang kita butuhkan.” Hari ini, alamat itu menjadi tujuan mereka. Seorang dokter pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, tak terlihat dari jalan utama, dan terdaftar di bawah nama palsu. Sebuah klinik kecil berdinding kayu dengan cat biru pudar dan tirai putih di jendela. Ketika mereka tiba, seorang wanita paruh baya menyambut mer

  • LOVE THE LAW   BAB 37

    Ainsley tengah merapikan buku-buku pada rak depan, jemarinya sibuk menyusun ulang koleksi novel sejarah yang baru mereka susun ulang setelah perombakan beberapa hari lalu. Valenha berdiri di belakang meja kasir, matanya terus memandangi layar laptop yang menampilkan hasil pemindaian kamera keamanan toko. "Kau memandangi layar itu sejak dua jam lalu," komentar Ainsley tanpa menoleh. "Aku terus menatapnya sampai yakin semua terkendali," sahut Valenha pelan. Sorot matanya tak meninggalkan layar, mencermati setiap gerakan bayangan yang muncul di sudut-sudut bingkai video. Ainsley berbalik, menyandarkan tubuh ke rak buku. "Kau tahu itu bukan cara sehat untuk hidup." "Aku tahu." Valenha menghela napas. "Tapi ini juga bukan hidup biasa." Suara bel pintu berbunyi pelan. Elric masuk dengan mantel panjang berwarna gelap, membawa dua kantong kertas besar. Ia meletakkannya di atas meja kasir sambil mendesah. "Kau bisa menyambutku dengan senyuman, Valenha. Aku sudah setengah basah kuyup demi

  • LOVE THE LAW   BAB 36

    Toko buku tua yang dulunya terkesan mati kini suasananya menjadi lebih hidup. Pelanggan datang silih berganti meski hanya sekadar melihat-lihat. Rak-rak yang dulu tertutup debu kini tampak tertata, dengan label baru dan catatan tangan kecil dari Ainsley tentang rekomendasi bacaannya. Bahkan, aroma kopi hangat dari sudut dapur kini menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke toko tersebut. Siang yang agak mendung, ketika suara radio pelan memutar musik klasik dan Ainsley sedang menyusun kembali buku-buku memoar, bel toko berbunyi. “Selamat siang,” sapa suara tenang dari seorang perempuan yang melangkah masuk. Rambutnya rapi disanggul, jas panjang berwarna abu-abu muda melapisi blus biru langit, dan tatapan matanya tajam namun dibuat seramah mungkin. Ainsley menoleh dan tersenyum kala melihat siapa yang datang. “Dokter Agrina? Sudah lama kita tidak bertemu.” Dokter Agrina tersenyum hangat. Ia berujar, “Aku hanya ingin melihat perkembangan seseorang yang dulu sempat dalam penang

  • LOVE THE LAW   BAB 35

    Pagi datang tanpa sempat mengusir sisa gelap di langit. Udara dingin membekukan jendela rumah perlindungan itu, membuat embun seperti kristal menempel di kaca. Ainsley terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya terasa ringan, tapi firasatnya berat. Sesuatu mengganjal—bukan mimpi, bukan kecemasan samar, tapi lebih kepada kenyataan yang tertinggal di malam sebelumnya. Begitu turun ke ruang tengah, pandangannya langsung membeku. Di meja makan, Valenha duduk dengan kepala tertunduk, baju bagian kiri robek, memperlihatkan luka lebam di sepanjang sisi tubuhnya. Elric berdiri di dekat wastafel dapur, wajahnya bengkak dan ada bercak darah kering di rahangnya. “Apa yang terjadi?” Suara Ainsley terdengar kaget, nyaris putus di akhir kalimat. Matanya menyapu tubuh keduanya. Napasnya tertahan. Valenha mengangkat kepala pelan, seperti tak ingin membuatnya semakin panik. “Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan.” “Benar-benar bukan?” Ainsley mendekat, memegang bahu Valenha dan dengan cep

  • LOVE THE LAW   BAB 34

    Di lantai atas, Ainsley menyapu lantai dapur kecil dengan langkah lambat. Perutnya mulai menunjukkan tanda. Tubuhnya cepat lelah, tapi ini terasa tenang. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Belum tahu bahwa Valenha sedang mempersiapkan pengorbanan terakhir demi menjaganya tetap hidup. Ketika suara langkah kaki menaiki tangga, ia menoleh. Valenha muncul di ambang pintu, ekspresinya seperti biasa—dingin, tapi tidak mengancam. Ia membawa semangkuk sup kaldu hangat dan sepotong roti. "Kau lupa makan lagi," katanya. Ainsley tersenyum tipis. "Kau terlalu sering memperhatikanku." "Karena kau terlalu sering lupa memperhatikan dirimu sendiri," jawab Valenha sambil meletakkan mangkuk di meja. Ia duduk di kursi seberang, menyandarkan diri dengan letih. "Kau terlihat lebih tua dari seminggu lalu." "Mungkin karena aku mimpi dikejar bayi raksasa berwajah Elric." Ainsley terkekeh pelan, untuk sesaat dunia terasa hangat. Valenha mengusap wajahnya, lalu menatap Ainsley d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status