Share

BAB-05

Penulis: Kanunu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 19:54:16

Malam kembali turun dengan langkah lembut. Toko buku tertutup rapat, tirai ditarik, lampu diredam. Hujan tidak turun, tapi udara dingin menggigit lebih tajam dari malam-malam sebelumnya.

Ainsley duduk di lantai dekat rak sejarah, tubuhnya dibalut jaket tua pemberian Valenha. Ia memandangi nyala api dari tungku kecil di pojok ruangan—api yang tenang, nyaris tak bersuara, tapi cukup untuk mengusir dingin dari tulangnya.

Valenha duduk tak jauh darinya, memeriksa buku catatan hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Tapi malam ini, ia tak menulis. Hanya membuka-buka halamannya tanpa benar-benar membaca.

“Kau terlihat lebih lelah dari biasanya,” bisik Ainsley.

Valenha menoleh. Tatapannya sayu, tapi tak kehilangan ketajaman yang membuat Ainsley selalu waspada. “Aku sedang berpikir.”

“Berpikir soal siapa? Aku?”

“Kalau iya?”

Ainsley terdiam. Ada kehangatan yang naik perlahan ke pipinya, seperti uap teh yang terlalu lama disimpan dalam gelas. Ia menunduk.

“Apa yang kau pikirkan tentangku?” tanyanya, hati-hati.

Valenha tidak langsung menjawab. Ia menutup buku catatannya, meletakkannya di lantai, lalu menatap api.

“Aku pikir kau terlalu berani untuk seseorang yang sudah terlalu sering disakiti. Dan aku... terlalu rusak untuk seseorang seberani kau.”

Ainsley menahan napas. Kata-kata itu terasa lebih jujur daripada semua kalimat yang pernah ia dengar sejak pelariannya dimulai.

“Kau tidak rusak, Valenha. Kau hanya... terluka.”

Ia menoleh cepat. Untuk pertama kalinya, Ainsley melihat raut wajahnya melunak. Tak ada sinis, tak ada dingin. Hanya kelelahan yang terbuka lebar, seperti luka yang tak lagi ingin disembunyikan.

Tanpa sadar, Ainsley merangkak mendekat. Ia duduk di sampingnya, bahu mereka bersentuhan ringan. Ia bisa merasakan napas pria itu—datar, tenang, tapi sedikit gemetar.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ucap Valenha perlahan.

“Kita tidak harus mulai malam ini,” jawab Ainsley. “Kita hanya perlu... duduk di sini. Diam pun tak masalah.”

Valenha mengangguk.

Kemudian, dalam diam itu, ia mengangkat tangannya—lambat, ragu—dan menyentuh ujung rambut Ainsley yang menjuntai ke bahunya. Ia membelainya sejenak, sebelum menarik tangan itu kembali, seolah takut ia telah melampaui batas.

Tapi Ainsley tak bergeming. Ia hanya menoleh, lalu tersenyum kecil. “Kau bisa menyentuhku kalau itu membuatmu merasa... nyata.”

Valenha menatapnya. Ada begitu banyak hal yang belum diucapkan, begitu banyak beban yang belum dibuka. Tapi malam ini, mereka tidak perlu menjelaskan semuanya.

Malam ini, cukup satu api kecil. Satu kehadiran. Satu sentuhan ringan yang berbicara lebih dari ribuan kalimat.

Dan dalam cahaya yang temaram, di antara buku-buku tua dan rahasia yang masih terkunci, dua orang asing yang saling menyembunyikan masa lalu mulai percaya bahwa mungkin—hanya mungkin—mereka tidak ditakdirkan untuk selamanya berlari sendirian.

****

Malam semakin larut, dan api di tungku mulai meredup, namun Ainsley tidak merasa kedinginan. Di sampingnya, Valenha duduk dengan sikap yang lebih santai dari biasanya, meskipun masih ada kekhawatiran yang menghantui matanya. Keheningan di antara mereka semakin nyaman, meskipun dalam hati Ainsley, ada keraguan yang terus tumbuh. Ada sesuatu yang ia tidak tahu tentang pria ini—tentang masa lalu yang mengikat mereka berdua lebih kuat daripada yang ia sadari.

Ainsley memandang Valenha dari samping, mempelajari cara pria itu menarik napas dalam-dalam, seolah ingin menenangkan diri, atau mungkin menenangkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Di antara mereka, ada jarak yang tak terucapkan, sebuah batasan yang saling dihormati, namun terasa semakin rapuh.

“Valenha…” suara Ainsley pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian pria itu.

Ia menoleh, mata mereka bertemu dalam keheningan yang dalam. “Ya?”

“Apa kau pernah merasa… takut? Takut akan dirimu sendiri?”

Valenha terdiam, sejenak menarik napas, lalu menjawab dengan suara lebih rendah dari biasanya. “Tentu. Setiap hari. Takut pada apa yang bisa aku lakukan ketika tidak ada lagi yang menahan.”

“Apa maksudmu?”

“Ada banyak hal yang bisa menghancurkanmu, Ainsley. Bahkan tanpa kau sadari, kau bisa jadi bagian dari kehancuran itu.”

Ainsley menggigit bibir, perasaannya bercampur antara rasa ingin tahu dan ketakutan. Ada sesuatu dalam cara Valenha berbicara—sesuatu yang dalam, seolah dia sedang berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada pada Ainsley. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat ekspresi pria itu yang semakin terlarut dalam kesendirian, ia memilih diam.

“Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama,” lanjut Valenha, lebih seperti gumaman daripada sebuah pengakuan.

Ainsley meraih tangannya, tanpa berpikir. Tangannya terasa dingin, namun Ainsley tidak melepaskan genggamannya. Keheningan mengisi ruang di antara mereka, dan untuk pertama kalinya, Ainsley merasakan bahwa ini lebih dari sekedar pelarian. Ini adalah sesuatu yang lebih nyata, meskipun mereka berdua tahu bahwa kenyataan selalu datang dengan harga.

Valenha menatap tangan mereka yang bertautan. Beberapa detik berlalu sebelum ia berbicara, suara lembut namun penuh kehangatan. “Aku ingin percaya padamu, Ainsley. Tapi aku takut... apa yang terjadi jika aku melakukannya.”

Ainsley mendekat sedikit lebih dekat, mengurangi jarak di antara mereka. “Terkadang, kita harus memilih untuk percaya, meskipun kita tahu ada risiko di depan. Aku juga takut, Valenha. Tapi aku tahu, tanpa ini… tanpa saling percaya, kita tidak akan pernah bisa keluar dari kegelapan yang kita buat sendiri.”

Valenha menatapnya, seolah mencoba mencari kebohongan di balik mata Ainsley, namun yang ia temukan hanyalah kejujuran yang tak terbantahkan. Keheningan kembali menguasai mereka, hanya diisi oleh desahan napas yang perlahan menjadi lebih tenang.

Ainsley bisa merasakan ketegangan yang perlahan mencair. Ia tahu, meskipun kata-kata itu tidak cukup untuk menghapus semua keraguan, mereka mulai berjalan di jalan yang sama. Jalan yang mungkin akan lebih gelap, lebih berat, namun mungkin juga lebih berarti.

Ainsley sedikit tersenyum. “Kau tahu, Valenha, meskipun kita bersembunyi di sini, di dalam toko buku tua yang sunyi ini, dunia masih terus berjalan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita, tapi aku tahu satu hal… aku tidak ingin melewatinya sendirian.”

Valenha mengangguk pelan, lalu akhirnya ia meraih wajah Ainsley dengan tangan yang lebih lembut, memegangnya seolah untuk memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana, di sampingnya. Lalu, perlahan, Valenha menundukkan wajahnya dan mencium pipi Ainsley—sentuhan yang begitu halus, namun cukup untuk mengirimkan getaran ke seluruh tubuh Ainsley.

Itu bukan ciuman yang penuh gairah, bukan juga sesuatu yang mendalam, namun ada sesuatu di dalamnya—sebuah janji, sebuah pengakuan. Dalam keheningan itu, keduanya merasakan ikatan yang semakin kuat, ikatan yang lebih dalam daripada yang mereka ketahui.

Namun, tak lama setelah itu, suara dari luar memecah keheningan. Ada suara langkah kaki di trotoar, lalu suara pintu yang bergerak pelan. Ainsley menoleh, rasa khawatir kembali menyelinap di dadanya.

Valenha melepaskan sentuhannya, dan keduanya berdiri, mata mereka bertemu sejenak sebelum mereka berpindah ke jendela. Di luar, bayangan gelap bergerak, hampir tak terlihat.

"Siapa itu?" bisik Ainsley, suara tiba-tiba menjadi tegang.

Valenha menghela napas, dan sejenak, ada kilatan gelap di matanya. “Masalah kita belum selesai, Ainsley. Dan mungkin, itu baru dimulai.”

Ainsley merasakan tangan Valenha menekan bahunya, seolah memberi isyarat untuk berhati-hati. Tetapi, di balik rasa waspada itu, ada satu hal yang lebih jelas—meskipun mereka bersembunyi di balik dinding toko buku yang sunyi ini, dunia luar sudah mulai mencatat jejak mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-06

    Ainsley tak bisa tidur malam itu. Bayangan langkah-langkah asing di depan toko masih menghantui kepalanya, seakan suara itu menempel di dinding-dinding pikirannya. Ia berbaring di ruang belakang, di atas kasur tipis yang beralaskan selimut tua. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan tampak bersembunyi di balik awan kelabu. Ia mendengar suara langkah Valenha di ruang depan—tenang, ritmis, seperti seseorang yang terbiasa berjaga sepanjang malam. Mungkin memang begitu. Valenha tak pernah tampak benar-benar istirahat. Mungkin karena dunia tak memberinya kesempatan untuk merasa aman. Ainsley duduk perlahan, lalu berdiri dan menyibak tirai ruangan. Ia berjalan pelan menuju ruang utama toko. Lampu gantung menyala temaram. Di balik meja kasir, Valenha sedang duduk bersandar, memandangi pintu yang sudah ia kunci dua kali. “Apa kau tidur sama sekali?” Ainsley bersuara pelan. Valenha menoleh. “Tidak malam ini.” Ia menepuk kursi di sampingnya. Ainsley berjal

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-07

    Ainsley menatap pantulan dirinya di kaca jendela kereta kota. Gaun hitam sederhana membungkus tubuhnya dengan anggun, rambutnya disisir rapi dan dijepit ke belakang, menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajahnya. Ia terlihat asing bahkan bagi dirinya sendiri. Sesuai rencana Valenha, malam ini Ainsley akan menghadiri gala kecil di galeri seni yang dimiliki oleh rekan bisnis Aruon Gazerad. Nama pria itu tak muncul dalam undangan, tapi Valenha yakin—Gazerad akan hadir. Di balik acara seni dan anggur mahal, ada rapat rahasia yang sedang dipersiapkan. Dan Ainsley… adalah umpan. Ia melangkah keluar dari kereta, menyusuri trotoar menuju gedung galeri di pusat kota. Lampu-lampu malam bersinar pucat, tak mampu menyingkirkan hawa dingin yang merayap ke dalam mantel tipisnya. Tangannya sedikit bergetar, entah karena gugup atau cuaca. Mungkin keduanya. Di depan pintu, seorang pria bertubuh tegap memeriksa undangan. Ainsley menunjukkan kartu tipis yang diberikan Valenha—palsu, tapi

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-8

    Tiga hari setelah gala itu, Ainsley kembali berdiri di depan toko buku Valenha—seperti biasa, saat langit mulai menggelap dan jalanan kota berubah lebih sunyi. Di tangannya, sebuah buket kecil bunga liar dan secangkir kopi hangat dari kedai seberang. Ia mendorong pintu kaca yang berderit halus. Valenha ada di dalam, berdiri di balik meja kasir sambil membalik halaman buku tua. Saat melihat Ainsley, alisnya sedikit terangkat. "Bunga?" tanyanya, menatap buket kecil itu. “Untuk kamu. Tapi kamu bisa pura-pura itu hiasan,” jawab Ainsley ringan. “Ersya menyukainya waktu aku bawa tadi siang, jadi aku beli dua.” Valenha memejamkan mata sejenak. “Kau mulai akrab dengannya?” Ainsley mengangguk, duduk di kursi baca yang menghadap jendela. “Kami pergi ke kafe tadi. Dia cerita tentang ibunya yang meninggal waktu dia umur sembilan tahun. Dan… tentang kesepiannya.” Valenha tak menjawab. Ia hanya menatap Ainsley lama, seperti mencoba membaca isi pikirannya. Tapi Ainsley menatap balik tanp

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-09

    Ainsley menatap undangan yang baru saja diletakkan Ersya di pangkuannya. Kertas putih gading itu berkilau samar dalam cahaya kafe. Di pojok kanan bawahnya tercetak nama besar Gazerad Private Foundation Gala – For The Families of Justice. “Acara keluarga,” kata Ersya santai, menyeruput teh herbalnya. “Tak terlalu ramai. Hanya beberapa petinggi hukum, pengusaha tua, dan orang-orang yang terlalu malas untuk peduli siapa kau, selama kau membawa senyum dan sepatu yang mengilap.” Ainsley mengulas senyum. “Dan kau ingin aku datang sebagai apa? Teman? Pendamping? Mata-mata?” Ersya tertawa kecil. “Teman. Setidaknya untuk malam itu.” Jawaban itu harusnya menenangkan. Tapi bagi Ainsley, justru membuat dadanya makin sesak. Karena makin lama ia berdiri di dekat Ersya, makin kabur batas antara peran dan kenyataan. Ia tak lagi yakin apakah kedekatan ini demi Valenha… atau demi hatinya sendiri. “Ayahmu akan hadir?” “Tentu saja.” Suara Ersya mendadak datar. “Dia yang membiayai semuanya. Ta

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-21
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-10

    Ainsley berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun berwarna hitam keabu-abuan yang dipilihkan Ersya. Gaun itu menjuntai anggun, dengan potongan sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rendah, menyisakan beberapa helaian di pelipis yang sengaja dibiarkan liar. Sekilas, ia tampak seperti bagian dari dunia yang mewah itu—sebuah dunia yang terlalu terang bagi seorang buronan. "Tak nyaman?" tanya Ersya, masuk ke kamar hotel dengan senyum lembut. Ainsley menoleh, tersenyum kecil. “Seperti sedang mencoba menjadi seseorang yang bukan aku.” “Kadang, untuk bertahan hidup, kita memang harus menjadi topeng yang berjalan.” Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya. Ainsley memandangi Ersya—dengan gaun merah marun, sepatu berhak tinggi, dan rambut yang disanggul anggun. Wanita itu tampak sempurna, namun sorot matanya tetap membawa kesepian yang sama seperti malam pertama mereka berbicara di kafe. “Siapa kau, Ersya, sebelum menjadi... semua ini?” tanya Ainsley pelan. Ers

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-21
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB - 01

    Langkahnya terhuyung di antara gelap yang menggantung di langit kota. Nafas Ainsley memburu, dadanya naik turun tak beraturan, seolah paru-parunya tak lagi sanggup menerima dunia. Suara sepatu bot aparat masih terngiang, makin jauh tapi belum hilang. Ia menatap ke depan—gang sempit dengan tembok tua yang menghitam, aroma besi, dan bau lembab yang menyesakkan. Udara malam menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya gemetar. Asma. Ia merogoh saku jaketnya dengan gemetar, berharap inhaler itu masih ada. Tak ada. Hanya selembar kertas basah dan batu kecil yang entah kapan terselip di sana. Matanya menatap langit. Bulan menggantung pucat di antara reruntuhan awan. "I can't take it anymore," bisiknya lirih sebelum lututnya goyah, dan dunia mulai berputar. Di ujung gang, lampu kuning temaram menyala dari balik jendela. Sebuah toko tua dengan papan kayu yang nyaris runtuh, bertuliskan huruf pudar: Batera Bookstore. Tak ada suara. Tak ada tanda kehidupan. Tapi itu satu-satunya ca

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-02

    Pagi datang dengan malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap lewat jendela tinggi yang berdebu, menyapu rak-rak tua seperti jari-jari hangat dari langit. Ainsley terbangun perlahan. Nafasnya lebih ringan kini, dada tak lagi sekeras semalam. Tapi hatinya tetap penuh tanya. Ia duduk di sofa, selimut wol masih membalut tubuhnya. Ruangan itu terasa seperti dunia lain—toko buku tua dengan lantai kayu yang berderit pelan setiap kali ia menggerakkan kaki, dan udara yang menyimpan aroma kertas tua bercampur sesuatu yang asing tapi menenangkan. Valenha tidak terlihat. Hanya ada secarik kertas kecil di meja. Kau bisa tetap di sini. Tapi jangan sentuh kamar belakang. Jangan tanyakan alasan. Jangan keluar sebelum aku kembali. —V. Tulisan tangan itu rapi, sedikit condong ke kanan. Tegas. Terlatih. Ainsley mendesah pelan. Ia berdiri, berjalan perlahan menelusuri barisan rak. Matanya menangkap judul-judul yang sudah lama tak ia lihat—To Kill a Mockingbird, Les Misérables, The Prophet. Beberapa

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20
  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-03

    Ainsley duduk di loteng itu selama beberapa lama, memandangi langit melalui jendela kecil yang buram. Bulan belum muncul malam ini, tapi cahaya dari kota jauh masih menembus masuk seperti bisikan samar yang tak ingin dilupakan. Langit-langit kamar miring, dindingnya dari kayu yang mulai rapuh. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa aman. Seperti ruang kecil dalam dunia yang penuh retakan—satu-satunya celah di mana ia bisa bernapas tanpa takut dikejar. Ia memejamkan mata. Nafasnya kini lebih tenang, tapi bayang-bayang tetap menari di balik kelopak. Sorot lampu polisi. Teriakan. Bunyi tembakan. Tangannya mengepal pelan. Ia ingin tidur. Tapi tidur artinya kembali ke mimpi yang tak pernah damai. Langkah pelan terdengar dari bawah. Bukan derap. Bukan tergesa. Valenha. Ainsley turun perlahan, melewati tangga kayu yang dingin. Ia mendapati pria itu berdiri di depan meja kayu besar yang kini dipenuhi kertas, gunting kecil, dan lem usang. Sejumlah buku tua terbuka di hadapannya, halama

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-20

Bab terbaru

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-10

    Ainsley berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun berwarna hitam keabu-abuan yang dipilihkan Ersya. Gaun itu menjuntai anggun, dengan potongan sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rendah, menyisakan beberapa helaian di pelipis yang sengaja dibiarkan liar. Sekilas, ia tampak seperti bagian dari dunia yang mewah itu—sebuah dunia yang terlalu terang bagi seorang buronan. "Tak nyaman?" tanya Ersya, masuk ke kamar hotel dengan senyum lembut. Ainsley menoleh, tersenyum kecil. “Seperti sedang mencoba menjadi seseorang yang bukan aku.” “Kadang, untuk bertahan hidup, kita memang harus menjadi topeng yang berjalan.” Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya. Ainsley memandangi Ersya—dengan gaun merah marun, sepatu berhak tinggi, dan rambut yang disanggul anggun. Wanita itu tampak sempurna, namun sorot matanya tetap membawa kesepian yang sama seperti malam pertama mereka berbicara di kafe. “Siapa kau, Ersya, sebelum menjadi... semua ini?” tanya Ainsley pelan. Ers

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-09

    Ainsley menatap undangan yang baru saja diletakkan Ersya di pangkuannya. Kertas putih gading itu berkilau samar dalam cahaya kafe. Di pojok kanan bawahnya tercetak nama besar Gazerad Private Foundation Gala – For The Families of Justice. “Acara keluarga,” kata Ersya santai, menyeruput teh herbalnya. “Tak terlalu ramai. Hanya beberapa petinggi hukum, pengusaha tua, dan orang-orang yang terlalu malas untuk peduli siapa kau, selama kau membawa senyum dan sepatu yang mengilap.” Ainsley mengulas senyum. “Dan kau ingin aku datang sebagai apa? Teman? Pendamping? Mata-mata?” Ersya tertawa kecil. “Teman. Setidaknya untuk malam itu.” Jawaban itu harusnya menenangkan. Tapi bagi Ainsley, justru membuat dadanya makin sesak. Karena makin lama ia berdiri di dekat Ersya, makin kabur batas antara peran dan kenyataan. Ia tak lagi yakin apakah kedekatan ini demi Valenha… atau demi hatinya sendiri. “Ayahmu akan hadir?” “Tentu saja.” Suara Ersya mendadak datar. “Dia yang membiayai semuanya. Ta

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-8

    Tiga hari setelah gala itu, Ainsley kembali berdiri di depan toko buku Valenha—seperti biasa, saat langit mulai menggelap dan jalanan kota berubah lebih sunyi. Di tangannya, sebuah buket kecil bunga liar dan secangkir kopi hangat dari kedai seberang. Ia mendorong pintu kaca yang berderit halus. Valenha ada di dalam, berdiri di balik meja kasir sambil membalik halaman buku tua. Saat melihat Ainsley, alisnya sedikit terangkat. "Bunga?" tanyanya, menatap buket kecil itu. “Untuk kamu. Tapi kamu bisa pura-pura itu hiasan,” jawab Ainsley ringan. “Ersya menyukainya waktu aku bawa tadi siang, jadi aku beli dua.” Valenha memejamkan mata sejenak. “Kau mulai akrab dengannya?” Ainsley mengangguk, duduk di kursi baca yang menghadap jendela. “Kami pergi ke kafe tadi. Dia cerita tentang ibunya yang meninggal waktu dia umur sembilan tahun. Dan… tentang kesepiannya.” Valenha tak menjawab. Ia hanya menatap Ainsley lama, seperti mencoba membaca isi pikirannya. Tapi Ainsley menatap balik tanp

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-07

    Ainsley menatap pantulan dirinya di kaca jendela kereta kota. Gaun hitam sederhana membungkus tubuhnya dengan anggun, rambutnya disisir rapi dan dijepit ke belakang, menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajahnya. Ia terlihat asing bahkan bagi dirinya sendiri. Sesuai rencana Valenha, malam ini Ainsley akan menghadiri gala kecil di galeri seni yang dimiliki oleh rekan bisnis Aruon Gazerad. Nama pria itu tak muncul dalam undangan, tapi Valenha yakin—Gazerad akan hadir. Di balik acara seni dan anggur mahal, ada rapat rahasia yang sedang dipersiapkan. Dan Ainsley… adalah umpan. Ia melangkah keluar dari kereta, menyusuri trotoar menuju gedung galeri di pusat kota. Lampu-lampu malam bersinar pucat, tak mampu menyingkirkan hawa dingin yang merayap ke dalam mantel tipisnya. Tangannya sedikit bergetar, entah karena gugup atau cuaca. Mungkin keduanya. Di depan pintu, seorang pria bertubuh tegap memeriksa undangan. Ainsley menunjukkan kartu tipis yang diberikan Valenha—palsu, tapi

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-06

    Ainsley tak bisa tidur malam itu. Bayangan langkah-langkah asing di depan toko masih menghantui kepalanya, seakan suara itu menempel di dinding-dinding pikirannya. Ia berbaring di ruang belakang, di atas kasur tipis yang beralaskan selimut tua. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan tampak bersembunyi di balik awan kelabu. Ia mendengar suara langkah Valenha di ruang depan—tenang, ritmis, seperti seseorang yang terbiasa berjaga sepanjang malam. Mungkin memang begitu. Valenha tak pernah tampak benar-benar istirahat. Mungkin karena dunia tak memberinya kesempatan untuk merasa aman. Ainsley duduk perlahan, lalu berdiri dan menyibak tirai ruangan. Ia berjalan pelan menuju ruang utama toko. Lampu gantung menyala temaram. Di balik meja kasir, Valenha sedang duduk bersandar, memandangi pintu yang sudah ia kunci dua kali. “Apa kau tidur sama sekali?” Ainsley bersuara pelan. Valenha menoleh. “Tidak malam ini.” Ia menepuk kursi di sampingnya. Ainsley berjal

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-05

    Malam kembali turun dengan langkah lembut. Toko buku tertutup rapat, tirai ditarik, lampu diredam. Hujan tidak turun, tapi udara dingin menggigit lebih tajam dari malam-malam sebelumnya. Ainsley duduk di lantai dekat rak sejarah, tubuhnya dibalut jaket tua pemberian Valenha. Ia memandangi nyala api dari tungku kecil di pojok ruangan—api yang tenang, nyaris tak bersuara, tapi cukup untuk mengusir dingin dari tulangnya. Valenha duduk tak jauh darinya, memeriksa buku catatan hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Tapi malam ini, ia tak menulis. Hanya membuka-buka halamannya tanpa benar-benar membaca. “Kau terlihat lebih lelah dari biasanya,” bisik Ainsley. Valenha menoleh. Tatapannya sayu, tapi tak kehilangan ketajaman yang membuat Ainsley selalu waspada. “Aku sedang berpikir.” “Berpikir soal siapa? Aku?” “Kalau iya?” Ainsley terdiam. Ada kehangatan yang naik perlahan ke pipinya, seperti uap teh yang terlalu lama disimpan dalam gelas. Ia menunduk. “Apa yang kau pikirkan tenta

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-04

    Pagi datang tanpa dentang jam atau derak pintu. Ia datang diam-diam seperti pengunjung gelap yang tak diundang. Ketika Ainsley membuka mata, sinar matahari menyusup malu-malu lewat sela jendela loteng yang berembun. Dingin masih menempel di udara, dan suara dari bawah nyaris tak terdengar. Ia turun perlahan, menyusuri tangga yang kini mulai akrab di langkahnya. Di bawah, Valenha sudah berdiri di belakang meja kasir, mengamati tumpukan buku baru yang belum disortir. Wajahnya masih muram seperti malam sebelumnya, tapi ada ketenangan aneh dalam cara ia menyusun buku demi buku, seperti seorang pendeta mengatur kitab suci. “Pagi,” sapa Ainsley pelan. Valenha hanya mengangguk. Ainsley mengambil buku dari rak terdekat dan duduk di dekat jendela. Ia membaca dalam diam, tapi pikirannya tak sepenuhnya tenggelam. Sejak kejadian semalam—amplop cokelat yang jatuh dari rak, dan kata-kata Valenha yang mengambang seperti ancaman dan janji—ia tahu, tempat ini bukan sekadar toko buku tua. Ada

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-03

    Ainsley duduk di loteng itu selama beberapa lama, memandangi langit melalui jendela kecil yang buram. Bulan belum muncul malam ini, tapi cahaya dari kota jauh masih menembus masuk seperti bisikan samar yang tak ingin dilupakan. Langit-langit kamar miring, dindingnya dari kayu yang mulai rapuh. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa aman. Seperti ruang kecil dalam dunia yang penuh retakan—satu-satunya celah di mana ia bisa bernapas tanpa takut dikejar. Ia memejamkan mata. Nafasnya kini lebih tenang, tapi bayang-bayang tetap menari di balik kelopak. Sorot lampu polisi. Teriakan. Bunyi tembakan. Tangannya mengepal pelan. Ia ingin tidur. Tapi tidur artinya kembali ke mimpi yang tak pernah damai. Langkah pelan terdengar dari bawah. Bukan derap. Bukan tergesa. Valenha. Ainsley turun perlahan, melewati tangga kayu yang dingin. Ia mendapati pria itu berdiri di depan meja kayu besar yang kini dipenuhi kertas, gunting kecil, dan lem usang. Sejumlah buku tua terbuka di hadapannya, halama

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-02

    Pagi datang dengan malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap lewat jendela tinggi yang berdebu, menyapu rak-rak tua seperti jari-jari hangat dari langit. Ainsley terbangun perlahan. Nafasnya lebih ringan kini, dada tak lagi sekeras semalam. Tapi hatinya tetap penuh tanya. Ia duduk di sofa, selimut wol masih membalut tubuhnya. Ruangan itu terasa seperti dunia lain—toko buku tua dengan lantai kayu yang berderit pelan setiap kali ia menggerakkan kaki, dan udara yang menyimpan aroma kertas tua bercampur sesuatu yang asing tapi menenangkan. Valenha tidak terlihat. Hanya ada secarik kertas kecil di meja. Kau bisa tetap di sini. Tapi jangan sentuh kamar belakang. Jangan tanyakan alasan. Jangan keluar sebelum aku kembali. —V. Tulisan tangan itu rapi, sedikit condong ke kanan. Tegas. Terlatih. Ainsley mendesah pelan. Ia berdiri, berjalan perlahan menelusuri barisan rak. Matanya menangkap judul-judul yang sudah lama tak ia lihat—To Kill a Mockingbird, Les Misérables, The Prophet. Beberapa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status