Share

BAB-05

Penulis: Kanunu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 19:54:16

Malam kembali turun dengan langkah lembut. Toko buku tertutup rapat, tirai ditarik, lampu diredam. Hujan tidak turun, tapi udara dingin menggigit lebih tajam dari malam-malam sebelumnya.

Ainsley duduk di lantai dekat rak sejarah, tubuhnya dibalut jaket tua pemberian Valenha. Ia memandangi nyala api dari tungku kecil di pojok ruangan—api yang tenang, nyaris tak bersuara, tapi cukup untuk mengusir dingin dari tulangnya.

Valenha duduk tak jauh darinya, memeriksa buku catatan hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Tapi malam ini, ia tak menulis. Hanya membuka-buka halamannya tanpa benar-benar membaca.

“Kau terlihat lebih lelah dari biasanya,” bisik Ainsley.

Valenha menoleh. Tatapannya sayu, tapi tak kehilangan ketajaman yang membuat Ainsley selalu waspada. “Aku sedang berpikir.”

“Berpikir soal siapa? Aku?”

“Kalau iya?”

Ainsley terdiam. Ada kehangatan yang naik perlahan ke pipinya, seperti uap teh yang terlalu lama disimpan dalam gelas. Ia menunduk.

“Apa yang kau pikirkan tentangku?” tanyanya, hati-hati.

Valenha tidak langsung menjawab. Ia menutup buku catatannya, meletakkannya di lantai, lalu menatap api.

“Aku pikir kau terlalu berani untuk seseorang yang sudah terlalu sering disakiti. Dan aku terlalu rusak untuk seseorang seberani kau.”

Ainsley menahan napas. Kata-kata itu terasa lebih jujur daripada semua kalimat yang pernah ia dengar sejak pelariannya dimulai.

“Kau tidak rusak, Valenha. Kau hanya terluka.”

Ia menoleh cepat. Untuk pertama kalinya, Ainsley melihat raut wajahnya melunak. Tak ada sinis, tak ada dingin. Hanya kelelahan yang terbuka lebar, seperti luka yang tak lagi ingin disembunyikan.

Tanpa sadar, Ainsley merangkak mendekat. Ia duduk di sampingnya, bahu mereka bersentuhan ringan. Ia bisa merasakan napas pria itu—datar, tenang, tapi sedikit gemetar.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ucap Valenha perlahan.

“Kita tidak harus mulai malam ini,” jawab Ainsley. “Kita hanya perlu duduk di sini. Diam pun tak masalah.”

Valenha mengangguk.

Kemudian, dalam diam itu, ia mengangkat tangannya—lambat, ragu—dan menyentuh ujung rambut Ainsley yang menjuntai ke bahunya. Ia membelainya sejenak, sebelum menarik tangan itu kembali, seolah takut ia telah melampaui batas.

Tapi Ainsley tak bergeming. Ia hanya menoleh, lalu tersenyum kecil. “Kau bisa menyentuhku kalau itu membuatmu merasa nyata.”

Valenha menatapnya. Ada begitu banyak hal yang belum diucapkan, begitu banyak beban yang belum dibuka. Tapi malam ini, mereka tidak perlu menjelaskan semuanya.

Malam ini, cukup satu api kecil. Satu kehadiran. Satu sentuhan ringan yang berbicara lebih dari ribuan kalimat.

Dan dalam cahaya yang temaram, di antara buku-buku tua dan rahasia yang masih terkunci, dua orang asing yang saling menyembunyikan masa lalu mulai percaya bahwa mungkin—hanya mungkin—mereka tidak ditakdirkan untuk selamanya berlari sendirian.

****

Malam semakin larut, dan api di tungku mulai meredup, namun Ainsley tidak merasa kedinginan. Di sampingnya, Valenha duduk dengan sikap yang lebih santai dari biasanya, meskipun masih ada kekhawatiran yang menghantui matanya. Keheningan di antara mereka semakin nyaman, meskipun dalam hati Ainsley, ada keraguan yang terus tumbuh. Ada sesuatu yang ia tidak tahu tentang pria ini—tentang masa lalu yang mengikat mereka berdua lebih kuat daripada yang ia sadari.

Ainsley memandang Valenha dari samping, mempelajari cara pria itu menarik napas dalam-dalam, seolah ingin menenangkan diri, atau mungkin menenangkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Di antara mereka, ada jarak yang tak terucapkan, sebuah batasan yang saling dihormati, namun terasa semakin rapuh.

“Valenha…” suara Ainsley pelan, tapi cukup untuk menarik perhatian pria itu.

Ia menoleh, mata mereka bertemu dalam keheningan yang dalam. “Ya?”

“Apa kau pernah merasa… takut? Takut akan dirimu sendiri?”

Valenha terdiam, sejenak menarik napas, lalu menjawab dengan suara lebih rendah dari biasanya. “Tentu. Setiap hari. Takut pada apa yang bisa aku lakukan ketika tidak ada lagi yang menahan.”

“Apa maksudmu?”

“Ada banyak hal yang bisa menghancurkanmu, Ainsley. Bahkan tanpa kau sadari, kau bisa jadi bagian dari kehancuran itu.”

Ainsley menggigit bibir, perasaannya bercampur antara rasa ingin tahu dan ketakutan. Ada sesuatu dalam cara Valenha berbicara—sesuatu yang dalam, seolah dia sedang berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada pada Ainsley. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat ekspresi pria itu yang semakin terlarut dalam kesendirian, ia memilih diam.

“Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama,” lanjut Valenha, lebih seperti gumaman daripada sebuah pengakuan.

Ainsley meraih tangannya, tanpa berpikir. Tangannya terasa dingin, namun Ainsley tidak melepaskan genggamannya. Keheningan mengisi ruang di antara mereka, dan untuk pertama kalinya, Ainsley merasakan bahwa ini lebih dari sekedar pelarian. Ini adalah sesuatu yang lebih nyata, meskipun mereka berdua tahu bahwa kenyataan selalu datang dengan harga.

Valenha menatap tangan mereka yang bertautan. Beberapa detik berlalu sebelum ia berbicara, suara lembut namun penuh kehangatan. “Aku ingin percaya padamu, Ainsley. Tapi aku takut apa yang terjadi jika aku melakukannya.”

Ainsley mendekat sedikit lebih dekat, mengurangi jarak di antara mereka. “Terkadang, kita harus memilih untuk percaya, meskipun kita tahu ada risiko di depan. Aku juga takut, Valenha. Tapi aku tahu, tanpa ini, tanpa saling percaya, kita tidak akan pernah bisa keluar dari kegelapan yang kita buat sendiri.”

Valenha menatapnya, seolah mencoba mencari kebohongan di balik mata Ainsley, namun yang ia temukan hanyalah kejujuran yang tak terbantahkan. Keheningan kembali menguasai mereka, hanya diisi oleh desahan napas yang perlahan menjadi lebih tenang.

Ainsley bisa merasakan ketegangan yang perlahan mencair. Ia tahu, meskipun kata-kata itu tidak cukup untuk menghapus semua keraguan, mereka mulai berjalan di jalan yang sama. Jalan yang mungkin akan lebih gelap, lebih berat, namun mungkin juga lebih berarti.

Ainsley sedikit tersenyum. “Kau tahu, Valenha, meskipun kita bersembunyi di sini, di dalam toko buku tua yang sunyi ini, dunia masih terus berjalan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita, tapi aku tahu satu hal… aku tidak ingin melewatinya sendirian.”

Valenha mengangguk pelan, lalu akhirnya ia meraih wajah Ainsley dengan tangan yang lebih lembut namun juga agak ragu. Pria itu memegangnya seolah untuk memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana, di sampingnya. Lalu, perlahan, Valenha menundukkan wajahnya dan mencium pipi Ainsley—sentuhan yang begitu halus, namun cukup untuk mengirimkan getaran ke seluruh tubuh Ainsley.

Itu bukan ciuman yang penuh gairah, bukan juga sesuatu yang mendalam, namun ada sesuatu di dalamnya seperti sebuah janji, sebuah pengakuan. Dalam keheningan itu, keduanya merasakan ikatan yang semakin kuat, ikatan yang lebih dalam daripada yang mereka ketahui.

Namun, tak lama setelah itu, suara dari luar memecah keheningan. Ada suara langkah kaki di trotoar, lalu suara pintu yang bergerak pelan. Ainsley menoleh, rasa khawatir kembali menyelinap di dadanya.

Valenha melepaskan sentuhannya, dan keduanya berdiri, mata mereka bertemu sejenak sebelum mereka berpindah ke jendela. Di luar, bayangan gelap bergerak, hampir tak terlihat.

"Siapa itu?" bisik Ainsley, suara tiba-tiba menjadi tegang.

Valenha menghela napas, dan sejenak, ada kilatan gelap di matanya. “Masalah kita belum selesai, Ainsley. Dan mungkin, itu baru dimulai.”

Ainsley merasakan tangan Valenha menekan bahunya, seolah memberi isyarat untuk berhati-hati. Tetapi, di balik rasa waspada itu, ada satu hal yang lebih jelas—meskipun mereka bersembunyi di balik dinding toko buku yang sunyi ini, dunia luar sudah mulai mencatat jejak mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LOVE THE LAW   BAB 39

    Ainsley duduk di lantai toko buku, tubuhnya bersandar pada rak bagian pojok. Matanya sembab. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir yang kini dingin sepenuhnya, dan tangan kirinya menutup perut—seolah mencoba melindungi sesuatu yang baru tumbuh, sesuatu yang kini terasa begitu rapuh. Tak ada suara lain kecuali detik jam dinding dan sesekali bunyi kayu tua yang mengerang terkena angin lembap. Dunia di sekitarnya membeku. Sampai pintu belakang toko dibuka dengan paksa. Elric masuk, setengah basah oleh hujan, jaket kulitnya meneteskan air ke lantai. Ia berhenti sejenak saat melihat Ainsley duduk di lantai, wajahnya tanpa warna, seperti lilin yang hampir padam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. Ainsley tidak menjawab. Elric meletakkan dokumen di atas meja kasir. “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya. Ini bukan karena kami tidak percaya padamu.” Ainsley mengangkat wajah perlahan. Matanya kosong. “Tapi kalian mencabut hakku untuk memilih.” Elric mendesah, lalu duduk di bangku d

  • LOVE THE LAW   BAB 38

    Langit berwarna putih pudar, seperti lembaran kosong yang menunggu untuk ditulisi. Kota masih sunyi ketika mobil hitam tua milik Elric meluncur perlahan keluar dari gang belakang toko buku. Di dalamnya, Ainsley duduk dengan tangan yang tak henti meremas-remas tas kecil di pangkuannya, sementara Valenha duduk di samping, menyapukan pandangan ke jendela. Beberapa hari yang lalu, Elric dengan wajah setengah cemas menyerahkan secarik kertas berisi alamat rahasia kepada Valenha. "Dokter ini tak banyak tanya dan tak punya hubungan apa pun dengan lembaga medis resmi. Dia milik keluarga lamaku. Aman." Valenha mengangguk. “Kalau ada yang bisa jaga rahasia, itu yang kita butuhkan.” Hari ini, alamat itu menjadi tujuan mereka. Seorang dokter pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, tak terlihat dari jalan utama, dan terdaftar di bawah nama palsu. Sebuah klinik kecil berdinding kayu dengan cat biru pudar dan tirai putih di jendela. Ketika mereka tiba, seorang wanita paruh baya menyambut mer

  • LOVE THE LAW   BAB 37

    Ainsley tengah merapikan buku-buku pada rak depan, jemarinya sibuk menyusun ulang koleksi novel sejarah yang baru mereka susun ulang setelah perombakan beberapa hari lalu. Valenha berdiri di belakang meja kasir, matanya terus memandangi layar laptop yang menampilkan hasil pemindaian kamera keamanan toko. "Kau memandangi layar itu sejak dua jam lalu," komentar Ainsley tanpa menoleh. "Aku terus menatapnya sampai yakin semua terkendali," sahut Valenha pelan. Sorot matanya tak meninggalkan layar, mencermati setiap gerakan bayangan yang muncul di sudut-sudut bingkai video. Ainsley berbalik, menyandarkan tubuh ke rak buku. "Kau tahu itu bukan cara sehat untuk hidup." "Aku tahu." Valenha menghela napas. "Tapi ini juga bukan hidup biasa." Suara bel pintu berbunyi pelan. Elric masuk dengan mantel panjang berwarna gelap, membawa dua kantong kertas besar. Ia meletakkannya di atas meja kasir sambil mendesah. "Kau bisa menyambutku dengan senyuman, Valenha. Aku sudah setengah basah kuyup demi

  • LOVE THE LAW   BAB 36

    Toko buku tua yang dulunya terkesan mati kini suasananya menjadi lebih hidup. Pelanggan datang silih berganti meski hanya sekadar melihat-lihat. Rak-rak yang dulu tertutup debu kini tampak tertata, dengan label baru dan catatan tangan kecil dari Ainsley tentang rekomendasi bacaannya. Bahkan, aroma kopi hangat dari sudut dapur kini menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke toko tersebut. Siang yang agak mendung, ketika suara radio pelan memutar musik klasik dan Ainsley sedang menyusun kembali buku-buku memoar, bel toko berbunyi. “Selamat siang,” sapa suara tenang dari seorang perempuan yang melangkah masuk. Rambutnya rapi disanggul, jas panjang berwarna abu-abu muda melapisi blus biru langit, dan tatapan matanya tajam namun dibuat seramah mungkin. Ainsley menoleh dan tersenyum kala melihat siapa yang datang. “Dokter Agrina? Sudah lama kita tidak bertemu.” Dokter Agrina tersenyum hangat. Ia berujar, “Aku hanya ingin melihat perkembangan seseorang yang dulu sempat dalam penang

  • LOVE THE LAW   BAB 35

    Pagi datang tanpa sempat mengusir sisa gelap di langit. Udara dingin membekukan jendela rumah perlindungan itu, membuat embun seperti kristal menempel di kaca. Ainsley terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya terasa ringan, tapi firasatnya berat. Sesuatu mengganjal—bukan mimpi, bukan kecemasan samar, tapi lebih kepada kenyataan yang tertinggal di malam sebelumnya. Begitu turun ke ruang tengah, pandangannya langsung membeku. Di meja makan, Valenha duduk dengan kepala tertunduk, baju bagian kiri robek, memperlihatkan luka lebam di sepanjang sisi tubuhnya. Elric berdiri di dekat wastafel dapur, wajahnya bengkak dan ada bercak darah kering di rahangnya. “Apa yang terjadi?” Suara Ainsley terdengar kaget, nyaris putus di akhir kalimat. Matanya menyapu tubuh keduanya. Napasnya tertahan. Valenha mengangkat kepala pelan, seperti tak ingin membuatnya semakin panik. “Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan.” “Benar-benar bukan?” Ainsley mendekat, memegang bahu Valenha dan dengan cep

  • LOVE THE LAW   BAB 34

    Di lantai atas, Ainsley menyapu lantai dapur kecil dengan langkah lambat. Perutnya mulai menunjukkan tanda. Tubuhnya cepat lelah, tapi ini terasa tenang. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Belum tahu bahwa Valenha sedang mempersiapkan pengorbanan terakhir demi menjaganya tetap hidup. Ketika suara langkah kaki menaiki tangga, ia menoleh. Valenha muncul di ambang pintu, ekspresinya seperti biasa—dingin, tapi tidak mengancam. Ia membawa semangkuk sup kaldu hangat dan sepotong roti. "Kau lupa makan lagi," katanya. Ainsley tersenyum tipis. "Kau terlalu sering memperhatikanku." "Karena kau terlalu sering lupa memperhatikan dirimu sendiri," jawab Valenha sambil meletakkan mangkuk di meja. Ia duduk di kursi seberang, menyandarkan diri dengan letih. "Kau terlihat lebih tua dari seminggu lalu." "Mungkin karena aku mimpi dikejar bayi raksasa berwajah Elric." Ainsley terkekeh pelan, untuk sesaat dunia terasa hangat. Valenha mengusap wajahnya, lalu menatap Ainsley d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status