Share

BAB-04

Penulis: Kanunu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 19:47:58

Pagi datang tanpa dentang jam atau derak pintu. Ia datang diam-diam seperti pengunjung gelap yang tak diundang. Ketika Ainsley membuka mata, sinar matahari menyusup malu-malu lewat sela jendela loteng yang berembun. Dingin masih menempel di udara, dan suara dari bawah nyaris tak terdengar.

Ia turun perlahan, menyusuri tangga yang kini mulai akrab di langkahnya. Di bawah, Valenha sudah berdiri di belakang meja kasir, mengamati tumpukan buku baru yang belum disortir. Wajahnya masih muram seperti malam sebelumnya, tapi ada ketenangan aneh dalam cara ia menyusun buku demi buku, seperti seorang pendeta mengatur kitab suci.

“Pagi,” sapa Ainsley pelan.

Valenha hanya mengangguk.

Ainsley mengambil buku dari rak terdekat dan duduk di dekat jendela. Ia membaca dalam diam, tapi pikirannya tak sepenuhnya tenggelam. Sejak kejadian semalam—amplop cokelat yang jatuh dari rak, dan kata-kata Valenha yang mengambang seperti ancaman dan janji—ia tahu, tempat ini bukan sekadar toko buku tua.

Ada sesuatu yang hidup di antara debu dan kertas. Dan mungkin, itu bukan hanya rahasia Valenha… tapi juga dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, bel di atas pintu berdenting—halus, nyaris tidak terdengar. Seorang pria tua masuk. Rambutnya putih, wajahnya cekung seperti sudah terlalu lama bicara dengan waktu. Tapi yang membuat Ainsley waspada bukan penampilannya—melainkan cara matanya langsung menatapnya, tajam, menelusuri wajahnya seperti sedang mencocokkan gambar buronan.

“Bisa kubantu?” tanya Valenha, datar.

Pria itu tak menjawab. Ia melangkah masuk perlahan, berjalan menyusuri rak-rak tanpa benar-benar melihat buku. Lalu ia berhenti di dekat Ainsley dan mengangguk kecil.

“Pagi yang tenang untuk bersembunyi,” gumamnya.

Jantung Ainsley menegang.

Valenha melangkah mendekat, tubuhnya seolah menjadi dinding antara Ainsley dan pria asing itu. “Kami tidak menerima pengunjung yang datang tanpa tujuan.”

Pria itu tertawa kecil. “Kadang tujuan tidak penting, asalkan tempatnya tepat.”

Ia menatap Ainsley sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan keluar. Tak membeli apa pun. Tak berkata apa-apa lagi.

Hanya meninggalkan udara yang mendadak terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Setelah pintu tertutup, Valenha menoleh padanya. “Kau pernah lihat dia sebelumnya?”

Ainsley menggeleng, meski hatinya berdetak tak beraturan. “Tidak. Tapi dia mengenaliku.”

Valenha menghela napas. “Kita tak bisa tinggal diam terlalu lama, Ainsley. Mereka mencium jejak lebih cepat dari yang kuduga.”

Ainsley menatap keluar jendela, ke jalanan kosong yang sunyi tapi menyimpan kemungkinan buruk. Toko buku ini tak lagi cukup untuk sembunyi. Ia tahu. Dan mungkin, Valenha juga tahu.

Tapi yang tidak mereka tahu—bayangan di luar sana tak hanya mengejar untuk menangkap. Beberapa datang membawa masa lalu. Dan yang lainnya… membawa kematian.

****

Ainsley duduk kembali setelah pria asing itu pergi, tapi kenyamanan yang sempat tumbuh di toko itu telah pudar. Sorot mata orang itu, cara ia melafalkan kata-katanya dengan tenang namun menusuk—semuanya menggores saraf-sarafnya yang paling peka. Ia menggenggam buku di pangkuan, tapi tak satu pun kata di halaman yang mampu singgah di pikirannya.

Valenha mematikan mesin kasir. Gerakannya cepat, tegas, seperti seseorang yang tahu harus bertindak sebelum semuanya terlambat.

“Mulai sekarang, jangan duduk dekat jendela,” katanya tanpa menoleh.

Ainsley mengangguk, diam-diam memindahkan dirinya ke meja kecil di belakang rak puisi klasik. Tangannya dingin. Ada getar halus di bawah kulitnya—bukan hanya karena takut, tapi karena ia tahu... pelarian ini tidak lagi sunyi. Seseorang tahu. Dan mungkin, lebih dari satu.

“Kalau sesuatu terjadi,” suara Ainsley nyaris tenggelam, “..Apa kau akan mengusirku dari sini?”

Valenha menoleh cepat. Pandangannya menusuk, tapi bukan karena marah. Lebih karena terkejut.

“Tidak,” jawabnya singkat.

Jawaban itu memang singkat. Tapi dada Ainsley mendadak terasa sesak, seolah kata itu adalah pintu yang terbuka dan angin dari masa lalu menerobos masuk bersamaan.

“Aku takut menyeretmu didalam bahayaku,” katanya pelan.

Valenha tersenyum tipis. Senyum yang tak menyentuh matanya.

“Sudah terlambat.”

Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara detik jam tua di dinding dan gumaman lembut dari kipas angin langit-langit yang tetap berputar meski dunia seolah melambat.

Lalu, tanpa diminta, Valenha mendekat. Ia meletakkan secangkir teh panas di depan Ainsley. Uapnya naik pelan, menghapus kabut dingin dari antara mereka. “Kalau kau ingin pergi, aku tidak akan menghentikanmu. Tapi jangan pernah merasa kau sedang membebani seseorang yang sudah terbiasa kehilangan,” katanya lirih.

Ainsley memandanginya. Ada sesuatu dalam cara Valenha berbicara. Suatu luka yang dalam, terbungkus baik oleh ketegaran yang dibuat-buat.

“Aku tidak akan pergi,” jawabnya akhirnya.

Valenha tak berkata apa-apa. Tapi dari cara ia duduk di seberang, dari bagaimana ia menatap uap teh yang mengepul di antara mereka, Ainsley tahu, ia baru saja mengambil keputusan yang mengubah segalanya.

Di luar toko, langit mulai redup. Awan menggumpal pelan seperti rahasia yang menebal, siap turun kapan saja. Tapi malam belum jatuh. Dan di dalam toko tua itu, dua orang yang terluka duduk saling diam, berbagi keheningan yang tidak lagi kosong.

Tak ada jaminan hari esok akan lebih aman. Tapi setidaknya, untuk saat ini, mereka tidak sendiri. Dan di tempat seperti ini—di dunia yang terus mencari dan menghukum—kadang, itu saja sudah cukup untuk bertahan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LOVE THE LAW   BAB 39

    Ainsley duduk di lantai toko buku, tubuhnya bersandar pada rak bagian pojok. Matanya sembab. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir yang kini dingin sepenuhnya, dan tangan kirinya menutup perut—seolah mencoba melindungi sesuatu yang baru tumbuh, sesuatu yang kini terasa begitu rapuh. Tak ada suara lain kecuali detik jam dinding dan sesekali bunyi kayu tua yang mengerang terkena angin lembap. Dunia di sekitarnya membeku. Sampai pintu belakang toko dibuka dengan paksa. Elric masuk, setengah basah oleh hujan, jaket kulitnya meneteskan air ke lantai. Ia berhenti sejenak saat melihat Ainsley duduk di lantai, wajahnya tanpa warna, seperti lilin yang hampir padam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. Ainsley tidak menjawab. Elric meletakkan dokumen di atas meja kasir. “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya. Ini bukan karena kami tidak percaya padamu.” Ainsley mengangkat wajah perlahan. Matanya kosong. “Tapi kalian mencabut hakku untuk memilih.” Elric mendesah, lalu duduk di bangku d

  • LOVE THE LAW   BAB 38

    Langit berwarna putih pudar, seperti lembaran kosong yang menunggu untuk ditulisi. Kota masih sunyi ketika mobil hitam tua milik Elric meluncur perlahan keluar dari gang belakang toko buku. Di dalamnya, Ainsley duduk dengan tangan yang tak henti meremas-remas tas kecil di pangkuannya, sementara Valenha duduk di samping, menyapukan pandangan ke jendela. Beberapa hari yang lalu, Elric dengan wajah setengah cemas menyerahkan secarik kertas berisi alamat rahasia kepada Valenha. "Dokter ini tak banyak tanya dan tak punya hubungan apa pun dengan lembaga medis resmi. Dia milik keluarga lamaku. Aman." Valenha mengangguk. “Kalau ada yang bisa jaga rahasia, itu yang kita butuhkan.” Hari ini, alamat itu menjadi tujuan mereka. Seorang dokter pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, tak terlihat dari jalan utama, dan terdaftar di bawah nama palsu. Sebuah klinik kecil berdinding kayu dengan cat biru pudar dan tirai putih di jendela. Ketika mereka tiba, seorang wanita paruh baya menyambut mer

  • LOVE THE LAW   BAB 37

    Ainsley tengah merapikan buku-buku pada rak depan, jemarinya sibuk menyusun ulang koleksi novel sejarah yang baru mereka susun ulang setelah perombakan beberapa hari lalu. Valenha berdiri di belakang meja kasir, matanya terus memandangi layar laptop yang menampilkan hasil pemindaian kamera keamanan toko. "Kau memandangi layar itu sejak dua jam lalu," komentar Ainsley tanpa menoleh. "Aku terus menatapnya sampai yakin semua terkendali," sahut Valenha pelan. Sorot matanya tak meninggalkan layar, mencermati setiap gerakan bayangan yang muncul di sudut-sudut bingkai video. Ainsley berbalik, menyandarkan tubuh ke rak buku. "Kau tahu itu bukan cara sehat untuk hidup." "Aku tahu." Valenha menghela napas. "Tapi ini juga bukan hidup biasa." Suara bel pintu berbunyi pelan. Elric masuk dengan mantel panjang berwarna gelap, membawa dua kantong kertas besar. Ia meletakkannya di atas meja kasir sambil mendesah. "Kau bisa menyambutku dengan senyuman, Valenha. Aku sudah setengah basah kuyup demi

  • LOVE THE LAW   BAB 36

    Toko buku tua yang dulunya terkesan mati kini suasananya menjadi lebih hidup. Pelanggan datang silih berganti meski hanya sekadar melihat-lihat. Rak-rak yang dulu tertutup debu kini tampak tertata, dengan label baru dan catatan tangan kecil dari Ainsley tentang rekomendasi bacaannya. Bahkan, aroma kopi hangat dari sudut dapur kini menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke toko tersebut. Siang yang agak mendung, ketika suara radio pelan memutar musik klasik dan Ainsley sedang menyusun kembali buku-buku memoar, bel toko berbunyi. “Selamat siang,” sapa suara tenang dari seorang perempuan yang melangkah masuk. Rambutnya rapi disanggul, jas panjang berwarna abu-abu muda melapisi blus biru langit, dan tatapan matanya tajam namun dibuat seramah mungkin. Ainsley menoleh dan tersenyum kala melihat siapa yang datang. “Dokter Agrina? Sudah lama kita tidak bertemu.” Dokter Agrina tersenyum hangat. Ia berujar, “Aku hanya ingin melihat perkembangan seseorang yang dulu sempat dalam penang

  • LOVE THE LAW   BAB 35

    Pagi datang tanpa sempat mengusir sisa gelap di langit. Udara dingin membekukan jendela rumah perlindungan itu, membuat embun seperti kristal menempel di kaca. Ainsley terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya terasa ringan, tapi firasatnya berat. Sesuatu mengganjal—bukan mimpi, bukan kecemasan samar, tapi lebih kepada kenyataan yang tertinggal di malam sebelumnya. Begitu turun ke ruang tengah, pandangannya langsung membeku. Di meja makan, Valenha duduk dengan kepala tertunduk, baju bagian kiri robek, memperlihatkan luka lebam di sepanjang sisi tubuhnya. Elric berdiri di dekat wastafel dapur, wajahnya bengkak dan ada bercak darah kering di rahangnya. “Apa yang terjadi?” Suara Ainsley terdengar kaget, nyaris putus di akhir kalimat. Matanya menyapu tubuh keduanya. Napasnya tertahan. Valenha mengangkat kepala pelan, seperti tak ingin membuatnya semakin panik. “Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan.” “Benar-benar bukan?” Ainsley mendekat, memegang bahu Valenha dan dengan cep

  • LOVE THE LAW   BAB 34

    Di lantai atas, Ainsley menyapu lantai dapur kecil dengan langkah lambat. Perutnya mulai menunjukkan tanda. Tubuhnya cepat lelah, tapi ini terasa tenang. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Belum tahu bahwa Valenha sedang mempersiapkan pengorbanan terakhir demi menjaganya tetap hidup. Ketika suara langkah kaki menaiki tangga, ia menoleh. Valenha muncul di ambang pintu, ekspresinya seperti biasa—dingin, tapi tidak mengancam. Ia membawa semangkuk sup kaldu hangat dan sepotong roti. "Kau lupa makan lagi," katanya. Ainsley tersenyum tipis. "Kau terlalu sering memperhatikanku." "Karena kau terlalu sering lupa memperhatikan dirimu sendiri," jawab Valenha sambil meletakkan mangkuk di meja. Ia duduk di kursi seberang, menyandarkan diri dengan letih. "Kau terlihat lebih tua dari seminggu lalu." "Mungkin karena aku mimpi dikejar bayi raksasa berwajah Elric." Ainsley terkekeh pelan, untuk sesaat dunia terasa hangat. Valenha mengusap wajahnya, lalu menatap Ainsley d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status