Dalam pelarian yang sunyi di bawah cahaya rembulan, Gamura Ainsley, seorang buronan dengan masa lalu kelam, tak sengaja bersembunyi di sebuah toko buku tua di sudut kota yang nyaris terlupakan. Tempat itu dimiliki oleh Valenha Batera, pria pendiam dengan sorot mata yang menyimpan dendam dan rahasia. Tanpa banyak tanya, Valenha menyelamatkan Ainsley dari kejaran aparat. Namun di balik sikap lembutnya, tersembunyi niat untuk memanfaatkan Ainsley sebagai kunci balas dendam terhadap mereka yang telah menghancurkan keluarganya. Ainsley pun perlahan terseret dalam misi Valenha—dua jiwa yang sama-sama terluka, saling menyembuhkan dalam bayang-bayang luka yang belum pulih. Namun, cinta tak pernah datang tanpa ujian. Saat kebenaran terungkap, keduanya justru terseret lebih dalam dalam pusaran bahaya. Hingga akhirnya, mereka tertangkap bersama, seolah tak ada lagi jalan keluar. Tapi satu hal yang tak diketahui Ainsley—jauh sebelum semuanya terungkap, Valenha telah menghapus jejak masa lalu sang gadis, mengubur semua bukti agar ia tak pernah benar-benar bisa disentuh hukum. Sebuah pengorbanan diam-diam, cinta yang tak banyak bicara, namun mencintai dengan cara yang paling dalam. Di bawah cahaya bulan, kisah mereka terpatri—tentang pelarian, dan cinta yang tumbuh di tempat yang tak seharusnya.
View MoreLangkahnya terhuyung di antara gelap yang menggantung di langit kota. Nafas Ainsley memburu, dadanya naik turun tak beraturan, seolah paru-parunya tak lagi sanggup menerima dunia. Suara sepatu bot aparat masih terngiang, makin jauh tapi belum hilang. Ia menatap ke depan—gang sempit dengan tembok tua yang menghitam, aroma besi, dan bau lembab yang menyesakkan.
Udara malam menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya gemetar. Asma. Ia merogoh saku jaketnya dengan gemetar, berharap inhaler itu masih ada. Tak ada. Hanya selembar kertas basah dan batu kecil yang entah kapan terselip di sana. Matanya menatap langit. Bulan menggantung pucat di antara reruntuhan awan. "I can't take it anymore," bisiknya lirih sebelum lututnya goyah, dan dunia mulai berputar. Di ujung gang, lampu kuning temaram menyala dari balik jendela. Sebuah toko tua dengan papan kayu yang nyaris runtuh, bertuliskan huruf pudar: Batera Bookstore. Tak ada suara. Tak ada tanda kehidupan. Tapi itu satu-satunya cahaya di antara gelap. Dengan sisa tenaga, Ainsley menyeret tubuhnya mendekat. Setiap langkah terasa seperti menghantam batu. Ia menyentuh gagang pintu, lalu dunia runtuh bersama dengannya—jatuh diam di ambang pintu, tubuh terkulai, nafas nyaris habis. Lalu suara langkah datang. Tenang. Tak tergesa. Sepasang mata kelam menatapnya dari balik pintu kaca. Valenha Batera berdiri dalam diam, seperti bayangan yang lupa bergerak. Pria itu berjongkok perlahan, menatap wajah Ainsley dengan sorot tak terbaca. Dingin. Hening. Seolah dunia memang diciptakan untuk sunyi seperti ini. Tanpa banyak tanya, ia mengangkat tubuh Ainsley dan membawanya masuk. Di dalam, toko itu berisi tumpukan buku tua, rak kayu berderit, dan aroma kertas yang usang tapi hangat. Valenha meletakkannya di sofa dekat rak puisi klasik, lalu menyalakan pemanas ruangan. Ia menatap wajah Ainsley sekali lagi, seolah mencoba membaca cerita dari garis wajah yang kacau oleh debu dan peluh. “Astmatik,” gumamnya pendek, lebih pada diri sendiri daripada pada gadis itu. Ia pergi ke dapur, mengambil sesuatu dari laci—bukan inhaler, tapi ramuan herbal dalam botol kecil. Ia tahu itu tak menyembuhkan, hanya menunda. Tapi terkadang, penundaan adalah bentuk pertolongan yang paling realistis. Ainsley tak benar-benar sadar, tapi tubuhnya perlahan tenang. Ia merasa hangat, seperti berada di ruang yang tak menghakimi. Antara sadar dan tidak, ia mendengar suara… bukan suara aparat, bukan ancaman, hanya satu kalimat lirih dari lelaki asing yang menyelamatkannya. “Girl, Kalau kau bersembunyi di tempat yang tak dicari siapa pun… kau mungkin selamat.” Ainsley tak tahu siapa dia. Tapi entah kenapa, dada yang semula sesak kini terasa… sedikit lebih ringan. **** Tubuhnya masih terasa berat, tapi perlahan kesadaran mulai kembali. Matanya terbuka sedikit—cahaya hangat menari di langit-langit kayu, aroma kayu manis dan teh hitam menguar samar dari arah dapur. Ainsley menggeliat pelan. Selimut wol kelabu membalut tubuhnya. Entah sejak kapan. Entah siapa yang memberikannya. Ia duduk perlahan, mengerjap saat pandangan bertemu rak-rak tinggi penuh buku dengan sampul lusuh. Ruangan itu terasa tua, tapi tenang. Seolah waktu berjalan lambat di sini. Di antara tumpukan kisah dan kenangan yang tertinggal dalam debu. Pintu dapur berderit ringan. Lelaki itu muncul kembali. Rambutnya cokelat gelap, sedikit berantakan, dan sorot matanya tajam tapi tenang. Ia membawa secangkir teh, lalu meletakkannya di meja kecil di depan Ainsley. “Minumlah. Itu membantu.” Suara itu datar, tak ramah, tapi juga tak sepenuhnya dingin. Ainsley ragu. Tangannya terulur, gemetar sedikit saat menyentuh cangkir hangat itu. “Kau yang membantuku? But why?” gumamnya, nyaris tak terdengar. Valenha menatapnya beberapa detik sebelum menjawab. “Aku tak suka melihat orang sekarat di depan pintu tokoku.” Jawaban itu terdengar seperti alasan kosong, tapi Ainsley tidak bertanya lagi. Ia tahu, terkadang manusia menyembunyikan niat di balik kalimat sederhana. Dan pria ini jelas bukan orang biasa. “Namamu?” tanya Ainsley pelan, menyeruput teh dengan hati-hati. “Valenha.” “Hanya itu?” “Untuk sekarang, itu cukup.” Ia mengalihkan pandangan ke jendela, ke luar yang gelap dan beku. Ainsley mengikutinya. Dunia di luar masih sunyi. Tak ada lampu biru atau suara sirene. Tapi ketakutan itu belum benar-benar pergi. “Aku Ainsley,” katanya akhirnya, meski ia tahu nama itu tak lagi punya arti. Di luar sana, itu hanya identitas buronan yang dicari. Valenha mengangguk kecil. Ia tampak seperti seseorang yang mengoleksi rahasia lebih banyak daripada buku. Tapi anehnya, Ainsley tak merasa terancam. Ada sesuatu dalam caranya berdiri diam, dalam keheningan yang diciptakannya—seperti sebuah tempat istirahat sementara bagi jiwa yang lelah. “Kau bisa tinggal di sini malam ini,” ucap Valenha akhirnya. “Tapi jangan sentuh apapun. Dan jangan coba kabur keluar sebelum fajar.” Ainsley mengangguk pelan. Ia tak punya rencana untuk kabur. Tidak malam ini. Tidak saat tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, dan dadanya masih terasa seperti rongga kosong yang baru saja ditinggalkan badai. Valenha berjalan menjauh, meninggalkan Ainsley sendiri bersama teh, buku, dan malam yang menggigil. Di luar, rembulan masih menggantung tinggi. Menyaksikan dua orang asing di satu titik pertemuan yang tak pernah mereka rencanakan.Ainsley berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun berwarna hitam keabu-abuan yang dipilihkan Ersya. Gaun itu menjuntai anggun, dengan potongan sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rendah, menyisakan beberapa helaian di pelipis yang sengaja dibiarkan liar. Sekilas, ia tampak seperti bagian dari dunia yang mewah itu—sebuah dunia yang terlalu terang bagi seorang buronan. "Tak nyaman?" tanya Ersya, masuk ke kamar hotel dengan senyum lembut. Ainsley menoleh, tersenyum kecil. “Seperti sedang mencoba menjadi seseorang yang bukan aku.” “Kadang, untuk bertahan hidup, kita memang harus menjadi topeng yang berjalan.” Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya. Ainsley memandangi Ersya—dengan gaun merah marun, sepatu berhak tinggi, dan rambut yang disanggul anggun. Wanita itu tampak sempurna, namun sorot matanya tetap membawa kesepian yang sama seperti malam pertama mereka berbicara di kafe. “Siapa kau, Ersya, sebelum menjadi... semua ini?” tanya Ainsley pelan. Ers
Ainsley menatap undangan yang baru saja diletakkan Ersya di pangkuannya. Kertas putih gading itu berkilau samar dalam cahaya kafe. Di pojok kanan bawahnya tercetak nama besar Gazerad Private Foundation Gala – For The Families of Justice. “Acara keluarga,” kata Ersya santai, menyeruput teh herbalnya. “Tak terlalu ramai. Hanya beberapa petinggi hukum, pengusaha tua, dan orang-orang yang terlalu malas untuk peduli siapa kau, selama kau membawa senyum dan sepatu yang mengilap.” Ainsley mengulas senyum. “Dan kau ingin aku datang sebagai apa? Teman? Pendamping? Mata-mata?” Ersya tertawa kecil. “Teman. Setidaknya untuk malam itu.” Jawaban itu harusnya menenangkan. Tapi bagi Ainsley, justru membuat dadanya makin sesak. Karena makin lama ia berdiri di dekat Ersya, makin kabur batas antara peran dan kenyataan. Ia tak lagi yakin apakah kedekatan ini demi Valenha… atau demi hatinya sendiri. “Ayahmu akan hadir?” “Tentu saja.” Suara Ersya mendadak datar. “Dia yang membiayai semuanya. Ta
Tiga hari setelah gala itu, Ainsley kembali berdiri di depan toko buku Valenha—seperti biasa, saat langit mulai menggelap dan jalanan kota berubah lebih sunyi. Di tangannya, sebuah buket kecil bunga liar dan secangkir kopi hangat dari kedai seberang. Ia mendorong pintu kaca yang berderit halus. Valenha ada di dalam, berdiri di balik meja kasir sambil membalik halaman buku tua. Saat melihat Ainsley, alisnya sedikit terangkat. "Bunga?" tanyanya, menatap buket kecil itu. “Untuk kamu. Tapi kamu bisa pura-pura itu hiasan,” jawab Ainsley ringan. “Ersya menyukainya waktu aku bawa tadi siang, jadi aku beli dua.” Valenha memejamkan mata sejenak. “Kau mulai akrab dengannya?” Ainsley mengangguk, duduk di kursi baca yang menghadap jendela. “Kami pergi ke kafe tadi. Dia cerita tentang ibunya yang meninggal waktu dia umur sembilan tahun. Dan… tentang kesepiannya.” Valenha tak menjawab. Ia hanya menatap Ainsley lama, seperti mencoba membaca isi pikirannya. Tapi Ainsley menatap balik tanp
Ainsley menatap pantulan dirinya di kaca jendela kereta kota. Gaun hitam sederhana membungkus tubuhnya dengan anggun, rambutnya disisir rapi dan dijepit ke belakang, menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajahnya. Ia terlihat asing bahkan bagi dirinya sendiri. Sesuai rencana Valenha, malam ini Ainsley akan menghadiri gala kecil di galeri seni yang dimiliki oleh rekan bisnis Aruon Gazerad. Nama pria itu tak muncul dalam undangan, tapi Valenha yakin—Gazerad akan hadir. Di balik acara seni dan anggur mahal, ada rapat rahasia yang sedang dipersiapkan. Dan Ainsley… adalah umpan. Ia melangkah keluar dari kereta, menyusuri trotoar menuju gedung galeri di pusat kota. Lampu-lampu malam bersinar pucat, tak mampu menyingkirkan hawa dingin yang merayap ke dalam mantel tipisnya. Tangannya sedikit bergetar, entah karena gugup atau cuaca. Mungkin keduanya. Di depan pintu, seorang pria bertubuh tegap memeriksa undangan. Ainsley menunjukkan kartu tipis yang diberikan Valenha—palsu, tapi
Ainsley tak bisa tidur malam itu. Bayangan langkah-langkah asing di depan toko masih menghantui kepalanya, seakan suara itu menempel di dinding-dinding pikirannya. Ia berbaring di ruang belakang, di atas kasur tipis yang beralaskan selimut tua. Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dan bulan tampak bersembunyi di balik awan kelabu. Ia mendengar suara langkah Valenha di ruang depan—tenang, ritmis, seperti seseorang yang terbiasa berjaga sepanjang malam. Mungkin memang begitu. Valenha tak pernah tampak benar-benar istirahat. Mungkin karena dunia tak memberinya kesempatan untuk merasa aman. Ainsley duduk perlahan, lalu berdiri dan menyibak tirai ruangan. Ia berjalan pelan menuju ruang utama toko. Lampu gantung menyala temaram. Di balik meja kasir, Valenha sedang duduk bersandar, memandangi pintu yang sudah ia kunci dua kali. “Apa kau tidur sama sekali?” Ainsley bersuara pelan. Valenha menoleh. “Tidak malam ini.” Ia menepuk kursi di sampingnya. Ainsley berjal
Malam kembali turun dengan langkah lembut. Toko buku tertutup rapat, tirai ditarik, lampu diredam. Hujan tidak turun, tapi udara dingin menggigit lebih tajam dari malam-malam sebelumnya. Ainsley duduk di lantai dekat rak sejarah, tubuhnya dibalut jaket tua pemberian Valenha. Ia memandangi nyala api dari tungku kecil di pojok ruangan—api yang tenang, nyaris tak bersuara, tapi cukup untuk mengusir dingin dari tulangnya. Valenha duduk tak jauh darinya, memeriksa buku catatan hitam yang sama seperti malam sebelumnya. Tapi malam ini, ia tak menulis. Hanya membuka-buka halamannya tanpa benar-benar membaca. “Kau terlihat lebih lelah dari biasanya,” bisik Ainsley. Valenha menoleh. Tatapannya sayu, tapi tak kehilangan ketajaman yang membuat Ainsley selalu waspada. “Aku sedang berpikir.” “Berpikir soal siapa? Aku?” “Kalau iya?” Ainsley terdiam. Ada kehangatan yang naik perlahan ke pipinya, seperti uap teh yang terlalu lama disimpan dalam gelas. Ia menunduk. “Apa yang kau pikirkan tenta
Pagi datang tanpa dentang jam atau derak pintu. Ia datang diam-diam seperti pengunjung gelap yang tak diundang. Ketika Ainsley membuka mata, sinar matahari menyusup malu-malu lewat sela jendela loteng yang berembun. Dingin masih menempel di udara, dan suara dari bawah nyaris tak terdengar. Ia turun perlahan, menyusuri tangga yang kini mulai akrab di langkahnya. Di bawah, Valenha sudah berdiri di belakang meja kasir, mengamati tumpukan buku baru yang belum disortir. Wajahnya masih muram seperti malam sebelumnya, tapi ada ketenangan aneh dalam cara ia menyusun buku demi buku, seperti seorang pendeta mengatur kitab suci. “Pagi,” sapa Ainsley pelan. Valenha hanya mengangguk. Ainsley mengambil buku dari rak terdekat dan duduk di dekat jendela. Ia membaca dalam diam, tapi pikirannya tak sepenuhnya tenggelam. Sejak kejadian semalam—amplop cokelat yang jatuh dari rak, dan kata-kata Valenha yang mengambang seperti ancaman dan janji—ia tahu, tempat ini bukan sekadar toko buku tua. Ada
Ainsley duduk di loteng itu selama beberapa lama, memandangi langit melalui jendela kecil yang buram. Bulan belum muncul malam ini, tapi cahaya dari kota jauh masih menembus masuk seperti bisikan samar yang tak ingin dilupakan. Langit-langit kamar miring, dindingnya dari kayu yang mulai rapuh. Tapi entah kenapa, tempat itu terasa aman. Seperti ruang kecil dalam dunia yang penuh retakan—satu-satunya celah di mana ia bisa bernapas tanpa takut dikejar. Ia memejamkan mata. Nafasnya kini lebih tenang, tapi bayang-bayang tetap menari di balik kelopak. Sorot lampu polisi. Teriakan. Bunyi tembakan. Tangannya mengepal pelan. Ia ingin tidur. Tapi tidur artinya kembali ke mimpi yang tak pernah damai. Langkah pelan terdengar dari bawah. Bukan derap. Bukan tergesa. Valenha. Ainsley turun perlahan, melewati tangga kayu yang dingin. Ia mendapati pria itu berdiri di depan meja kayu besar yang kini dipenuhi kertas, gunting kecil, dan lem usang. Sejumlah buku tua terbuka di hadapannya, halama
Pagi datang dengan malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap lewat jendela tinggi yang berdebu, menyapu rak-rak tua seperti jari-jari hangat dari langit. Ainsley terbangun perlahan. Nafasnya lebih ringan kini, dada tak lagi sekeras semalam. Tapi hatinya tetap penuh tanya. Ia duduk di sofa, selimut wol masih membalut tubuhnya. Ruangan itu terasa seperti dunia lain—toko buku tua dengan lantai kayu yang berderit pelan setiap kali ia menggerakkan kaki, dan udara yang menyimpan aroma kertas tua bercampur sesuatu yang asing tapi menenangkan. Valenha tidak terlihat. Hanya ada secarik kertas kecil di meja. Kau bisa tetap di sini. Tapi jangan sentuh kamar belakang. Jangan tanyakan alasan. Jangan keluar sebelum aku kembali. —V. Tulisan tangan itu rapi, sedikit condong ke kanan. Tegas. Terlatih. Ainsley mendesah pelan. Ia berdiri, berjalan perlahan menelusuri barisan rak. Matanya menangkap judul-judul yang sudah lama tak ia lihat—To Kill a Mockingbird, Les Misérables, The Prophet. Beberapa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments