Share

BAB-07

Penulis: Kanunu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-20 22:43:14

Ainsley menatap pantulan dirinya di kaca jendela kereta kota. Gaun hitam sederhana membungkus tubuhnya dengan anggun, rambutnya disisir rapi dan dijepit ke belakang, menyisakan beberapa helaian yang membingkai wajahnya. Ia terlihat asing bahkan bagi dirinya sendiri.

Sesuai rencana Valenha, malam ini Ainsley akan menghadiri gala kecil di galeri seni yang dimiliki oleh rekan bisnis Aruon Gazerad. Nama pria itu tak muncul dalam undangan, tapi Valenha yakin—Gazerad akan hadir. Di balik acara seni dan anggur mahal, ada rapat rahasia yang sedang dipersiapkan.

Dan Ainsley… adalah umpan.

Ia melangkah keluar dari kereta, menyusuri trotoar menuju gedung galeri di pusat kota. Lampu-lampu malam bersinar pucat, tak mampu menyingkirkan hawa dingin yang merayap ke dalam mantel tipisnya. Tangannya sedikit bergetar, entah karena gugup atau cuaca. Mungkin keduanya.

Di depan pintu, seorang pria bertubuh tegap memeriksa undangan. Ainsley menunjukkan kartu tipis yang diberikan Valenha—palsu, tapi cukup meyakinkan.

Begitu masuk, aroma mawar dan anggur merah menyeruak. Musik klasik mengalun pelan dari sudut ruangan. Orang-orang tertawa pelan, berdiskusi tentang lukisan dan nilai pasar, tapi Ainsley tahu: sebagian besar dari mereka bukan pencinta seni, melainkan para pemangku kekuasaan yang menyembunyikan cakar mereka di balik senyum manis.

Ia berbaur dengan tenang, berpura-pura memerhatikan lukisan di dinding, sesekali mengangguk pada siapa pun yang menoleh. Beberapa menit kemudian, ia melihatnya—sosok pria tua dengan jas abu-abu rapi, tongkat kayu di tangan kanan, dan sorot mata dingin seperti es.

Aruon Gazerad.

Ia berbicara dengan seorang wanita muda yang mengenakan gaun merah menyala. Tangannya bergerak tenang, tapi tubuhnya tampak waspada. Ia tak pernah sendirian—selalu ada bayangan bergerak di sekitarnya, entah pengawal atau mata-mata.

Ainsley menelan ludah. Ini nyata. Ini bukan sekadar pembicaraan rahasia di balik rak buku. Ini dunia tempat orang seperti Valenha kehilangan segalanya.

Ponselnya bergetar pelan di dalam clutch kecilnya. Sebuah pesan masuk:

“Dia di sana. Jangan dekati. Amati. Temui aku di atap dalam 20 menit. - V”

Ainsley mengembuskan napas pelan. Ia mengitari ruangan, memastikan Gazerad tetap terlihat dari sudut matanya, lalu menyelinap menuju tangga darurat.

Udara dingin langsung menerpa wajahnya saat ia mendorong pintu atap. Di sana, berdiri Valenha—mengenakan hoodie gelap dan sarung tangan, bersembunyi dalam bayangan antena logam dan tiang-tiang beton.

“Dia datang,” kata Ainsley pelan. “Tapi dia tak sendiri. Empat pria. Dua wanita.”

Valenha mengangguk. Matanya menatap jauh ke kota di bawahnya. “Aku menduga begitu.”

Ainsley melangkah mendekat. “Apa yang kau inginkan dariku selanjutnya?”

Valenha menoleh. Pandangannya berat, tapi tak lagi keras. “Aku ingin kau berteman dengan putrinya. Namanya Ersya. Wanita bergaun merah tadi. Dia jalur masuk kita. Dia tidak tahu apa yang dilakukan ayahnya.”

Ainsley menegang. “Kau ingin aku membohongi seseorang yang tidak bersalah?”

Valenha mendekat, jaraknya hanya beberapa inci. “Aku ingin kita menang, Ainsley. Dan kadang… kemenangan butuh pengorbanan.”

Tatapan mereka bertemu dalam senyap. Ainsley tahu, jika ia menyetujui ini, maka semua batas moral yang tersisa akan kabur bersama angin malam. Tapi di balik keraguan itu, ada bara yang tumbuh: keinginan untuk mengakhiri semua ini. Untuk membayar semua luka dengan sesuatu yang nyata.

“Aku akan coba,” bisiknya akhirnya.

Valenha mengangguk. “Kau tak sendiri.”

Dan malam pun kembali menutup rahasianya. Di bawah langit yang menyimpan terlalu banyak dosa, dua orang yang dipaksa dewasa terlalu cepat bersiap menyusup lebih dalam ke dunia yang tak pernah benar-benar memaafkan.

****

Langkah Ainsley kembali menyusuri galeri yang mulai lengang. Acara hampir selesai, tapi Ersya Gazerad masih berdiri di dekat jendela, sendirian, memandangi lalu lintas kota dari lantai tiga dengan segelas wine putih di tangannya.

Ainsley menarik napas dalam-dalam, lalu mendekat, menyamakan langkah.

“Indah ya,” gumam Ainsley, berdiri di sampingnya.

Ersya menoleh pelan, matanya menyapu Ainsley dari atas ke bawah. Tidak dengan penghinaan, hanya kewaspadaan yang dibungkus senyum.

“Untuk siapa yang tahu cara menikmatinya, mungkin iya,” katanya. Suaranya rendah, sedikit serak. “Kau tamu dari galeri ini?”

Ainsley tersenyum tipis. “Kebetulan aku suka lukisan, walau tak terlalu mengerti cara membacanya.”

Nairin mengangguk. “Banyak yang datang hanya untuk bersulang, bukan untuk karya. Tapi kamu tidak terlihat seperti bagian dari mereka.”

Ainsley menyadari bahwa Ersya cerdas. Cepat membaca orang. Ini akan jadi sulit.

“Aku Ainsley,” katanya akhirnya, menawarkan tangan.

Ersya menerimanya, hangat. “Nairin.”

Dari sudut matanya, Ainsley menangkap bayangan Gazerad meninggalkan ruangan, dikawal dua pria berpakaian hitam. Pintu tertutup di belakang mereka, dan Ersya tampak lebih rileks begitu ayahnya menghilang.

“Dia ayahmu?” Ainsley bertanya pelan, seolah hanya ingin tahu. Ersya mengangguk tanpa menoleh.

“Ya. Aruon Gazerad.”

“Dia… terlihat seperti seseorang yang tak mudah ditentang.”

Kali ini, Ersya tertawa kecil. “Kau bicara seolah mengenalnya.”

Ainsley mengangkat bahu. “Mungkin hanya tebakan. Aura seperti itu sulit disembunyikan.”

Sejenak, keheningan menyela percakapan mereka. Ersya kembali menatap jendela. “Dia bukan orang jahat. Hanya… keras. Dunia ini tak ramah pada orang lembek, begitu katanya.”

Ainsley mencatat kalimat itu dalam hati. Ada celah di sini—seseorang yang tumbuh di bawah bayang-bayang kekuasaan, tapi tak sepenuhnya menyatu dengannya.

“Orangtuaku bukan orang penting,” kata Ainsley tiba-tiba, menciptakan jembatan. “Tapi kadang aku berharap mereka lebih keras. Mungkin aku tak akan tersesat sejauh ini.”

Ersya menoleh lagi, kali ini dengan ketertarikan tulus. “Kau tersesat?”

“Bukankah semua orang di ruangan ini, dalam satu dan lain cara, sedang mencoba mencari jalan pulang?”

Untuk sesaat, Ersya tidak menjawab. Tapi pandangannya melembut. Ia mengangkat gelasnya sedikit ke arah Ainsley.

“Untuk jalan pulang, lalu.”

Ainsley mengangkat gelas jus jeruk yang diambilnya di meja minuman tadi. “Dan untuk mereka yang menemani kita di tengah jalan.”

Mereka bersulang. Ringan, tapi ada sesuatu yang tak terdengar yang terpatri di antara dua perempuan itu—dua kehidupan yang terjalin di tempat dan waktu yang salah.

Setelah itu, Ersya menyodorkan kartu nama.

“Kalau kau ingin bicara tentang seni, atau… tersesat, kau bisa menghubungiku.”

Ainsley menerimanya. “Terima kasih.”

Dan ketika Ersya berjalan pergi, anggun dengan langkah yang tak tergesa, Ainsley menatap nama itu di karton putih kecil—tintanya mengkilap, terlalu mahal untuk sekadar simbol keramahan. Ia tahu, ini bukan sekadar sapaan ramah. Ini adalah pintu.

Dan setiap pintu, pada akhirnya, bisa jadi masuk ke neraka yang sama.

Di atap, saat ia kembali menemui Valenha, ia tak banyak bicara. Ia hanya menyodorkan kartu nama itu.

Valenha menatapnya dalam, lalu berkata pelan, “Nice, girl.”

Tapi saat Ainsley berbalik, menatap kota yang membentang seperti teka-teki, ia tak bisa menyingkirkan satu pertanyaan dari pikirannya:

“Apa aku masih bisa keluar… jika semuanya mulai terbakar?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LOVE THE LAW   BAB 39

    Ainsley duduk di lantai toko buku, tubuhnya bersandar pada rak bagian pojok. Matanya sembab. Tangan kanannya masih menggenggam cangkir yang kini dingin sepenuhnya, dan tangan kirinya menutup perut—seolah mencoba melindungi sesuatu yang baru tumbuh, sesuatu yang kini terasa begitu rapuh. Tak ada suara lain kecuali detik jam dinding dan sesekali bunyi kayu tua yang mengerang terkena angin lembap. Dunia di sekitarnya membeku. Sampai pintu belakang toko dibuka dengan paksa. Elric masuk, setengah basah oleh hujan, jaket kulitnya meneteskan air ke lantai. Ia berhenti sejenak saat melihat Ainsley duduk di lantai, wajahnya tanpa warna, seperti lilin yang hampir padam. “Aku minta maaf,” katanya pelan. Ainsley tidak menjawab. Elric meletakkan dokumen di atas meja kasir. “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya. Ini bukan karena kami tidak percaya padamu.” Ainsley mengangkat wajah perlahan. Matanya kosong. “Tapi kalian mencabut hakku untuk memilih.” Elric mendesah, lalu duduk di bangku d

  • LOVE THE LAW   BAB 38

    Langit berwarna putih pudar, seperti lembaran kosong yang menunggu untuk ditulisi. Kota masih sunyi ketika mobil hitam tua milik Elric meluncur perlahan keluar dari gang belakang toko buku. Di dalamnya, Ainsley duduk dengan tangan yang tak henti meremas-remas tas kecil di pangkuannya, sementara Valenha duduk di samping, menyapukan pandangan ke jendela. Beberapa hari yang lalu, Elric dengan wajah setengah cemas menyerahkan secarik kertas berisi alamat rahasia kepada Valenha. "Dokter ini tak banyak tanya dan tak punya hubungan apa pun dengan lembaga medis resmi. Dia milik keluarga lamaku. Aman." Valenha mengangguk. “Kalau ada yang bisa jaga rahasia, itu yang kita butuhkan.” Hari ini, alamat itu menjadi tujuan mereka. Seorang dokter pribadi, tersembunyi di pinggiran kota, tak terlihat dari jalan utama, dan terdaftar di bawah nama palsu. Sebuah klinik kecil berdinding kayu dengan cat biru pudar dan tirai putih di jendela. Ketika mereka tiba, seorang wanita paruh baya menyambut mer

  • LOVE THE LAW   BAB 37

    Ainsley tengah merapikan buku-buku pada rak depan, jemarinya sibuk menyusun ulang koleksi novel sejarah yang baru mereka susun ulang setelah perombakan beberapa hari lalu. Valenha berdiri di belakang meja kasir, matanya terus memandangi layar laptop yang menampilkan hasil pemindaian kamera keamanan toko. "Kau memandangi layar itu sejak dua jam lalu," komentar Ainsley tanpa menoleh. "Aku terus menatapnya sampai yakin semua terkendali," sahut Valenha pelan. Sorot matanya tak meninggalkan layar, mencermati setiap gerakan bayangan yang muncul di sudut-sudut bingkai video. Ainsley berbalik, menyandarkan tubuh ke rak buku. "Kau tahu itu bukan cara sehat untuk hidup." "Aku tahu." Valenha menghela napas. "Tapi ini juga bukan hidup biasa." Suara bel pintu berbunyi pelan. Elric masuk dengan mantel panjang berwarna gelap, membawa dua kantong kertas besar. Ia meletakkannya di atas meja kasir sambil mendesah. "Kau bisa menyambutku dengan senyuman, Valenha. Aku sudah setengah basah kuyup demi

  • LOVE THE LAW   BAB 36

    Toko buku tua yang dulunya terkesan mati kini suasananya menjadi lebih hidup. Pelanggan datang silih berganti meski hanya sekadar melihat-lihat. Rak-rak yang dulu tertutup debu kini tampak tertata, dengan label baru dan catatan tangan kecil dari Ainsley tentang rekomendasi bacaannya. Bahkan, aroma kopi hangat dari sudut dapur kini menjadi bagian dari pengalaman berkunjung ke toko tersebut. Siang yang agak mendung, ketika suara radio pelan memutar musik klasik dan Ainsley sedang menyusun kembali buku-buku memoar, bel toko berbunyi. “Selamat siang,” sapa suara tenang dari seorang perempuan yang melangkah masuk. Rambutnya rapi disanggul, jas panjang berwarna abu-abu muda melapisi blus biru langit, dan tatapan matanya tajam namun dibuat seramah mungkin. Ainsley menoleh dan tersenyum kala melihat siapa yang datang. “Dokter Agrina? Sudah lama kita tidak bertemu.” Dokter Agrina tersenyum hangat. Ia berujar, “Aku hanya ingin melihat perkembangan seseorang yang dulu sempat dalam penang

  • LOVE THE LAW   BAB 35

    Pagi datang tanpa sempat mengusir sisa gelap di langit. Udara dingin membekukan jendela rumah perlindungan itu, membuat embun seperti kristal menempel di kaca. Ainsley terbangun lebih awal dari biasanya. Kepalanya terasa ringan, tapi firasatnya berat. Sesuatu mengganjal—bukan mimpi, bukan kecemasan samar, tapi lebih kepada kenyataan yang tertinggal di malam sebelumnya. Begitu turun ke ruang tengah, pandangannya langsung membeku. Di meja makan, Valenha duduk dengan kepala tertunduk, baju bagian kiri robek, memperlihatkan luka lebam di sepanjang sisi tubuhnya. Elric berdiri di dekat wastafel dapur, wajahnya bengkak dan ada bercak darah kering di rahangnya. “Apa yang terjadi?” Suara Ainsley terdengar kaget, nyaris putus di akhir kalimat. Matanya menyapu tubuh keduanya. Napasnya tertahan. Valenha mengangkat kepala pelan, seperti tak ingin membuatnya semakin panik. “Bukan sesuatu yang harus kau khawatirkan.” “Benar-benar bukan?” Ainsley mendekat, memegang bahu Valenha dan dengan cep

  • LOVE THE LAW   BAB 34

    Di lantai atas, Ainsley menyapu lantai dapur kecil dengan langkah lambat. Perutnya mulai menunjukkan tanda. Tubuhnya cepat lelah, tapi ini terasa tenang. Ia belum tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Belum tahu bahwa Valenha sedang mempersiapkan pengorbanan terakhir demi menjaganya tetap hidup. Ketika suara langkah kaki menaiki tangga, ia menoleh. Valenha muncul di ambang pintu, ekspresinya seperti biasa—dingin, tapi tidak mengancam. Ia membawa semangkuk sup kaldu hangat dan sepotong roti. "Kau lupa makan lagi," katanya. Ainsley tersenyum tipis. "Kau terlalu sering memperhatikanku." "Karena kau terlalu sering lupa memperhatikan dirimu sendiri," jawab Valenha sambil meletakkan mangkuk di meja. Ia duduk di kursi seberang, menyandarkan diri dengan letih. "Kau terlihat lebih tua dari seminggu lalu." "Mungkin karena aku mimpi dikejar bayi raksasa berwajah Elric." Ainsley terkekeh pelan, untuk sesaat dunia terasa hangat. Valenha mengusap wajahnya, lalu menatap Ainsley d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status