Share

Undesirable Wedding
Undesirable Wedding
Author: Bubibupeach

Aisha Dianitha Pramono

Aisha Dianitha Pramono.

Batin Dean melonjak senang saat indera penglihatannya menangkap sosok pemilik nama itu. Ia buru-buru menuruni tangga agar bisa cepat sampai di ruang televisi. Sudah dua hari ia berkeliaran di rumah Arya karena sedang membuat kamar untuk Gibran, anak baru di rumah sahabatnya itu. Tak disangka-sangka, hari ini Dian datang ke rumah ini.

"Jadi nggak bisa nih, Mas?"

Dian terlihat merajuk dan Dean merasa suara rajukan Dian seperti alunan lagu di telinganya.

"Nggak bisa, Dek. Di rumah lagi ada yang kerja." jawab Arya. Bapak itu terlihat sibuk dengan dua anaknya. "Kenapa nggak ke tempat belajar nyetir aja. Bayar paling berapa?"

"Nggak mau, Mas. Nggak berani."

Dean yang sampai di ruang televisi itu lalu duduk tanpa diperintah. Duduk di sofa yang lain dari Dian duduk. Sengaja, agar dia bisa melihat wajah ayu Dian dengan leluasa. "Ada apa, sih?" tanyanya kepo.

"Kepo kayak dora." gumam Arya dan mendapat lirikan maut dari Dean.

Dian terlihat cemberut. Ia bersedekap dan duduk menyandar pada punggung sofa. "Pengen belajar nyetir, Kak. Tapi Mas Arya ternyata nggak bisa ngajarin." ujar gadis itu menyahuti ucapan Dean. Sebenarnya tak ingin, tapi tak sopan jika dia mengabaikan. Dian masih merasa agak canggung jika bertemu dengan salah satu sahabat kakaknya itu.

"Kakak bisa kok ngajarin." seru Dean, semangat. "Nyetir mobil 'kan?"

Dian menoleh pada Dean. Menimbang-nimbang sebentar apa dia minta tolong saja pada Dean? Sebenarnya, ayahnya sudah mengajarinya dua kali. Tapi dia masih merasa kurang dan belum yakin jika harus membawa mobil sendiri.

"Heh, kerjaan Lo emang udah selesai?" tanya Arya yang mendengar penuturan Dean. Bisa-bisanya pria itu ingin lari dari tanggung jawab.

"Dikit lagi beres. Jojo sama Nisa juga bisa." jawab Dean yang menyebut nama rekannya dalam mendesain kamar untuk Gibran. Bukan dengan Raka karena bosnya itu tidak butuh uang tambahan. Sejujurnya Dean juga tak begitu butuh karena lebih baik hari akhir pekannya ia habiskan untuk istirahat. Tapi, dia merasa sungkan jika menolak. Raka bisa beralasan jika Tiara, istrinya itu sedang tidak mau ditinggal karena sedang hamil muda. Lah, kalau dia harus beralasan apa.

"Nggak ngrepotin, nih, Kak?" tanya Dian tak enak hati. Ingin menolak, tapi dia juga tidak mungkin menyia-nyiakan bantuan dari Dean. Gadis itu sudah ingin sekali bisa menyetir sendiri. Dan semangatnya sore ini sedang sangat membara.

"Ya nggak lah. Ayo sekarang aja, keburu sore." ajak Dean lalu beranjak bangun dari tempatnya duduk. Pria itu naik ke lantai atas dimana dua rekannya masih bekerja. Ingin pamitan dulu.

×

"Udah Magrib, cari makan dulu, Di ...."

Dian menoleh ke samping kirinya, hanya sekilas. Dahinya mengernyit. Dimana-mana kalau waktu Magrib itu yang dicari Masjid, bukan makanan.

Mereka sudah berputar-putar di jalan raya. Dian termasuk pintar dan cara menyetirnya juga sudah lumayan lancar. Dean bahkan tadi sempat tertidur sesaat. Dasar pengajar tak bertanggung jawab memang.

"Mau makan di mana, Kak? Nanti Dian traktir deh, itung-itung balas jasa Kak Dean udah ngajarin nyetir dan minjemin mobil. Cari tempat yang ada musholanya, ya." seru Dian tanpa menoleh dan memilih fokus pada jalanan. 

Dean yang semenjak tadi melihat ke arah Dian, hanya tersenyum. Ini kali pertama gadis itu bicara cukup panjang padanya. Gadis kecil yang dulu ingusan dan dekil itu kini menjelma menjadi sosok yang sangat cantik. Tak lagi suka menangis walaupun dikerjai olehnya. Kulitnya sekarang bersih, Dean bisa lihat dari pergelangan tangan gadis itu yang putih. Wajahnya juga cerah dan siapapun yang melihatnya akan merasakan ketenangan. "Terserah kamu aja."

Mobil merah itu melambat dan berbelok ke sebuah restoran ayam bakar. Dian memarkirkannya agak kesulitan karena tempat parkir yang lumayan penuh. Dan Dean kali ini bertindak seperti penjaga parkir, menginstruksikan arah mana yang harus Dian ambil.

"Aku mau ke mushola dulu, Kak." ujar Dian setelah selesai melepaskan sabuk pengaman. Gadis itu lalu membuka pintu.

Dean hanya menjawab dengan anggukan. Setelahnya ikut turun dari mobil.

×

Dua porsi ayam bakar lengkap dengan nasi putih dan lalapan serta sambal sudah tersaji di atas meja. Dian juga sudah kembali dari mushola. Mereka berdua makan dengan tenang sampai Dean tak tahan dengan keheningan itu. Dia memulai obrolan. "Dek, soal yang waktu itu ...." Ada jeda sejenak, Dean menunggu reaksi Dian. "Kakak serius."

Dian melihat Dean sekilas, tapi tak menjawab karena gigi-giginya masih mengunyah.

"Waktu Kakak mau nungguin kamu." sambung Dean lagi, dia memang tidak sabaran.

Uhuk.

Gadis itu tersedak nasi dan sambal yang baru akan ditelannya. Ia raih gelas es teh manisnya dan meneguknya cepat. Tenggorokannya terasa perih.

"Kak Dean beneran mau nungguin Dian?" tanya gadis itu belum percaya. Ia mencelupkan tangan kanannya ke dalam air kobokan.

Dean mengangguk, ia jeda acara makannya. 

"Tapi Dian masih kuliah. Dan nanti masih mau lanjut S2."

"Ya, nggak pa-pa." tukas Dean santai. Ia mulai lagi menyuap nasi dan sesuir ayam yang sudah dicocol sambal.

"Berarti Kak Dean bakal jadi Om-om dong."

Uhuk.

Gantian Dean yang tersedak. Batuknya bahkan lebih parah dari Dian tadi.

Dian menyodorkan minuman Dean. Ia agak meringis melihat Dean yang sepertinya sangat kaget dan merasa kesakitan di tenggorokannya. Dia tadi tidak salah bicara 'kan. Dean adalah sahabat Arya, kakak lelakinya itu bahkan sudah mau punya anak dua. Raka yang menikah dua tahun yang lalu itu juga sudah mau memiliki anak. 

Dean berdehem sebentar demi menguasai kontrol dirinya sendiri. "Ya, asal kamu mau sama Om-om ganteng kayak aku." sahutnya percaya diri. Dia tidak bohong, Dean memang ganteng. Wajahnya khas jawa, tapi aliran darah dari ayahnya yang berasal dari Norwegia membuatnya memiliki paras yang rupawan. Hidungnya mancung walau tak lebih mancung dari Raka. Alisnya juga tebal. Rambutnya di cat agak merah kecoklatan dengan potongan rapi ala pria mapan jaman sekarang. Walau rahangnya tak kaku dan terkesan sangat tegas macam Arya, tapi wajahnya tak akan membosankan bila dipandang. Badannya agak berisi, ya, karena dia mudah sekali menjadi gemuk. Tapi masih dalam batas wajar karena Dean rutin berolahraga.

Dian menunduk, dalam hati bertepuk tangan atas ke-pe-de-an Dean. Gadis itu sejujurnya tidak mati rasa pada salah satu sahabat kakaknya itu. Memang sejak dulu Dean sering sekali menjahilinya dan lama-kelamaan Dian juga sudah merasa biasa. Saking terbiasanya hingga dia sudah menganggap Dean seperti kakaknya sendiri. Sama seperti halnya ia menganggap Elyas dan Raka. 

"Kak." Dian mengangkat wajahnya. Dia menatap Dean dengan teduh. "Aku masih kuliah. Aku bahkan belum mikirin tentang pasangan. Aku masih mau lanjut ambil spesialis anak. Dan itu nggak sebentar, Kak. Maaf... aku nggak bisa." Gadis itu mengembuskan napas teratur. Melihat Dean yang menjadi kaku. Dian lalu mengangguk. "Engg... Aku pulang dulu, ya, Kak. Terima kasih udah ngajarin aku nyetir mobil. Aku doain yang terbaik untuk Kakak." Setelahnya, Dian beranjak tanpa memikirkan nasi dan ayam yang masih tersisa di piringnya. Menuju kasir untuk membayar dan pergi.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Maia Kasbah
kak, covernya kok sama persis sama ceritKu yg di kbm ya. semoga aja ini kebetulan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status