Baru saja mendapatkan penolakan dari sang pujaan hati, Dean Giriandra yang patah hati malah dipertemukan dengan seorang gadis pilihan mendiang ayahnya. Butuh pelampiasan, lelaki itu akhirnya menyetujuinya. Namun, ternyata pernikahan tak semudah bayangannya. Perempuan yang dipilih sang ayah rupanya bukan perempuan sembarangan.
View MoreAisha Dianitha Pramono.
Batin Dean melonjak senang saat indera penglihatannya menangkap sosok pemilik nama itu. Ia buru-buru menuruni tangga agar bisa cepat sampai di ruang televisi. Sudah dua hari ia berkeliaran di rumah Arya karena sedang membuat kamar untuk Gibran, anak baru di rumah sahabatnya itu. Tak disangka-sangka, hari ini Dian datang ke rumah ini.
"Jadi nggak bisa nih, Mas?"
Dian terlihat merajuk dan Dean merasa suara rajukan Dian seperti alunan lagu di telinganya.
"Nggak bisa, Dek. Di rumah lagi ada yang kerja." jawab Arya. Bapak itu terlihat sibuk dengan dua anaknya. "Kenapa nggak ke tempat belajar nyetir aja. Bayar paling berapa?"
"Nggak mau, Mas. Nggak berani."
Dean yang sampai di ruang televisi itu lalu duduk tanpa diperintah. Duduk di sofa yang lain dari Dian duduk. Sengaja, agar dia bisa melihat wajah ayu Dian dengan leluasa. "Ada apa, sih?" tanyanya kepo.
"Kepo kayak dora." gumam Arya dan mendapat lirikan maut dari Dean.
Dian terlihat cemberut. Ia bersedekap dan duduk menyandar pada punggung sofa. "Pengen belajar nyetir, Kak. Tapi Mas Arya ternyata nggak bisa ngajarin." ujar gadis itu menyahuti ucapan Dean. Sebenarnya tak ingin, tapi tak sopan jika dia mengabaikan. Dian masih merasa agak canggung jika bertemu dengan salah satu sahabat kakaknya itu.
"Kakak bisa kok ngajarin." seru Dean, semangat. "Nyetir mobil 'kan?"
Dian menoleh pada Dean. Menimbang-nimbang sebentar apa dia minta tolong saja pada Dean? Sebenarnya, ayahnya sudah mengajarinya dua kali. Tapi dia masih merasa kurang dan belum yakin jika harus membawa mobil sendiri.
"Heh, kerjaan Lo emang udah selesai?" tanya Arya yang mendengar penuturan Dean. Bisa-bisanya pria itu ingin lari dari tanggung jawab.
"Dikit lagi beres. Jojo sama Nisa juga bisa." jawab Dean yang menyebut nama rekannya dalam mendesain kamar untuk Gibran. Bukan dengan Raka karena bosnya itu tidak butuh uang tambahan. Sejujurnya Dean juga tak begitu butuh karena lebih baik hari akhir pekannya ia habiskan untuk istirahat. Tapi, dia merasa sungkan jika menolak. Raka bisa beralasan jika Tiara, istrinya itu sedang tidak mau ditinggal karena sedang hamil muda. Lah, kalau dia harus beralasan apa.
"Nggak ngrepotin, nih, Kak?" tanya Dian tak enak hati. Ingin menolak, tapi dia juga tidak mungkin menyia-nyiakan bantuan dari Dean. Gadis itu sudah ingin sekali bisa menyetir sendiri. Dan semangatnya sore ini sedang sangat membara.
"Ya nggak lah. Ayo sekarang aja, keburu sore." ajak Dean lalu beranjak bangun dari tempatnya duduk. Pria itu naik ke lantai atas dimana dua rekannya masih bekerja. Ingin pamitan dulu.
×
"Udah Magrib, cari makan dulu, Di ...."
Dian menoleh ke samping kirinya, hanya sekilas. Dahinya mengernyit. Dimana-mana kalau waktu Magrib itu yang dicari Masjid, bukan makanan.
Mereka sudah berputar-putar di jalan raya. Dian termasuk pintar dan cara menyetirnya juga sudah lumayan lancar. Dean bahkan tadi sempat tertidur sesaat. Dasar pengajar tak bertanggung jawab memang.
"Mau makan di mana, Kak? Nanti Dian traktir deh, itung-itung balas jasa Kak Dean udah ngajarin nyetir dan minjemin mobil. Cari tempat yang ada musholanya, ya." seru Dian tanpa menoleh dan memilih fokus pada jalanan.
Dean yang semenjak tadi melihat ke arah Dian, hanya tersenyum. Ini kali pertama gadis itu bicara cukup panjang padanya. Gadis kecil yang dulu ingusan dan dekil itu kini menjelma menjadi sosok yang sangat cantik. Tak lagi suka menangis walaupun dikerjai olehnya. Kulitnya sekarang bersih, Dean bisa lihat dari pergelangan tangan gadis itu yang putih. Wajahnya juga cerah dan siapapun yang melihatnya akan merasakan ketenangan. "Terserah kamu aja."
Mobil merah itu melambat dan berbelok ke sebuah restoran ayam bakar. Dian memarkirkannya agak kesulitan karena tempat parkir yang lumayan penuh. Dan Dean kali ini bertindak seperti penjaga parkir, menginstruksikan arah mana yang harus Dian ambil.
"Aku mau ke mushola dulu, Kak." ujar Dian setelah selesai melepaskan sabuk pengaman. Gadis itu lalu membuka pintu.
Dean hanya menjawab dengan anggukan. Setelahnya ikut turun dari mobil.
×
Dua porsi ayam bakar lengkap dengan nasi putih dan lalapan serta sambal sudah tersaji di atas meja. Dian juga sudah kembali dari mushola. Mereka berdua makan dengan tenang sampai Dean tak tahan dengan keheningan itu. Dia memulai obrolan. "Dek, soal yang waktu itu ...." Ada jeda sejenak, Dean menunggu reaksi Dian. "Kakak serius."
Dian melihat Dean sekilas, tapi tak menjawab karena gigi-giginya masih mengunyah.
"Waktu Kakak mau nungguin kamu." sambung Dean lagi, dia memang tidak sabaran.
Uhuk.
Gadis itu tersedak nasi dan sambal yang baru akan ditelannya. Ia raih gelas es teh manisnya dan meneguknya cepat. Tenggorokannya terasa perih.
"Kak Dean beneran mau nungguin Dian?" tanya gadis itu belum percaya. Ia mencelupkan tangan kanannya ke dalam air kobokan.
Dean mengangguk, ia jeda acara makannya.
"Tapi Dian masih kuliah. Dan nanti masih mau lanjut S2."
"Ya, nggak pa-pa." tukas Dean santai. Ia mulai lagi menyuap nasi dan sesuir ayam yang sudah dicocol sambal.
"Berarti Kak Dean bakal jadi Om-om dong."
Uhuk.
Gantian Dean yang tersedak. Batuknya bahkan lebih parah dari Dian tadi.
Dian menyodorkan minuman Dean. Ia agak meringis melihat Dean yang sepertinya sangat kaget dan merasa kesakitan di tenggorokannya. Dia tadi tidak salah bicara 'kan. Dean adalah sahabat Arya, kakak lelakinya itu bahkan sudah mau punya anak dua. Raka yang menikah dua tahun yang lalu itu juga sudah mau memiliki anak.
Dean berdehem sebentar demi menguasai kontrol dirinya sendiri. "Ya, asal kamu mau sama Om-om ganteng kayak aku." sahutnya percaya diri. Dia tidak bohong, Dean memang ganteng. Wajahnya khas jawa, tapi aliran darah dari ayahnya yang berasal dari Norwegia membuatnya memiliki paras yang rupawan. Hidungnya mancung walau tak lebih mancung dari Raka. Alisnya juga tebal. Rambutnya di cat agak merah kecoklatan dengan potongan rapi ala pria mapan jaman sekarang. Walau rahangnya tak kaku dan terkesan sangat tegas macam Arya, tapi wajahnya tak akan membosankan bila dipandang. Badannya agak berisi, ya, karena dia mudah sekali menjadi gemuk. Tapi masih dalam batas wajar karena Dean rutin berolahraga.
Dian menunduk, dalam hati bertepuk tangan atas ke-pe-de-an Dean. Gadis itu sejujurnya tidak mati rasa pada salah satu sahabat kakaknya itu. Memang sejak dulu Dean sering sekali menjahilinya dan lama-kelamaan Dian juga sudah merasa biasa. Saking terbiasanya hingga dia sudah menganggap Dean seperti kakaknya sendiri. Sama seperti halnya ia menganggap Elyas dan Raka.
"Kak." Dian mengangkat wajahnya. Dia menatap Dean dengan teduh. "Aku masih kuliah. Aku bahkan belum mikirin tentang pasangan. Aku masih mau lanjut ambil spesialis anak. Dan itu nggak sebentar, Kak. Maaf... aku nggak bisa." Gadis itu mengembuskan napas teratur. Melihat Dean yang menjadi kaku. Dian lalu mengangguk. "Engg... Aku pulang dulu, ya, Kak. Terima kasih udah ngajarin aku nyetir mobil. Aku doain yang terbaik untuk Kakak." Setelahnya, Dian beranjak tanpa memikirkan nasi dan ayam yang masih tersisa di piringnya. Menuju kasir untuk membayar dan pergi.
Bersambung.
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments