Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."
Alya Savira Wiryawan.
Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.
Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.
Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.
Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Aisha Dianitha Pramono.Batin Dean melonjak senang saat indera penglihatannya menangkap sosok pemilik nama itu. Ia buru-buru menuruni tangga agar bisa cepat sampai di ruang televisi. Sudah dua hari ia berkeliaran di rumah Arya karena sedang membuat kamar untuk Gibran, anak baru di rumah sahabatnya itu. Tak disangka-sangka, hari ini Dian datang ke rumah ini."Jadi nggak bisa nih, Mas?"Dian terlihat merajuk dan Dean merasa suara rajukan Dian seperti alunan lagu di telinganya."Nggak bisa, Dek. Di rumah lagi ada yang kerja." jawab Arya. Bapak itu terlihat sibuk dengan dua anaknya. "Kenapa nggak ke tempat belajar nyetir aja. Bayar paling berapa?""Nggak mau, Mas. Nggak berani."Dean yang sampai di ruang televisi itu lalu duduk tanpa diperintah. Duduk di sofa yang lain dari Dian duduk. Sengaja, agar dia bisa melihat wajah ayu Dian dengan leluasa. "Ada apa, sih?" tanyanya kepo."Kepo kayak dora." gumam Arya dan mendapat lirikan maut dari D
Seperti paku berdiri yang dipukul palu. Dean terpaku di tempatnya duduk. Alunan nada dari Dian kali ini sungguh menyayat hati.Apa tadi?Masih ingin kuliah.Belum memikirkan pasangan.Sudah dianggap seperti kakaknya sendiri.Perlahan kesadaran Dean mulai merayapi. Ujung bibirnya sedikit naik. Masih tak percaya akan penolakan itu. Dia ditolak mentah-mentah oleh Dian.Dean sangat sadar dengan ucapannya. Dia juga tahu jika Dian pasti lebih mementingkan pendidikannya. Tapi, Dean juga tidak pernah main-main. Andai Dian menjawab iya, maka dia akan menunggu se-lama apapun sampai gadis itu siap.×Mobil merah itu berhenti di pinggir jalan depan rumah. Dean tidak bisa membawanya masuk ke halaman rumah karena sedang ada mobil lain terparkir di sana. Mungkin ibunya sedang mendapat tamu. Masih lemah dan lunglai, pria itu keluar dari kendaraannya itu. Dia tadi tidak kembali ke rumah Arya. Dia langsung pulang ke rumahnya sendiri.Tepa
Dean memijit kepalanya yang seketika merasa pening. Ternyata bukan ibunya yang dilamar. Tapi, dia sendiri. Sudah 2020, pihak wanita yang melamar pihak lelaki itu tak masalah. Itu namanya emansipasi."Om ini hanya menyampaikan amanat Almarhum bapakmu. Kalau kamu mau ya syukur, kalau tidak, ya tidak apa-apa." Pria tua bernama Om Dedi itu ikut bersuara. "Jaman sekarang mana ada yang mau dijodohkan. Pasti Nak Dean juga sudah punya pacar."Pacar dari hongkong. Yang mau diseriusin aja udah kabur duluan Om. Dean menjawab dalam hati, miris."Dean belum punya pacar kok." Tiba-tiba Ibu Lis yang menjawab. Beliau masih tersenyum pada tamunya itu."Oh ya. Ha ha ha ...."Bang***. Maki Dean dalam hatinya lagi. Dia ditertawakan bapak-bapak ini. "Ehm, gini Om. Maaf, bukan maksud saya mau menolak atau ....""Biar mereka ketemu dulu aja, Mas Ded. Urusan iya atau tidak itu nanti belakangan. Biasanya kalau sudah saling ketemu, yang awalnya nggak mau bisa jadi ma
Ibu Lis adalah orang yang tak suka dibantah. Begitu pula dengan Dean. Tapi, lelaki itu tak akan bisa membantah sang ibu jika beliau sudah mengeluarkan perintah. Seperti siang ini, seperti anak kecil yang akan mendapat hukuman jika tak mau menuruti ucapan ibunya. Dean sudah duduk malas di sebuah cafe bersama seorang perempuan yang katanya anak Om Ded-ded itu. Alya Savira."Jadi, apa alasan lo nerima perjodohan ini?" tanya Dean setelah basa-basi mereka yang benar-benar basi. Alya bilang dia akan menerima perjodohan itu. Gampang sekali dia.Alya menoleh sekilas pada pria itu. Punggungnya masih bersandar dan kedua tangannya masih bersedekap. "Ya... Cuma biar ganti status aja. Lagian lo juga nggak buruk rupa." jawabnya santai. Gadis itu tak berniat menyeruput kopinya lagi.Dean berdecak dalam hati. Perempuan ini cocok sekali dengan sang ibu. Buruk rupa? Hah?"Bokap gue udah tua. Dia minta gue cepet-cepet nikah." sambung Alya.Dean melirik Alya sekilas.
Entah ungkapan apa yang tepat untuk menggambarkan situasinya saat ini. Dean merasa seperti tercekik. Isi kepalanya sudah penuh dengan rencana untuk membalas Alya. Tapi semuanya buyar saat ada Dian. Adik sahabatnya itu masih menguasai hatinya. Sejak tadi pria itu memilih diam dan fokus pada kemudinya. Alya yang duduk di sampingnya santai saja memainkan gawai. Gadis itu tadi sempat bercengkrama sebentar dengan Dian yang duduk di belakang.Mobil berhenti di pinggir jalan di depan sebuah rumah bernuansa klasik. Tak begitu besar karena pagarnya tak cukup tinggi dan Dean bisa melihat Om Ded-Ded itu di teras bersama seorang wanita, mungkin istrinya. Oh, berarti Om Ded-Ded itu tidak single."Mampir dulu, Nak." seru Om Ded-Ded itu dari tempatnya duduk.Dean akhirnya keluar untuk sekadar menyapa pria tua itu. Dia tidak mau dianggap tidak memiliki sopan santun. Dean meninggalkan Dian sendirian di dalam mobil.Tegur sapa itu hanya sebentar karena Dean beralasan harus
Tak langsung ke kamarnya saat ia sampai di rumah. Dean memilih naik ke kamar adik bungsunya, Lintang. Dia tadi langsung kabur setelah terjadi prahara di rumah Arya. Kinan dan Tiara ngambek kepada suami-suaminya. Sukurin, salah siapa menantang duluan."Dek, udah tidur?" tanyanya setelah mengetuk pintu itu dua kali."Belum, Kak." Terdengar jawaban dari dalam."Kakak boleh masuk?" tanya Dean lagi."Iya, Kak. Nggak dikunci kok."Dean membuka pintu itu. Melangkah masuk dan duduk di atas tempat tidur Lintang. Melihat adiknya yang masih sibuk belajar di meja belajarnya. "Gimana temenmu?"Lintang menoleh sebentar. "Iya, udah aku telpon tadi. Katanya juga mau ke toko buku. Udah sampai rumah kalau sekarang."Dean melongo, tapi dia masih bisa menutupi keterkejutannya. Kok bisa sama begitu. Dia tadi kan hanya mengarang saja.×××Ibu Lis dan Om Ded-Ded itu memang orang yang gercep sekali. Kini mereka semua sudah ada
"Turunin gue di depan situ aja."Dean menoleh ke samping kirinya. Melihat Alya yang menunjuk ke arah pinggir jalan. Mereka pulang berdua dengan dalih akan mencari baju pengantin. Berdua saja karena mereka tak mau diganggu. Pria itu sebenarnya heran dengan maksud Alya, tapi dia menepikan mobilnya juga."Gue tahu kalau lo lagi sibuk. Biar gue aja yang cari bajunya. Percaya sama gue, selera gue bagus." ucap Alya seraya melepaskan sabuk pengaman yang membelit badannya. Ia lalu membuka pintu.Dean mengangguk saja. Toh apa yang dikatakan Alya itu memang benar. Eh, tapi bagaimana bisa gadis itu tahu jika dia sedang sibuk. Apa memang kentara sekali jika dia sesibuk itu?×Pukul setengah empat sore, rapat dengan klien besar itu sudah selesai. Raka bilang dia boleh langsung pulang dan tak perlu kembali ke kantor. Katanya si bos itu juga akan langsung pulang. Kangen pada istri dan calon bayi kembar mereka begitu ucapnya. Dean bisa melihat dengan jelas k