Share

Kerasnya Hidup

Seperti paku berdiri yang dipukul palu. Dean terpaku di tempatnya duduk. Alunan nada dari Dian kali ini sungguh menyayat hati.

Apa tadi?

Masih ingin kuliah.

Belum memikirkan pasangan.

Sudah dianggap seperti kakaknya sendiri.

Perlahan kesadaran Dean mulai merayapi. Ujung bibirnya sedikit naik. Masih tak percaya akan penolakan itu. Dia ditolak mentah-mentah oleh Dian.

Dean sangat sadar dengan ucapannya. Dia juga tahu jika Dian pasti lebih mementingkan pendidikannya. Tapi, Dean juga tidak pernah main-main. Andai Dian menjawab iya, maka dia akan menunggu se-lama apapun sampai gadis itu siap.

×

Mobil merah itu berhenti di pinggir jalan depan rumah. Dean tidak bisa membawanya masuk ke halaman rumah karena sedang ada mobil lain terparkir di sana. Mungkin ibunya sedang mendapat tamu. Masih lemah dan lunglai, pria itu keluar dari kendaraannya itu. Dia tadi tidak kembali ke rumah Arya. Dia langsung pulang ke rumahnya sendiri.

Tepat saat ia menutup pintu mobilnya, ada seorang gadis yang lewat di sampingnya. Berjalan menunduk sambil memainkan gawai. "Baru pulang, Win?" tanya Dean. Sudah biasa seperti itu pada salah satu penghuni kontrakan di belakang rumahnya. Gadis itu masih memakai rok span hitam sebatas lutut dan jaket yang resletingnya tak ditarik hingga memperlihatkan atasan kemeja warna biru muda. Seragam kerjanya.

"Eh." Gadis itu mendongak dan mencari-cari sumber suara. "Iya, Kak." jawabnya sambil tersenyum ramah.

"Kalau lagi jalan jangan main ha-pe. Harus fokus." Sambil berucap, Dean menggerakkan dua jarinya menunjuk matanya sendiri lalu beralih ke mata gadis itu. 

Gadis itu terkekeh pelan. "Iya, Kak. Siap." jawabnya seraya berpura-pura hormat pada Dean. "Wina masuk dulu, ya, Kak."

Dean mengangguk. "Udah makan kamu?" tanyanya hingga gadis bernama Wina itu berhenti melangkah.

Gantian Wina yang mengangguk. "Udah kok, Kak." jawabnya. Sudah biasa Dean bertanya seperti itu kepadanya.

Dean mengacungkan jempolnya. "Bagus. Inget, hidup ini keras. Jangan lupa makan biar selalu kuat."

Bibir Wina mencebik. "Huu, basi."

Dean dan Wina memang sudah akrab. Sejak Wina kecil, dia sudah tinggal di kontrakan milik ibunya Dean. Wina seumuran dengan adiknya Dean yang terakhir. Tak jarang Wina juga main di rumah Dean. Saat ayahnya Wina meninggal, Dean dan adiknya lah yang selalu menghibur gadis itu.

Hidup ini keras. Kamu harus makan biar kuat. Nggak cukup kalau nangis doang.

Begitu ucap Dean ketika ayah Wina meninggal. Maka ketika Dean mengucapkan itu dan itu lagi, Wina sudah terbiasa.

Tak mau berlama-lama di luar. Dean hendak masuk ke rumahnya lewat pintu samping, tapi ternyata ibunya sudah menunggunya di teras. Lewat isyarat tangannya, wanita itu memanggil anak lelakinya. "Ada yang mau ketemu sama kamu."

Dean mengernyit. Tamu, siapa?

Ibunya Dean, Ibu Lis menuntun anak pertamanya itu masuk ke rumah. Di ruang tamu ada seorang lelaki paruh baya, mungkin lebih tua dari ibunya, yang duduk dengan tenang. Pria itu tersenyum senang melihat kedatangan Dean.

"Rajin sekali kamu, Nak. Akhir pekan masih ambil pekerjaan." ucap pria itu saat Dean mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Dean hanya mengangguk dan memaksakan senyum. Dalam hati masih bertanya-tanya. Apa pria ini datang untuk melamar ibunya? Kelihatannya pria tua itu juga single. Ibunya juga terlihat bahagia sekali malam ini.

Oh ya, ngomong-ngomong tentang pekerjaan akhir pekan. Tentu Dean tidak setulus hati melakukan itu. Ada niat terselubung memang ketika ia mengiyakan permintaan Arya. Dian adiknya Arya. Kemungkinan besar gadis itu akan main ke rumah kakaknya. Jadi Dean bisa melihat pujaan hatinya lagi. Dan memang benar perkiraannya itu. Hanya saja endingnya yang tak sesuai keinginan.

"Ini Om Dedi. Kamu inget?" tanya Ibu Lis seraya tersenyum dan menatap anak lelakinya yang lebih tinggi itu.

Dean menggeleng. Dedi siapa? Dedi Corbuzier? Dedi Cagur? Dedi Sembako?

Ibu Lis seperti terlupa jika mereka masih dalam posisi berdiri. Pria tua itu bahkan juga ikut berdiri saat bersalaman dengan Dean. Beliau lalu mengajak semuanya duduk. "Om Dedi temennya Almarhum Ayah."

Agak lama Dean menatap ibunya. Alis ibunya sudah menukik-nukik naik. Akhirnya Dean mengangguk, padahal dia tidak ingat sama sekali dengan pria tua ini. Dean sedang tidak ingin memikirkan hal apapun. Hidupnya saat ini seperti telur ayam yang terinjak dan pecah. Dan gadis bernama Aisha Dianitha Pramono lah yang melakukan itu.

Ibu Lis tersenyum bahagia. Malam ini terlihat sangat cantik. Beberapa helai rambut putih yang dibiarkan memanjang itu tak berpengaruh sama sekali. Beliau pikir Dean benar-benar ingat siapa itu Om Dedi. "Jadi, Nak. Ternyata Ayahmu dulu sama Om Dedi ini pernah ada niat mau menjodohkan kamu sama Alya, anaknya Om Dedi."

What?

Apa?

Ige mwoya?

Dijodohkan?

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status