Indira masih menggenggam tangan Fajar, mereka sudah berada didalam rumah dengan Dian yang menemani mereka berdua di ruang keluarga. Tidak ada yang membuka suara sama sekali, menatap Fajar yang tampak menetralkan perasaannya, bisa terasa dari genggaman tangan yang dipegang Indira.
“Ibu ke dapur mau masak, Indira disini dulu temani Fajar.” Indira hanya menganggukkan kepalanya.Tangan Indira yang bebas bergerak di wajah Fajar, membelainya secara perlahan membuat Fajar memejamkan matanya seakan menikmati sentuhan yang diberikan. Melihat Fajar menikmatinya membuat gerakan pelan dengan pijatan lembut, pertengkaran tadi pastinya membuat Fajar lelah dan terkuras emosinya jadi setidaknya pijatan kecil ini bisa membuat Fajar tenang.“Melda, dia mantanku.” Fajar membuka suaranya tanpa membuka mata.“Kemarin itu berarti kakaknya Melda?” tanya Indira yang diangguki Fajar “Kenapa mereka sampai segitunya, kak? Kalau belum bisa jawab aku paham.”Fajar me“Jadi benaran wanita ular itu datang ke rumah?” tanya Ryan sekali lagi.“Kamu masih bisa dengar, kan? Mau diulang berapa kali?” Indira memutar bola matanya malas.“Aku akan jaga kamu lebih ketat.” Indira memutar bola matanya malas “Jangan jauh-jauh.”Kedatangan Melda memang membuat Fajar semakin tidak tentu, meminta Ryan menjaganya penuh. Indira sudah beberapa kali meyakinkan Fajar jika tidak akan terjadi sesuatu, tapi Fajar tidak mau mendengarkan untuk kali ini dan berakhir dengan Indira yang hanya bisa menerima semua permintaan dia.“Mas Fajar sudah balik?” Indira menganggukkan kepalanya “Pulang sama aku ya.” Indira sekali lagi menganggukkan kepalanya.Kuliah berjalan sebagaimana pada umumnya, tidak ada kejadian yang seperti sebelumnya. Indira tidak tahu apa yang Fajar katakan pada Retno, tapi setidaknya dosen satu itu tidak melakukan hal aneh pada dirinya. Pembicaraan tentang dirinya yang disebarkan Lia tidak berdampak apapun, memang a
“In, dipanggil sama Pak Noto.”Sejak kejadian dua hari lalu sudah beberapa kali menghadap ke dosen, terutama Noto dan Hadi. Indira sampai bosan bertemu dengan mereka, bertanya hal yang sama tentang keadaannya. Tidak mau membuat dosennya menunggu memilih ke ruangannya dengan langkah malasnya, masuk kedalam ruangan khusus dekan yang tampaknya tidak ada siapapun.TOK TOK“Masuk.”Membuka pintu, pemandangan pertama yang dilihatnya adalah tiga orang berada didalam satu ruangan. Noto, Hadi dan Retno. Indira menatap bingung dengan keberadaan mereka bertiga, melalui kode Noto meminta Indira duduk disalah satu kursi yang tampaknya sudah disediakan oleh mereka.“Apa mantannya Fajar nggak menemui kamu lagi?” Noto langsung pada inti permasalahan.“Sampai hari ini nggak sih, Pak. Nggak tahu lagi kalau nanti atau malam.” Indira menjawab bingung.“Fajar tahu kedatangan mantannya? Kamu yang cerita?” Retno bertanya langsung membuat Indir
Kondisi badannya tidak baik-baik saja sejak kemarin, menghadapi dosen dan tamparan yang dilakukan Melda sempat membuat Indira pusing tapi bisa ditahannya. Keluar dari kamar dalam keadaan berantakan, pakaian tidurnya masih terpasang dengan cara berantakan. “Kamu itu kalau keluar cuci muka dulu,” tegur Nuri yang tidak dihiraukan Indira “Masih panas.” Nuri menurunkan tangannya dari kening Indira “Pak Diman dipakai sama Bagas.”“Ya,” ucap Indira malas.“Kamu lihat sendiri gimana Indira, yakin masih mau sama dia?” Indira mengalihkan pandangan kearah papanya yang berbicara, membelalakkan matanya saat melihat siapa yang ada di meja makan dan bergabung bersama untuk sarapan. Beranjak dari tempatnya dan langsung kembali kedalam kamar, penampilannya benar-benar berantakan dan Fajar melihat semuanya.Memilih masuk kedalam kamar mandi, membersihkan diri dengan kecepatan penuh dan langsung menggunakan pakaian yang layak, jaga-jaga Fajar mengajak kel
Tidak lagi memikirkan masalah dengan Melda, kedatangan Fajar yang menceritakan semuanya membuat Indira tahu harus berbuat apa, walaupun sebelum kedatangan Melda ke kampus sudah tahu masalah sebenarnya. Wanita itu tiba-tiba menghilang setelah Indira bicara pada saat itu, Fajar sendiri tidak tahu tentang keberadaan Melda.Setidaknya untuk saat ini masalah Melda bukan hal utama, hal ini membuat Fajar kembali ke pusat tanpa ada masalah diantara mereka berdua. Pembicaraan tentang pernikahan berakhir dengan mengambang, tidak ada jawaban yang Indira berikan tentang pernikahan mereka.“Dio kemana?” tanya Clara saat mereka sudah di perpustakaan.“Acara sinema, tugasnya udah dikasih ke aku dan udah aku cek juga.” Indira menjawab tanpa menatap Clara.“Kamu tu jangan mau di begoin sama Dio, masalah tugas selalu kamu yang menyelesaikan.” Clara selalu mengomel jika membahas tentang Dio “Jangan bilang dia nggak ngerjain? Kamu nutupin dia?”“Dio ngerjain
“Dio sama Nia putus.” Indira menatap tidak percaya dengan berita yang dikatakan Mala “Kenapa putus? Bukan karena aku, kan?”“Gimana-gimana? Kenapa kamu mikirnya kearah sana? Jangan bilang ada hubungannya sama...”Indira langsung menggelengkan kepalanya “Nggak usah mikir macam-macam, Mas Romi kemana? Ikut, kan?” mengalihkan perhatian Mala.“Ruang BEM sama Mas Jonathan dan Mas Wahyu. Aku dengar IPnya Lia bagus kemarin.” Mala tetap dengan tujuan pembicaraannya. “Bagus deh.” Indira tidak mau membahas tentang nilai semester kemarin yang hasilnya buat kepalanya pusing, tidak membuka hasilnya pada Fajar karena terlalu malu. Permasalahan yang kemarin dialaminya membuat Indira benar-benar tidak fokus sama sekali, setidaknya itu yang dialaminya selama beberapa bulan belakangan ini.“In, serius tanya kenapa kamu mikir begitu tentang Nia sama Dio?” “Aku malas bahas, Mal. Nggak penting dan aku nggak tahu banyak.”
Psycho camp, Indira sudah bisa dipastikan tidak ikut dan sebagai gantinya Fajar yang melakukan untuk menggantikannya. Padahal Indira sama sekali tidak pernah membicarakan masalah itu pada Fajar, tapi sepertinya memang keinginan Fajar sendiri.Satu bulan sudah kehadiran anak-anak baru, bagi angkatan Indira mereka menggemaskan dan menjengkelkan disaat bersamaan. Semua karena Dito yang mengatakan jika anak-anak baru tidak mau mencontoh angkatannya yang tidak dekat satu sama lain, perkataan Dito membuat mereka melakukan kedekatan satu sama lain sejak orientasi.“Semua karena Dito memang.” Mala mengatakan penuh emosi “Oh ya, Nia gimana?” menatap Indira yang hanya mengangkat bahu “Dia juga ngapain dengerin kata-kata tu cewek.”“Udah, aku mau kelas.” Indira berdiri meninggalkan Mala yang masih emosi.Melangkahkan kakinya ke kelas Psikologi Industri, sudah tidak bisa bersama dengan teman-temannya yang lain karena sudah mulai dibagi dengan fokus mereka. In
Saat ini yang ingin Indira lakukan adalah memukul Wahyu, melihat perubahan ekspresi wajah Fajar sudah mulai tampak menahan emosi. Memberi kode pada Wahyu untuk meninggalkan mereka berdua, tapi tampaknya Wahyu seakan tidak peduli dengan mengajak Fajar berbicara tentang hal lain yang mereka akan lakukan. Indira yang melihat itu memilih meninggalkan mereka menuju salah satu stand yang ada di kantin membeli minuman untuk mereka bertiga, langkahnya terhenti ketika Fariz memanggilnya Dan membuat Indira melangkah kearahnya.“Masalah yang surat itu.....”“Aku minta maaf, nggak bisa membalas perasaanmu.” Indira langsung memotong kata-kata Fariz.“Aku paham.” Fariz tersenyum kecil “Lagian aku pasti kalah jauh dibandingkan Mas Fajar.”Memilih tidak menjawab dan langsung berpamitan untuk kembali ke tempat dimana Fajar dan Wahyu berbicara, bergabung bersama dengan mereka berdua sambil memainkan ponselnya. Pesanan yang dipesannya datang tapi tidak men
“Sayang, ada yang mau ketemu.” Indira menatap bingung kearah mamanya, Nuri. Menatap jam yang ada di dinding dengan tatapan tanda tanya, membuka ponselnya barangkali ada yang dilupakan, tapi tidak ada satupun pesan yang masuk bahkan termasuk Dio.“Memang siapa, ma?” tanya Indira akhirnya.“Melda, kekasihnya Fajar katanya. Memang Fajar punya pacar? Jangan bilang kalau kamu yang merusak hubungan mereka.” Nuri memberikan tatapan tajam.Indira menggelengkan kepalanya “Masa lalu Kak Fajar.”“Cewek yang Fajar bilang ke papa?” Indira menganggukkan kepalanya “Mau apa dia?” Indira mengangkat bahunya “Mama usir gimana?”“Gimana kalau mama rekam pembicaraan kita?” Indira menatap penuh harap pada Nuri, mamanya.“Boleh, gimana caranya? Memang yakin dia akan berhenti melakukan itu semua?” Nuri menatap penuh keraguan.“Kita belum tahu kalau tidak mencobanya, jadi mama mau?” Nuri langsung menganggukkan kepalanya.Indir