Steve dan Maria dituntun oleh seorang suster jaga yang mendapat tugas untuk mendampingi dokter Gilsha. Pelayanan mereka ramah dan sopan.
“Silahkan duduk,” dokter Gilsha mempersilahkan Steve dan Maria untuk duduk pada kursi konsultasi.
Dokter Gilsha membuka resume Maria, ia baca lamat—lamat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Maria merasa deg degan karena ini hal pertama baginya.
“Rileks aja ya Bu Maria,”
“Oke bu dokter,” balas Maria dengan senyum kikuk.
“Ibu sudah periksa pake test pack ya?”
“Ya bu dokter, pagi ini saya periksa dengan urine pertama bu dokter. Saya pernah baca artikel, kata penulisnya urine pertama di pagi hari bisa jadi acuan akurat.”
Dokter Gilsha mengembangkan senyum seraya mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh Maria. Steve hanya mendengarkannya saja.
“Betul ibu. Tapi saya salut karena ibu dan bapak bergerak cepat untuk memeriksakannya ke dokter kandungan. Oke, silahkan ibu naik ke brankar ya saya periksa.”
Maria mengangguk paham, segera ia berdiri lalu berjalan. Steve tiba—tiba panik, “Bapak boleh bantu istrinya untuk naik ke brankar ya.” ujar dokter Gilsha pada Steve.
“Baik dokter,” Steve langsung memapah Maria untuk menaiki ranjang brankar.
Dokter Gilsha mengoleskan gel, teksturnya seperti aloe vera. Gel itu dioleskan ke seluruh permukaan perut Maria. Suster jaga membantu Maria untuk menaikan bajunya lebih ke atas.
“Bapak dan ibu lihat ke tv itu ya.”
Suster mengatur letak tv scan lebih ke arah Maria terbaring, Steve pun ikut membenarkan posisi berdirinya.
Tangan dokter Gilsha mulai memegang alat periksa itu dengan baik, ia gerakan searah jarum jam. Maria dan Steve semakin tertarik untuk melihat layar tv scan.
“Dia masih kecil, kira—kira sebesar biji kacang. Kalau melihat sikon seperti ini, usia kandungan ibu Maria masih di trimester pertama ya pak.”
“Apa sudah ketahuan jenis kelaminnya dokter?” tanya Steve dengan semangat.
“Nanti ya pak di trimester kedua. Kita akan lakukan USG untuk ngeliat dia laki—laki atau perempuan.” Balas dokter Gilsha dengan seulas senyum.
Steve dan Maria saling memangku tangan. Steve menggenggam erat tangan istri yang sangat ia puja ini. Maria sampai tak kuasa melihat ada nyawa yang menumpang hidup pada dia.
“Hei,” Steve mengusap air mata sang istri.
“Dia hidup disana sayang,” Maria menunjuk jari telunjuknya pada layar tv scan.
“Jadi bu Maria harus jaga kesehatan ya, karena dia masih kecil dan rentan. Mari kita rawat dia bersama—sama ya pak, bu.”
Steve dan Maria berbagi pandangan dan anggukan kepala. Kebahagiaan yang tidak dapat digambarkan oleh siapa pun. Berkat Tuhan yang bekerja dengan ajaib. Menitipkan seorang calon anak pada keluarga Steve dan Maria.
“Suster, tolong dibersihkan gel yang ada di permukaan perut ibu Maria!”
“Baik bu dokter,” suster perempuan itu segera mengambil tissue basah non alkohol dan tissue kering.
Steve membantu Maria untuk turun dari ranjang brankar. Maria mengulas senyum teduh pada suaminya. Mereka kembali duduk di hadapan dokter Gilsha. Sang dokter menuliskan beberapa resep vitamin yang harus dikonsumsi oleh Maria. Resep yang dibuat oleh dokter Gilsha, langsung terulur pada tangan suster.
“Usia kandungan sudah berjalan 4 minggu ya, bu Maria akan mengalami morning sickness. Tapi saya sudah kasih obat pereda mual dan penguat kandungan. Tolong resepnya diikuti dengan baik, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kedepannya.”
“Baik bu dokter, saya akan mengingat semuanya dengan baik. Kami akan merawat calon anak kami dengan baik.” Ujar Maria terharu. Sesekali ia elus perut ratanya.
Steve terlihat agak panik, dokter Gilsha menangkap raut perubahan pada wajah dari suami Maria tersebut.
“Pak Steve, apakah ada yang ingin ditanyakan?”
Steve bergumam, “Sebenarnya ada dokter, tapi saya ga tau gimana mau bilangnya?”
“Ada apa sayang?” tanya Maria cemas.
“Santai saja pak, disini bapak bebas mau bertanya apa pun itu. Jangan sampai masih ada yang mengganjal saat keluar dari sini.”
“Bagaimana dengan itu dokter?” tanya Steve ragu.
Dokter Gilsha menaikan satu alisnya, “Itu? Apa pak Steven?” yang ditanya malah menggaruk tengkuknya dengan asal. Maria menaruh curiga, ia tatap Steve dengan mata memicing.
Dokter Gilsha memperhatikan mereka, “aaa… itu maksudnya soal hubungan intim? Benar begitu pak Steven?”
Suami Maria Alexandra ini tersenyum malu, “Iya bu dokter.” Maria memberikan cubitan kecil pada pinggang Steven. Sang suami langsung melenguh sakit.
Dokter Gilsha mengulum tawanya, malu dong kalau ia harus menertawakan pasien sendiri. Tidak baik untuk image dokter Gilsha.
“Tidak apa—apa bu Maria. Pak Steven hanya satu dari sekian banyak suami dari pasien saya yang bertanya soal itu. Wajar.” Dokter Gilsha mengembangkan senyumnya.
“Udah dong sayang, aku nya jangan dicubitin gitu, sakit. Bu dokter aja paham loh,” bujuk Steve pada Maria. Namun istrinya masih belum goyah. Doi masih marah pada Steve.
“Pak Steven dan bu Maria, saya harap kalian tidak berhubungan dulu di trimester pertama ini. Kondisi janin yang masih kecil dan rentan. Kita coba lihat dulu seminggu ke depan ya, semoga janin akan tumbuh kuat. Jadi jadwal kontrol berikutnya minggu depan ya, nanti suster akan mengingatkan lagi H-1. Bisa dipahami ya Pak Steven, Bu Maria?”
“Baik bu dokter, terimakasih banyak ya. Kami akan mengingatnya. Saya rasa control hari ini cukup sampai disini saja ya bu dokter. Kami permisi dulu.”
“Ah, ya Bu Maria. Terimakasih, sampai jumpa minggu depan.”
Maria menyeret Steven agar mempercepat langkahnya keluar dari ruangan dokter Gilsha. Steven masih lemas, masih terpikir soal puasanya di trisemester pertama kehamilan Maria.
Nathan segera berdiri tegak, “Sudah selesai nyonya?”
Maria terkesiap, “Loh Nathan? Kamu nungguin kami dari tadi?”
“Iya nyonya, takutnya nyonya dan tuan membutuhkan saya.” Ujar Nathan mengulum senyum.
Maria geleng—geleng kepala dibuatnya, “Next time, setelah kamu jadwalin gak usah di tungguin gini ya. You can go and do anything. Menunggu itu membosankan Nathan!”
Nathan hanya tersenyum kaku. Apa yang dibilang Maria benar, namun ia takut dompetnya tidak bisa makan kalau Steve tidak mengisinya.
“Ya sudah, kamu boleh pulang sekarang. Kami juga akan pulang. Kamu langsung pulang aja, gak usah nganterin kami. Oke?”
Nathan melirik pada Steven yang masih memasang muka masam, Maria melihat lirikan Nathan pada suaminya. “He’s okay. Don’t worry!”
Mereka benar—benar berpisah. Nathan hanya mengantar Steve dan Maria hingga pintu lift menuju velvet parking rumah sakit.
“Mau aku yang nyetir?” tanya Maria setelah mereka lolos dari pintu lift.
Mata Steve membelalak, “Are you kidding me?”
“I’m not. Itu lebih baik buat kita. Daripada kita berdua masuk rumah sakit nantinya. Eh, bertiga deh. Kan udah ada si little champ.” Maria mengelus perutnya bahagia.
Steve masih cemberut, Maria menangkup wajah suaminya, “Kamu gak suka ya kalau aku hamil? Humm?”
Steve mengambil tangan Maria yang menempel pada wajahnya, ia kecup dua tangan itu dengan lembut. “Aku gak suka sama aturan dokter Gilsha. Aku sangat suka kalau kamu hamil, itu hal yang aku tunggu—tunggu. Bisa bermain dengan anak aku setelah pulang ngantor. Dan bisa main sama kamu saat malamnya.”
Maria terkekeh mendengar ucapan polos dari bibir Steven. “Indah kan halu aku?” tanya Steve pada istrinya.
Maria menarik Steve, ia peluk tubuh Steve erat. Ia hirup wangi tubuh Steven. Pelukannya pun dibalas oleh Steven. “Sabar ya sayang, demi little champ. Kita memang dilarang berhubungan. Tapi tidak dengan ini…”
Maria melumat bibir Steve dengan lembut. Ia elus tengkuk Steve pelan. Dingin dari suhu tangan Maria bagai setruman listrik pada tubuh Steve. Sang suami sadar, ia membalas ciuman Maria dengan rakus. Permainan yang dimulai oleh Maria, langsung diambil alih Steve. Ia pun mulai mendominasi.
Malam ini terasa beda bagi Steve dan Maria. Biasanya mereka akan melewati malam dengan berolahraga bersama sampai lelah. Namun mulai malam ini, mereka hanya berolahraga ringan saja. Sekedar bercumbu hingga mengelus kasar bagian favorit masing—masing. Setelah itu Steve akan bermain solo, menuntaskan hasratnya.Steve beranjak terburu—buru dari kasur mereka. Meninggalkan Maria dengan ekspresi yang sulit diartikan.Maria melihat bayangan Steve juga ikut masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar mereka. Hati Maria tak berlabel kini. Senang, karena ada bibit janin dalam rahimnya yang akan tumbuh berkembang menjadi bayi lucu. Dan sebagian lagi terluka, melihat Steve yang kelimpungan saat mengambil alih tugasnya.Maria semakin teriris saat mendengar Steve berfantasi seraya melolongkan namanya. Susah payah Mar
“owk…” “owk…” “owk…” Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi. Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang. “Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah. Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.
Kepala Nathan cenut—cenut, ia menumpukan kepalanya yang berat itu pada kedua tangannya yang menekan permukaan meja kerjanya. Nathan sudah berusaha untuk mencari ahli gizi dan psikiater terbaik di kota ini.Problemnya adalah semua yang ia dapatkan mempunyai gender yang sejenis dengannya. Tentunya itu hal terlarang bagi Steven, No Male. Nathan menjambak kasar rambut hitamnya. Penampilan Nathan sudah tidak karuan. Nathan yang rapi menghilang sementara waktu.“Oh... GOD” Nathan berjalan asal, ia meninggalkan kursi kebanggaannya. Seperti setrika yang ada pada pakaian lecek, maju mundur sampai pakaian itu rapi.Nathan melihat jam tangannya, matanya semakin sakit melihat jarum jam yang sudah mendekati waktu sore hari. Nathan belum juga mendapatkan nama perempuan yang diminta Steven.
Nathan bergerak cepat. Setelah dari Hospital City Center ia langsung melajukan mobilnya ke rumah Steven. Dengan semangat ia membelah jalanan yang masih dilanda kemacetan. Nathan tak hentinya tersenyum. Suasana hatinya gembira ria. Bahkan di tengah kemacetan ibu kota, ia menyempatkan diri untuk bekerja. Berkas yang dimasukan ke dalam tas kerjanya, ia keluarkan satu buah. Ia pun mulai bekerja, memeriksa rincian laporan dari divisi kantor. Pembaharuan dari hasil rapat terakhir kemarin. Nathan yang terlalu fokus ke berkas laporan mendapat teguran dari pengendara lain. Mobilnya kena semprot klakson. Bukan hanya sekali tapi beberapa kali. “Astaga, lampu sudah hijau ternyata!” Nathan menaruh berkas di kursi sebelah pengemudi. I
Setelah di bujuk oleh Steven akhirnya Maria mau berkonsultasi dengan dokter Angela spesialis gizi. Ia juga mau didampingi oleh dokter Michelle ahli psikologi. Maria pun berbicara heart to heart dengan para dokter.Dia bercerita apa yang dirasakan, dulu yang biasanya dia suka sekarang jadi mual melihatnya. Maria juga mendapat terapi bagaimana mengontrol emosi, agar stabil dan tidak mengganggu proses kehamilannya.Steven tampaknya harus menaikan gaji Nathan, sekalian memperbanyak bonus untuk diberikan pada Nathan. Asisten pribadi yang sangat handal, cekatan, pintar dan juga tampan.……… Six months later!Hari menunjukkan pukul 1 dini hari. Dimana semua orang sudah pada tidur, beristirahat supaya besok bisa melakukan aktifitas dengan baik.
“Oh nyonya lagi ngidam tuan?”“Sepertinya begitu, nanti kalau gak saya ikutin anak saya bikin ibunya rusuh. Saya juga yang pusing nantinya.”Security pun mengulum senyum, lalu Steve mulai tertawa, hingga mereka tertawa bersama. Teringat akan keanehan bumil kalau lagi ngidam.“Tuan, biasanya jam segini sate ayam yang masih buka itu harus keluar komplek dulu. Terus jalan ke arah jalan soetomo, nah disitu ada sate ayam Pak Ndut dia mangkal pake tenda tuan. Kami pernah beli di sana terus makan disini, sambil jaga tuan.”Steve tersenyum, “Terimakasih untuk infonya. Nanti saya kasih bonus ke kalian kalau nyonya suka sama rekomendasi dari kalian!”Para security pun tersenyum senang, me
Kandungan Maria semakin lama semakin berkembang dan membesar. Ia semakin sulit bergerak. Bahkan sekarang usia kandungan Maria sudah memasuki usia tujuh bulan lebih, jalan ke delapan. “Ya Tuhan, ternyata begini rasanya hamil ya. Nikmat sekali rasanya!” Maria teringat pada sang mama, “Ma, mama apa kabar di surga?” mata Maria mulai memerah. Ia selalu saja sedih kalau teringat dengan mamanya. “Ma, Maria minta maaf ya. Aku belum bisa bahagiin mama dulu. Maaf juga karena aku jarang ada waktu sama mama.” Ujar Maria disela—sela tangisannya. (Flashback) Mama Maria meninggal dua tahun yang lalu. Ia berjuang melawan kanker getah bening yang dideritanya, namun mama Maria memilih untuk berhenti berjuang. Mama Maria ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia juga kasihan melihat suami dan anaknya yang bekerja keras mencari uang untuk biaya pengobatannya. “Mas, kankerku itu sudah menyebar. Kemungkinan sembuhnya juga susah. Aku berhenti aja ya berobatnya. Ki
Maria mengelus—elus baby bump yang semakin membesar. Dia dan dua orang maids sedang dalam perjalanan menuju salah satu mall terbesar di tengah kota. Maria teringat akan obrolannya pada Steven tadi saat panggilan video call. Mengingatnya Maria tersenyum—senyum sendiri. (Flashback) “Sayang, aku nelpon kamu karena aku mau minta izin sama kamu mau keluar, ke mall.” Maria bicara sangat manja pada Steven. “Yaudah aku jemput kamu ya. Kamu siap—siap gih?!” titah Steven. “Ich… kamu ya, ampun aku sama kamu yang over protektif banget. Gini aja, kamu langsung samperin aku di mall. Aku perginya ditemenin maids kok. Biar efektif waktunya, gimana?” tawar Maria. “Hmmmm………”