“owk…”
“owk…”
“owk…”
Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi.
Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang.
“Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah.
Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.
“argh… sayang?” panggilnya lembut.
Steve buka matanya lebar—lebar. Ia kelilingi setiap sudut ranjang hingga ke sekelilingnya. Matanya belum menemukan sesosok bidadarinya.
“owk…”
Telinga Steve mendengar suara itu, “Astaga, MARIA…” Steve langsung menghambur keluar dari selimut, kemudian melompat dari ranjang.
Ia terbirit menuju kamar mandi yang ada di kamar mereka. Matanya terbelalak, melihat Maria yang kesusahan sendiri.
“Sayang…” panggilnya lembut.
Steve mengurut pelan tengkuk Maria. Ia juga mengurut di kedua bahu Maria. “Sayang…” panggil Steve lagi.
“Udah Steve,” Maria sudah mengeluarkan wajahnya dari permukaan kloset. Maria menelan paksa saliva yang tersisa.
“Baring ya?!” Maria menganggukan kepalanya. Tak membuang waktu lagi Steve langsung membopong tubuh Maria, lalu membawanya ke ranjang mereka.
Steve membaringkan tubuh Maria, kemudian ia tarik selimut hingga menutupi bagian atas perut Maria. “Mau minum sayang?” tanya Steve lembut.
“Iya”
“Sebentar ya,” Steve menoleh ke meja nakas samping ranjang. Disana ada segelas air mineral. Steve membantu Maria untuk minum. Dirasa cukup, Maria pun menjauhkan mulutnya dari ujung gelas.
Steve meletakkan kembali gelas yang sudah kosong. Ia menoleh pada Maria yang meluruskan tubuhnya, “Aku minta dokter Gilsha ke rumah ya?”
“Gak usah, ini aku lagi morning sickness aja. Jangan terlalu dipusingin ya. Trimester pertama ini, bumil akan seperti ini sayang. Don’t worry!”
Steve menghembuskan nafasnya lelah, “Oke, hari ini aku akan nemenin kamu aja di rumah ya.”
Maria menatap Steve tajam, “Sayang, jangan lebay ihh. Mandi sana, pergi ngantor. Aku bisa dijagain maid kan?!”
“Sayang, suamimu ini bos bukan karyawan biasa. Jadi bebas mau ngantor atau kerjain di rumah.” Steve membela diri sendiri.
“Justru karena kamu boss nya sayang. Kamu itu harus memberi contoh yang baik ke karyawan kamu. Sudahlah pergi mandi sana!” Maria mendorong pelan tubuh Steve untuk beranjak dari ranjang mereka.
Steve pun berdiri, mata mereka menatap. “Sayang… aku kerjain kerjaannya di rumah aja ya. Biar aku bisa jagain kamu.” Pinta Steve memelas.
Maria menajamkan tatapannya, “Going to your office sir, right now!” Maria berbicara penuh penekanan.
Steve hands up, “Oke, aku mandi sekarang. Udah ya. Don’t get mad please.”
“Good man,” Maria mengacungkan ibu jari pada Steve.
Steve berjalan ke kamar mandi. Maria dapat mendengar suara kran shower yang menitik ke badan Steve. Tak lama ia keluar dari kamar mandi dengan melilitkan kain handuk di pinggangnya. Steve melihat ke arah ranjang.
‘Tidur dia?!’ gumam Steve setelah mendapati mata Maria terpejam.
Steve masuk ke ruang wardrobe mereka. Ia berdiri di jajaran pakaiannya. Ia ambil setelan jas dan celana berwarna dark brown, menggunakan kemeja putih bersih. Steve mencari dasi brown medium pada etalase koleksi dasinya.
Steve mengancing giwang lengan kemejanya, kemudian ia kenakan jas yang masih rapi, tergantung pada hanger. Steve mengenakan pantofel coklat muda.
Merasa telah rapi, Steve berjalan mengambil sunglasses favoritnya. Steve menjelma menjadi pria tertampan.
“Sayang?” panggil ia lembut, ia juga mengusap kepala wanitanya.
Maria menoleh pada Steve, “Woah, suamiku tampan sekali.” Puji Maria pada Steve, ia toel hidung Maria gemas.
“Beruntunglah kamu karena telah mendapatkan aku sayang!” ujar Steve pongah.
Maria terkikik, “Ampun deh, sombongnya priaku ini.” Maria merapikan sedikit letak dasi milik Steve.
“Yakin nih kamu bisa aku tinggalin bentar ke kantor?” tanya Steve lagi.
“Iya sayang. Kamu kan bisa mantau aku juga dari cctv kan? Jadi gak usah lebay ya!” balas Maria gemas.
Steve mendekat pada kepala Maria, ia kecup lama dahinya Maria. Mata Maria terpejam reflek. Ia suka dengan kecupan Steve pada pelipisnya.
“Udah sana, kamu gak boleh telat ngantornya. Nanti karyawan pada berasumsi buruk lagi ke kamu.” Usir Maria halus pada suami posesif yang ia pilih.
Steve meninggalkan kamar utama. Ia menuruni anak tangga untuk mencapai lantai dasar. Maid sudah berbaris menanti Steve dibawah tangga.
“Selamat pagi tuan,” sapa para maids.
“Pagi.” Balas Steve datar seperti biasanya.
“Silahkan tuan, sarapan sudah siap.” Ujar leader maids memberitahu.
Steve berjalan menuju ruang makan. Ia duduk pada salah satu kursi meja makan. Ia seduh sedikit kopi panasnya. Steve memilih memakan roti gandum dengan selai kacang. Selesai makan, Steve menghabiskan kopinya yang sudah menghangat.
“Seperti biasa, kalian harus merawat nyonya dengan baik. Apalagi sekarang nyonya sedang hamil anak saya. Pagi ini nyonya mengalami morning sickness, tolong kalian buatkan sarapan penghilang rasa mual. Harus enak. Selera nyonya ikut menurun karena gejala kehamilannya.”
“Baik tuan, kami akan memperhatikan nyonya lebih intens lagi.” Balas leader maids.
“Good, segera kabari saya kalau rasa mual nyonya semakin parah.” Ucap Steve, sebelum meninggalkan meja makan.
…… Going to the office!
Steve duduk di bangku belakang, ia diantar sopir menggunakan Mercedes new series. Tangan Steve sibuk scrolling down layar tablet lipatnya. Pagi ini Steve harus memimpin rapat bulanan kantornya. Nathan sudah mengirim bahan materi ke surel Steven semalam.
Mercedes new series berhenti di lobby, security bergerak cepat untuk membukakan pintu mobil untuk CEO mereka. Steve keluar seraya mengenakan kacamata hitamnya. Semua karyawan yang melihat langsung memberi salam pada Steve.
Steve menganggukan kepalanya menerima salam dari para karyawannya. Sesaat kemudian ia berjalan menuju lift eksekutif.
“Pagi tuan,” sapa Nathan saat pintu lift eksekutif terbuka.
“Pagi Nathan,” Steve berjalan mendahului Nathan. Kemudian segera Nathan mengikuti dengan cepat.
“Apa semua sudah berkumpul di ruang meeting?” tanya Steve sambil melirik rolex yang melingkari pergelangan tangannya.
“Sudah tuan, lima menit lagi rapat siap dimulai.” Balas Nathan sopan.
Nathan membuka pintu ruang rapat, Steve membuka kacamatanya lalu berjalan masuk ke dalam ruangan.
“Selamat pagi,” sapa Steve kepada general manager divisi kantor pusat dan kantor cabang.
“Pagi pak…”
“Silahkan duduk kembali…, rapat kita mulai.”
Nathan menjadi moderator rapat, setiap rapat akan langsung di rekam otomatis oleh sistem yang terpasang pada ruangan. Nantinya Nathan akan mengamati ulang hasil rekaman, kemudian mencocokkan data dengan notulen yang dibuatnya. Setelah itu, Nathan akan memberikan hasil rapat pada Steve.
Setiap general manager mulai menyampaikan kinerja divisinya satu per satu. Dimulai dari laporan dari kantor cabang hingga ke kantor pusat. Steve menaruh fokusnya dengan penuh.
Rapat berjalan dengan alot, karena Steve banyak meminta pembaharuan pada setiap divisi baik itu cabang maupun pusat. Rapat baru berakhir setelah dua jam berjalan.
Seluruh peserta rapat meninggalkan ruangan. Hanya tinggal Steve dan Nathan, berdua saja.
“Nathan, tolong carikan ahli gizi terbaik di kota ini ya. Sekalian psikiater juga.”
“Untuk siapa tuan?” tanya Nathan sopan.
“Maria!”
Nathan mengangguk patuh, “Baik, nanti saya akan carikan yang perempuan dan terbaik di kota ini.”
“Kalau gak ada di kota ini, kau boleh mengimpor dari kota lain, atau negara lain juga. Pokoknya harus ada nama—namanya sore ini paling telat!”
“Baik tuan. Boleh saya bertanya tuan?”
“Apa?” tanya Steve pelan. Kepala Steve bersandar pada kursi kerja room meeting.
“Psikiater untuk apa ya tuan?”
“Maria merasa gak berguna karena tidak bisa melayani saya. Dokter Gilsha melarang kami berhubungan pada trimester pertama kehamilan Maria. Tadi malam saya lost control, hingga bermain solo. Maria terguncang, menangis sampai pagi.”
Mereka terdiam sejenak. Nathan berusaha untuk memahami situasi kondisi sang atasan.
“Ahli gizi harus menyiapkan makanan yang sehat, bergizi yang bisa membantu menguatkan stamina Maria. Sehingga janin kami bisa tumbuh kuat. Dengan begitu saya pasti dapat lampu hijau dari dokter Gilsha untuk bisa menyentuh Maria.”
Steve menatap Nathan, “Kelangsungan hidup saya tergantung pada kinerja kamu sekarang Nathan!”
Yang diberi ultimatum langsung menciut. Ia sekarang seperti membawa bom atom di tangannya. ‘Cobaan apalagi ini Tuhan?!’
Kepala Nathan cenut—cenut, ia menumpukan kepalanya yang berat itu pada kedua tangannya yang menekan permukaan meja kerjanya. Nathan sudah berusaha untuk mencari ahli gizi dan psikiater terbaik di kota ini.Problemnya adalah semua yang ia dapatkan mempunyai gender yang sejenis dengannya. Tentunya itu hal terlarang bagi Steven, No Male. Nathan menjambak kasar rambut hitamnya. Penampilan Nathan sudah tidak karuan. Nathan yang rapi menghilang sementara waktu.“Oh... GOD” Nathan berjalan asal, ia meninggalkan kursi kebanggaannya. Seperti setrika yang ada pada pakaian lecek, maju mundur sampai pakaian itu rapi.Nathan melihat jam tangannya, matanya semakin sakit melihat jarum jam yang sudah mendekati waktu sore hari. Nathan belum juga mendapatkan nama perempuan yang diminta Steven.
Nathan bergerak cepat. Setelah dari Hospital City Center ia langsung melajukan mobilnya ke rumah Steven. Dengan semangat ia membelah jalanan yang masih dilanda kemacetan. Nathan tak hentinya tersenyum. Suasana hatinya gembira ria. Bahkan di tengah kemacetan ibu kota, ia menyempatkan diri untuk bekerja. Berkas yang dimasukan ke dalam tas kerjanya, ia keluarkan satu buah. Ia pun mulai bekerja, memeriksa rincian laporan dari divisi kantor. Pembaharuan dari hasil rapat terakhir kemarin. Nathan yang terlalu fokus ke berkas laporan mendapat teguran dari pengendara lain. Mobilnya kena semprot klakson. Bukan hanya sekali tapi beberapa kali. “Astaga, lampu sudah hijau ternyata!” Nathan menaruh berkas di kursi sebelah pengemudi. I
Setelah di bujuk oleh Steven akhirnya Maria mau berkonsultasi dengan dokter Angela spesialis gizi. Ia juga mau didampingi oleh dokter Michelle ahli psikologi. Maria pun berbicara heart to heart dengan para dokter.Dia bercerita apa yang dirasakan, dulu yang biasanya dia suka sekarang jadi mual melihatnya. Maria juga mendapat terapi bagaimana mengontrol emosi, agar stabil dan tidak mengganggu proses kehamilannya.Steven tampaknya harus menaikan gaji Nathan, sekalian memperbanyak bonus untuk diberikan pada Nathan. Asisten pribadi yang sangat handal, cekatan, pintar dan juga tampan.……… Six months later!Hari menunjukkan pukul 1 dini hari. Dimana semua orang sudah pada tidur, beristirahat supaya besok bisa melakukan aktifitas dengan baik.
“Oh nyonya lagi ngidam tuan?”“Sepertinya begitu, nanti kalau gak saya ikutin anak saya bikin ibunya rusuh. Saya juga yang pusing nantinya.”Security pun mengulum senyum, lalu Steve mulai tertawa, hingga mereka tertawa bersama. Teringat akan keanehan bumil kalau lagi ngidam.“Tuan, biasanya jam segini sate ayam yang masih buka itu harus keluar komplek dulu. Terus jalan ke arah jalan soetomo, nah disitu ada sate ayam Pak Ndut dia mangkal pake tenda tuan. Kami pernah beli di sana terus makan disini, sambil jaga tuan.”Steve tersenyum, “Terimakasih untuk infonya. Nanti saya kasih bonus ke kalian kalau nyonya suka sama rekomendasi dari kalian!”Para security pun tersenyum senang, me
Kandungan Maria semakin lama semakin berkembang dan membesar. Ia semakin sulit bergerak. Bahkan sekarang usia kandungan Maria sudah memasuki usia tujuh bulan lebih, jalan ke delapan. “Ya Tuhan, ternyata begini rasanya hamil ya. Nikmat sekali rasanya!” Maria teringat pada sang mama, “Ma, mama apa kabar di surga?” mata Maria mulai memerah. Ia selalu saja sedih kalau teringat dengan mamanya. “Ma, Maria minta maaf ya. Aku belum bisa bahagiin mama dulu. Maaf juga karena aku jarang ada waktu sama mama.” Ujar Maria disela—sela tangisannya. (Flashback) Mama Maria meninggal dua tahun yang lalu. Ia berjuang melawan kanker getah bening yang dideritanya, namun mama Maria memilih untuk berhenti berjuang. Mama Maria ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia juga kasihan melihat suami dan anaknya yang bekerja keras mencari uang untuk biaya pengobatannya. “Mas, kankerku itu sudah menyebar. Kemungkinan sembuhnya juga susah. Aku berhenti aja ya berobatnya. Ki
Maria mengelus—elus baby bump yang semakin membesar. Dia dan dua orang maids sedang dalam perjalanan menuju salah satu mall terbesar di tengah kota. Maria teringat akan obrolannya pada Steven tadi saat panggilan video call. Mengingatnya Maria tersenyum—senyum sendiri. (Flashback) “Sayang, aku nelpon kamu karena aku mau minta izin sama kamu mau keluar, ke mall.” Maria bicara sangat manja pada Steven. “Yaudah aku jemput kamu ya. Kamu siap—siap gih?!” titah Steven. “Ich… kamu ya, ampun aku sama kamu yang over protektif banget. Gini aja, kamu langsung samperin aku di mall. Aku perginya ditemenin maids kok. Biar efektif waktunya, gimana?” tawar Maria. “Hmmmm………”
Maria memasuki toko perlengkapan ibu dan anak—anak, Mom and Kiddy Care. Maids dengan setia mengekorinya. Mereka telah berkeliling khusus di lantai tiga mall ini.Nyonya besar itu tak hentinya bercerita, anything, bahkan terkesan curcol. Apalagi kalau bukan soal suaminya, Steven. Yang galak pada maids, tapi seketika berubah manis padanya.“Ini bagus nyonya?” maid mengeluarkan opininya. Maid itu suka dengan gambar yang ada di setelan baby boy dengan tema zoo, yang tercetak pada atasannya.“Iya, bagus ya. Saya juga suka nih nonton film Madagascar, pasti little champ juga suka. Ya kan sayang?” Maria mengelus perutnya. Ia mungkin membangunkan little champ agar bisa bereaksi.“Nyonya maaf, saya ke toilet sebentar ya. Saya udah gak tahan nyon
Ambulance berhenti di depan pintu instalasi gawat darurat. Brankar yang ditiduri Maria turun, lalu didorong dengan cepat. Maid mengikuti langkah petugas dengan terburu—buru.Dokter IGD langsung menyambut mereka, “Ibu ini kenapa?”“Beliau pingsan. Denyut nadinya lemah. Tekanan darah menurun. Kami langsung memberinya oksigen.” Papar petugas ambulance.“Baik,” dokter IGD beralih pada suster, “Suster, tolong panggil dokter Gilsha. Ibu ini harus diselamatkan beserta bayinya.”“Baik dokter,” suster langsung berlari mencari keberadaan dokter Gilsha, dokter ginekologi terbaik di hospital city center.Petugas ambulance pamit pada dokter IGD, menyerahkan keselamatan Mari