Home / Romansa / Unexpected Life / 9 | Hidupku Bergantung Padamu

Share

9 | Hidupku Bergantung Padamu

last update Last Updated: 2021-05-09 23:42:26

“owk…”

“owk…”

“owk…”

Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi.

Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang.

“Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah.

Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.

“argh… sayang?” panggilnya lembut.

Steve buka matanya lebar—lebar. Ia kelilingi setiap sudut ranjang hingga ke sekelilingnya. Matanya belum menemukan sesosok bidadarinya.

“owk…”

Telinga Steve mendengar suara itu, “Astaga, MARIA…” Steve langsung menghambur keluar dari selimut, kemudian melompat dari ranjang.

Ia terbirit menuju kamar mandi yang ada di kamar mereka. Matanya terbelalak, melihat Maria yang kesusahan sendiri.

“Sayang…” panggilnya lembut.

Steve mengurut pelan tengkuk Maria. Ia juga mengurut di kedua bahu Maria. “Sayang…” panggil Steve lagi.

“Udah Steve,” Maria sudah mengeluarkan wajahnya dari permukaan kloset. Maria menelan paksa saliva yang tersisa.

“Baring ya?!” Maria menganggukan kepalanya. Tak membuang waktu lagi Steve langsung membopong tubuh Maria, lalu membawanya ke ranjang mereka.

Steve membaringkan tubuh Maria, kemudian ia tarik selimut hingga menutupi bagian atas perut Maria. “Mau minum sayang?” tanya Steve lembut.

“Iya”

“Sebentar ya,” Steve menoleh ke meja nakas samping ranjang. Disana ada segelas air mineral. Steve membantu Maria untuk minum. Dirasa cukup, Maria pun menjauhkan mulutnya dari ujung gelas.

Steve meletakkan kembali gelas yang sudah kosong. Ia menoleh pada Maria yang meluruskan tubuhnya, “Aku minta dokter Gilsha ke rumah ya?”

“Gak usah, ini aku lagi morning sickness aja. Jangan terlalu dipusingin ya. Trimester pertama ini, bumil akan seperti ini sayang. Don’t worry!”

Steve menghembuskan nafasnya lelah, “Oke, hari ini aku akan nemenin kamu aja di rumah ya.”

Maria menatap Steve tajam, “Sayang, jangan lebay ihh. Mandi sana, pergi ngantor. Aku bisa dijagain maid kan?!”

“Sayang, suamimu ini bos bukan karyawan biasa. Jadi bebas mau ngantor atau kerjain di rumah.” Steve membela diri sendiri.

“Justru karena kamu boss nya sayang. Kamu itu harus memberi contoh yang baik ke karyawan kamu. Sudahlah pergi mandi sana!” Maria mendorong pelan tubuh Steve untuk beranjak dari ranjang mereka.

Steve pun berdiri, mata mereka menatap. “Sayang… aku kerjain kerjaannya di rumah aja ya. Biar aku bisa jagain kamu.” Pinta Steve memelas.

Maria menajamkan tatapannya, “Going to your office sir, right now!” Maria berbicara penuh penekanan.

Steve hands up, “Oke, aku mandi sekarang. Udah ya. Don’t get mad please.”

“Good man,” Maria mengacungkan ibu jari pada Steve.

Steve berjalan ke kamar mandi. Maria dapat mendengar suara kran shower yang menitik ke badan Steve. Tak lama ia keluar dari kamar mandi dengan melilitkan kain handuk di pinggangnya. Steve melihat ke arah ranjang.

‘Tidur dia?!’ gumam Steve setelah mendapati mata Maria terpejam.

Steve masuk ke ruang wardrobe mereka. Ia berdiri di jajaran pakaiannya. Ia ambil setelan jas dan celana berwarna dark brown, menggunakan kemeja putih bersih. Steve mencari dasi brown medium pada etalase koleksi dasinya.

Steve mengancing giwang lengan kemejanya, kemudian ia kenakan jas yang masih rapi, tergantung pada hanger. Steve mengenakan pantofel coklat muda.

Merasa telah rapi, Steve berjalan mengambil sunglasses favoritnya. Steve menjelma menjadi pria tertampan.

“Sayang?” panggil ia lembut, ia juga mengusap kepala wanitanya.

Maria menoleh pada Steve, “Woah, suamiku tampan sekali.” Puji Maria pada Steve, ia toel hidung Maria gemas.

“Beruntunglah kamu karena telah mendapatkan aku sayang!” ujar Steve pongah.

Maria terkikik, “Ampun deh, sombongnya priaku ini.” Maria merapikan sedikit letak dasi milik Steve.

“Yakin nih kamu bisa aku tinggalin bentar ke kantor?” tanya Steve lagi.

“Iya sayang. Kamu kan bisa mantau aku juga dari cctv kan? Jadi gak usah lebay ya!” balas Maria gemas.

Steve mendekat pada kepala Maria, ia kecup lama dahinya Maria. Mata Maria terpejam reflek. Ia suka dengan kecupan Steve pada pelipisnya.

“Udah sana, kamu gak boleh telat ngantornya. Nanti karyawan pada berasumsi buruk lagi ke kamu.” Usir Maria halus pada suami posesif yang ia pilih.

Steve meninggalkan kamar utama. Ia menuruni anak tangga untuk mencapai lantai dasar. Maid sudah berbaris menanti Steve dibawah tangga.

“Selamat pagi tuan,” sapa para maids.

“Pagi.” Balas Steve datar seperti biasanya.

“Silahkan tuan, sarapan sudah siap.” Ujar leader maids memberitahu.

Steve berjalan menuju ruang makan. Ia duduk pada salah satu kursi meja makan. Ia seduh sedikit kopi panasnya. Steve memilih memakan roti gandum dengan selai kacang. Selesai makan, Steve menghabiskan kopinya yang sudah menghangat.

“Seperti biasa, kalian harus merawat nyonya dengan baik. Apalagi sekarang nyonya sedang hamil anak saya. Pagi ini nyonya mengalami morning sickness, tolong kalian buatkan sarapan penghilang rasa mual. Harus enak. Selera nyonya ikut menurun karena gejala kehamilannya.”

“Baik tuan, kami akan memperhatikan nyonya lebih intens lagi.” Balas leader maids.

“Good, segera kabari saya kalau rasa mual nyonya semakin parah.” Ucap Steve, sebelum meninggalkan meja makan.

…… Going to the office!

Steve duduk di bangku belakang, ia diantar sopir menggunakan Mercedes new series. Tangan Steve sibuk scrolling down layar tablet lipatnya. Pagi ini Steve harus memimpin rapat bulanan kantornya. Nathan sudah mengirim bahan materi ke surel Steven semalam.

Mercedes new series berhenti di lobby, security bergerak cepat untuk membukakan pintu mobil untuk CEO mereka. Steve keluar seraya mengenakan kacamata hitamnya. Semua karyawan yang melihat langsung memberi salam pada Steve.

Steve menganggukan kepalanya menerima salam dari para karyawannya. Sesaat kemudian ia berjalan menuju lift eksekutif.

“Pagi tuan,” sapa Nathan saat pintu lift eksekutif terbuka.

“Pagi Nathan,” Steve berjalan mendahului Nathan. Kemudian segera Nathan mengikuti dengan cepat.

“Apa semua sudah berkumpul di ruang meeting?” tanya Steve sambil melirik rolex yang melingkari pergelangan tangannya.

“Sudah tuan, lima menit lagi rapat siap dimulai.” Balas Nathan sopan.

Nathan membuka pintu ruang rapat, Steve membuka kacamatanya lalu berjalan masuk ke dalam ruangan.

“Selamat pagi,” sapa Steve kepada general manager divisi kantor pusat dan kantor cabang.

“Pagi pak…”

“Silahkan duduk kembali…, rapat kita mulai.”

Nathan menjadi moderator rapat, setiap rapat akan langsung di rekam otomatis oleh sistem yang terpasang pada ruangan. Nantinya Nathan akan  mengamati ulang hasil rekaman, kemudian mencocokkan data dengan notulen yang dibuatnya. Setelah itu, Nathan akan memberikan hasil rapat pada Steve.

Setiap general manager mulai menyampaikan kinerja divisinya satu per satu. Dimulai dari laporan dari kantor cabang hingga ke kantor pusat. Steve menaruh fokusnya dengan penuh.

Rapat berjalan dengan alot, karena Steve banyak meminta pembaharuan pada setiap divisi baik itu cabang maupun pusat. Rapat baru berakhir setelah dua jam berjalan.

Seluruh peserta rapat meninggalkan ruangan. Hanya tinggal Steve dan Nathan, berdua saja.

“Nathan, tolong carikan ahli gizi terbaik di kota ini ya. Sekalian psikiater juga.”

“Untuk siapa tuan?” tanya Nathan sopan.

“Maria!”

Nathan mengangguk patuh, “Baik, nanti saya akan carikan yang perempuan dan terbaik di kota ini.”

“Kalau gak ada di kota ini, kau boleh mengimpor dari kota lain, atau negara lain juga. Pokoknya harus ada nama—namanya sore ini paling telat!”

“Baik tuan. Boleh saya bertanya tuan?”

“Apa?” tanya Steve pelan. Kepala Steve bersandar pada kursi kerja room meeting.

“Psikiater untuk apa ya tuan?”

“Maria merasa gak berguna karena tidak bisa melayani saya. Dokter Gilsha melarang kami berhubungan pada trimester pertama kehamilan Maria. Tadi malam saya lost control, hingga bermain solo. Maria terguncang, menangis sampai pagi.”

Mereka terdiam sejenak. Nathan berusaha untuk memahami situasi kondisi sang atasan.

“Ahli gizi harus menyiapkan makanan yang sehat, bergizi yang bisa membantu menguatkan stamina Maria. Sehingga janin kami bisa tumbuh kuat. Dengan begitu saya pasti dapat lampu hijau dari dokter Gilsha untuk bisa menyentuh Maria.”

Steve menatap Nathan, “Kelangsungan hidup saya tergantung pada kinerja kamu sekarang Nathan!”

Yang diberi ultimatum langsung menciut. Ia sekarang seperti membawa bom atom di tangannya. ‘Cobaan apalagi ini Tuhan?!’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Unexpected Life   92 | Kerinduan Yang Tumpah

    Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya

  • Unexpected Life   91 | Penyesalan Yang Tak Manis

    Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den

  • Unexpected Life   90 | Luka Tak Berdarah

    Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it

  • Unexpected Life   89 | Masih segel ‘kah?

    Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba

  • Unexpected Life   88 | Seperti Jelangkung

    Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal

  • Unexpected Life   87 | I Need You*

    Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status