Jam sudah menunjukkan pukul hampir makan malam, Liam masih berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku celana untuk menunggu jam makan malam di yacht milik keluarga Addison setelah ia menidurkan putrinya di kamar Alexander, ia berdiri dimana tempat ini pertama kali ia melihat Arlene terjatuh dari kapal yang terparkir tepat di samping kapal pesiar miliknya dan kapal itu masih tetap disana disaat sang pemilik sudah berada di jeruji besi. Waktu terus berputar dan tepat hari ini, ia diberi sebuah kesempatan untuk berkumpul dengan semua sahabat juga keluarganya, termasuk keluarga baru Arlene. Kejadian itu sudah berlalu begitu cepat, mata Liam terus menelusuri setiap bagian-bagian penting itu. Ketika ia melompat ke dalam laut dan menarik tubuh Arlene ke dalam pelukannya lalu membawa tubuh itu ke yacht miliknya—jika malam itu ia tidak cepat menolong Arlene, mungkin saja gadis itu tidak bersamanya hingga detik ini. Rasanya begitu menyakitkan ketika mengingatnya, begitu sulit jika mencob
Addison CorporationSan Francisco – United StatesAugust | 3:25 PM.“Fuck…”Kedua mata Josie membulat. “Jesus Christ, Jessie... Hari ini kau tidak membawa pakaian ganti, sir, karena besok kita akan ke Houston,” gumamnya memelototi wanita itu yang baru saja menjatuhkan cup kopi ke setelan jas Liam karena tersandung ketika masuk. “M-maaf, sir. Saya akan—”Liam mengangkat tangan menahan wanita itu yang hendak mendekat. “Tidak perlu, bersihkan lantai ini,” sergah Liam membuat wanita itu mengangguk patuh kemudian Liam melanjutkan langkahnya keluar dari lift seraya melepaskan jas lalu ia berikan pada sekretarisnya, Josephine Rose Galway.Liam menoleh. “Catherine?” tanya Liam seraya melangkah diikuti dua wanita cantik di belakangnya.“Yes, sir. Mr. Court memintamu untuk pertemuan meeting setelah kepulanganmu dari Houston,” tutur Catherine lalu menoleh ke arah Josie, menyodorkan kopi padanya. “Hey, ini minuman untukmu. Aku lupa Mr. Addison tidak menyukai minuman manis,” lanjut Catherine denga
Jazzy terdiam beberapa detik setelah mendengar suara berat yang sangat ia kenal itu. Ketiga temannya pun terdiam membuat Jazzy menggigit bibir bawahnya saat mencium aroma maskulin yang sangat tidak asing baginya. Ia melirik jam di lengan kanan, tidak mungkin Liam akan datang secepat ini dan tidak mungkin juga Liam berada disini. “Jazzy, aku ingin ke toilet.” “Aku ikut!” sambar kedua temannya secara bersamaan lalu meninggalkan Jazzy sendiri saat gadis itu akan berbicara. “Ehem...” Jazzy terdiam menelan ludahnya susah payah mendengar suara deheman itu, matanya terpejam dan memberanikan diri untuk membalikkan tubuh secara perlahan lalu kembali membuka kedua matanya. Ia menghembuskan napas saat melihat tubuh kekar di hadapannya yang terbalut dengan setelan jas berwarna hitam dengan kancing teratas dibiarkan terbuka. Kemudian, ia mengangkat kepalanya sedikit, pria itu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Spontan ia tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih. “Hai...”
“You shouldn’t be here.” Liam menegakkan tubuh, menyentuh kedua tangan gadis itu lalu menjauhkan dari dadanya seraya berbalik hingga matanya bertemu dengan mata biru itu. “Tidak seharusnya kau berada disini.” Liam mengulangi kata itu lagi. Gadis itu mengangguk. “Ya, memang seharusnya aku tidak ada disini,” bisiknya, dengan suara bergetar, mata dan hidungnya yang memerah. Hanya ada kontak mata saat ini, gadis itu hanya diam di hadapannya, menatap dalam matanya lalu tatapan itu turun, turun memandangi bibirnya dan kembali menatap matanya. “Tunggu sampai—”Liam terkesiap, tiba-tiba tubuhnya menegang ketika bibir ranum itu menyentuh bibirnya dengan lembut membuat bola matanya sedikit membulat. Liam segera melepaskan ciuman itu, mata mereka kembali memandang satu sama lain, Liam menelan ludahnya, melihat bibir itu kembali berdarah. “Kau berada di tempat yang salah.”Gadis itu menggeleng. “Tidak, aku berada di tempat yang benar.”Liam terus menatap manik itu, tatapannya sangat lembut ta
Alarm dari ponselnya berbunyi membuat sang pemilik manik biru seindah laut membuka mata. Tangan kanannya meraba nakas dan mengambil ponsel lalu mematikan alarm tersebut setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Oh sial! Bangun siang? Liam terdiam sejenak dengan keningnya berkerut lalu menoleh ke samping tak menemukan gadis itu dimanapun, bahkan setelan jas yang ia pakai kemarin tidak ada disana. Kemana perginya gadis itu?“Oh God!” Liam langsung terduduk, membuka selimut dan memejamkan matanya sejenak sambil memijat keningnya melihat betapa berantakannya dirinya pagi ini, apa yang ia lakukan semalam? Liam menghembuskan napas kasar lalu hendak mengambil ponselnya lagi untuk menelpon Walt, ia membatalkan niatnya karena melihat sebuah kalung yang terjatuh di bawah ranjang lantas Liam mengambil dan melihat sebuah nama di sana.“Railee,” gumamnya menatap kalung itu.Sebelah alisnya terangkat, bukankah semalam gadis itu mengatakan bahwa ‘Arlene’ adalah namanya, dan ini?
Walt bersandar di kursi menatap layar komputer dengan begitu banyak pekerjaan yang berada di sana. Ia terdiam sejenak seraya memegang lehernya yang terasa berat lalu bangkit dari kursi dan bergegas keluar dari ruang kerja membawa beberapa berkas di tangan untuk ia berikan pada boss-nya, Maximiliam Addison. “Hey, Walt!”Langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil, ia menoleh ke belakang, mendapati seorang wanita bermanik cokelat menghampirinya lengkap dengan senyuman cantik terlihat di bibir. Keningnya berkerut melihat pakaian wanita itu yang berbeda dengan apa yang dia pakai pagi tadi.“Ada apa denganmu?” tanya Walt penasaran.“Tidak ada, bersiaplah, kita akan pergi,” jawab Catherine membuat Walt kembali terdiam lalu manik cokelatnya melirik ke samping melihat ruang kerja milik Josie terlihat sepi seperti belum tersentuh oleh pemiliknya. Apakah Josie belum juga datang sejak pagi tadi? Bagaimana bisa? Sejak wanita itu bekerja di perusahaan ini, Josie tidak pernah seperti ini sebelum
“Railee! Apa kau sudah gila? Kenapa kau tidak mengatakan padaku lebih dulu?”Suara dentuman music dan teriakan terdengar begitu keras memekakkan telinga, kerlap-kerlip lampu disegala arah, aroma minuman alkohol dan asap rokok sudah menjadi satu paket di tempat berkumpulnya para peminum. Diantara semua itu, ada satu wanita berusia dua puluh empat tahun yang tidak berhenti berbicara sejak dua puluh menit yang lalu, siapa lagi kalau bukan sepupunya, Kaia Seyfried.Sudah biasa bagi Arlene mendengarkan kemurkaan sepupunya itu seperti saat ini ketika mereka sedang bekerja. “Kita sudah membicarakan hal ini sebelumnya,” ucap Arlene seraya memasukkan es batu ke dalam gelas tetapi Kaia merebut dengan cepat.“Ya, aku tahu, tapi kau tidak bisa mengambil keputusan bodoh, Railee.”Arlene tersenyum, mengambil kembali gelas itu dari tangan Kaia. “Kita bahas ini saat jam pulang, disini sangat ramai dan layani orang, okay?” Arlene melembutkan suaranya, menenangkan Kaia dari kemurkaannya seraya menuangka
Addison Corporation2:25 PM.Catherine mengerutkan keningnya saat mobil hitam yang ia duduki bersama Liam berhenti di depan perusahaan, ada seorang wanita berdiri di depan pintu masuk mencoba untuk masuk tetapi dua penjaga menahannya. Catherine memastikan kembali apa yang ia lihat tidak salah dan ternyata wanita itu kembali, sontak ia langsung memanggil Liam yang saat ini masih menatap laptop di pangkuannya.“Sir... aku rasa itu Josie.”Ucapan Catherine Dench membuat Liam menghentikan pekerjaannya, menoleh keluar kaca mobil. Ia melihat Josie, mantan sekretaris yang sudah ia pecat tiga bulan yang lalu kembali datang kembali.“Apa aku harus mengusirnya?” tanya Catherine.Liam menutup laptopnya lalu menegakkan tubuh seraya menggeleng singkat. “Tidak perlu,” jawab Liam seraya memasukkan laptop ke dalam tas kemudian keluar dari mobil setelah dibukakan pintu oleh supirnya.Catherine segera keluar mengikuti Liam, bersamaan dengan itu Josie menoleh ke belakang ketika dua penjaga itu menundukka