“Mau ke mana kamu?” Raga menahan napas, berikut dengan rasa kesal yang mendadak menyelinap saat melihat Lintang hendak menuruni tangga dengan sebuah ransel di punggung. Belum ada satu jam Raga menitahkan agar Lintang tidak lagi pergi bekerja, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dan hendak pergi. Lintang berhenti di ujung tangga, lalu memutar tubuh dengan helaan. Ia tertunduk, dan menatap kaki Raga yang terus berjalan ke arahnya lalu berhenti dengan jarak tidak sampai satu meter. “Aku sudah bilang—” “Saya mau nemeni Rama outing di kebun binatang,” ujar Lintang seraya mengangkat wajah merengutnya dengan perlahan untuk menatap Raga. “Kasihan, papanya sibuk sendiri sama kerjaan sampe nggak sempat ngurusin anaknya.” “Maksudmu?” Lintang mengangkat kedua bahunya untuk beberapa saat. Tanpa berminat meneruskan obrolan dengan Raga, ia pun segera melanjutkan langkahnya yang tertunda. Menuruni tangga, untuk menghampiri Rama yang sudah siap dengan pakaian olahraga bersama Eni. “Tante, ayoo!”
“Bu …” Eni mencolek lengan Lintang yang tengah berdiri di sebelahnya. Selama kegiatan edukasi berlangsung, para orangtua atau pengasuh yang mendampingi para murid, bisa melakukan hal apa pun dengan bebas. Tepat ketika kegiatan selesai, barulah mereka bisa mendampingi para murid dan melakukan kegiatan bebas. “Apa saya nggak salah lihat?” Telunjuk Eni tertuju pada ujung jalan yang mengarah ke tempat mereka. Lintang menoleh. Ia pun sempat mengerjap beberapa kali ketika melihat seorang pria dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana bahan berwarna krem. Pria itu berjalan pelan, seolah tengah menelisik sesuatu di sekitarnya. “Sus!” Lintang mencengkram tangan Eni tanpa sengaja. Hal tersebut hanya pergerakan reflek, karena masih tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. “Setan bukan, sih?” “Kakinya napak, Bu,” sahut Eni sempat menelan ludah ketika melihat majikannya dari kejauhan. “Lagian, mana ada setan siang-siang begini.” “Tapi ngapain mas Raga ke sini?” Lintang memutar tubuh,
“Tante, gendong.” Lintang spontan menatap Raga dengan mulut ternganga. Bila ingin jujur, permintaan Rama barusan sungguh memberatkannya. Kaki Lintang sudah terlampau lelah berjalan, tapi Rama justru meminta gendong padanya. Mengapa bukan pada Raga saja? “Papa, kan, sudah nawari naik kereta dari tadi.” Melihat tatapan memohon, serta wajah lelah Lintang, Raga akhirnya berjongkok di samping Rama yang tengah mengulurkan tangan pada gadis itu. “Tapi kamu malah minta jalan kaki.” “Aku ngantuk, Pa,” kata Rama menoleh sebentar pada Raga, tapi posisi tubuhnya tetap mengarah pada Lintang. Pun dengan tangan yang sudah memegang sisi pinggang gadis itu. “Sama Papa aja.” Detik berikutnya, tubuh kecil Rama sudah berada di gendongan Raga. Tidak ada satu menit Raga dan Lintang kembali melangkah dalam diam, kepala Rama yang terjatuh di pundak itu, akhirnya tertidur lelap. “Saya tahu rasanya jadi Rama.” Akhirnya, Lintang membuka suara untuk berbicara pada Raga. Sepanjang perjalanan menyusuri kebun
Safir tidak melangkahkan kaki ke mana pun setelah menutup pintu mobilnya. Ia berdiam diri, menatap mobil Raga yang baru memasuki pekarangan rumah mereka. Semakin mobil Raga mendekat, Safir semakin mengerutkan dahinya. Jika ingin menajamkan pandangan, maka yang duduk pada kursi penumpang di samping Raga adalah Lintang. Apa Safir tidak salah lihat? Atau, itu semua hanya halusinasi semata? Sayangnya, tidak. Ketika mobil Raga telah terparkir tidak jauh dari tempat Safir berdiri, ia melihat Lintang keluar dan tatapan mereka sempat bersirobok untuk beberapa saat. Mulut Safir sempat terbuka, ketika melihat tatapan datar gadis yang tampak sedikit berbeda. Hanya berselang hitungan detik, Raga pun juga keluarga dan menatap Safir yang berjalan ke arahnya. “Biya ketemu?” Pertanyaan Raga tersebut sontak membuat Lintang tidak jadi meneruskan langkah. Apa itu berarti, Safir pergi keluar kota bukan karena urusan pekerjaan seperti Raga, melainkan mencari keberadaan Biya? Safir menggeleng, sambil
Nekat. Hal itulah yang dilakukan Lintang siang hari itu. Raga sudah melarangnya untuk makan siang di luar bersama seorang pria, tapi Lintang tidak mematuhinya. Ia tetap pergi dari kediaman Sailendra, dan bertemu dengan Fajar di sebuah kafe di dekat kantor lamanya. Bagi Lintang, menata masa depannya mulai dari sekarang lebih penting, daripada menuruti Raga yang notabene hanya suami di atas kertas. Mereka menikah tanpa cinta, untuk menyelamatkan muka kedua keluarga di depan para tamu undangan. Setelah bercerai nanti, Lintang tidak ingin hanya berpangku tangan dan tidak memiliki satu pegangan sama sekali. Terlebih, usianya juga tidak lagi muda, dan perusahaan pasti akan mempertimbangkan hal tersebut ketika ia hendak mencari kerja nantinya. Akan tetapi, siang ini Fajar ternyata tidak sendiri. Pria itu membawa seorang wanita cantik, yang sudah duduk manis di samping Fajar. “Sorry, Mas, antrean pom bensin panjang banget.” Tidak perlu sapaan formal, karena mereka bukan lagi atasan dan ba
Napas Lintang memburu. Dadanya naik turun, penuh rasa benci melihat Raga. Karena dengan sengaja menabrak Raga di depan gedung perusahaan, Lintang akhirnya berakhir di dalam ruangan pria itu. Berdiri di tengah ruang, seperti seorang terdakwa yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena bukti sudah berada di depan mata. Entah apa yang terjadi dengan kaki pria itu, setelah Raga terjatuh akibat Lintang menabraknya. Yang semakin membuat Lintang tergerus amarah ialah, Raga meminta satpam yang bertugas, untuk menyeretnya masuk tanpa rasa manusiawi sedikit pun. Sedangkan Fayra, kini sibuk mencari perhatian dengan memijat kaki pria itu. “Dasar preman,” umpat Fayra dengan wajah khawatir melihat pergelangan kaki Raga yang tampak memar. “Kamu sudah gila? Berani-beraninya nabrak Raga—” “Ya! aku sudah gila!” sahut Lintang memotong ucapan Fayra dengan hardikan. “Dan Mas Raga sudah nikah sama orang gila! Jadi, kami sudah sama-sama gila. Itu yang mau kamu dengar, ha!” “Lintang!” hardik Raga sembar
“Sus, tolong panggilkan Lintang,” titah Raga yang baru saja masuk ke dalam ruang keluarga dengan menggunakan tongkat. Pergelangan kakinya harus dibungkus perban, untuk membatasi pergerakan agar tidak semakin parah.Sejak Lintang pergi dari ruangannya siang tadi, gadis itu ternyata melarikan diri dari pantauan satpam kantor. Lintang membiarkan motornya di parkiran, dan pergi menggunakan angkutan umum. Untuk itulah, Raga akhirnya pergi ke rumah sakit terlebih dahulu, kemudian pulang ke rumah untuk beristirahat.“Habis itu, tolong panggilkan bu Idha.”Eni yang baru sampai di pertengahan tangga seketika berhenti melangkah. Sedikit bingung, tapi Eni segera menjawab permintaan Raga. “Bu Lintang belum pulang, Pak.”“Belum pulang?” Raga terus melangkah menuju sofa, lalu merebahkan tubuhnya dengan geraman tertahan. Jika dihitung, Lintang sudah pergi selama dua jam lamanya dari kantor Raga. Jadi, tidak mungkin rasanya bila gadis itu belum sampai di rumah. “Coba periksa kamarnya, siapa tahu ada
Dari suara pagar rumah yang bergeser, ditambah dengan suara kunci pintu dari ruang tamu, Lintang sudah tahu siapa yang saat ini datang ke rumah yang saat ini ia datangi. Sebuah rumah sederhana, tempat mendiang sang ibu tinggal dahulu kala. “Sudah malam, kenapa masih di sini?” Lintang yang sedari tadi hanya meringkuk di sofa panjang depan televisi akhirnya bangkit. Ia duduk, menyandarkan tubuh pada punggung sofabed, dengan kedua kaki terjulur lurus ke lantai. Lintang menoleh pada Anwar yang masuk ke ruang tengah, kemudian duduk pada satu-satunya sofa single yang ada di sana. “Raga nyariin kamu,” sambung Anwar menjelaskan. “Apa Biya belum ketemu?” tanya Lintang mengabaikan ucapan Anwar, karena ada rasa sakit tersendiri ketika mengingat Raga. Terlebih dengan kejadian siang tadi di kantor pria itu. “Lintang—” “Apa anak kesayangan Bapak itu belum ketemu?” Lintang kembali mengulang pertanyaannya dengan sindiran pada Anwar. “Bapak nggak mungkin nggak tahu Biya ada di mana sekarang. Biya