“Ma-Mas Safir.” Intan terpaku. Menatap lurus pada Safir, yang kini juga tampak terkejut melihatnya. Kaki Intan seolah berat untuk melangkah, ketika memandang Safir akhirnya berjalan dengan tatapan bingung menghampirinya.“Bu Imar?” Safir justru lebih dulu menyebut nama Imar, yang berdiri di samping Intan. Apa maksud dari ini semua? Rasanya tidak mungkin, bila Imar berhenti dari kediaman Sailendra. Terlebih, saat ini ada Intan yang masih terpaku di samping wanita paruh baya itu. Apa ini termasuk rencana Raga? Meminta alamat Safir, lalu mencari kontrakan di sekitar sini untuk Intan? “Ngapain di sini?”“Mas Safir tinggal di sini juga?” tanya Imar, kembali melihat rumah yang pagarnya ditinggalkan dalam keadaan separuh terbuka. “Apa, lagi ke tempat temannya?”“Sebentar?” Intan akhirnya bersuara, menatap tanya pada Imar. “Mas Safir tinggal di sini juga? Gimana maksudnya, Bu?”Imar sontak melipat bibir, menatap Safir. Sepertinya, Intan belum tahu mantan suaminya itu diusir dari kediaman Sail
“Bawa sebentar.”Belum sempat Safir membuka mulut untuk protes masalah Intan, Raga sudah menyerahkan Mana ke gendongannya lebih dulu. Safir yang sama sekali tidak pernah menggendong bayi, jelas saja kebingungan. Bagaimana bila Mana bergerak-gerak, menggeliat, atau menangis di tangannya?Lantas, haruskah Safir mendekap Mana dengan erat, atau melonggarkan pelukannya saat ini? Atau, bagaimana bila Mana tiba-tiba terjatuh dari gendongannya? Raga pasti akan membunuh Safir detik itu juga.“Mas—““Aku mau ke kamar mandi,” sahut Raga berjalan cepat memasuki rumah yang ditempati Safir tanpa permisi. Karena bangunannya pasti sama dengan rumah yang ditempati Intan, maka Raga tidak perlu lagi bertanya di mana letak kamar mandinya. Lagi pula, perumahan yang ditempati Safir dan Intan, ukurannya tidaklah besar. Jadi, pasti sangat mudah untuk menemukan kamar mandi di rumah tersebut.“Merepotkan!” desis Safir lalu melihat lurus pada rumah di seberangnya, sembari mendekap erat tubuh Mana dalam pelukann
“Masak apa, Bu?” Raga langsung menyelonong ke dapur, karena mencium aroma masakan yang membuat perutnya mendadak kembali minta diisi. Melihat ada bakwan sayur, dan tahu isi di atas meja makan, Raga segera duduk di samping Lintang, lalu menyomot satu buah tahu isi sembari memangku Mana. “Sayur asem, Mas. Telur ceplok, sama empal daging,” jawab Imar lalu mematikan kompornya. “Mas Raga mau makan? Biar saya siapin.” “Boleh, Bu,” jawab Raga. “Nasi sama sayurnya sedikit aja, empalnya banyakin. Nggak usah telur.” Lintang berdecak, lalu mengambil Mana dari pangkuan Raga. “Papa tadi sudah sarapan sama Rama, tapi masih mau makan lagi?” “Lapar lagi, Ma.” Sambil mengunyah tahu isinya, Raga memandang Intan yang duduk berseberangan dengan Lintang. Raga yakin, Lintang sudah menjelaskan perihal Safir yang ternyata tinggal di depan rumah Intang. Tidak ada unsur kesengajaan, karena baik Raga maupun Lintang, juga sama-sama terkejut mendapati kenyataan tersebut. “Kalau Safir buat masalah, kamu bisa la
Sejak pindah rumah, Safir hanya sekali bertatap muka dengan Intan. Yakni, pada malam Intan menutup pagar dengan kasar tepat di depan wajahnya, dan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh. Tidak hanya itu, Intan tanpa ragu mengusir Safir dengan terang-terangan, dan itu wajar. Intan berhak marah marah dan sangat membencinya. Safir pun tidak mau mempermasalahkannya.Namun, yang membuat Safir bingung ialah, Imar selalu mengirimkan sarapan pada Safir atas perintah Intan setiap harinya. Untuk itu, Safir jelas tidak akan menolak, karena hal tersebut juga akan menghemat pengeluarannya.Apa sebenarnya yang diinginkan Intan? Apa dengan mengirimkan sarapan setiap hari, gadis itu berharap hati Safir akan melunak?Sebenarnya, dengan kondisi Safir sekarang, ia membutuhkan pekerjaan yang mampu menyokong hidupnya dengan baik. Safir pun yakin, ia sebenarnya juga bisa mendapatkan satu pekerjaan mumpuni di perusahaan yang bonafide.Akan tetapi, ada konsekuensi besar yang harus Safir tanggung, bila ia berani
“Kenapa berhenti di sini?” Fajar menoleh ke belakang, setelah menghentikan motornya di tepi jalan. Lembaga bimbingan belajar yang mereka tuju, hanya berjarak sekitar 300 meter lagi, tetapi Intan sudah memintanya menepikan motor. Sepanjang jalan, mereka memang lebih banyak diam, karena topik pembicaraan yang akan mereka lakukan tidak cocok dilakukan dalam perjalanan. Mereka harus duduk berdua, dan membicarakan semuanya dengan serius. “Mumpung kursinya ada yang kosong, Mas,” kata Intan menunjuk kursi besi yang berada di trotoar, sembari turun dari motor Fajar. “Terus di situ nggak panas.” Ia melepas helm, kemudian memberikannya pada Fajar. Intan berjalan lebih dulu, lalu duduk dan tinggal menunggu pria itu menghampirinya. Intan masih ingat, bagaimana tatapan tajam Safir tertuju padanya, ketika ia berangkat kerja diantar oleh Fajar. Pria itu tidak bisa melakukan hal apa pun, karena akan ada hukuman yang menanti, bila Safir berani membuat keributan lagi dengan Fajar di tempat umum. Nam
Dugaan Lintang benar, Biya saat ini sedang bersama Rama, juga Anwar di halaman samping rumah. Ternyata, Anwar membelikan Rama sebuah mobil-mobilan listrik dan remote controlnya saat ini sedang berada di tangan Biya.Lintang benar-benar bingung dengan sikap Rama. Bocah itu senang sekali bermain mobil-mobilan, tetapi malas sekali mengemudikan mobilnya sendiri. Ia lebih senang duduk santai di atas sana, dan membiarkan seseorang mengendalikannya.“Rama … ayo masuk,” ajak Lintang hanya berdiri di sudut rumah, tanpa ingin mendekati Anwar yang berada di sebelah Biya. “Kita mau pulang bentar lagi.”Ketiga orang yang berada di taman tersebut, kompak menoleh pada Lintang.“Kenapa buru-buru pulang?” Anwar melambai pada Lintang, dan meminta putrinya itu agar datang menghampiri. Bukan hanya berdiri di sudut rumah. “Sebentar lagi makan siang, tinggallah dulu.”Lintang menggeleng, dan enggan menghampiri karena ada Biya di sana. “Mas Raga ada perlu, Pak, jadi, kita mau pergi bentar lagi.”Anwar tahu
“Jadi, kita selesaikan masalahnya malam ini juga.” Raga bersedekap. Duduk menengahi dua orang, yang saling melempar tatapan datar. Meskipun Raga tidak terlalu menyukai Fajar, tetapi malam ini ia harus bersikap netral di depan keduanya.“Pak Raga, saya nggak punya masalah sama mas Safir,” sahut Fajar yang juga bersedekap. Duduk tegak, sama seperti Raga.“Lo, yang mukul gue duluan waktu itu!” seru Safir sambil menunjuk Fajar. Jika tidak ada Raga, Safir ingin sekali melayangkan tinju pada Fajar sekali lagi. “Dan sekarang, lo bilang nggak punya masalah sama gue, heh! Sudah pikun, lo?”“Pak Raga tahu, alasan saya mukul Safir waktu itu?” Fajar berusaha tenang ketika memberi penjelasan pada Raga. “Intan lagi hamil, tapi dia tarik-tarik seenaknya. Apa dia nggak pernah mikir, dengan kandungannya Intan? Bagaimana kalau sampai kenapa-napa? Bukannya Intan sudah pernah pingsan waktu di pameran waktu itu, kan? Itu artinya, kandungan Intang harus dapat perhatian ekstra, bukan main tarik—““Sudah gue
“Dengar, Tan, aku nggak mau dibuat pusing dengan masalah seperti ini.” Andai Safir dan Fajar tidak pernah saling baku hantam sebelumnya, Raga pasti tidak akan bersikap seperti sekarang. “Dan aku juga sebenarnya nggak mau ikut campur.”Intan tertunduk dan tidak berani menatap Raga yang berdiri di hadapannya. Sementara Lintang, saat ini duduk pada sofa berbeda, yang berada di samping Intan.“Jadi, tolong kasih ketegasan sama dua orang tadi.” Raga mengangkat tangan dan mengarahkan telunjuknya ke rumah Safir. “Kalau memang kamu nggak tertarik “berhubungan” sama mereka, jangan pernah lagi kasih kesempatan apa pun!”Intan mengangguk, dan masih tidak berani memandang Raga. “Saya, sudah bilang ke mas Fajar, kalau kita itu temenan aja, dan—““Nggak usah teman-temanan!” putus Raga lalu bertolak pinggang. “Langsung cut! Biar nggak ada modus di belakang.”Lintang mencebik, karena Raga sedang membicarakan dirinya sendiri. Jadi wajar, Raga menganggap sikap Fajar yang mendatangi rumah Intan adalah m