Share

Part 5

Helena terbangun dari tidurnya saat merasa perutnya keroncongan. Sebelum bangun dari posisi berbaringnya, dengan perlahan ia mengangkat tangan Felix yang bertengger di pinggangnya, kemudian memindahkannya ke atas kasur. Ia tersenyum saat menatap mata Felix terpejam rapat dan wajahnya yang terlihat damai. Mereka ketiduran setelah menuntaskan ronde kedua permainannya. Karena mereka melewatkan waktu makan malamnya, kini perut Helena pun dilanda kelaparan.

Setelah turun dari ranjang dengan hati-hati agar Felix tidak terbangun, Helena langsung memungut pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajahnya. Helena terpaksa menutupi tubuh telanjangnya dengan kemeja yang tadi Felix kenakan di kantor, mumpung baju tersebut belum dimasukkan ke keranjang cucian kotor. Sebelum keluar kamar dan menuju dapur, Helena menyelimuti tubuh polos Felix.

Tanpa membuang waktu Helena langsung menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sebuah masakan, mengingat perutnya sudah sangat lapar. Dengan cekatan Helena mulai berkutat di dapur.

Sambil merebus ayam untuk dicari kaldunya, tangan Helena dengan terampil memotong beberapa jenis sayuran yang akan diolahnya menjadi sebuah masakan. Ia akan membuat sup ayam yang dicampur sayuran dan sosis untuk memanjakan perutnya.

Beberapa menit sibuk membuat masakan, Helena kaget saat tiba-tiba pundaknya menopang dagu seseorang. Bahkan, kini pinggangnya pun sudah dilingkari sepasang lengan kekar dari belakang.

“Kamu lapar juga?” Helena bertanya tanpa menoleh, sebab ia sudah mengetahui laki-laki yang menempel di punggungnya.

“Tentu saja,” Felix menjawabnya sebelum menguap. “Rasanya seperti tidak makan dua hari,” imbuhnya yang membuat Helena tertawa ringan.

“Salah siapa tadi kita tidak makan dulu?” sindir Helena. “Langsung main tancap saja,” cibirnya.

“Siapa juga yang menyuruhmu menyusulku ke kamar? Padahal tadi aku hanya berganti pakaian,” Felix mengelak dengan memutar pertanyaan. “Kamu yang terlalu bernafsu saat melihatku shirtless dan hanya memakai boxer brief untuk menutupi bagian bawah tubuhku,” tuduhnya.

Helena menyikut perut Felix, meski tuduhan tersebut benar adanya. “Itu bukan aku, Fel, tapi dewi jalang di dalam tubuhku yang terlepas begitu saja,” batin Helena memberikan tanggapan. “Kenakalan tanganmu tolong ditangguhkan dulu ya, Fel. Aku lagi masak dan biar kita bisa cepat makan,” tegurnya saat salah satu tangan Felix telah merambat ke arah gundukan di dadanya yang hanya dilapisi kemeja laki-laki tersebut.

Felix mengabaikan teguran Helena. “Tanganku tidak akan nakal, hanya menempel dan memegangnya saja,” ujarnya sambil menempelkan telapak tangannya pada salah satu gundukan kenyal milik Helena meski disentuh dari luar kemeja.

Helena hanya bisa menghela napas menghadapi tingkah Felix. Walau sedikit kesusahan bergerak karena Felix setia menempel di punggungnya, akhirnya masakan Helena pun matang.

“Fel, bantu aku membawa mangkuk ke meja makan. Masakanku sudah matang.” Helena menggerakkan sebelah bahunya agar Felix mengangkat dagunya.

“Baiklah.” Setelah melihat Helena mematikan kompor, Felix meremas lembut gundukan yang tadi dipegangnya. Ia tertawa saat mendengar desahan Helena karena ulah tangannya.

***

Karena perut mereka sama-sama lapar, akhirnya sup ayam yang dicampur sayur dan sosis pun tidak tersisa. Ternyata perut mereka membutuhkan banyak asupan makanan setelah tadi keduanya melakukan kegiatan yang menguras tenaga. Sebelum Helena kembali ke dapur membawa peralatan makannya dan mencucinya, mereka menyempatkan diri untuk mengobrol.

“Akhirnya perutku kenyang juga, tenagaku pun sudah kembali. Itu artinya nanti aku siap untuk melanjutkan ronde ketiga,” ujar Felix frontal sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Helena.

“Aku mau tidur, silakan kamu garap saja tubuhku,” Helena menanggapinya dengan acuh tak acuh.

“Aku tidak yakin kamu bisa tidur nyenyak saat tubuhmu digarap,” balas Felix menyangsingkan. “Yang ada kamu akan mengimbangi gerakanku,” imbuhnya.

Helena hanya menatap Felix malas. “Oh ya, Fel, boleh aku bertanya sesuatu?” tanyanya mengalihkan pembahasan saat tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas di benaknya.

Felix mengangguk. “Tanyakan saja,” suruhnya.

“Sebelumnya aku minta maaf dan tidak bermaksud untuk membuatmu kembali marah,” pinta Helena sebelum ke inti pertanyaan. “Kenapa kamu sangat membenci tahu? Sampai-sampai kamu sangat marah setiap kali aku membeli bahan makanan itu,” tanyanya penasaran.

Ekspresi wajah Felix seketika berubah setelah mendengar pertanyaan Helena. Ia menatap sorot mata Helena yang penuh keingintahuan. “Haruskah aku mengatakan secara jujur padanya yang jelas bukan siapa-siapa?” batinnya menimbang.

Menyadari perubahan raut wajah Felix menjadi dingin membuat Helena takut. “Jika kamu tidak ingin menjawabnya, abaikan saja, Fel. Anggap saja aku tidak pernah menanyakannya,” pintanya mencicit. Helena memang takut melihat Felix jika sudah memasang wajah datar atau dingin.

“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakannya?” tanya Felix dengan nada datar, tapi penuh selidik.

“Aku hanya penasaran saja, sebab kemarin kamu sangat marah padaku,” Helena berkata jujur. “Waktu pertama kali aku bekerja pun, kamu juga sangat marah saat melihat makanan dari tahu di atas meja. Bahkan, kamu membuang masakanku.” Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya.

“Karena bahan makanan itu mengingatkanku pada seseorang yang sangat aku benci dalam hidupku,” akhirnya Felix memberi tahu Helena alasannya ia membenci bahan makanan tahu.

Walau sedikit terkejut mendengar alasan Felix, tapi Helena menganggukkan kepalanya pelan. “Pasti dulunya seseorang tersebut sangat spesial di dalam hidup Felix, sehingga dampaknya separah ini,” komentarnya dalam hari. “Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kamu mandi lebih dulu. Aku mau mencuci peralatan bekas makan kita,” ucapnya sambil tangannya mulai mengumpulkan peralatan yang mereka pakai makan tadi.

Tanpa menunggu tanggapan Felix, Helena bergegas berdiri dan membawa peralatan bekas makan mereka ke dapur. Kini Helena sudah mengetahui alasannya, jadi untuk ke depannya ia tidak akan menyinggung mengenai bahan makanan itu lagi agar terhindar dari kemarahan Felix.

***

Walau matanya masih mengantuk dan tubuhnya terlampau malas untuk beranjak dari ranjang, tapi Helena tetap harus bangun. Ia harus menyiapkan sarapan untuk Felix sebelum laki-laki tersebut berangkat ke kantor. Dengan sangat hati-hati ia menjauhkan tangan Felix yang memeluk posesif perut polosnya dari belakang. Mereka memang tidak pernah mengenakan sehelai benang pun saat tidur bersama, terlebih setelah usai melakukan aktivitas ranjang. Bukan Helena yang mempunyai ide seperti itu, melainkan Felix sendiri.

Helena merasa sekujur tubuhnya sangat pegal dan kaku, terutama pada area sensitifnya bagian bawah. Usai mengisi perutnya kemarin malam dengan sup sederhana, Felix kembali melanjutkan permainannya yang sempat terjeda karena mereka ketiduran.

Setelah turun dari ranjang, Helena mencari keberadaan gaun tidurnya yang kemarin malam dilempar entah ke mana oleh Felix usai ia mandi. Sebelum menuju dapur, ia ingin ke kamar mandi terlebih dulu untuk sekadar membasuh wajah.

Helena merasa sedikit lebih segar setelah wajahnya terkena air. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya tanpa menimbulkan suara agar tidak mengganggu tidur Felix. Berhubung kemarin malam ia dan Felix melakukan kegiatan yang benar-benar sangat melelahkan, maka pagi ini Helena memutuskan membuat nasi goreng spesial sebagai menu sarapan untuk mengembalikan tenaga mereka. Sebagai minuman pendamping sarapan mereka, Helena juga membuat dua gelas jus buah alpukat. Setelah nasi gorengnya matang dan terhidang di atas meja, ia baru akan membangunkan Felix.

Hampir setengah jam Helena berkutat di dapur, akhirnya nasi goreng spesial buatannya selesai juga. Saat sedang memindahkan nasi goreng di wajan ke piring di tangannya, Helena terkejut oleh sepasang lengan kekar yang memeluk pinggangnya secara tiba-tiba dari belakang. Walau Felix sering melakukannya dan sudah menjadi kebiasaan laki-laki tersebut, tapi tetap saja Helena akan terkejut.

“Baru saja aku ingin membangunkanmu karena nasi gorengku sudah matang,” ujar Helena dan melanjutkan kegiatan tangannya yang tadi terhenti sejenak.

Felix memegang dan memutar kepala Helena ke arahnya, agar ia bisa mengecup bibir tipis milik wanita tersebut. Ia tersenyum saat Helena membalas kecupannya dengan lumatan singkat.

“Sebenarnya aku ingin menunggumu membangunkanku, tapi hidungku tidak bisa diajak kompromi saat mencium aroma masakanmu,” gerutu Felix.

Helena hanya terkekeh menanggapi gerutuan Felix. “Itu artinya kamu sedang kelaparan, makanya pasukan cacing di dalam perutmu tidak mau berkompromi denganmu,” balasnya.

“Kamu benar. Aku sangat kelaparan karena tenagaku habis setelah digunakan untuk menyentuhmu tiada henti. Bahkan, hingga dini hari tadi.” Felix mengulum senyum melihat wajah Helena memerah setelah mendengar perkataan mesumnya.

Felix membantu Helena membawa nasi goreng yang akan mereka santap ke meja makan. “Aku yakin kamu jauh lebih kelaparan dibandingkan denganku. Apalagi setelah kamu mengalami klimaks yang tak terhitung. Ditambah kemarin kita hanya makan malam dengan sup ayam dan sayur saja,” ucapnya frontal. Ia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum puas melihat rona yang menghiasi pipi Helena.

Meski yang dikatakan Felix sesuai kenyataan, tapi Helena lebih memilih bungkam. Ia mengekori Felix menuju meja makan sambil membawa dua gelas jus alpukat. “Selamat makan.”

Helena sengaja mengabaikan perkataan frontal Felix yang membahas mengenai aktivitas ranjang mereka. Ia tidak habis pikir jika mereka akan melakukan kegiatan panas tersebut sejak pulang dari kantor hingga dini hari tadi, walau tetap ada jeda.

Felix tersenyum lebar menanggapi sikap Helena yang mengabaikan ucapannya. “Setelah aku berangkat ke kantor, sebaiknya kamu lanjutkan tidurmu di sini. Pulihkan tenagamu agar besok bisa kembali bekerja seperti biasanya,” sarannya.

Sambil menyuap makanannya Helena menggelengkan kepala mendengar saran Felix. “Aku akan beristirahat di apartemenku. Sore nanti aku ke sini lagi untuk membuatkanmu menu makan malam,” ujarnya. Sesuai rencananya, hari ini ia akan mengantar sekaligus menemani Mayra ke rumah sakit untuk cuci darah.

Tanpa berniat menolak, Felix langsung menyetujui yang diinginkan Helena. “Nanti malam aku ingin makan iga bakar,” ia memberitahukan menu yang ingin dinikmatinya saat makan malam nanti.

“Baiklah, nanti aku akan membuatkannya untukmu,” balas Helena seraya tersenyum.

Helena tersenyum puas saat diam-diam melihat Felix yang dengan lahap menyantap makanan buatannya.

***

Terpaksa Helena mengarang alasan mengenai keabsenannya ke kantor saat tadi Bi Mira bertanya padanya. Helena memberitahukan jika ia sengaja tidak masuk kantor karena ingin mengantar sekaligus menemani Mayra ke rumah sakit untuk cuci darah. Ia juga berdusta kepada Bi Mira dan Mayra dengan mengatakan kemarin malam dirinya diminta menjaga apartemen sang atasan karena laki-laki tersebut sedang pergi ke luar kota. Ia bernapas lega karena Bi Mira atau Mayra tidak bertanya lebih lanjut.

Helena hanya pergi bersama Mayra ke rumah sakit, sedangkan Bi Mira tetap tinggal di rumah. Ia akan meminta Bi Mira menyusulnya ke rumah sakit saat sore nanti, untuk menggantikannya menjaga Mayra. Sebab, seperti biasanya Helena akan mengajak Mayra menginap di rumah sakit satu malam setiap setelah menjalani cuci darah. Ia hanya ingin memastikan keadaan sang adik baik-baik saja dan tetap berada dalam pengawasan tenaga medis.

Helena menatap Mayra yang masih memejamkan mata setelah usai menjalani cuci darah. Ia segera mengalihkan kefokusannya saat mendengar langkah seseorang memasuki ruang perawatan Mayra yang memang tidak tertutup. Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat pemilik langkah tersebut.

“Aku kira kamu sudah pulang setelah Mayra dipindahkan ke sini,” ucap Helena pada laki-laki yang kini sedang berdiri di sampingnya sambil menatap Mayra.

Laki-laki tersebut hanya menggeleng. “Di luar saja kita mengobrol, agar istirahat Mayra tidak terganggu,” ajaknya.

Helena langsung menyetujui ajakan laki-laki yang dulu menjadi tetangganya, sebelum rumahnya digadaikan oleh sang ibu tiri. Wira, nama laki-laki tersebut dan pernah Helena impikan menjadi kekasihnya. Karena Helena tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan perasaannya terlebih dulu, maka rasa yang dimilikinya tersebut pun hingga kini tetap ia pendam seorang diri. Namun kini, keinginan untuk menjadi kekasih Wira harus dikuburnya dalam-dalam, mengingat sekarang dirinya sudah sangat tidak pantas. Wira berhak mendapatkan perempuan baik-baik yang akan mendampingi hidupnya kelak, bukan wanita penghangat ranjang seperti dirinya.

“Bagaimana kabar Sonya? Sudah lama aku tidak pernah bertemu dengannya,” Helena bertanya ketika berjalan bersebelahan meninggalkan ruang rawat Mayra.

“Baik. Kalau kamu ada waktu, datanglah ke rumah agar kalian bisa bertemu. Ajak juga Mayra dan Bi Mira kalau kamu datang ke rumah,” jawab Wira setelah mereka berdua duduk di bangku panjang yang ada di luar ruang perawatan Mayra.

“Tidak lama lagi kami pasti bisa sering berkunjung ke rumah kalian.” Helena mengulum senyum ketika melihat ekspresi terkejut Wira. “Aku sudah lunas membayar tebusan rumah yang digadaikan oleh wanita itu,” beri tahunya tanpa berniat mengalihkan tatapannya dari wajah Wira. Menatap sorot mata Wira yang teduh selalu mampu memberinya ketenangan.

“Aku salut dengan kerja keras yang kamu lakukan, Len.” Wira membawa Helena ke dalam pelukannya. Ia terharu dengan perjalanan hidup yang dilalui oleh sahabatnya. “Sebagai sahabatmu, aku minta maaf karena tidak bisa memberikan banyak bantuan,” pintanya.

“Kamu tidak menghakimiku dan tetap mau berteman denganku saja, aku sudah sangat berterima kasih padamu, Wira. Padahal kamu sudah mengetahui pekerjaan seperti apa yang aku lakukan demi mendapatkan uang lebih. Ketulusan dan keikhlasanmu dalam membantuku merawat Mayra, tidak ternilai dengan bayaran sebanyak apa pun. Bahkan, jika aku memberimu banyak uang, tetap saja itu tidak akan pernah cukup,” ucap Helena saat membalas pelukan Wira. Bahkan, ia tidak malu untuk menumpahkan air matanya pada kemeja yang digunakan oleh Wira.

“Aku tidak berhak menghakimi apa yang dilakukan oleh seseorang. Kamu berani melakoni pekerjaan tersebut karena ada alasan kuat dan mendesak yang mendasarinya. Sebagai seorang sahabat aku hanya ingin suatu saat nanti kamu mendapat dan menikmati kebahagiaanmu.” Wira mengurai pelukannya. Tanpa ragu ia menyusut cairan yang membasahi pipi sahabatnya. “Mayra pasti sangat bangga mempunyai kakak sepertimu,” pujinya, kemudian mencubit gemas pipi Helena yang masih lembap karena air mata.

Helena menurunkan tangan Wira yang usil mencubit gemas pipinya. Ia menghela napas saat mengingat hingga kini dirinya belum juga menemukan donor ginjal untuk adiknya yang malang. “Entah kapan aku bisa menemukan atau ada orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya untuk Mayra,” ucapnya nelangsa.

Wira mengusap punggung tangan Helena. “Kita harus bersabar, Len. Kita juga harus yakin jika suatu saat nanti pasti akan ada orang yang berbaik hati mendonorkan ginjalnya kepada Mayra,” ujarnya menenangkan. “Aku akan selalu mengabarimu jika menemukan informasi mengenai donor ginjal,” sambungnya.

“Terima kasih banyak, Wira. Aku berjanji akan melakukan apa pun untuk membalas semua kebaikanmu,” Helena berucap bersungguh-sungguh. “Perempuan yang akan menjadi kekasih atau istrimu kelak pasti sangat beruntung, mengingat laki-laki sekarang kebanyakan lebih memikirkan urusan selangkangan dibandingkan hati nurani. Sekalinya memberikan pertolongan, pasti diikuti oleh harga yang harus dibayar,” imbuhnya seolah menyuarakan isi hatinya.

“Apakah laki-laki tersebut melakukan kekerasan saat kalian berhubungan?” selidik Wira tanpa malu.

Mendengar pertanyaan sensitif yang dilontarkan Wira seketika membuat wajah Helena memerah karena malu. Ia menunduk dan menggelengkan kepala sebagai bentuk jawabannya. “Jangan menatapku seperti itu, Wira,” tegurnya saat merasakan Wira masih menatapnya penuh selidik. Ia benar-benar malu karena Wira melayangkan pertanyaan yang berhubungan dengan aktivitas intimnya.

Wira mengacak rambut Helena. “Ayo kita makan siang di kantin,” ajaknya.

Helena mengangkat wajahnya. “Kamu akan menemaniku di sini sampai sore?” tanyanya ingin tahu.

“Tentu saja tidak. Usai makan siang baru aku pulang,” jawab Wira setelah berdiri. “Tiba di rumah aku biar langsung mandi dan tidur,” jelasnya.

Helena manggut-manggut. “Kalau begitu aku mau melihat Mayra sebentar, sekalian mengambil dompet,” ujarnya. “Hari ini aku yang mentraktir makan siangmu,” selanya cepat saat melihat Wira akan protes. Ia terkekeh mendengar dengusan Wira atas selaannya. Ia pun bergegas kembali menuju ruang perawatan Mayra untuk mengambil dompetnya sekaligus melihat sang adik.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status