Share

Part 4

Setibanya di Lav Coffee, Felix segera menanyakan keberadaan orang yang ingin ditemuinya. Felix mengangguk setelah mendengar jawaban salah seorang karyawan yang memang ditugaskan untuk menunggu kedatangannya, kemudian ia pun dibimbing menuju lantai dua. Sambil menaiki satu per satu anak tangga, ia melihat pengunjung mulai berdatangan dan menduduki kursi-kursi yang tadinya kosong.

“Silakan masuk, Pak,” ujar karyawan tadi dengan ramah dan sopan setelah menggeser pintu kaca di hadapannya.

“Terima kasih,” balas Felix tidak kalah ramah. Tidak lupa ia juga menyunggingkan senyum tipisnya.

“Tumben bukan Lenna yang menemanimu?” tanya pemilik Lav Coffee tanpa basa-basi setelah melihat Felix berada di dalam ruangannya.

“Sekretarisku sedang banyak tugas yang harus segera diselesaikan,” Felix menjawab setelah duduk, tanpa menunggu dipersilakan terlebih dulu oleh pemilik ruangan. Selain menjadi salah satu klien setianya, Lavenia juga merupakan adik dari sahabatnya, sehingga keformalan di antara keduanya tidak terlalu berlaku.

“Sampai kapan kamu akan betah berdiri di situ, Wis?” Lavenia menegur Wisnu yang masih berdiri di depannya. “Duduklah. Santai saja, aku tidak sekaku Hans,” imbuhnya sambil terkekeh.

Wisnu hanya menyengir ketika menyadari Lavenia dapat membaca ketakutan yang terlintas di dalam benaknya. “Terima kasih, Bu,” ujarnya sopan. Wisnu mengakui jika Lavenia memang jauh lebih ramah dan santai dibandingkan Hans saat mereka berinteraksi.

“Ngomong-ngomong, kalian mau minum apa?” tanya Lavenia kepada Felix dan Wisnu. “Sebelum aku memberi tahu kalian mengenai konsep yang diinginkan oleh Catharina Queen dan kita terlibat pembahasan serius,” imbuhnya.

“Espresso,” tanpa banyak berpikir Felix langsung menyampaikan minuman kesukaannya.

“Samakan saja dengan minuman Pak Felix, Bu,” Wisnu menimpali dengan sopan.

Lavenia mengangguk. “Kalian tunggu sebentar ya.” Ia berdiri dari duduknya, kemudian menghampiri meja kerjanya untuk menghubungi salah seorang karyawannya.

***

Helena melemaskan jari-jari tangannya yang sedari tadi menari lincah di atas keyboard. Pekerjaan yang menunggunya dan tersusun rapi di atas meja kerjanya, baru setengah bisa ia kerjakan. Sambil menyandarkan punggungnya yang ikut menegang, Helena melihat jam di pergelangan tangannya. Angka yang ditunjuk oleh jarum pendek pada jam tangannya menandakan sebentar lagi tiba waktunya untuk makan siang.

Ketika ingin melanjutkan kembali sisa pekerjaannya, Helena menoleh saat telinganya mendengar suara pantofel seseorang bergesekan dengan permukaan lantai di tempatnya berada. Saking seriusnya berkutat dengan komputer, ia sampai melupakan keberadaan sang atasan yang sedang menemui klien di luar kantor.

“Ada titipan dari Ve.” Felix meletakkan paper bag berisi minuman macchiato kesukaan Helena.

“Terima kasih, Pak,” ucap Helena, walau sebenarnya ucapan terima kasih lebih tepat ditujukan kepada Lavenia yang berbaik hati memberinya minuman kesukaannya. “Ibu Lavenia memang baik hati, sangat berbeda dengan kakaknya yang angkuh. Padahal mereka bersaudara, tapi sifat keduanya jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi,” gumamnya pelan.

“Jika Hans mendengar gumamanmu, aku tidak yakin bisa menyelamatkanmu dari amarahnya.” Felix menggelengkan kepala setelah mendengar gumaman Helena tentang sahabatnya.

“Tidak apa, Pak. Asalkan Bapak tidak memecat saya saja dari sini.” Menyadari sikap Felix yang lebih bersahabat dibandingkan saat pagi hari, Helena pun sedikit berani menggunakan nada bercanda dalam membalas perkataan atasannya. “Oh ya, Bapak mau saya pesankan apa untuk makan siang?” tanyanya kepada Felix yang hendak melangkahkan kaki memasuki ruang kerjanya.

“Kita makan siang bersama di luar. Mengenai tempatnya, aku yang akan memilih,” jawab Felix dan menatap wajah Helena. “Sepuluh menit lagi kita berangkat,” beri tahunya setelah melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya.

“Baik, Pak,” Helena menjawab sambil menganggukkan kepalanya. “Sekali lagi terima kasih, Pak, sudah menjadi perpanjangan tangan atas titipan minuman dari Bu Lavenia,” imbuhnya tulus. 

“Temani aku nanti malam sebagai bentuk rasa terima kasihmu.” Felix menyeringai dan mengedipkan sebelah matanya, kemudian berlalu meninggalkan Helena.

Seketika Helena memutar bola matanya. “Sepertinya suasana hatinya sudah benar-benar membaik,” batinnya menggerutu saat menatap Felix yang sudah memasuki ruang kerja pribadinya.

Mumpung masih ada waktu, Helena pun memanfaatkannya untuk kembali melanjutkan pekerjaannya sambil menikmati macchiato titipan Lavenia.

***

Sesuai agendanya usai makan siang yang disampaikan tadi oleh Helena, Felix mempunyai pertemuan dengan pihak YD Furniture di kantornya sendiri. Interaksinya dengan Helena pun telah kembali normal seperti sebelumnya.

Felix mengakhiri pertemuannya dengan Deanita yang merupakan perwakilan dari pihak YD Furniture setelah mereka berbincang kurang lebih satu setengah jam. Felix menggiring Deanita menuju pintu ruangan, mengingat kliennya tersebut juga merupakan kekasih dari sahabatnya.

Melihat meja sekretarisnya tidak berpenghuni, Felix pun memutuskan untuk menunggu pemiliknya datang.

“Dari mana?” Felix bertanya saat melihat kedatangan Helena.

“Dari toilet, Pak,” Helena menjawabnya sambil mengusap perutnya. “Pertemuannya sudah selesai, Pak?” tanyanya karena atasannya sedang menyandarkan pinggul di tepi meja kerja miliknya.

Felix hanya mengangguk tanpa melepaskan tatapannya pada Helena. “Kamu jangan lupa datang ke apartemenku setelah jam kantor bubar. Hangatkan ranjangku malam ini,” pintanya dan mengedipkan sebelah matanya.

Helena hanya menanggapi permintaan Felix dengan helaan napas. Ia tersenyum dalam hati ketika mengingat sesuatu yang sangat penting. “Berarti besok saya absen, Pak?” tanyanya memastikan.

Seperti kebiasaannya setelah melayani nafsu Felix di ranjang, besoknya Helena pasti absen datang ke kantor. Hal tersebut disebabkan karena Felix menikmati tubuhnya berkali-kali sehingga membuat Helena kelelahan. Berhubung besok bertepatan dengan jadwal Mayra cuci darah, jadi ia akan memanfaatkan keadaannya tersebut untuk menemani sang adik di rumah sakit. Selain itu Felix juga tidak akan memotong gajinya akibat absen ke kantor, sebab ia sudah menggantinya dengan melayani kebutuhan biologis laki-laki tersebut di ranjang.

“Memangnya kamu bisa konsentrasi bekerja setelah aku menguras tenagamu dari malam hingga dini hari?” Felix terkekeh saat melihat wajah Helena memerah karena pertanyaannya.

“Aku selalu kehabisan tenaga dan terkapar setelah melayani kebutuhan biologismu,” Helena memberanikan diri membalas perkataan Felix yang frontal.

Felix tertawa. “Hal tersebut disebabkan karena kamu selalu berhasil membuat ranjangku panas dan tentunya sangat memberiku kepuasan,” ujarnya. “Andai perjanjian sialan tersebut tidak ada, saat ini juga aku pasti sudah menyeretmu ke ruanganku dan segera menyentuhmu,” imbuhnya frustrasi karena lekukan tubuh Helena telah terbayang-bayang dalam benaknya.

Felix terpaksa menyetujui perjanjian yang diajukan oleh Helena mengenai ketiadaan aktivitas bercinta saat mereka sedang berada di kantor. Ia hanya berhak atas tubuh Helena saat mereka berada di apartemen atau luar kantor.

Kini giliran Helena yang terbahak. Ia menertawakan perkataan sekaligus raut frustrasi wajah Felix. “Aku hanya tidak ingin ruang kerjamu beralih fungsi menjadi tempat penyaluran hasrat,” balasnya. “Selain itu, aku juga tidak ingin mengotori ruanganmu dengan cairan yang kita produksi,” sambungnya. Helena semakin tertawa saat Felix membesarkan pupil matanya setelah mendengar kalimat balasan darinya.

“Shit!” Felix mengumpat dan menatap Helena yang tertawa renyah dengan tajam. Perkataan Helena mampu membangkitkan pusat gairahnya yang tadinya masih tidur lelap. “Sekarang kamu bisa tertawa sepuasnya, tapi nanti aku pasti akan membuatmu mendesah dan merintih tiada henti,” ucapnya memberi peringatan.

Tanpa menunggu tanggapan Helena, Felix bergegas kembali ke ruangannya. Ia harus menidurkan benda pusakanya terlebih dulu di kamar mandi pribadi yang ada di dalam ruangannya, sebelum menyelesaikan sisa pekerjaannya.

Helena menggeleng-gelengkan kepala dan terkekeh melihat Felix yang tergesa-gesa berjalan menuju ruangan pribadinya. Sejak menjadi penghangat ranjang Felix, mulutnya sudah terbiasa berkata atau membalas ucapan laki-laki tersebut secara vulgar. Helena tidak munafik, selain dirinya memperoleh uang, ia juga mendapat kepuasan saat berhubungan badan dengan Felix. Menurutnya menjadi penghangat ranjang Felix lebih terhormat dibandingkan menyandang predikat sebagai simpanan laki-laki beristri.

***

Sejak pembicaraannya tadi dengan Helena, Felix menjadi sulit berkonsentrasi saat melanjutkan pekerjaannya. Beberapa kali ia mendesah frustrasi sekaligus menggelengkan kepala, berharap bayangan dan lenguhan Helena enyah dari pikirannya. Tadi pun ia terpaksa menidurkan sang adik kesayangan menggunakan tangannya sendiri di kamar mandi pribadinya.

“Shit!” Felix mengumpat ketika lenguhan Helena yang berada di bawah tindihan tubuhnya terus saja terngiang-ngiang di telinganya.

Dengan kasar Felix menekan interkom yang ada di atas meja kerjanya. “Rapikan meja kerjamu. Kita pulang sekarang!” perintahnya kepada Helena tanpa berbasa-basi.

Usai berbicara dengan Helena di interkom, Felix langsung merapikan meja kerjanya. Ia akan membawa sisa pekerjaannya ke apartemen. Jika bukan karena terpaksa, Felix tidak suka menyelesaikan sisa pekerjaannya di apartemen, sebab hal itu sangat mengganggu waktu istirahatnya.

Di luar ruangan, Helena hanya menghela napas setelah mendengarkan perintah yang Felix berikan melalui interkom. Ia tidak mengetahui hal yang mendasari Felix merngajaknya pulang sebelum jam kantor berakhir. Untung saja pekerjaannya hari ini sudah selesai ia kerjakan, padahal masih ada waktu setengah jam lagi sebelum jam kantor bubar. Usai merapikan meja kerjanya, Helena menyandarkan punggungnya pada kursi sambil mengambil ponselnya.

Melihat pintu ruangan Felix dibuka dari dalam, Helena kembali memasukkan ponselnya ke clutch. Ia berdiri dari duduknya dan merapikan setelan kerjanya.

“Tumben mengajakku pulang sebelum jam kantor bubar, Fel?” Helena menyuarakan pertanyaan di benaknya setelah Felix berdiri di depan meja kerjanya.

Felix menatap lekat Helena sebelum memberikan jawabannya. “Aku sudah tidak bisa menahannya,” ucapnya tanpa menutupi tujuannya pulang lebih dulu.

Helena mengerutkan keningnya karena kurang bisa mengerti maksud jawaban Felix. “Menahan apa?” tanyanya gamang dengan ekspresi bingung.

“Memasuki liang senggamamu yang hangat,” Felix menjawabnya dengan frontal sambil menunjuk bagian bawah perut Helena menggunakan matanya.

Walau CCTV di lantai ruangan Felix dan Helena berada terpantau terpisah dengan area lain, tapi ia tetap menjaga tindakannya. CCTV yang terpasang di area kerja Helena dan ruangannya, ia pantau sendiri.

Secara refleks Helena merapatkan pahanya karena ucapan frontal Felix. Bukan hanya pupil matanya yang membesar karena ucapan frontal tersebut, melainkan ia sangat yakin bahwa pipinya pun kini mulai merona. Tanpa sadar Helena malah mengarahkan tatapannya pada letak pusat gairah Felix.

“Kamu bisa melihatnya dengan jelas, Len? Ternyata ia sudah mulai bangun,” ujar Felix saat menyadari arah tatapan mata Helena. “Aku yakin lembahmu juga sudah basah,” tebaknya sambil mencondongkan kepalanya ke arah telinga Helena.

“Ayo kita pulang.” Helena langsung mengambil clutch-nya tanpa menanggapi terlebih dulu tebakan Felix. Laki-laki tersebut sangat tepat menebak kondisi area pribadinya. Kini ia merasa sangat kurang nyaman karena area intimnya mulai lembap, seperti yang Felix duga.

“Mau bermain kilat di mobil? Selama ini kita belum pernah mencobanya di mobil,” Felix menawarkan kepada Helena setelah mereka berada di dalam lift pribadi. “Sepertinya kita berdua sudah sama-sama tidak bisa menahannya,” Felix berbisik di telinga Helena. Bahkan, ia mulai menyentuh daun telinga wanita tersebut.

 “Jangan aneh-aneh, Fel. Bahaya jika nanti ada yang melihat,” Helena menanggapi sambil menahan napas karena ulah lidah Felix di telinganya. Ia mempertahankan kewarasannya dalam memilih tempat untuk melayani kebutuhan biologis Felix. “Lagi pula kita pulang mengendarai mobil masing-masing,” imbuhnya.

“Shit!” umpat Felix setelah mengingat tadi mereka datang menggunakan mobil masing-masing.

Helena mengulum senyum karena berhasil semakin membuat Felix tersiksa oleh gairahnya sendiri. Ia mengembuskan napas kasar setelah lift berbunyi yang menandakan bahwa mereka sudah tiba di lantai satu.

Wajah Felix datar bercampur kesal setelah ia dan Helena keluar dari lift. Helena menghampiri meja resepsionis setelah tiba di lobi, untuk memberitahukan bahwa dirinya dan Felix akan pulang. Selesai dengan urusannya, ia bergegas ke basement mengambil mobilnya dan menyusul Felix yang telah lebih dulu menuju apartemennya.

***

Sesampainya di dalam apartemen, Felix langsung memeluk pinggang Helena dari belakang. Felix mengumpulkan rambut Helena yang tergerai dan menyampirkannya ke samping, agar ia bisa lebih mudah mengecup ceruk leher milik wanita tersebut.

“Fel, aku mau minum dulu,” pinta Helena sambil menahan desahan karena kini lidah Felix mulai bermain di lehernya. Helena mengerang karena Felix menyesap kuat lehernya setelah ia meminta izin untuk ke dapur mengambil air.

“Mau minum air dari mulutku?” tanya Felix iseng di sela aktivitasnya.

“Lebih enak minum langsung dari gelas,” jawab Helena cepat saat Felix menghentikan aksi lidahnya. Ia bergegas menuju dapur setelah Felix melepaskan pelukan pada pinggang rampingnya.

Felix terkekeh mendengar jawaban Helena. Sambil membiarkan Helena ke dapur untuk mengambil air minum, ia pun memutuskan pergi ke kamar pribadinya. Ia ingin melepaskan setelan kerjanya terlebih dulu sebelum membiarkan Helena melucuti sisanya.

Setelah mengobati dahaganya dengan segelas air mineral dingin, Helena menyusul Felix ke kamar. Tiba di dalam kamar, Helena melihat Felix baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki tersebut sudah bertelanjang dada, sedangkan bagian bawah tubuhnya hanya tertutup boxer brief. Melihat keadaan Felix saat ini membuat dewi jalang yang tadi masih tertidur di dalam tubuh Helena perlahan mulai bangun. Terlebih saat melihat sesuatu yang menonjol dengan jelas di antara paha Felix. Tanpa mengalihkan tatapannya dari Felix yang bergeming di depan pintu kamar mandi, Helena berjalan mendekat.

Felix menyeringai saat melihat kabut gairah mulai menyelimuti mata Helena. Ia tetap bergeming pada posisinya dan membiarkan Helena semakin mendekat ke arahnya. Darahnya berdesir saat tangan Helena terulur dan menyentuh dada bidangnya dengan penuh kehati-hatian. Tanpa aba-aba Felix menarik tengkuk Helena, kemudian menyambar bibirnya dan beraksi dengan rakus.

Bersamaan dengan tangan Helena yang telah berpindah ke lehernya, Felix mulai melesakkan lidahnya untuk mengabsen deretan gigi wanita tersebut. Ia pun melingkarkan tangannya pada pinggang Helena. Suara decapan lidah mereka memenuhi kamar tidur Felix yang hening. Tanpa menghentikan kegiatan mulut mereka, Felix mulai menggiring Helena menuju ranjang.

Dengan lembut Felix mendorong tubuh Helena agar punggungnya menyentuh permukaan kasur yang dingin setelah sampai di pinggir ranjang. Felix sengaja membiarkan kedua kaki Helena menggantung di pinggir ranjang. Tanpa membuang waktu tangan Felix pun langsung beraksi menyentuh salah satu area sensitif pada tubuh Helena.

“Aku ingin menikmati mereka terlebih dulu.” Felix menyudahi aksi mulutnya setelah menyadari Helena mulai kesulitan bernapas.

“Lakukanlah,” Helena mempersilakan dengan napas masih terengah. “Nikmatilah sepuasmu,” sambungnya saat tangan Felix mulai melucuti pakaian atasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status