Share

Part 6

Setelah Helena pulang usai menemaninya makan malam, Felix malas berada di apartemen sendirian, jadi ia memutuskan mengunjungi kelab malam untuk mencari hiburan. Sebenarnya sejak menjadikan Helena sebagai penghangat ranjangnya, Felix hampir tidak pernah lagi mendatangi kelab malam, meski hanya untuk sekadar menikmati minuman beralkohol. Namun, untuk malam ini akan menjadi pengecualian bagi dirinya.

Saat tiba di basement apartemennya, Felix melihat mobil Hans yang hendak parkir. Ia menghela napas saat melihat kantong plastik yang ada di tangan Hans, setelah sahabatnya tersebut keluar dari mobil. Malam ini ia terpaksa harus membatalkan niatnya untuk mencari hiburan di tempat yang dipenuhi oleh dentuman musik, para wanita sexy dan berbagai minuman beralkohol.

“Mau ke mana, Hans?” Felix pura-pura menanyakan tujuan Hans yang kini berjalan menghampirinya.

“Tentu saja ke rumah keduaku,” Hans menjawabnya tanpa ragu.

Pupil mata Felix melebar mendengar jawaban seenaknya yang diberikan Hans. “Enak saja. Sejak kapan apartemenku menjadi rumah keduamu? Lagi pula siapa yang mengizinkamu ke sana, sedangkan pemiliknya ada di hadapanmu dan akan pergi mencari hiburan,” decaknya kesal.

Hans mengabaikan kekesalan Felix, malah dengan santainya ia kembali berkata, “Tidak perlu mengunjungi kelab malam jika ingin menikmati minuman beralkohol, karena aku sudah membawakannya khusus untukmu.”

“Shit!” umpat Felix karena kekesalannya bertambah atas perkataan Hans. “Aku pergi ke kelab malam bukan hanya ingin meneguk minuman beralkohol, melainkan untuk cuci mata,” tanggapnya kesal.

“Cuci mata sekalian menyeret jalang untuk menghangatkan ranjangmu?” cibir Hans sambil menyeringai. “Memangnya permainan sekretarismu itu sudah tidak bisa memuaskanmu lagi di ranjang?” tanyanya menyelidik.

Felix menatap tajam Hans, kemudian mengembuskan napasnya kasar. “Hari ini kamu menang karena berhasil membuatku batal mengunjungi kelab malam,” ujarnya tanpa berniat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Hans sebelumnya. Ia berjalan mendahului Hans menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai tempat unit apartemennya berada.

Hans tersenyum menang karena berhasil mengusik ketenangan hati Felix. Ia mengabaikan serentetan gerutuan yang keluar dari mulut sahabatnya tersebut. Dengan langkah tenang ia mengekori Felix yang berjalan di depannya menuju lift.

***

Sambil menikmati beer di tangannya, Felix sesekali terkekeh mendengarkan kekesalan Hans yang menceritakan mengenai pertemuannya dengan calon adik iparnya. Dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh Hans, Felix dapat mengetahui jika sahabatnya tersebut memang sedang sangat kesal. Rasa penasaran menggelitik benak Felix atas sosok calon adik ipar yang diceritakan oleh Hans. Felix juga menyangsikan ucapan Hans yang mengatakan jika calon adik iparnya memiliki sikap kasar dan tidak mempunyai sopan santun ketika berbicara dengan orang lain. Bahkan, kata-kata yang dilontarkan pun dianggap cenderung kurang ajar.

Menurut perkiraan Felix, tidak mungkin rasanya Deanita mempunyai adik yang karakternya sangat bertolak belakang dengan wanita tersebut, apalagi mereka berasal dari keluarga berpendidikan sekaligus terhormat.

“Jika saja Diandra bukan adiknya Dea yang nantinya juga akan menjadi adik iparku, sudah pasti aku beri pelajaran mulutnya agar berhenti melontarkan kata-kata kurang ajar.” Hans meremas kaleng beer kosong di tangannya karena geram ketika mengingat kata-kata yang Diandra lontarkan saat berbicara dengan kakak serta ibunya. Untung saja adiknya tidak berani bersikap atau berkata kurang ajar kepada ibunya. Andai Lavenia berani seperti Diandra, ia sudah pasti akan mengusir adiknya tersebut.

”Kamu ingin memberinya pelajaran dengan sumpalan mulutmu, kemudian melumatnya secara kasar sampai membuat Diandra terengah-engah karena kehabisan napas?” cibir Felix dan terkekeh. Sudah menjalin persahabatan selama bertahun-tahun, tentu saja Felix mengetahui karakter dan sifat yang dimiliki Hans.

Hans mendengkus mendengar cibiran frontal Felix. “Aku tidak sudi menyumpal apalagi sampai melumat mulutnya. Aku tidak mau mengotori mulutku hanya untuk memberinya pelajaran. Wanita kurang ajar sepertinya tidak pantas aku cecap mulutnya,” tanggapnya sarkasme.

“Hati-hati dengan lidahmu, Hans,” Felix memperingatkan. “Jangan sampai suatu saat nanti kamu malah jatuh cinta juga pada Diandra, apalagi sampai menjadikan mulutnya sebagai candumu. Sangat bahaya dan memusingkan jika harus mencintai dua wanita sekaligus, terlebih mereka saudara kandung,” imbuhnya mengingatkan.

Hans tertawa mengejek. “Jika sampai hal tersebut terjadi padaku, berarti kewarasanku patut dipertanyakan,” balasnya. “Kamu yang seharusnya berhati-hati agar tidak jatuh cinta pada sekretaris sekaligus wanita penghangat ranjangmu itu,” serangnya telak.

“Sama sepertimu, jika aku sampai mempunyai perasaan lebih terhadap Helena, berarti kewarasanku juga patut diperiksakan,” balas Felix dengan santai. Sedikit pun ia tidak terintimidasi dengan serangan telak Hans.

Tanpa disadari, Felix dan Hans sudah meneguk habis beberapa kaleng beer sambil mengobrol. Kini mereka terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing setelah menutup topik obrolannya yang dirasa tidak berbobot.

“Kamu yakin jika Dea adalah jodohmu, Hans?” Felix tiba-tiba membuka suara setelah mereka terdiam beberapa saat.

Hans langsung menatap Felix tidak suka. “Pertanyaanmu sungguh konyol, Fel,” balasnya.

Felix tertawa kosong. “Aku bertanya karena peduli padamu,” belanya.

“Tentu saja aku sangat yakin. Hanya Dea yang aku inginkan menjadi istri sekaligus ibu dari anak-anakku kelak,” Hans memberi tahu penuh keyakinan.

Felix mengangguk. Ia memercayai ucapan dan keyakinan sahabatnya. “Sebagai sahabatmu, aku hanya tidak ingin kamu mengalami nasib percintaan sepertiku,” ungkapnya jujur sekaligus menyiratkan kegetiran.

Bukannya berterima kasih karena sudah dipedulikan, tapi Hans menanggapinya dengan tertawa mengejek. “Dea sangat berbeda jauh dengan mantanmu yang jalang itu,” cibirnya. “Kamu jangan pernah menyamakan Dea dengan jalang kurang ajar itu. Kedua orang itu memiliki perbedaan yang teramat besar. Bagaikan langit dan bumi!” peringatnya tidak suka.

Felix menghela napas karena sepertinya Hans salah paham menangkap maksud kepeduliannya. “Tentu saja mereka tidak sama dan perbedaannya pun sangat kentara,” Felix menyutujui argumen Hans. “Aku akui kamu dan Dea sangat serasi menjadi pasangan, selama ini pun hubungan kalian lancar-lancar saja. Aku pernah berada di posisi kalian, sayangnya hubungan kami hancur berserakan karena orang ketiga,” imbuhnya dengan tatapan nanar.

Hans baru memahami maksud kekhawatiran Felix. Ia ikut iba atas tragedi percintaan yang menimpa sahabatnya. “Aku harap kelak kamu akan menemukan wanita yang benar-benar tulus mencintaimu, Fel.” Hanya kalimat dan harapan tersebut yang bisa ia ucapkan kepada Felix.

Felix mendengkus. “Kebanyakan wanita sekarang lebih mengutamakan uang dibandingkan ketulusan,” ucapnya dengan tatapan menerawang.

Mengingat hubungan percintaannya dulu membuat hati Felix berdenyut nyeri. Ketulusannya dalam mencintai seorang wanita ternyata berujung petaka yang mampu menghancurkan hubungan keluarganya sekaligus berhasil menyakiti banyak hati. Wanita yang dulu diyakini menjadi jodohnya ternyata dengan sengaja menancapkan belati pada hatinya dan keluarganya. Luka tersebut hingga detik ini masih menganga dan entah kapan akan terobati, karena kini ia sudah menutup rapat-rapat hatinya.

***

Helena memoles wajahnya dengan riasan tipis usai membersihkan diri dan berganti pakaian di kamar mandi yang ada di ruang rawat Mayra. Setelah menyelesaikan tugasnya di apartemen Felix kemarin, Helena pulang terlebih dulu sebelum kembali ke rumah sakit untuk menemani Bi Mira menjaga Mayra. Karena kemarin Helena sudah membawa setelan kerjanya, jadi hari ini ia bisa langsung berangkat dari rumah sakit menuju apartemen Felix.

“Kakak,” gumam Mayra yang baru membuka mata dan melihat Helena sedang duduk di sofa sambil merias wajah. Ia terkejut dengan keberadaan sang kakak di kamarnya. Seingatnya kemarin, hanya ada Bi Mira yang menemaninya di ruang perawatan. “Kakak, tidur di sini?” Mayra menyuarakan pertanyaan yang terlintas di benaknya.

Helena menjeda aktivitas tangannya saat mendengar suara adiknya. Ia tersenyum melihat wajah bantal sang adik yang tengah menatapnya. “Pagi, May,” sapanya terlebih dulu sebelum menanggapi pertanyaan Mayra. “Iya, Kakak tidur di sini. Kemarin malam kamu sudah tidur saat Kakak datang ke sini,” beri tahunya. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanyanya sambil melanjutkan kegiatannya merias wajah.

“Sangat nyenyak, Kak,” jawab Mayra sambil menguap. “Bi Mira ke mana, Kak?” tanyanya saat tidak melihat sosok wanita paruh baya yang selalu menemaninya.

“Masih di kamar mandi,” beri tahu Helena setelah usai merias wajahnya. Ia memasukkan perlengkapan riasnya ke pouch komestiknya. “May, Kakak minta maaf karena nanti tidak bisa mengantarmu pulang,” pintanya merasa sangat bersalah.

Mayra menanggapi permintaan sang kakak dengan anggukan kepala dan senyuman. “Tidak apa-apa, Kak, lagi pula sudah ada Bi Mira yang bersamaku,” ucapnya menenangkan. “Seharusnya aku yang berterima kasih, karena Kakak sudah meluangkan waktu untuk menemaniku menjalani cuci darah,” imbuhnya saat memerhatikan Helena menguncir kuda rambutnya.

Setelah selesai menguncir rambutnya, Helena mendekati Mayra yang masih berada di atas ranjang. “Kamu tidak usah berterima kasih, karena sudah menjadi kewajiban sekaligus tanggung jawab Kakak untuk mengantarmu menjalani perawatan.” Helena duduk di pinggir ranjang, kemudian memeluk pundak Mayra dari samping. “Harusnya setiap kamu menjalani perawatan, Kakak selalu bisa mengantar dan menemanimu,” sambungnya.

Mayra melingkarkan tangannya pada pinggang Helena. “Tidak apa, Kak. Lagi pula Kakak harus kerja agar bisa membayar semua biaya perawatan dan pengobatanku. Selain Bi Mira, Kak Wira juga ada dan selalu ikut menemaniku jika aku menjalani perawatan,” ucapnya menenangkan agar Helena tidak semakin merasa bersalah atau bersedih.

“Kamu tidak sarapan dulu, Len?” tanya Bi Mira yang baru keluar dari kamar mandi saat melihat Helena telah berpakaian rapi.

Helena menoleh, kemudian menggeleng. “Nanti aku sarapan di kantor saja, Bi. Aku takut terlambat tiba di apartemen atasanku,” ucapnya setelah Mayra melepaskan pelukan pada pinggangnya. “Bi, aku mau membayar tagihan rumah sakit dulu, dan langsung berangkat.” Helena mencium punggung tangan dan pipi Bi Mira yang sudah berdiri di sampingnya. “Kamu pulang sama Bibi ya, May,” ujarnya pada Mayra setelah ia berdiri. Sebelum mengambil clutch-nya di atas sofa, Helena mengecup pipi Mayra.

“Hati-hati, Kak,” ucap Mayra sambil melambaikan tangannya.

“Jangan lupa sarapan, Len,” Bi Mira mengingatkan dan langsung diangguki oleh Helena.

***

Helena mengernyit melihat pemandangan tidak biasa setelah memasuki apartemen Felix. Beberapa kaleng beer yang isinya telah habis berserakan menghiasi coffee table, padahal kemarin saat ia tinggalkan keadaan apartemen tersebut sudah bersih. Setelah meletakkan clutch-nya di atas meja makan, Helena segera membersihkan sampah kaleng beer tersebut yang sangat mengganggu pemandangan di dalam apartemen Felix.

“Sudah dari tadi, Len?” tanya Felix yang baru keluar dari kamar tidurnya.

Helena menoleh dan tersenyum geli melihat penampilan berantakan baru bangun Felix. “Baru saja,” jawabnya.

“Kemarin malam Hans ke sini dan ia memintaku untuk menemaninya minum,” Felix memberi tahu Helena tanpa wanita tersebut bertanya.

“Aku kira kamu yang minum beer sebanyak ini,” ujar Helena sambil membawa kantong plastik berisi sampah kaleng beer. “Kamu mau sarapan apa, Fel?” tanyanya setelah berada di dapur dan memasang apron.

“Dirimu,” Felix menjawab cepat sambil tangannya mencubit bokong Helena yang tertutup rok pensil hitam. “Harum.” Felix menghirup aroma tubuh Helena dengan rakus, berharap pening di kepalanya segera hilang yang disebabkan oleh minuman dan obrolannya bersama Hans kemarin malam.

“Aku bukan makanan, Fel.” Helena mengabaikan telapak tangan Felix yang kini masih menempel di bokongnya. Jika ia memindahkannya, maka Felix akan kembali menempelkannya atau tangannya semakin berulah.

“Kamu makanan istimewaku, Len,” balas Felix tidak mau kalah. Ia sengaja menggoda Helena, tapi wanita tersebut tidak termakan godaannya.

“Tapi tidak mengenyangkan perut, melainkan kian membuat lapar.” Helena mulai mengambil beberapa butir telur dan akan mendadarnya. Ia akan membuat sandwich untuk sarapan Felix. “Kamu mau sarapan atau mandi dulu?” tanyanya sambil menoleh.

“Sarapan saja.” Felix langsung mengecup bibir Helena. “Manis,” bisiknya.

Usai berkata demikian, Felix menjauhkan tubuhnya dari Helena. Ia ingin mengambil air karena tenggorokannya terasa kering. Ia akan membiarkan Helena menyiapkan sarapannya agar nantinya mereka tidak terlambat datang ke kantor.

***

Berhubung Felix sedang tidak ada di kantor, Helena menerima ajakan Wisnu dan rekan kerjanya yang lain untuk makan siang bersama. Helena berani menerima ajakan Wisnu dan rekannya yang lain, tentu saja setelah Felix memberi kabar bahwa dirinya akan makan siang bersama Hans. Sebagai seorang karyawan, ia juga ingin merasakan keseruan berbaur bersama rekan kerjanya yang lain, seperti membicarakan hal-hal sepele atau menceritakan keluh kesah seputar pekerjaan masing-masing. Selama ini Helena merasa jika interaksinya sangatlah terbatas dengan karyawan yang ada di kantor, mengingat waktunya selalu tersita bersama Felix.

“Karena hari ini Mbak Helena ikut makan siang bersama kita, maka aku akan mentraktir kalian,” Wisnu berkata sebelum menikmati nasi goreng yang baru saja diantarkan.

Rekan-rekan kerja yang sebagian besar berada satu divisi dengan Wisnu langsung riuh mendengar berita menggembirakan tersebut, karena mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk mengenyangkan perut masing-masing.

“Mbak, sering-sering saja ikut makan siang, agar kami selalu mendapat traktiran dari Pak Wisnu,” celetuk salah satu anak buah Wisnu.

“Jangan mau, Len, yang ada nanti aku bangkrut,” Wisnu meminta Helena agar mengabaikan celetukan anak buahnya.

Helena yang duduk di hadapan Wisnu hanya terkekeh. “Aku tidak bisa janji. Tapi kalau ada waktu, aku pasti ikut makan siang bersama kalian lagi,” jawabnya realistis. Mana mungkin ia bisa sering-sering makan siang seperti sekarang, mengingat Felix yang selalu membuat ruang geraknya terbatas.

“Kamu tidak keberatan makan di tempat seperti ini, Len?” tanya Wisnu sambil menatap Helena yang mulai mencicipi kuah soto pesanannya.

“Tentu saja tidak, Wis, apalagi makanan di sini enak dan harganya juga bersahabat,” jawab Helena sambil manggut-manggut karena menyukai rasa kuah soto yang dipesannya.

“Syukurlah.” Wisnu menghela napas lega. “Biasanya kamu selalu makan siang bersama Pak Felix, pasti di tempat yang mahal dan makanannya pun mewah,” imbuhnya menduga.

“Tidak juga,” jawab Helena singkat. Ia tidak membenarkan seluruh dugaan Wisnu.

“Kapan-kapan aku akan mengajakmu makan siang di restoran yang sedikit berkelas, tapi hanya kita berdua,” Wisnu berucap pelan agar rekan-rekannya yang lain tidak mendengar. “Kalau mengajak mereka, nanti dompetku menjerit,” sambungnya sambil menampilkan ekspresi sedih sehingga membuat Helena terkekeh.

Sambil diselingi obrolan-obrolan remeh bersama Wisnu dan rekan kerjanya yang lain, Helena sangat menikmati makan siangnya hari ini. Rasanya baru kali ini ia menjadi seorang karyawan yang pada umumnya.


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status