Share

Part 7

Mata Helena berkaca-kaca saat sertifikat rumahnya kembali berada dalam genggaman tangannya. Jika saja rumah tersebut bukan satu-satunya harta peninggalan milik sang ayah, maka ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang untuk menebusnya. Selain menjadi harta peninggalan sang ayah, rumah tersebut juga banyak menyimpan kenangan manis bersama orang tuanya ketika mereka masih hidup. Walau tidak besar, tapi rumah tersebut sangat berarti dalam hidupnya.

Helena meminta kepada Mayra dan Bi Mira untuk mulai mengemas barang masing-masing, sebab minggu depan ia akan mengajak mereka pindah ke rumah yang sudah ditebusnya tersebut. Walau mereka akan pindah, tapi Helena tidak berniat memberi tahu Felix. Semasih bekerja pada Felix ia tidak akan meninggalkan apartemen yang diberikan oleh laki-laki tersebut sebagai hadiah kesepakatan mereka.

“Len, besok Bibi mau membersihkan rumah sebelum minggu depan kita tempati.” Bi Mira meletakkan pisang goreng yang masih panas dan secangkir teh di atas coffee table. Saat Helena tadi memberitahunya untuk mulai berkemas, Bi Mira sedang berada di dapur membuat pisang goreng.

“Tidak usah, Bi. Nanti aku mau cari tukang untuk memeriksa kondisi rumah dulu sebelum kita tempati. Sekalian juga aku akan bayar orang untuk membersihkan rumah sekaligus merapikan halamannya,” Helena menolak keinginan Bi Mira. “Kalau Bibi pergi, nanti Mayra pasti ingin ikut,” imbuhnya sambil mulai mengambil satu buah pisang goreng yang tersaji di depannya.

Bi Mira hanya mengangguk sambil memerhatikan Helena. “Nak, apakah laki-laki yang membebaskanmu dari tempat pelacuran tersebut memperlakukanmu dengan baik?” Walau terdengar lancang, tapi rasa penasaran memaksanya untuk bertanya.

Mendengar pertanyaan Bi Mira yang tidak biasa membuat Helena mengurungkan niatnya untuk menyesap teh. Ia menjawab pertanyaan wanita yang sangat perhatian padanya dengan anggukan kepala. Sejak awal Bi Mira telah mengetahui dirinya dijual oleh wanita yang menggunakan topeng sebagai ibu tirinya. Jadi, saat keluar dari tempat jahaman tersebut, ia menceritakan dengan jujur bahwa ada orang yang membebaskannya secara bersyarat. Tanpa menutupi ia pun mengatakan syarat yang diajukan oleh Felix. Walau wanita paruh baya tersebut sangat sedih mendengar pengakuannya dan sempat melarangnya, tapi Bi Mira dengan berat hati menerima keputusan yang diambilnya.

Melihat anggukan kepala Helena membuat air mata Bi Mira menetes lancang. Selancang pertanyaannya tadi kepada wanita yang kini tatapannya datar. Sebagai sesama wanita, ia mengerti gejolak perasaan yang berkecamuk di dalam hati Helena. Gadis malang yang masa depannya dihancurkan secara sengaja oleh sang ibu tiri. Gadis yang tanpa persetujuan langsung dilemparkan ke tempat pelacuran oleh sang ibu tiri agar memperoleh uang demi memuaskan hasrat berjudinya.

“Walau pekerjaan yang aku lakoni sangat tidak terpuji dan hina di mata orang, tapi aku hanya melacurkan diri pada satu laki-laki saja, Bi,” ungkap Helena dengan jujur. “Aku melacurkan diri hanya pada laki-laki yang mengeluarkanku dari sarang pria hidung belang, Bi,” imbuhnya penuh ketegasan dan dengan nada datar.

Bi Mira berpindah ke samping Helena, kemudian langsung memeluk tubuh perempuan malang tersebut. “Bibi hanya takut kamu diperlakukan tidak manusiawi, Len,” ucapnya penuh kekhawatiran yang kini telah terisak.

Helena membalas pelukan Bi Mira. “Tidak, Bi. Buktinya tidak ada bekas lebam atau luka di sekujur tubuhku,” balasnya menenangkan. “Satu lagi, Bi, laki-laki tersebut hingga kini statusnya masih belum berkeluarga, jadi Bibi tidak usah khawatir kalau aku menjadi perebut suami orang,” sambungnya menegaskan.

“Bibi percaya pada perkataanmu, Nak.” Bi Mira mengurai pelukannya. Ia membiarkan jemari lentik Helena menghapus air mata yang membasahi pipinya.

“Mayra sudah tidur, Bi?” Helena menanyakan keberadaan sang adik yang tidak terlihat, sekaligus mengalihkan pembahasannya bersama Bi Mira.

“Sudah, Len. Selesai mengerjakan tugas sekolahnya, Mayra pamit tidur,” beri tahu Bi Mira.

Helena mengangguk. “Bibi kalau sudah mengantuk, tidur saja. Aku mau menonton dulu,” ujarnya saat matanya melihat jarum jam dinding sudah menunjuk angka sembilan.

“Jangan tidur terlalu malam, Len. Besok pagi kamu kerja,” Bi Mira mengingatkan Helena setelah berdiri. Ia tersenyum saat Helena menanggapinya dengan anggukan kepala.

***

Usai berkutat di dapur dan menghidangkan menu sarapannya di atas meja makan, Helena melepas celemeknya. Ia bergegas menuju kamar Felix untuk membangunkan laki-laki tersebut sekaligus ingin menyiapkan setelan kantornya. Helena menggelengkan kepala saat melihat Felix masih bergelung hangat di bawah selimut. Selain bertugas menghangatkan ranjang, membuat sekaligus menyiapkan makanan, dan membersihkan apartemen, ternyata ia juga harus menjadi pengasuh Felix.

“Fel, bangun,” panggil Helena setelah menarik selimut yang menutupi tubuh Felix. “Sarapannya sudah siap,” imbuhnya.

“Hm,” Felix hanya menjawabnya dengan gumaman malas tanpa membuka matanya.

Melihat reaksi Felix, Helena pun mengguncangkan pundak laki-laki yang masih tidur memunggunginya. Ia kembali mengulangi tindakannya tersebut agar Felix cepat membuka matanya. “Ayo bangun, Fel,” pintanya tak menyerah.

Mata Felix akhirnya terbuka karena panggilan dan ulah tangan Helena di pundaknya benar-benar mengusik tidurnya. Tanpa membalikkan badan, Felix menahan tangan Helena di pundaknya. “Aku masih ngantuk, Len,” ujarnya dengan serak. Suara khas bangun tidur.

“Sayangnya sekarang sudah pagi, Fel. Sarapanmu juga sudah siap,” Helena menanggapinya sambil mengulum senyum. Setiap bangun tidur, ia selalu menemukan sifat kekanakan Felix.

Felix menyerah dan akhirnya membalikkan badan. Setelah posisinya telentang ia menatap Helena berulang kali. Dengan cepat ia menyambar pergelangan tangan Helena, kemudian menariknya. “Mau ke mana?” tanyanya setelah tubuh Helena terjatuh di sampingnya. Ia melingkarkan tangannya pada perut Helena yang telah memperbaiki posisi duduknya.

Helena menghela napas melihat kelakuan Felix. “Fel, nanti kita terlambat ke kantor,” ucapnya dan menahan jari-jari tangan Felix yang mulai membuat pola abstrak pada perutnya.

Bukannya berhenti, kini jari-jari tangan Felix malah merambat menuju salah satu bukit kembar Helena. Ditangkupnya gundukan kenyal tersebut walau masih terhalang dua lapisan. Felix menepis tangan Helena yang menahannya. Ia menyeringai saat melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam di pergelangan tangan Helena. “Masih sempat,” ujarnya dan membuat Helena menatapnya bingung.

Helena kelabakan sekaligus memekik saat tangan Felix langsung menyerang gundukan kenyalnya dari luar blouse. Bukan hanya ulah tangan Felix membuatnya memekik, melainkan kondisi benda kenyal tersebut yang saat ini sedang sensitif. Rasa nyeri langsung menyengatnya saat Felix tanpa aba-aba meremasnya. “Fel, kita tidak bisa melakukannya sekarang,” tolaknya dengan susah payah.

Seketika Felix menghentikan aksi tangannya. Ia langsung duduk dan menatap Helena penuh selidik. “Sejak kapan aku memerlukan persetujuanmu dalam menjamah tubuhmu?” Felix langsung emosi mendengar penolakan Helena.

“Maksudku bukan seperti itu, Fel.” Meski merasa sakit hati atas perkataan Felix, tapi Helena tetap memberinya pengertian. “Aku tidak mungkin melayanimu dengan keadaan ….” Kalimat Helena terpotong karena Felix menyelanya.

“Apa?!” Felix menyela nyalang. Ia merasa frustrasi karena hasratnya yang sudah di ubun-ubun dijatuhkan.

“Aku kedatangan tamu bulanan,” Helena mencicit saat memberi tahu alasannya. Dini hari tadi Helena mengetahui tamu bulanannya datang saat ia buang air kecil.

“Shit!” Felix mengumpat setelah melemparkan bantal di sampingnya.

Mendengar umpatan dan melihat tindakan Felix membuat Helena terlonjak kaget. Ia bergeming pada posisinya sambil menundukkan kepala.

Setelah mengembuskan napasnya beberapa kali untuk meraih kewarasannya, akhirnya Felix kembali mengalihkan tatapannya ke arah Helena yang bergeming di sampingnya.

“Jika bibir bawahmu sedang kedatangan tamu, kalau begitu puaskan aku dengan ini.” Felix menyentuhkan ibu jarinya pada bibir Helena. “Dan kedua bukit ini juga masih bisa aku nikmati sekarang,” imbuhnya sambil kembali menangkup kedua bukit kembar Helena.

Helena tidak bisa menolak. Ia harus menjalankan apa pun titah Felix, karena bayaran yang didapatnya tergantung pada pelayanannya dan tingkat kepuasan laki-laki tersebut. “Baiklah,” ucapnya sambil tersenyum. Helena menaikkan kakinya yang tadi menggantung ke ranjang Felix agar bisa berhadapan dengan laki-laki tersebut.

“Pakaian kerjamu masih ada di sini?” Felix tersenyum setelah Helena mengangguk. Ia memang sengaja meminta Helena untuk menaruh beberapa potong pakaian di apartemennya, salah satunya setelan kantor. “Meeting pertama hari ini setelah jam makan siang?” tanyanya dan tangannya mulai menanggalkan blouse yang menutupi tubuh bagian atas Helena.“

“Iya,” jawab Helena pelan setelah merasakan dinginnya suhu kamar Felix langsung menyentuh kulit tubuhnya.

“Temani nanti saat aku rapat,” Felix meminta sambil merebahkan tubuh Helena di tengah-tengah ranjang. Felix melanjutkan aksinya dengan menanggalkan rok yang dipakai Helena, sehingga tubuh di bawahnya hanya berbalut pakaian dalam.

“Baik,” Helena menjawab sambil membusungkan dadanya karena tangan Felix telah menyelinap di bawah punggungnya untuk melepaskan pengait penutup bukit kembarnya. “Fel, jangan terlalu kuat,” Helena mengingatkan saat Felix mulai menyentuhkan ujung lidahnya pada salah satu puncak bukitnya yang telah menegang.

“Nyeri?” Pertanyaan Felix langsung diangguki oleh Helena. “Sedikit lebih bengkak dari biasanya,” komentarnya setelah memerhatikan sekaligus meremas benda kenyal milik Helena tersebut. “Aku akan memberikan mereka pijatan yang lembut,” imbuhnya.

***

Pulang kantor Helena absen mendatangi apartemen Felix atas perintah laki-laki tersebut. Tadi sebelum meninggalkan meja kerjanya, Felix memberitahukan kepada Helena bahwa mereka tidak bisa pulang bersama. Felix beralasan bahwa dirinya sudah ada janji makan malam dengan Hans.

Berhubung waktunya senggang, Helena berniat ke mall mencari buku cerita rakyat yang diinginkan Mayra. Namun, sebelumnya Helena akan mengambil mobilnya terlebih dulu yang terparkir di basement apartemen Felix, mengingat tadi pagi mereka berangkat ke kantor bersama. Pagi tadi mereka terlambat masuk kantor, karena Helena harus melayani hasrat Felix terlebih dulu di apartemen.

Usai memarkirkan mobilnya dengan rapi setibanya di mall yang dikunjunginya, Helena bergegas turun. Dengan santai ia berjalan memasuki mall dan langsung menuju tempat buku berada. Helena tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih buku cerita yang diinginkan Mayra, sebab adiknya tersebut sudah memberitahunya.

Saat hendak menuju kasir untuk membayar buku yang dibelinya, Helena menajamkan indra penglihatannya ketika mengenali seseorang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Walau dihinggapi keraguan, tapi ia memberanikan diri untuk menyapa laki-laki yang sedang mengobrol dengan seorang perempuan cantik, “Wira?”

Merasa ada yang memanggil namanya, Wira menghentikan obrolannya dan langsung menoleh ke sumber suara. Senyumnya mengembang ketika mengetahui pemilik suara yang memanggil namanya. “Hai, Len,” balasnya dengan ramah.

Helena tersenyum puas karena ternyata ia tidak salah mengenali orang. “Sudah selesai?” tanyanya berbasa-basi. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan cantik yang berdiri di samping Wira.

“Tinggal bayar ke kasir saja,” Wira menjawab dan mengikuti arah tatapan Helena. “Kamu sama siapa, Len?” tanyanya sambil celingak-celinguk.

“Sendiri. Mayra menginginkan buku cerita rakyat, jadi aku ke sini mencarikannya,” beri tahu Helena tanpa mengalihkan tatapannya dari perempuan di samping Wira yang hanya menjadi pendengar.

“Oh ya, Len, kenalkan ini pacarku. Namanya Diandra,” Wira memperkenalkan perempuan yang dari tadi mendengarkannya mengobrol. “Dee, kenalkan ini Helena. Ia sahabatku,” sambungnya pada Diandra.

Diandra dan Helena saling menjabat tangan, mereka juga berbasa-basi sebentar. Karena masing-masing sudah menemukan buku yang dicari, ketiganya pun langsung menuju kasir untuk membayar barang belanjaannya. Usai membayar ketiganya memutuskan untuk mengisi perut masing-masing di food corner yang ada di mall tersebut, mengingat sudah waktunya makan malam. Selain untuk makan malam, tentu saja mereka ingin melanjutkan obrolannya tadi yang tertunda.

“Bagaimana keadaan Mayra, Len?” Wira kembali membuka obrolan ketika pramusaji sudah pergi setelah selesai menghidangkan makanan pesanan mereka.

“Baik, Wira. Mayra sudah bersekolah seperti biasa, walau tetap harus aku peringatkan untuk tidak banyak beraktivitas, terutama bermain,” jawab Helena setelah membasahi tenggorokannya dengan minuman dingin yang dipesannya. “Seandainya aku segera mendapat pendonor, pasti Mayra bisa beraktivitas normal seperti anak-anak lainnya,” imbuhnya sedih.

Melihat ekspresi sedih Helena membuat Diandra menarik kesimpulan jika Mayra tengah menderita suatu penyakit serius. “Pendonor? Memangnya Mayra menderita penyakit apa?” tanyanya lancang.

“Adikku menderita penyakit gagal ginjal, Dee,” Helena memberitahukan kondisi adiknya dengan jujur kepada Diandra. “Andaikan ginjalku cocok, aku pasti akan mendonorkannya satu untuk Mayra,” sambungnya nelangsa.

“Ternyata ginjalku juga tidak cocok setelah aku mengetahui hasil pemeriksaannya,” Wira menimpali dengan tidak kalah sedihnya.

Helena terkejut mendengar perkataan Wira. Ia terharu sekaligus tidak menyangka jika ternyata Wira melakukan pemeriksaan ginjal tanpa memberitahunya terlebih dulu. “Wira, terima kasih atas perhatian dan kepedulianmu yang sangat kepada Mayra,” ucapnya tulus.

“Mayra sudah seperti adikku sendiri, Len. Kamu tidak usah sungkan padaku,” Wira menepuk punggung tangan Helena dengan lembut. “Semoga saja pihak rumah sakit secepatnya memberi kabar jika ada pendonor untuk adikmu,” sambungnya menenangkan.

Helena mengangguk dan tersenyum. “Ayo, kita makan dulu,” ajaknya karena makanan di hadapannya sempat terlupakan. “Dee, kamu jangan mencemburuiku ya. Hubunganku dan Wira murni hanya sebatas sahabat,” ucapnya pada Diandra yang dari tadi memerhatikan interaksinya dengan Wira.

Diandra menanggapinya dengan senyuman. “Tenang saja, Len. Aku percaya dengan Kak Wira.” Ia menoleh ke arah Wira yang sudah mulai menyantap menu makan malamnya. “Len, apakah aku boleh bertemu dengan adikmu?” tanyanya sebelum mulai menikmati spaghetti kesukaannya.

Helena yang tengah meneguk lychee squash-nya mengangguk. “Tentu saja sangat boleh, Dee,” ucapnya menegaskan. “Nanti setelah aku pindah rumah saja kamu berkunjung, Dee. Lagi pula rumahku juga masih satu kompleks dengan tempat tinggal Wira dan Sonya,” beri tahunya.

“Nanti kita mengunjungi rumah Helena bersama-sama, Dee,” Wira menimpali dan langsung disetujui oleh Diandra. “Kapan rencananya kamu akan pindah, Len?” lanjutnya.

“Dalam waktu dekat, tapi pastinya belum tahu,” sahut Helena jujur. “Ngomong-ngomong, kamu masih kuliah atau sudah bekerja, Dee?” Helena bertanya sebelum menyuap nasi gorengnya.

“Dua-duanya. Aku kerja part time sebagai waitress di sebuah kafe milik teman. Oh ya, kalau kamu ada waktu silakan saja berkunjung, Len,” jawab Diandra sekaligus mempromosikan tempat kerjanya yang membuat Helena dan Wira tertawa. “Kamu kerja di mana, Len?” tanyanya balik.

“Iya, kapan-kapan aku ke sana,” Helena menyanggupi. “Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta di bidang advertising,” sambungnya.

“Len, seandainya kamu mengetahui ada lowongan pekerjaan di bidang desain khususnya fashion, tolong kabari aku ya,” pinta Diandra tanpa malu. “Kalau bisa yang mau menerima freelance,” lanjutnya sambil menyengir.

“Tenang saja, pasti aku akan membantumu mencari informasi mengenai lowongan di bidang fashion,” sahut Helena.

“Sebaiknya kalian habiskan dulu makanan masing-masing, ngobrolnya dilanjutkan nanti saja,” tegur Wira yang dari tadi hanya menjadi pendengar dan kini telah menghabiskan nasi gorengnya.

Diandra dan Helena kompak menanggapi teguran Wira dengan kekehan. Diandra meminta Wira agar memesankan makanan yang diminta Sonya sebelum mereka pulang. Sambil menunggu pesanan untuk Sonya, ketiganya kembali mengobrol sebelum menyudahi pertemuan yang tidak direncanakan tersebut.


Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fitri Eko Lestari
Diandra ini calon adik iparnya Hans bukan?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status