Share

Part 8

Helena menatap Felix penuh tanya saat mereka bersiap untuk makan malam. Sejak pulang dari kantor, Felix hanya diam dan langsung menuju kamar tidurnya. Ketika dipanggil untuk makan malam setelah ia selesai memasak, Felix baru keluar kamar sambil menampilkan ekspresi datar. Saat Helena mengajaknya berbicara atau berinteraksi, Felix hanya memberikan tanggapan singkat. Ketika ditanya pun, laki-laki tersebut terlihat malas sekaligus sangat enggan untuk menjawabnya. Walau menyantap masakannya dengan lahap, tapi laki-laki di hadapannya hanya membisu. Sambil mengamati, dalam diam Helena meraba-raba kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap Felix.

Selama makan malam berlangsung, hanya denting sendok yang terdengar. Bahkan, hingga makanan di piring masing-masing habis, Felix tetap mempertahankan kebungkamannya. Seharusnya malam ini Helena menemani Felix tidur, tapi berhubung sikap laki-laki tersebut seolah tidak menganggap keberadaannya, jadi ia putuskan akan pulang ke rumahnya sendiri.

“Fel, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Aku mau izin pulang,” Helena berpamitan pada Felix yang berdiri di balkon apartemen setelah ia usai mencuci peralatan makan mereka dan membersihkan dapur. Lama tidak mendapat tanggapan setelah berdiri di belakang tubuh Felix, akhirnya Helena memutuskan untuk langsung pergi.

Dari sudut matanya Felix melihat pergerakan Helena. Ia langsung berbalik, kemudian menggeser pintu balkon dengan kasar agar tertutup. “Siapa yang mengizinkanmu keluar dari apartemen ini?” tanyanya dingin.

Langkah kaki Helena seketika melayang saat mendengar laki-laki yang sejak tadi mengabaikannya akhirnya melontarkan kalimat panjang. “Tapi ….” Helena tidak bisa mengatakan kalimatnya secara utuh karena Felix telah lebih dulu memotong ucapannya. Ia hanya menatap heran wajah Felix yang tanpa ekspresi.

“Bukannya malam ini kamu harus tidur di sini untuk menghangatkan ranjangku?” Felix berjalan melewati Helena yang masih berdiri dan menatapnya penuh tanya.

Menyadari suasana hati Felix kurang bersahabat, Helena berinisiatif untuk memperbaikinya walau ia sendiri tidak mengetahui pasti penyebabnya. Helena mengembuskan napasnya perlahan dan meyakinkan diri sebelum memutuskan menyusul Felix.

Dengan menanggalkan rasa malunya, Helena langsung melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Felix dari belakang, sehingga membuat laki-laki tersebut seketika menghentikan langkah kakinya. Helena juga menyandarkan kepalanya pada punggung kokoh milik laki-laki tersebut.

“Malam ini aku memang mempunyai kewajiban menghangatkan ranjangmu, tapi sepertinya kamu sedang tidak nenginginkanku,” Helena berucap lembut. “Jika kamu mengabaikan keberadaanku, buat apa juga aku berada di sini?” imbuhnya.

Sambil mencium dalam-dalam aroma khas tubuh Felix, Helena juga membuat pola melingkar pada perut rata milik laki-laki yang sedang dipeluknya itu.

Felix mengetatkan rahang saat jari-jari lentik Helena bergerak seduktif di sekitar perutnya. Benaknya langsung menyanggah semua perkataan yang keluar dari mulut wanita di belakang punggungnya tersebut. Tangannya terkepal saat merasakan benda lunak yang tersembunyi di antara kedua paha dalamnya mulai mengeras, hanya karena sentuhan ringan jari-jari Helena pada perutnya.

“Shit! Hanya karena sentuhan ringan jari-jari Helena saja sudah berhasil membangunkannya,” batin Felix mengumpat.

Merasakan tubuh Felix menunjukkan reaksi seperti yang diinginkannya, Helena pun tersenyum menang di balik punggung laki-laki tersebut. Inisiatifnya untuk memperbaiki suasana hati Felix ternyata tidak sia-sia.

“Punggungmu sungguh nyaman,” puji Helena dan mengecup ringan punggung yang dipeluknya. “Aroma tubuhmu juga sangat menenangkan,” sambungnya.

Tidak kuasa atas perlakuan Helena, Felix langsung membalikkan tubuhnya. Mereka kini saling berhadapan. Tanpa aba-aba, Felix membungkam mulut Helena. Lidahnya mulai melesak memenuhi rongga mulut wanita yang sedari tadi dianggap menggodanya.

“Milikku ingin terbenam di dalam tubuhmu malam ini. Milikku juga ingin menggali kehangatan yang tersimpan di dalam tubuhmu. Aku ingin meraih pelepasan bersamamu,” Felix berkata serak setelah berhenti menyerang bibir Helena.

“Kalau begitu lakukanlah. Aku milikmu malam ini,” balas Helena di sela-sela menormalkan deru napasnya. “Aktivitas ranjang selalu berhasil memperbaiki suasana hatinya,” ucapnya dalam hati sambil menatap Felix dengan sorot mata sayu.

Felix langsung mengangkat tubuh Helena. Ia memberi isyarat kepada wanita tersebut untuk melingkarkan kedua tungkainya di pinggangnya agar tidak terjatuh. Sambil berjalan menuju kamar pribadinya, Felix kembali meraup bibir Helena dan mengajaknya untuk berperang lidah.

***

Mata Felix terbuka saat tersadar sedang tidak memeluk tubuh seseorang. Felix menyalakan lampu yang ada di atas nakas samping ranjangnya agar penglihatannya lebih jelas. Saat mendengar suara air dari dalam kamar mandinya, Felix menghela napas lega. Ia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada headboard sambil menanti Helena keluar dari kamar mandi. Felix hanya menutupi bagian bawah tubuhnya dengan selimut, sebab ia tidak menggunakan sehelai benang pun saat tidur.

“Kenapa bangun, Fel?” Helena yang baru keluar dari kamar mandi bertanya saat melihat Felix duduk bersandar pada headboard.

“Aku terbangun karena orang yang berada di dekapanku menghilang,” Felix menjawabnya sambil menatap Helena yang telah mengenakan piyama tidurnya.

Helena hanya menanggapinya dengan senyuman saat menaiki ranjang. “Ayo kita tidur lagi,” ajaknya setelah membaringkan tubuhnya di samping Felix.

“Jam berapa sekarang?” Felix meletakkan tangannya di atas kepala Helena, kemudian membelai rambutnya dengan lembut.

“Jam tiga,” walau mulai memejamkan mata, Helena tetap menjawab. Ia menikmati belaian tangan Felix di rambutnya. “Ayo kita tidur lagi,” ajaknya kembali saat tidak merasakan pergerakan ranjang di sampingnya.

“Mau mengulang permainan tadi?” Felix bertanya sambil menurunkan tangannya ke arah dada Helena. Setelah menemukan benda kenyal yang dicarinya, ia pun mulai memainkannya dengan pelan dan lembut.

“Aku lelah dan masih ngantuk, Fel,” tolak Helena secara lembut. Tanpa membuka mata ia menahan tangan Felix yang terus mencoba merangsangnya.

Meski pencahayaan di kamarnya tidak terlalu terang, tapi Felix dapat melihat raut wajah Helena yang sedikit kelelahan. Ia akhirnya membaringkan tubuhnya saat Helena memindahkan tangannya dari dada wanita tersebut, kemudian memeluknya.

“Lepaskan piyama tidurmu,” pinta Felix. “Lepas sendiri atau perlu bantuan,” bisiknya.

Helena membuka kembali matanya yang tadi telah terpejam. Tanpa membalas perkataan Felix, ia bangun dan segera menanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuhnya. “Puas?!” decaknya kesal saat melihat Felix tersenyum menang. “Cepat tidur!” perintahnya setelah menarik selimut hingga dadanya.

Merasa ada yang memerhatikan tidurnya, mau tidak mau membuat Helena membuka mata kembali dan menoleh. Ia mengernyit saat Felix menatapnya dengan lekat. “Kenapa kamu menatapku seperti itu, Fel?” Helena menyuarakan pertanyaan yang ada di benaknya.

“Ke mana kamu pindahkan Bibi dan adikmu?” tanya Felix tanpa basa-basi. Ia terkejut saat mengetahui keluarga Helena sudah pindah dari apartemen pemberiannya.

Helena terkejut mendengar pertanyaan yang Felix ajukan. “Cepat atau lambat pada akhirnya Felix akan mengetahuinya juga,” batinnya. “Dari mana kamu tahu, Fel?” tanyanya setenang mungkin.

“Salah satu resepsionis di gedung apartemenmu adalah temanku. Ia memberitahuku karena tidak pernah melihat adik dan bibimu lagi,” jawab Felix berdusta. Felix sengaja membayar resepsionis tersebut untuk memantau kegiatan Helena dan keluarganya selama tinggal di unit apartemen yang ia belikan. “Jawab pertanyaanku tadi,” tuntutnya.

“Aku memindahkan mereka ke rumahku yang dulu, Fel. Aku sudah menebus rumah tersebut,” Helena menjawabnya dengan jujur.

“Kenapa tidak kamu jual saja rumah itu? Lagi pula kalian juga tetap bisa tinggal di apartemen yang aku berikan,” ucap Felix sedikit protes.

Helena tidak tersinggung, malah ia terkekeh mendengar tanggapan Felix. “Hanya rumah itu harta peninggalan orang tuaku, Fel. Aku tidak mungkin menjualnya,” balasnya. “Lagi pula lingkungan di sana lebih bagus untuk adik dan bibiku. Di sana mereka juga tidak akan merasa bosan, karena bisa bergaul dengan orang sekitar,” imbuhnya meski ia menyangsikan ucapannya sendiri.

“Berarti apartemen yang aku berikan padamu itu sekarang dalam keadaan kosong?” selidik Felix dengan ekspresi masam.

Helena menggeleng. “Aku masih tinggal di sana untuk menghemat waktu ke kantor atau ke apartemenmu. Jarak dari rumahku ke apartemenmu atau kantor lumayan jauh,” dustanya. Helena hanya tidak ingin Mayra dan Bi Mira suatu saat bertemu dengan Felix, begitu juga sebaliknya.

“Baguslah,” jawab Felix singkat. “Kalau begitu, lain kali kita bisa melakukan aktivitas ranjang di apartemenmu. Anggap saja ganti suasana biar tidak bosan,” imbuhnya sambil mengerling nakal.

Helena memutar bola matanya malas saat mendengar ide yang dicetuskan Felix. “Memangnya kamu sudah mulai bosan?” selidiknya asal.

“Untuk saat ini masih tetap memuaskan, apalagi jika kamu berada di a ….” Kalimat Felix terputus karena telapak tangan Helena sudah membungkamnya.

Tiba-tiba Helena mengingat sesuatu. Ia menyipitkan matanya saat menatap Felix. “Fel, apakah penyebab sikap dinginmu tadi karena aku tidak memberitahumu mengenai kepindahan adik dan bibiku dari apartemenmu?” tebaknya hati-hati.

Felix menghela napas seraya menelentangkan tubuhnya. “Tebakanmu menjadi salah satu alasanku,” jawabnya sebelum menguap.

“Apa alasan lainnya?” tanya Helena tidak sabar. Ia mengangkat sebagian tubuhnya kemudian menumpukan dagunya di atas dada bidang Felix.

“Kamu harus menjaga jarak dengan karyawan laki-laki di kantor,” jawab Felix tegas dan penuh peringatan. “Terutama dari Wisnu,” imbuhnya. Felix pernah memergoki Helena makan siang bersama Wisnu dan rekan kerjanya yang lain saat ia sedang ada urusan di luar.

“Cemburu?” Helena menyelidik dan menahan senyum.

Felix memberikan tatapan tajam kepada Helena. Tanpa aba-aba, ia langsung membalik tubuh wanita yang menumpukan dagu di dadanya. “Bukankah tadi kamu mengatakan lelah dan masih mengantuk, tapi kenapa hingga sekarang belum tidur juga?” Felix menyipitkan matanya. “Masih mau tidur atau melanjutkan pergulatan tadi?” sambungnya dan menyeringai.

“Tidur,” jawab Helena cepat. Ia langsung menghindar saat Felix ingin meraup bibirnya.

Felix tersenyum menang karena berhasil menyudahi obrolan tidak pentingnya. Ia berbaring dengan benar, kemudian menarik tubuh Helena dan mendekapnya dari belakang.

“Fel,” tegur Helena dan menoleh ke belakang saat tangan Felix mengangkat sebelah kakinya.

“Biarkan ia berada di lembah hangatmu hingga kita bangun,” Felix berbisik dan mengabaikan teguran Helena. Dengan sekali entakan ia membenamkan bukti gairahnya ke pusat tubuh Helena dari belakang.

Helena melenguh lantang karena tersentak oleh keperkasaan Felix. Meski terasa aneh karena ada yang mengganjal bagian bawahnya, tapi Helena berusaha untuk memejamkan matanya.

***

Usai mengawali hari liburnya dengan melanjutkan kegiatan panasnya kemarin malam, kini Felix mengajak Helena jogging mengitari taman yang berada tidak jauh dari gedung apartemennya. Felix menahan senyum saat melihat wajah cemberut Helena karena tadi tidur nyenyaknya diusik oleh bukti gairahnya yang masih terbenam sempurna di lembah hangat wanita tersebut. Ia sudah menjadi maniak karena merasa tidak pernah puas menikmati tubuh Helena. Semua yang melekat pada tubuh Helena kini sudah menjadi candunya.

“Ayo, Len,” ajak Felix sambil menggamit tangan Helena agar langkahnya sejajar.

“Aku lelah, Fel,” Helena berkata jujur dan langsung berjongkok.

Seharusnya tadi pagi Helena ingat jika Felix masih membenamkan bukti gairahnya pada pusat tubuhnya, dan tidak mendesah saat hendak bangun. Jika ia ingat, bukti gairah Felix pasti tidak akan menegang di dalam tubuhnya dan langsung menggempurnya penuh semangat serta tanpa ampun.

“Kalau begitu kamu duduk di sana saja, aku mau mengitari taman beberapa putaran lagi,” pinta Felix sambil menunjuk bangku panjang yang ada di luar taman. Ia merasa kasihan melihat wajah lelah Helena. “Ayo bangun.” Felix mengacak rambut Helena yang masih berjongkok.

Helena berdiri menuruti perintah Felix. Ia berjalan menuju bangku panjang yang tadi ditunjukkan oleh Felix, sementara laki-laki tersebut kembali melanjutkan acara jogging-nya setelah menyerahkan botol air mineralnya.

“Perhatian sekali suaminya, Mbak,” celetuk seseorang setelah salah satu objek yang sejak tadi diamatinya duduk.

Helena menolehkan kepalanya ke samping saat tiba-tiba mendengar suara. Ia tersenyum canggung pada seorang perempuan yang diperkirakan seusia dengannya tengah menatapnya. “Maaf. Mbak, bicara dengan saya?” tanyanya sopan dan memastikan.

Perempuan tersebut mengangguk tanpa memudarkan senyum tipis di bibirnya. “Laki-laki itu pasti sangat menyayangi, Mbak,” duganya dan menunjuk Felix yang tengah menyeka keringatnya dengan handuk di lehernya.

Helena mengerutkan kening dan mengikuti arah pandang perempuan asing yang kini duduk di sampingnya. “Laki-laki mana yang Mbak maksud?” tanyanya memastikan.

“Yang sedang melilitkan handuk di telapak tangannya,” perempuan tersebut menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari Felix.

“Apakah perempuan ini mengenal Felix?” batin Helena bertanya. “Atau hanya asal duga?” imbuhnya dalam hati.

“Mbak sangat beruntung menjadi istrinya,” perempuan tersebut kembali bersuara setelah menoleh ke arah Helena dan tersenyum tipis.

Entah dorongan dari mana, Helena langsung memberikan jawaban singkat, “Sangat beruntung.”

Mendengar jawaban singkat Helena, perempuan tersebut langsung merasakan denyutan nyeri dalam hatinya. Ia ingin menggali informasi lebih banyak, tapi takut Helena menaruh curiga. Tanpa terkesan terburu-buru dan tetap bersikap tenang, perempuan tersebut berdiri dari duduknya. Ia tidak ingin tertangkap basah, apalagi setelah melihat Felix mengedarkan tatapannya ke arah Helena.

“Maaf, Mbak, saya pergi sekarang. Saya khawatir adik saya sudah menunggu lama,” kilahnya.

Helena mengangguk pelan. “Silakan, Mbak,” balasnya sopan.

“Sudah selesai?” Helena bertanya kepada Felix yang sudah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang, setelah beberapa menit wanita yang tidak dikenalnya tersebut undur diri.

“Siapa perempuan yang tadi duduk di sebelahmu?” tanya Felix sebelum menerima botol air mineral yang diulurkan oleh Helena.

Helena mengendikkan bahu. “Aku tidak mengenalnya. Lagi pula baru tadi aku bertemu. Bahkan, kita tidak sempat berkenalan,” jawabnya jujur. “Ia bukan laki-laki, Fel,” imbuhnya menekankan.

Helena menahan senyum saat mengingat ucapan Felix kemarin malam yang memintanya menjaga jarak dari kaum laki-laki.

“Kenapa dengan ekspresi wajahmu?” selidik Felix setelah mengamati ekspresi wajah Helena.

“Aku hanya mengingat perkataanmu kemarin malam tentang menjaga jarak,” jawab Helena sambil terkekeh.

Felix langsung melemparkan handuk yang tadi digunakannya menyeka keringat ke wajah Helena setelah mendengar kekehannya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Felix meninggalkan Helena.

Bukannya kesal, Helena malah tertawa melihat tindakan Felix. Sambil membawa handuk yang tadi dilempar ke wajahnya oleh Felix, Helena menyusul laki-laki tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status