Share

Terperangkap Oleh Ilusi

“Diem aja? Canggung ya?”tanyanya memecahkan keheningan kami di atas motor tuaku yang sedang berjalan menuju rumahnya.

“Emh,, ya gimana mbanya pacar senior saya”balasku agak gugup.

“Tapi saya seumuran kamu kok, angkatan 17 kan?”tanyanya memastikan.

“Owalah seumuran toh, bagus deh”balasku juga seadanya masih berusaha fokus mengendarai motor dan fokus menjaga degup kencang dari jantungku.

“Bagus kenapa?”tanyanya berusaha memastikan.

“Bagus, jadi ngurangin kadar kecanggungan hehe”

“Bisa ketawa juga toh?”

“Saya bukan sejenis patung mba”

“Mba lagi, kan dibilang kita seumuran”

“Kalo saya panggil Dea emang boleh?”

“Ya boleh lah nama aku emang Adira Dealova kamu bisa manggil aku Dira, Dea, atau Lova, senyamannya kamu aja Bim. Iss.. Bimo ini loh”jelasnya sambil tertawa kecil. Kulihat dia dari kaca spion motor terlihat sedang tersenyum malu.

            Demi apapun degup jantung ini bertambah semakin kencang. Sungguh! Jangan panggil aku dengan nama. Jika iman ku tidak sekuat ini mungkin sudahku dekap tubuhmu dan tak akan ku lepas. Lebur sudah pondasiku bagaimana cara membangunnya kembali jika sudah begini. Pacar orang memang indah sekali.

----

              Malam ini aku merasakan yang namanya galau karna sosok wanita. Wanita yang sudah beridentitas sebagai kekasih orang. Hah,, malang sekali nasibmu Bim. Akibat sudah terlalu lama menjomblo. Maaf dirimu bahkan belum pernah merasakan pacaran. Hanya pernah menyukai wanita secara diam-diam. Bukan menyukai pacar orang.

---

                Ini benar-benar gila sampai esoknya aku terus memikirnya. Aku harap hanya perasaan sesaat yang satu dua hari juga akan hilang “Semoga”. Perasaan suka tidak akan sanggup menetap lama kan? Apalagi terhadap suatu hal yang tidak bisa dimiliki. Ya! semoga teorinya benar. Sungguh semua itu sangat mengusik imajinasiku, ketenanganku, sampai typography yang ku buat dari pagi belum juga selesai. Sudahlah kubawa pulang saja. Mungkin di rumah lebih banyak imajinasi.

                  Sial! langit sepertinya tidak mengijinkan aku pulang. Hujan memudarkan segalanya. Ilusi itu kembali hadir tepat di sebrangku. Rintik hujan nyaris menutup samar-samar indahnya. Percuma! Indahnya tetap terpancar bahkan seribu kali lebih cantik bersatu dengan hujan. Sial! Kali ini aku suka hujan.

“Dea,,”sapaku yang tiba-tiba ada disana. Dea menengok heran dan terdiam agak lama “Bimo?”balasnya.

“Belum pulang?”basa-basiku.

“Lagi nunggu Bang Fahmi, kamu sendiri belum pulang?”

“Ini mau pulang”

“Oh ,, yaudah bye”ucapnya sambil mencoba melambaikan tangan ke arahku untuk beranjak pergi, namun aku memanggilnya lagi.

“Dea,,”panggilku lagi merasa belum puas.

“Iya? kenapa Bim?”tanyanya sambil menengok lagi ke arahku.

“Bang Fahmi kayaknya ada jadwal ngasdos”

“Oh ya? Kok dia tumben gak bilang ya”

“Soalnya tadi saya lewat kelasnya dia kayak baru pengen masuk gitu bareng anak muridnya, maksdunya daripada kamu nunggu dia lama, balik bareng saya aja sekalian”

“Gak papa nih nebeng lagi?”

“Ya gak papa kalo kamunya mau”

“Maulah mayan ngirit ongkos hehe, bentar ya aku telfon Bang Fahmi dulu.”

            Aku sepertinya memang gila. Roh apa yang merasukiku sehingga terlihat agresif seperti ini. Kami pulang bersama untuk kedua kalinya, dan ku harap sampai seterusnya. Kali ini cukup santai. Perjalanan pulang diwarnai dengan tertawa kami, obrolan seru kami bak sepasang kekasih yang berbahagia. Dari situ aku mengetahui apa yang belum aku ketahui tentang Adira Dealova yang ku panggil Dea, bahkan bagaimana Bang Fahmi bisa menjadi kekasihnya.

“Jadi karna keisengan temenmu, kamu jadian sama Bang Fahmi?”tanyaku sambil menyodorkan segelas es teh ke arahnya. Iya kami mampir ke salah satu tempat makan reqwestsan Dea di dekat rumahnya.

“Iya aneh ya haha, dan lebih anehnya lagi kami udah jalanin hubungan ini selama 1 tahun lebih”jawabnya santai sambil menggoyang-goyangkan sedotan pada gelas es tehnya berniat ingin menyeruput minumannya.

“Kamu sayang sama Bang Fahmi?”tanyaku sebelum Dea menyeruput minumannya.

“Ya sayang lah”balas Dea apaadanya kemudian menyeruput minumannya,

“Cinta?”tanyaku lagi semakin penasaran. Tolong aku kenapa?

“Kenapa sih kok jadi serius gini?”ucapnya keharanan denagn sikapku yang tiba-tiba intens.

“Ya enggak,  pengen tau aja. Bisa gitu cewek mahamin orang yang super sibuk kayak bang Fahmi, anak BEM, ketua himpunan di jurusan, asdos, bisnisman”asumsiku yang payah.

“Yang penting dia ada di saat aku butuh dia”ucapnya singkat mengakhiri obrolan kami saat itu sekaligus menghujamkan hatiku. Iya, tiba-tiba menjadi sakit sekali.

            Aku memang orang gila. Sebenarnya apa yang sedang ku pikirkan sekarang? Ingin jadi pemeran antagonis di kisahmu sendiri? Atau sebagai penghancur hubungan orang lain. Sekenario apa yang ingin kuciptakan pada dua insan yang saling mengasihi. Pengharapan apa yang kamu inginkan wahai Bimo Prakoso? Jadi hentikanlah bila tidak ingin ada yang terluka.

---

            Kukira hari ini sudah hari minggu ternyata masih hari sabtu. Dimana harusnya aku ingin menjadi si pemalas tapi kenyataan tidak merestui. Seperti aku dan kamu yamg belum direstui oleh kenyataan. Mungkin keberadaan kami masih misteri dalam angan belaka.

            Pagi ini mohon jangan temui aku dengan ilusi. Aku tidak ingin berangan lagi. Berangan pada nestapa yang dihadiri senja dan jingga pada sebuah kebetulan. Ku harap kamu pun sebuah kebetulan. Kebetulan yang memang sudah direncanakan oleh Tuhan. Ahh! aku berangan lagi. Bodoh sekali.

“Bimo...”panggil Dea yang baru saja keluar dari kelasnya. Aku juga bodoh mengapa aku melewati kelasnya.

Niatku memang tidak ingin berangan lagi namun sialnya imanku terlalu lemah untuk membuktikannya. Aku hanya tersenyum bermaksud membalas lambaian tangannya.

“Mau kemana Bim?”tanyanya ketika kami sudah berhadapan.

“Ke kantin”jawabku asal.

“Lewat sini?”tanyanya heran, kemudian melihat sekeliling. “Bukannya ini arah ke perpus ya?”tambahnya lagi.

“Oh ingin meminjam buku dulu”karangku.

“Ikut”jawabnya spontan.

“Ke perpus?”tanyaku memastikan.

“Ke kantin. Ya maksdunya sekalian”jawabnya santai.

“Tapi sepertinya saya gak jadi ke kantin”elakku berniat tidak mengiyakan.

“Loh kenapa?”tanyanya semakin heran.

“Lupa sudah sarapan, ingin baca buku saja”tambahku.

“Oh yasudah aku duluan ya”jawabnya pasrah, kemudian beranjak pergi meninggalkanku

Maaf. Aku tidak ingin tertipu oleh ilusi lagi. Aku tidak ingin terlau lama terjebak dalam gambar tiga dimensi. Biarkan aku bernafas tenang tanpa tersedak tipuan asumsi. Tetap saja hati tidak bisa diingkari “Ini kenapa? Apa yang salah? Tolonglah kali ini saja dimohon kerjasamanya”batinku berteriak.

“Boy.. tumben rajin? Mimpi apa? Biasanya togkrongan lu di bawah pohon beringin mesra-mesraan sama hantu”ledek Bang Fahmi yang tiba-tiba ada di Perpus.

“Aish ngeledek aja Bang Fahmi ini”jawabku masih setengah sadar.

“Haha.. btw thanks ya kemaren udah anterin Dira pulang lagi. Padahal gue gak minta loh”

“Santai aja Bang kayak apa aja”

“Gue diajarin Dira harus pinter ngucapin terimakasih sama hal sekecil apapun”

“Keren”kataku tak sengaja.

“Banget. Dira itu.. sulit buat dijelasin sama kata-kata, intinya istimewa”jelasnya antusias.

“Iya bang, cewek lu cakep banget dah. Jadi iri”ucapku sambil berusaha tenang dengan membalikan lembaran buku yang susah payah ku baca agar tetap terlihat cool dan terlalu menanggapi perkataan Bang Fahmi yang selalu membuatku merasa kalah, terutama kalah dalam mendapatkan seorang Dea. Aku jadi berharap waktu bisa diualang, ingin sekali raga ini yang lebih dulu menemukan Dea dibanding seniornya ini, ada kemungkinan akulah yang menjadi sang kekasih Dea.

“Haha sorry ya udah milik gue”ucap Bang Fahmi sangat bangga.

             Hak milik? Kukira barang saja yang punya hak milik, ternyata itu berlaku pada manusia. Kalau begitu kelak kekasihku akan ku beri nametag  besar di punggungnya bertuliskan “Punya Bimo” supaya tidak di taksir orang. Lalu, mengapa Dea masih berhasilku taksir? Padahal sudah jelas sekali milik orang. Benar, Dea Istimewa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status