Laura harus mengulang jawaban yang sama saat Naira telah bersama mereka. Bahkan Naira pun memberikan tatapan memuja yang sama dengan yang Vanya berikan pada pria itu sebelumnya.
"Ingat suami kalian di rumah!" desah Laura.
"Ra, pesanin kopi kek, kasian mejanya kosong," gumam Naira.
"Nai, jangan sampai aku telepon suamimu nih!"
Setelah mendengar ancaman Laura barulah Naira menatap sahabatnya itu dengan wajah yang memberengut kesal, sementara Vanya hanya terkekeh pelan melihatnya.
"Jangan marah, kamu beruntung karena Setya bukan suami bajingan macam Erlan, Nai. Pun demikian dengan suami kamu, Van. Tezar jelas sekali tergila-gila padamu. Aku sangsi Tezar akan mampu menduakanmu, sama halnya dengan Setya. Suami kalian terlalu setia untuk itu.”
“Well, itulah yang sangat aku syukuri hingga saat ini, Tezar anugerah terindah yang diberikan Tuhan untuk aku.” Wajah Naira kembali ceria lagi.
“Ya, kalian berdua harus banyak-banyak bersyukur untuk itu. Susah mendapatkan suami yang bisa setia hanya dengan satu wanita saja. Kebanyakan pria memang bajingan!”
“Yang setia pun tidak kalah banyaknya, Ra. Kamu hanya belum menemukannya saja.”
“Ck, Bagaimana aku mau menemukannya, Van. Kalau sejak aku mulai mengenal lawan jenis saja, orangtuaku sudah menegaskan padaku untuk tidak terlalu dekat dengan mereka, apalagi memacarinya. Karena dengan siapa aku menikah nantinya, mereka yang akan mengaturnya,” desah Laura, bibirnya mulai memberengut kesal.
“Dan sekarang seperti yang telah kalian ketahui, pernikahanku dengan Erlan jauh dari kata bahagia, apalagi romantis. Meski sudah berjalan selama dua tahun, kami tetap tidak ubahnya seperti orang asing yang tinggal satu atap saja.”
Ingin membesarkan hati Laura, Vanya beringsut mendekati Laura untuk mengusap lembut pundaknya,
“Semua sudah berlalu, Ra. Sekarang fokus saja pada perceraianmu yang pastinya akan sangat menguras energimu. Karena seperti yang pernah kamu utarakan, Erlan pasti akan tetap bersikeras mempertahankan rumah tangga kalian.”
“Bukan karena dia mencintaiku, tapi karena tidak mau kehilangan semua sahamnya.”
Bukan berarti Laura mengharapkan cinta dari Erlan. Pria itu hanya bisa mencintai dirinya sendiri saja. Lagipula, sama halnya dengan Erlan, Laura pun sama sekali tidak mencintainya.
Laura menghela napas panjang, senyuman kecut terukir di wajah cantiknya. Ia melirik sekilas ke arah Rendra hanya untuk memastikan saja kalau pria itu tidak sedang menguping.
“Ternyata bukti-bukti itu belum kuat, Van, Nai. Aku harus bagaimana lagi?"
Laura telah lama mengetahui perselingkuhan suaminya itu. Hanya saja foto-foto yang berhasil ia dapatkan tidak cukup kuat untuk dijadikan bukti perselingkuhan Erlan dengan para wanitanya itu. Malah bisa-bisa Erlan yang akan menuntut balik Laura nantinya, dan bisa-bisa malah Laura yang kehilangan segalanya.
Laura dan Erlan menikah memang karena hasil perjodohan orang tua mereka saat akan membangun usaha bersama, dengan Laura yang mendapatkan saham sebesar dua puluh lima persen, dan Erlan juga sebesar dua puluh lima persen.
Bahkan ada perjanjian pranikah di antara mereka, yang salah satu isinya jika salah satu dari mereka kedapatan selingkuh, maka seluruh saham mereka akan jatuh ke pasangan mereka. Dalam hal ini, karena Erlan yang selingkuh, maka secara otomatis seluruh saham miliknya akan menjadi milik Laura.
“Kalau Erlan kehilangan seluruh sahamnya, apa dia juga akan kehilangan posisinya saat ini?” tanya Naira.
“Itu sudah pasti, Nai. Erlan tidak ubahnya hanya sebagai karyawan biasa saja,” Laura menjawab sambil melirik Rendra, ia takut pria itu akan mendengarnya jadi ia mengecilkan suaranya.
“Dan dengan jumlah saham yang dimiliki Laura, bisa jadi Laura yang akan menjadi CEOnya!” sambung Vanya, sama pelannya dengan Laura.
“Kalau itu, tergantung rapat direksi nanti.”
“Waah, kalau kamu yang menjabat sebagai CEO hebat sekali, Ra! Erlan pasti akan bertambah dongkol nantinya.”
“Aku tidak peduli mau Erlan dongkol, kesal atau marah sekalipun, Nai. Untuk saat ini, aku hanya ingin segera terlepas dari pernikahan toxic ini. Aku ingin terlepas sepenuhnya dari pria bajingan itu!”
“Bagaimana dengan orangtuamu, Ra? Apa mereka mengizinkanmu bercerai dengan Erlan? Apa itu tidak akan berpengaruh pada hubungan kerjasama orangtuamu dengan orangtua Erlan?”
“Pastinya akan sangat berpengaruh, Van. Dan sejujurnya, orangtuaku pun menolak keras saat aku mengutarakan keinginanku untuk menceraikan Erlan. Bahkan kedua mertuaku tiada hentinya membujuk aku agar membatalkan rencana aku itu. Mereka seolah menutup mata dengan perselingkuhan yang telah Erlan lakukan berulang kali. Dan yang lebih menyakitkan lagi …”
Laura tidak dapat melanjutkan lagi ucapannya. Ia menatap langit-langit kamarnya untuk menghalau airmata yang hendak mengalir ke pipinya.
“Apa?” tanya Vanya dan Naira bersamaan.
“Mereka Cenderung menyalahkanku karena belum juga hamil. Alasan itulah yang dipakai mereka untuk membenarkan perselingkuhan putra mereka,” jawab Laura lirih.
“Ya Tuhan! Tega sekali mereka. Apa orangtuamu juga turut serta menyalahkanmu, Ra?”
“Tentu saja tidak, Van. Hanya mertuaku saja yang menyalahkanku. Orangtuaku hanya diam saja, sama sekali tidak membela harga diriku yang telah keluarga Erlan itu injak-injak. Mereka lebih takut kehilangan perusahaan mereka daripada membela harga diri putri mereka.”
Laura tertawa getir sebelum kembali menambahkan, “Pernikahanku tidak ubahnya seperti transaksi bisnis saja. Untungnya ada perjanjian pranikah yang mampu membungkam mereka semua, dan pada akhirnya tidak bisa melarang niatku untuk menceraikan Erlan.”
Perjanjian pernikahan yang dibuat keluarga Erlan agar Laura tidak menyelingkuhi putra mereka, pada akhirnya malah menjadi boomerang untuk mereka sendiri, dan sangat menguntungkan untuk Laura.
Ya, Laura akan memastikan itu, ia akan membuat Erlan kehilangan segalanya. Ia akan memiskinkan suaminya itu.
Mungkin itulah hadiah Tuhan untuk Laura, atas kepatuhannya selama ini pada keluarganya. Dan sebentar lagi, ia dapat melakukan apapun tanpa campur tangan keluarganya lagi. Ia akan segera bebas menentukan arah hidupnya sendiri.
Vanya mencondongkan dirinya untuk berbisik di telinga Laura,
"Sebaiknya kamu pasang jebakan untuk Erlan. Bayar wanita untuk menggodanya, lalu tangkap basah mereka saat sedang melakukan itu! Melihatnya secara langsung apalagi sampai ada bukti rekamannya, bukankah itu sudah cukup kuat untuk dijadikan bukti? Bahkan pengacara handalnya sekalipun tidak akan bisa menyanggahnya lagi."
"Jangan pergi Ra, pria itu hanya akan memanfaatkan kepolosan kamu saja, setelah dia puas kamu akan dibuang begitu saja seperti sampah!" cegah Rendra saat adik perempuan satu-satunya itu berniat melarikan diri dengan kekasihnya yang sama sekali tidak direstui keluarganya karena skandalnya dengan banyak wanita."Erlan mencintaiku dengan tulus, Rendra. Dia tidak akan menyakiti aku! Kenapa kamu dan Papa tidak mempercayainya sama sekali?""Karena aku dan Papa kenal betul pria seperti apa Erlan itu! Apa kedua mata kamu itu buta, Ra? Berapa banyak wanita yang sudah menjadi korbannya?""Aku tahu itu. Tapi denganku berbeda, Erlan sendiri yang memberitahuku. Jika kami menikah nanti, Erlan sudah berjanji akan berubah. Dia hanya akan menjadi milikku untuk selamanya.""Kamu menerimanya begitu saja setelah banyak wanita yang tersakiti olehnya?""Mereka hanya akan menjadi masa lalu Erlan, sementara aku masa depannya. Aku hanya akan peduli pada yang terjadi kedepannya, bukan di belakangnya, bukan pad
"Lan, aku tidak mau!" Laura menepis tangan Erlan yang ingin menarik lepas dressnya. Sekuat tenaga ia menolak keinginan Erlan yang ingin bercinta dengannya. Selain karena Laura tidak membawa pil kontrasepsinya, ia juga terlalu jijik untuk bersentuhan lagi dengan pria itu.Namun bukan Erlan namanya kalau tidak memaksakan kehendaknya, pria itu seketika geram dengan penolakan Laura, tampara keras pun mendarat di pipi Laura,"Berani kamu menolakku!""Aku sedang datang bulan, Lan!" elak Laura sambil mengusap pipinya yang luar biasa nyeri. Ia melangkah mundur saat Erlan perlahan maju semakin mendekatinya."Alasan! Aku tahu benar ini bukan tanggalnya."Laura mengelak saat Erlan bersiap meraih tangannya, ia berlindung di balik sofa panjang kamar suite itu,"Tanggalnya memang bisa maju bisa mundur juga, Lan. Untuk apa aku membohongimu.""Untuk apa? Bukannya kamu sudah sering membohongiku? Aku tidak akan pervaya sebelum aku melihatnya langsung dengan mata kepala aku sendiri!" desisnya. Laura m
"Apa aku tidak tahu kado itu juga palsu?" desisnya dengan penuh kebencian.Laura terkulai lemah, bukan karena cengkraman tangan Erlan di lehernya yang menyebabkan Laura sulit bernapas. Tapi karena satu-satunya tempat Laura menggantungkan harapan kini telah punah. Dan ia harus menghadapi Erlan seorang diri lagi.'Rendra, kenapa kamu setega ini padaku?' tanyanya dalam hati, dan ia menitikkan airmata untuk satu lagi pria yang menyakiti dan mengecewakannya.Laura memejamkan kedua matanhya dengan pasrah. Apakah tidak ada satu pun yang menyayanginya dengan tulus selain dari sahabat-sahabatnya? Tidak orangtuanya, tidak juga seseorang yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya.JIka Laura memang harus ditakdirkan mati saat itu juga di tangan Erlan, maka itu akan jauh lebih baik untuknya. Persetan dengan balas dendamnya."Untuk siapa sebenarnya kamu siapkan kado itu? Karena aku sudah tahu pasti, kamu tidak akan peduli dengan hari Anniversary kita, apalagi peduli padaku hingga membelikanku jam
Sama halnya dengan Laura, Rendra pun tidak kalah kagetnya dengan pesta yang sangat tiba-tiba itu. Dengan Erlan yang tidak memberitahunya perihal pesta kejutan yang pria itu siapkan untuk Laura, itu berarti Erlan belum sepenuhnya percaya pada Rendra. Dan akan sulit bagi Rendra menyelidiki kebusukan Erlan jika ia belum sepenuhnya menjadi orang kepercayaan Etlan.Setelah Laura turun, Rendra kembali melajukan mobilnya untuk parkir di tempat biasanya. Ia menarik salah seorang bodyguard Rendra untuk bertanya,"Kenapa banyak sekali tamu? Ada pesta apa? Kenapa aku tidak diberitahu?""Aku juga baru tahu setelah kalian pergi tadi. Tuan Erlan meminta kami mendekor rumah ini dalam waktu singkat," jawab pria itu dengan keringat yang masih terlihat membasahi keningnya."Dalam rangka apa pesta ini?""Menurut yang aku dengar, hari ini adalah Anniversary Tuan Erlan dan Bu Laura. Tuan ingin memberikan kejutan untuk Bu Laura, manis sekali bukan? Nampaknya Tuan Erlan memang tergila-gila dengan Bu Laura."
"Kenapa ramai sekali mobil yang parkir? Apa aku melupakan pesta yang Erlan buat?" Laura bertanya pada dirinya sendiri, namun Rangga tetap menjawabnya,"Saya juga baru mengetahuinya, Bu Laura. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Tuan Erlan mengadakan pesta dadakan.""Panggil saja Laura, ketika kita sedang berdua.""Saya masih belum berani, Bu Laura. Apalagi masih di lingkungan rumah, dindingnya saja memiliki telinga.""Terserahmu lah!"Setelah mengatakan itu Laura bergegas turun setelah salah satu pengawal membukakan pintu untuknya. Sementara itu Rendra langsung melajukan lagi mobilnya ke area parkir khusus."Nah, bintang pesta hari ini telah tiba, mari kita sambut kehadirannya dengan tepuk tangan yang super meriah!" seru Erlan saat Laura baru saja memasuki rumah disusul dengan biltz beberapa media yang tertuju padanya.Di hadapan banyak tamu dan juga awak media, mau tidak mau Laura pun menyunggingkan senyumannya dan membiarkan Erlan mengecup mesra keningnya sambil melingkarkan lenganny
"Jadi kesepakatanmu dengan Chintya batal hanya karena kamu mengikuti saran Rendra?" tanya Vanya dengan nada dongkol. Tidak mudah membujuk Chintya untuk mau membantu Laura mengingat betapa selektifnya Chintya jika menyangkut pria."Rendra memiliki alasan yang cukup masuk akal, untungnya aku belum menjalankan rencana kita," desah Laura sambil menyandarkan punggungnya di sofa, sudut matanya menangkap gerakan tangan Erlan saat pria itu menyeruput kopinya. Seperti biasa, mereka duduk di meja terpisah.Vanya menyondongkan tubuhnya ke LLaura saat bertanya, "Kamu percaya begitu saja padanya?""Percaya tidak percaya, Van. Tapi aku percaya satu hal, Rendra memiliki alasan tersendiri saat memutuskan bekerja dengan Erlan. Pria itu ... Tidak sesederhana kelihatannya.""Yeah i know. Termasuk juga rencananya untuk membawamu ke tempat tidurnya!" sungut Vanya."Ya Tuhan! Itu tidak mungkin," sangkal Laura, sekali lagi ia melirik Rendra yang masih asik menikmati kopinya seolah tidak peduli dengan pemb