Zevanya mencondongkan dirinya untuk berbisik di telinga Laura,
"Sebaiknya kamu pasang jebakan untuk Erlan. Bayar wanita untuk menggodanya, lalu tangkap basah mereka saat sedang melakukan itu! Melihatnya secara langsung apalagi sampai ada bukti rekamannya, bukankah itu sudah cukup kuat untuk dijadikan bukti? Bahkan pengacara handalnya sekalipun tidak akan bisa menyanggahnya lagi."
“Memasang perangkap untuk pria psikopat itu? Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya, Van? Jangan lupakan satu hal, sekarang ini akan selalu ada Rendra yang mengawasiku, yang menjadi mata dan telinga Erlan!”
Vanya kembali menyandarkan punggungnya di sofa, dengan cepat jemarinya mengetik sesuatu di ponselnya, disusul dengan bunyi pesan singkat di ponsel Laura.
Sambil terus menatap Zevanya, Laura mengeluarkan ponselnya dari dalam tas tangannya, ia membaca pesan yang dikirim Zevanya ke group chat mereka itu dengan singkat,
Z : “Kalau kamu mau aku punya teman yang mahir bermain drama sejak kami duduk di sekolah menengah.”
Dengan kening mengkerut dalam, Laura kembali menatap Zevanya sebelum mengetik,
L : “Lalu bagaimana caranya mempertemukan temanmu itu dengan Erlan?”
Z : “Kamu pernah bilang kalau Erlan sedang membutuhkan sekretaris baru 'kan?”
Laura melirik sekilas ke Rendra yang tengah fokus mengawasi sekitar kafe lalu kembali ke ponselnya,
L : “Apa temanmu itu ber-qualified dibidang kesekretariatan? Karena aku tahu betul Erlan tidak akan mau menerima karyawan yang berada di bawah standartnya. Pria itu selalu menuntut kesempurnaan dalam setiap hal!”
Z : Tenang saja, Erlan pasti akan menerimanya. Itu pun kalau kamu tidak keberatan memasukkan wanita pengggoda ke dalam rumah tangga kalian. Karena kalau mau mendapatkan bukti yang kuat, kita tidak boleh bekerja setengah-setengah.”
L : “Astaga, mau secantik apapun temanmu itu aku tidak akan cemburu, Van. Justru mungkin aku malah akan berterimakasih padanya kalau temanmu itu dapat membuka jalanku berpisah dari Erlan.”
N : “Yang aku khawatirkan di dalam rencana kita ini bukannya masalah kecemburuan Laura, tapi bagaimana kalau ternyata temanmu itu balik mendukung Erlan dan menyerang kita, Van?”
Z : “Kalian Tenang saja, Cintya bukan tipe wanita yang mau menetap dengan satu pria saja. Awalnya mungkin Cintya akan menikmati hubungannya dengan Erlan, tapi begitu feelnya sudah hilang, Cintya akan mencampakkannya begitu saja,” jelas Zevanya.
N : “Mungkin kalau pria lain iya Cintya akan merasa seperti itu. Tapi yang sedang ingin Cintya goda sekarang adalah Erlan! Wanita mana yang akan menolak menjadi kekasihnya?”
“L : “Maaf aku tidak termasuk!”
Z : “ Aku juga!”
Laura dan Zevanya sama-sama menyanggah ucapan sahabat baik mereka itu.
N : “Pun demikian dengan aku! Tapi masalahnya, di depan orang lain Erlan selalu bersikap baik dan tanpa cela. Di mata orang lain Erlan adalah sosok pria yang sempurna, yang begitu tergila-gila dengan istrinya. Kalian baca sendiri kan di majalah wanita kalau hampir sembilan puluh persen wanita menginginkan sosok suami seperti Erlan. Tampan, tajir melintir, baik hati dan sangat-sangat berkelas.”
Laura mendesah pelan saat mengetik, “Ya, Kamu benar Nay.”
Z : “For your onformation, Cintya ini bekas simpanan salah satu billionare di US. Prianya tampan? Ya pastinya, karena menjadi salah satu bujangan paling diminati di benua Amerika dan Eropa. Tapi begitu hubungan mereka diketahui tunangan pria itu, Cintya pun seketika kehilangan minatnya pada pria itu, dan langsung berlayar pergi dari kehidupan pria itu sampai sekarang ini.”
L : “Oh ya? Memangnya seberapa cantiknya temanmu itu?”
Karena jika itu wanita cantik nan seksi, mau sekosong apapun otaknya, Erlan akan tetap mempekerjakannya, meski lebih banyak ke hal yang tidak ada kaitannya dengan kantornya, Tapi lebih ke area selangkangannya.
Tidak lama kemudian sebuah foto wanita yang luar biasa cantik dan seksi masuk ke group chat mereka. Zevanya tidak hanya membual, karena wanita itu selain terlihat cantik tapi juga berkelas. Jauh melebihi wanita selingkuhan Erlan selama ini.
Laura tahu betul selera Erlan sejauh menyangkut wanita. Ya seperti wanita di dalam foto itu. Tanpa sedikit pun keraguan, jempol tangan Laura mulai mengetik pendapatnya,
L : “Ya, aku yakin sekali meski wanita ini memiliki otak udang, Erlan akan tetap menerimanya.”
N : “Cantiknya kebangetan sekali sih, Van! Jangan pernah mengenalkan wanita itu ke Setya!”
Laura dan Zevanya pun terkikik geli, yang membuat perhatian Rendra tertuju pada mereka. Namun Laura memilih mengabaikannya dan tetap memberikan wajah dinginnya pada Rendra.
L : “Kenapa tidak kita mulai saja pada pria sialan itu?”
Pertanyaan Laura membuat Zevanya dan Nayra saling bertukar pandang, mereka tidak mengerti maksud dari sahabat mereka itu.
Z : “Maksudmu?”
L : “Suruh teman kamu itu datang ke kafe ini, dan coba goda bodyguardku yang menurut kalian tampan itu!”
Z : “Iya aku ngerti. Tapi apa tujuanmu, Ra?”
L : “Ya untuk menggoda pria itu dan membawanya pergi manjauh dariku. Aku akan membayarnya dua kali lipat kalau sampai temanmu berhasil membuat pria itu keluar dari pekerjaannya.”
Z : “Kamu tahu Van? Cintya mendapatkan uang yang sangat banyak dari prianya dulu. Uang yang membuat Cintya tidak harus bekerja di seumur hidupnya. Cintya tidak butuh uang, itu Hanya bonus untuknya sekarang ini. Yang lebih Cintya butuhkan hanyalah masalah gairahnya saja yang selalu berlebihan. Itu pun hanya dengan pria pilihan, bukannya hanya sekedar bodyguard saja. Kita hanya akan membuang banyak waktu kita secara percuma nantinya.
L : “Yasudah kalau begitu kapan kita bisa memulai rencana ini? Aku sangat berharap kita berhasil.”
Z : “Aku juga berharap rencana kita berhasil.”
Laura yang akan membalas chat Zevanya tersentak kaget saat tiba-tiba Rendra sudah berdiri di sampingnya,
“Maaf, Bu Laura. Pak Rendra meminta saya untuk membawa anda ke kantor. Ada yang ingin beliau bicarakan!”
“Bicara dari kursimu saja bisa kan? Kenapa harus mendekati saya?” sungut Laura.
Alih-alih menjawab, Rendra malah melirik jam tangannya, “Sepuluh menit. Pak Rendra hanya memberikan waktu sepuluh menit untuk kita sampai di ruangannya, atau anda akan menyesalinya nanti.”
“Sepuluh menit? Hei, ini Jakarta! Meski gedung kantor terlihat dari sini, tapi akses menuju ke sananya macet parah! Mana bisa kita sampai hanya dalam waktu sepuluh menit saja?”
Dengan cepat Rendra menarik tangan Laura hingga wanita itu berdiri,
“Kalau kita berangkat sekarang, hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke sana!” tegasnya dengan penuh keyakinan.
"Jangan gila kamu! Lepaskan saya!" desis Laura. Untung saja suasana kafe saat iktu sedang sepi, jadi apa yang Rendra lakukan tidak sampai menarik perhatian pengunjung lainnya.
"Demi kebaikan anda, Bu Laura."
Mengabaikan protesan Laura, Rendra tetap menarik wanita itu keluar kafe, membuat mulut Zevanya dan Nayra ternganga lebar,
"Aku tidak yakin harus bersimpati atau iri pada laura ... Rasanya seperti diculik Masimo gak sih?" gumam Zevanya tanpa melepaskan perhatiannya dari Laura dan Rendra, hingga keduanya menghilang di balik pintu.
"Jangan pergi Ra, pria itu hanya akan memanfaatkan kepolosan kamu saja, setelah dia puas kamu akan dibuang begitu saja seperti sampah!" cegah Rendra saat adik perempuan satu-satunya itu berniat melarikan diri dengan kekasihnya yang sama sekali tidak direstui keluarganya karena skandalnya dengan banyak wanita."Erlan mencintaiku dengan tulus, Rendra. Dia tidak akan menyakiti aku! Kenapa kamu dan Papa tidak mempercayainya sama sekali?""Karena aku dan Papa kenal betul pria seperti apa Erlan itu! Apa kedua mata kamu itu buta, Ra? Berapa banyak wanita yang sudah menjadi korbannya?""Aku tahu itu. Tapi denganku berbeda, Erlan sendiri yang memberitahuku. Jika kami menikah nanti, Erlan sudah berjanji akan berubah. Dia hanya akan menjadi milikku untuk selamanya.""Kamu menerimanya begitu saja setelah banyak wanita yang tersakiti olehnya?""Mereka hanya akan menjadi masa lalu Erlan, sementara aku masa depannya. Aku hanya akan peduli pada yang terjadi kedepannya, bukan di belakangnya, bukan pad
"Lan, aku tidak mau!" Laura menepis tangan Erlan yang ingin menarik lepas dressnya. Sekuat tenaga ia menolak keinginan Erlan yang ingin bercinta dengannya. Selain karena Laura tidak membawa pil kontrasepsinya, ia juga terlalu jijik untuk bersentuhan lagi dengan pria itu.Namun bukan Erlan namanya kalau tidak memaksakan kehendaknya, pria itu seketika geram dengan penolakan Laura, tampara keras pun mendarat di pipi Laura,"Berani kamu menolakku!""Aku sedang datang bulan, Lan!" elak Laura sambil mengusap pipinya yang luar biasa nyeri. Ia melangkah mundur saat Erlan perlahan maju semakin mendekatinya."Alasan! Aku tahu benar ini bukan tanggalnya."Laura mengelak saat Erlan bersiap meraih tangannya, ia berlindung di balik sofa panjang kamar suite itu,"Tanggalnya memang bisa maju bisa mundur juga, Lan. Untuk apa aku membohongimu.""Untuk apa? Bukannya kamu sudah sering membohongiku? Aku tidak akan pervaya sebelum aku melihatnya langsung dengan mata kepala aku sendiri!" desisnya. Laura m
"Apa aku tidak tahu kado itu juga palsu?" desisnya dengan penuh kebencian.Laura terkulai lemah, bukan karena cengkraman tangan Erlan di lehernya yang menyebabkan Laura sulit bernapas. Tapi karena satu-satunya tempat Laura menggantungkan harapan kini telah punah. Dan ia harus menghadapi Erlan seorang diri lagi.'Rendra, kenapa kamu setega ini padaku?' tanyanya dalam hati, dan ia menitikkan airmata untuk satu lagi pria yang menyakiti dan mengecewakannya.Laura memejamkan kedua matanhya dengan pasrah. Apakah tidak ada satu pun yang menyayanginya dengan tulus selain dari sahabat-sahabatnya? Tidak orangtuanya, tidak juga seseorang yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya.JIka Laura memang harus ditakdirkan mati saat itu juga di tangan Erlan, maka itu akan jauh lebih baik untuknya. Persetan dengan balas dendamnya."Untuk siapa sebenarnya kamu siapkan kado itu? Karena aku sudah tahu pasti, kamu tidak akan peduli dengan hari Anniversary kita, apalagi peduli padaku hingga membelikanku jam
Sama halnya dengan Laura, Rendra pun tidak kalah kagetnya dengan pesta yang sangat tiba-tiba itu. Dengan Erlan yang tidak memberitahunya perihal pesta kejutan yang pria itu siapkan untuk Laura, itu berarti Erlan belum sepenuhnya percaya pada Rendra. Dan akan sulit bagi Rendra menyelidiki kebusukan Erlan jika ia belum sepenuhnya menjadi orang kepercayaan Etlan.Setelah Laura turun, Rendra kembali melajukan mobilnya untuk parkir di tempat biasanya. Ia menarik salah seorang bodyguard Rendra untuk bertanya,"Kenapa banyak sekali tamu? Ada pesta apa? Kenapa aku tidak diberitahu?""Aku juga baru tahu setelah kalian pergi tadi. Tuan Erlan meminta kami mendekor rumah ini dalam waktu singkat," jawab pria itu dengan keringat yang masih terlihat membasahi keningnya."Dalam rangka apa pesta ini?""Menurut yang aku dengar, hari ini adalah Anniversary Tuan Erlan dan Bu Laura. Tuan ingin memberikan kejutan untuk Bu Laura, manis sekali bukan? Nampaknya Tuan Erlan memang tergila-gila dengan Bu Laura."
"Kenapa ramai sekali mobil yang parkir? Apa aku melupakan pesta yang Erlan buat?" Laura bertanya pada dirinya sendiri, namun Rangga tetap menjawabnya,"Saya juga baru mengetahuinya, Bu Laura. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Tuan Erlan mengadakan pesta dadakan.""Panggil saja Laura, ketika kita sedang berdua.""Saya masih belum berani, Bu Laura. Apalagi masih di lingkungan rumah, dindingnya saja memiliki telinga.""Terserahmu lah!"Setelah mengatakan itu Laura bergegas turun setelah salah satu pengawal membukakan pintu untuknya. Sementara itu Rendra langsung melajukan lagi mobilnya ke area parkir khusus."Nah, bintang pesta hari ini telah tiba, mari kita sambut kehadirannya dengan tepuk tangan yang super meriah!" seru Erlan saat Laura baru saja memasuki rumah disusul dengan biltz beberapa media yang tertuju padanya.Di hadapan banyak tamu dan juga awak media, mau tidak mau Laura pun menyunggingkan senyumannya dan membiarkan Erlan mengecup mesra keningnya sambil melingkarkan lenganny
"Jadi kesepakatanmu dengan Chintya batal hanya karena kamu mengikuti saran Rendra?" tanya Vanya dengan nada dongkol. Tidak mudah membujuk Chintya untuk mau membantu Laura mengingat betapa selektifnya Chintya jika menyangkut pria."Rendra memiliki alasan yang cukup masuk akal, untungnya aku belum menjalankan rencana kita," desah Laura sambil menyandarkan punggungnya di sofa, sudut matanya menangkap gerakan tangan Erlan saat pria itu menyeruput kopinya. Seperti biasa, mereka duduk di meja terpisah.Vanya menyondongkan tubuhnya ke LLaura saat bertanya, "Kamu percaya begitu saja padanya?""Percaya tidak percaya, Van. Tapi aku percaya satu hal, Rendra memiliki alasan tersendiri saat memutuskan bekerja dengan Erlan. Pria itu ... Tidak sesederhana kelihatannya.""Yeah i know. Termasuk juga rencananya untuk membawamu ke tempat tidurnya!" sungut Vanya."Ya Tuhan! Itu tidak mungkin," sangkal Laura, sekali lagi ia melirik Rendra yang masih asik menikmati kopinya seolah tidak peduli dengan pemb