Share

Gertakan Erlan

"Aku hanya bertemu dengan Vanya dan Naira, kenapa pria itu harus ikut?" tanya Laura sambil meletakkan sendok yang tengah ia pegang dengan kasar di atas piring makannya.

"Apa aku harus mengulang semua yang sudah aku jelaskan padamu kemarin, Laura?" Dengan santainya Erlan malah balik bertanya sambil memasukkan makanannya ke dalam mulutnya.

"Tidak ada yang perlu kamu takutkan, Lan! Memangnya apa yang bisa dilakukan Vanya dan Naira selain hanya mendengarkan keluh kesahku saja?"

"Mereka bisa bersaksi dipengadilan nanti untuk melawanku."

"Kalaupun aku berhasil mengajukan perceraian kita ke pengadilan, aku tidak akan melibatkan Vanya dan Naira!" tegas Laura.

Erlan meraih serbet makannya untuk membersihkan mulutnya. Sementara matanya tetap terarah pada Laura yang pagi itu terlihat sangat cantik seperti biasanya.

Banyak rekan bisnis Erlan yang iri padanya karena keberuntungannya mendapatkan istri secantik dan seseksi Laura. Mereka tidak tahu kalau dibalik wajah cantik itu terdapat jiwa yang licik dan menjijikkan.

"Aku tahu suaminya Vanya pengacara perceraian kan? Kamu bisa saja mendapatkan saran dari pria itu melalui istrinya. Aku tidak mau ambil resiko, bawa Rendra serta atau aku tidak akan mengizinkan kamu keluar dari rumah ini!" 

"Jangan bilang kamu takut pada suami Vanya disaat pengacara terhebat di negara ini sudah berada di dalam genggamanmu!" ejek Laura.

"Takut? Apa selama ini kamu pernah melihat aku takut? Aku tidak pernah takut, Sayang. Satu kata itu tidak ada di dalam kamusku!"

"Kalau begitu untuk apa kamu mempekerjakan pria itu? Takut aku melarikan diri darimu lagi? Takut aku akan membongkar semua wanita selingkuhanmu itu ke media? Takut kamu akan jatuh miskin karena konsekuensi dari perselingkuhan itu?" cecar Laura. Tatapan menusuknya beralih dari Erlan ke Rendra yang berdiri tepat di belakang Erlan, pria itu terlihat datar dan tak terbaca. 

"Silahkan bongkar saja semua perselingkuhan palsu itu. Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa selain dari hanya mempermalukan dirimu sendiri. Kamu bahkan akan dicap sebagai wanita yang tidak tahu diri. Karena apa? Karena kamu kurang bersyukur dengan semua kemewahan yang sudah aku berikan padamu dan juga keluargamu. Kamu seperti anjing yang menggigit orang yang sudah menolongnya!"

Mengabaikan tatapan penuh kebencian Laura padanya, Erlan sedikit mencondongkan tubuhnya saat menambahkan,

"Ingat, keluargamu bisa mencapai kesuksesan seperti ini karena andil siapa? Kalau aku bisa memberikan kesuksesan itu pada mereka, maka aku pun dapat menariknya kembali. Sudah siap melihat Daddymu terkena serangan jantung? Jangan pernah menguji kesabaranku lagi!" 

Lebih dari sekali gertakan seperti itu keluar dari mulut Erlan, namun entah kenapa baru kali ini mampu menusuk langsung ke dalam hati Laura. Mungkin setelah mendengar pendapat pengacaranya mengenai bukti yang sudah berhasil ia kumpulkan dan ternyata tidak cukup kuat untuk mempidanakan Erlan, kepercayaan diri Laura runtuh seketika.

Laura menyandarkan punggungnya ke kursinya, saat ini ia sangat membutuhkan Zevanya dan Naira, ia membutuhkan kekuatan dari mereka. Tempat ternyaman baginya untuk mencurahkan segala isi hatinya.

Karena meski masih memiliki orangtua, mereka tidak pernah ada untuknya. Terutama jika menyangkut masalah rumah tangganya dengan Erlan, mereka akan cenderung membela Erlan dan menuduh Laura yang terlalu cemburu berlebihan.

Laura  terlalu larut di dalam lamunannya hingga untuk sesaat ia melupakan keberadaan Rendra di dekatnya. Andai saja tidak ada pergerakan dari pria itu, mungkin saja Laura tidak akan tersadar dari lamunannya.

"Mau jalan jam berapa, Bu Laura?" tanya Rendra.

Laura kembali menegakkan punggungnya, matanya tertuju pada makanan di depannya, ia sama sekali tidak ingin memakannya lagi, selera makannya menghilang seketika.

Enggan menjawab pertanyaan Rendra barusan, Laura bangkit dari kursinya dan langsung menuju mobilnya. Rendra mengekor di belakangnya dengan kunci mobil Laura yang sudah berada di tangannya. Entah kapan kunci mobil itu berpindah tangan.

Rendra membukakan pintu untuk Laura, sebelum pria itu duduk di belakang kemudi. Mulai hari itu, Laura tidak lagi bisa membawa mobilnya sendiri. Bahkan semakin kehilangan kebebasannya, Erlan benar-benar telah mempersempit ruang geraknya.

"Mau ke mana, Bu Laura?" tanya Rendra setelah mereka mencapai jalan utama, ia menatap Laura melalui kaca spion tengah mobil. Wanita itu memfokuskan pandangannya ke luar jendela.

"X Kafe!" jawab Laura sekenanya.

"X Kafe yang di jalan apa?" 

Bukan tanpa alasan Rendra menanyakan lokasinya. Karena kafe itu telah memiliki banyak cabang di kota ini.

"Jalan S. BIsa lebih cepat sedikit? Saya sudah telat!"

Menuruti permintaan Laura, Rendra menambah kecepatan mobillnya. Meski tetap berhati-hati karena tidak ingin penumpang cantik yang duduk di belakangnya terluka.

Sejurus kemudian mereka sudah sampai di kafe yang Laura tuju. Dan Laura sempat melarang Rendra yang akan ikut masuk juga, namun pria itu sama sekali tidak mematuhinya. Jadi meski dengan perasaan dongkol yang luar biasa, Laura pun membiarkan pria itu masuk juga.

"Laura!" Lambaian tangan Vanya tertangkap mata Laura saat sahabatnya itu memanggilnya. Seulas senyum pun terukir di wajah cantik Laura saat mendekati sahabatnya itu,

"Di mana Naira?" tanya Laura.

Alih-alih menjawab, Zevanya masih terpana melihat sosok gagah Rendra yang tengah memastikan keamanan meja tempat mereka duduk. Mulut Vanya terus terbuka sampai Rendra selesai melakukan tugasnya dan duduk di meja sebelah mereka yang kosong.

"Gila! Pinter juga kamu nyari bodyguardnya!" puji Vanya yang masih terus menatap Rendra. Sebelumnya Laura memang telah menceritakan keinginannya untuk mempekerjakan seorang bodyguard demi keamanannya.

"Dia anak buah Erlan!" ralat Laura. Saat itulah ia baru mendapatkan lagi perhatian penuh Vanya,

"Anak buah Erlan? Kalian sudah berbaikan?"

"Spy! Itu satu-satunya alasan Erlan meminta pria itu untuk selalu berada di dekatku!" desis Laura tanpa mau melihat pria yang ia maksud.

"Yakin? Kenapa Erlan memilih bodyguard sekeren itu? Apa dia tidak cemburu?"

Laura pun tertawa pahit,  "Cemburu? Setitik cinta saja Erlan tidak memilikinya untuk aku, Van! Jadi atas dasar apa dia cemburu?" sangkalnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status