Beranda / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 8. Siapa Pelakunya?

Share

Bab 8. Siapa Pelakunya?

Penulis: Ananda Aisha
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-05 12:20:14

“Tumben pagi-pagi sudah turun gunung, Ra?” tanya Ayu, saat melihat Tiara telah berdiri di depan pintu pagar rumahnya.

“Aku ada perlu sama kamu, Yu!” seru Tiara.

Kemudian membuka pintu pagar, dan bergegas menuju teras rumah semi permanen bercat biru muda itu.

“Perlu apa sih, Ra? Sepertinya penting sekali.” ujar Ayu, seraya mempersilakan Tiara duduk di kursi kayu yang ada di teras rumahnya.

“Kamu masih suka bertemu dengan teman yang bisa menyalin dokumen penting itu nggak, Yu?” tanya Tiara.

“Masih, Ra.” jawab Ayu. “Memangnya kenapa, Ra?” tanyanya kemudian.

“Kira-kira dia juga bisa menyalin sertifikat tanah tidak ya, Yu?” lagi, Tiara bertanya.

“Sepertinya, semua dokumen dia mah bisa. “Ayu kembali menjawab.”Memangnya sertifikat tanah siapa yang mau kamu buat replikanya, Ra?”

“Punya ibuku, Yu.” jawab Tiara.”Kira-kira lama tidak, ya?” tanyanya.

“Nggak, Ra. Paling satu atau dua hari juga sudah selesai. Kamu tinggal kirim photo sertifikatnya, nanti dia kerjakan.” jawab Ayu.

“Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu mau menyalin sertifikat tanah ibumu?”

Tiara menghembuskan napas. Kemudian menceritakan masalah yang tengah dihadapi terkait tanah milik ibunya yang hendak diambil oleh Nenek dan bibinya.

“Kok bisa, ya. Mereka setega itu sama keluargamu, Ra?” tanya Ayu, menatap kasian pada sahabatnya.

“Entahlah, Yu. Aku sendiri tidak mengerti, kenapa mereka sepertinya benci sekali dengan keluargaku. Terutama aku dan Ibu.” ucap Tiara.

“Ya, sudah. Mana sertifikatnya, Ra?” tanya Ayu kemudian. “Biar ku photokan.” sambungnya.

Tiara pun gegas mengeluarkan plastik hitam dari dalam tasnya. Lalu memberikannya pada Ayu.”Tapi bayarannya tidak mahal ‘kan, Yu?”

“Kamu tidak perlu khawatir. Masalah harga, nanti aku yang nego sama orangnya.” jawab Ayu, kemudian memphoto sertifikat tanah yang diberikan Tiara dengan ponselnya.

Setelah urusan menyalin sertifikat selesai. Tiara pun berpamitan, kembali pulang ke rumahnya.

“Tidak tunggu di rumahku saja sampai jadwal TPA, Ra?” tanya Ayu, sebelum Tiara benar-benar pergi.

“Tidak, Yu. Ibuku sedang sakit. Kasian kalau ditinggal lama sendirian.” jawab Tiara.

Kemudian bergegas meninggalkan rumah Ayu.

Dengan langkah cepat, Tiara menyusuri jalan setapak menuju rumahnya.

Ada perasaan tidak enak, tiba-tiba menyergap.

Tiara pun mempercepat langkahnya. Berharap bisa segera tiba di rumah, untuk menemani ibunya.

***

Tiba di rumah. Tiara dikejutkan dengan kondisi pintu rumah yang terbuka lebar.

Padahal ibunya masih belum leluasa berjalan, dan sudah ia minta untuk tidak pergi kemana-mana sebelum dirinya kembali.

Dengan langkah lebar, Tiara bergegas memasuki rumah.

Ia kian terkejut saat menyaksikan seisi rumah berantakan, seperti sengaja di obrak-abrik orang-orang yang tak bertanggung jawab

Tiara pun segera mencari keberadaan Nurma di kamarnya.

Langkahnya terhenti di depan pintu, saat netranya mendapati Nurma tergeletak tak sadarkan diri.

“Ibu kenapa?” pekik Tiara, menghambur ke arah Nurma.

Diperiksanya nadinya, masih berdenyut.”Alhamdulillaah.” gumam Tiara, lega.

Kemudian ia menggeser tubuh Nurma, dan meletakkan kepalanya di atas bantal.

Dilihatnya sekeliling kamar ibunya yang porak poranda.

Pakaian yang sebelumnya tersusun rapi di lemari kayu tanpa pintu, berserakan di bawahnya.

Kedua tangan Tiara seketika mengepal kuat.”Kalian benar-benar tidak punya hati!” desisnya, marah.

Ia yakin, apa yang terjadi di rumahnya adalah ulah keluarga almarhum bapaknya.

Dalam kepanikan, Tiara kembali ke luar rumah. Berniat mencari pertolongan pada tetangganya.

Sepi. Pemukiman yang hanya terdiri dari lima rumah itu, tampaknya sudah ditinggalkan penghuninya ke sawah.

Seketika, kedua sudut mata Tiara mengembun. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menolong ibunya.

Tini yang biasa ia mintai tolong, saat perlu komunikasi dengan Ayu atau yang lainnya. Sedang tidak ada di rumah. Hanya ada dirinya dan Nurma yang tengah tidak sadarkan diri.

Tiara pun kembali ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat. Lalu mengganjalnya dengan meja belajar usang yang biasa digunakan kedua adiknya.

Setelahnya, Tiara menuju dapur. Untuk membuatkan teh manis hangat untuk ibunya. Dan mengambil balsem dari dalam kamarnya.

Perlahan, ia membaluri tubuh Nurma dengan balsem, dan memberinya teh manis dengan sendok.

“Bangun, Bu. Jangan membuat Tiara panik.” ratap Tiara, sambil memberi pijatan di tangan dan kaki ibunya.

Tidak ada reaksi apa pun ditunjukkan Nurma kepadanya.

Tiara pun kembali memberi teh manis hangat pada ibunya. Sambil terus membisikkan kalimat-kalimat penyemangat di telinganya.

Tak lama kemudian. Tiara merasakan gerakan pada tangan Nurma.”Ibu sudah sadar!” serunya, menatap lekat wajah Nurma yang masih terpejam.

“Apa yang terjadi dengan Ibu? Kenapa rumah berantakan? Siapa yang tega melakukannya pada kita?” tanya Tiara, mendekatkan wajahnya pada ibunya.

Perlahan. Nurma membuka matanya, menatap hampa pada langit-langit kamarnya.

Ada yang berbeda dari tatapan matanya. Kosong.

“Bu. Ibu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Tiara mengusap lembut wajah ibunya.

Nurma bergeming. Dengan kedua mata yang masih mengarah ke atas langit-langit.

“Ibu lihat apa?” lagi, Tiara bertanya. Berusaha mengalihkan pandangan Nurma ke arahnya.

Namun, tetap saja. Nurma mengarahkan pandangan matanya ke atas langit-langit.

Tak lama berselang, mulutnya tiba-tiba terbuka. Mengeluarkan air teh yang sempat Tiara berikan kepadanya.

Lalu, terdengar seperti suara orang yang tengah mendengkur dari mulutnya yang terbuka itu.

Tiara panik. Ia menggoyangkan tubuh ibunya, dengan mata berkaca-kaca.”Ibu kenapa?” tanyanya bergetar.

“Pel-Pelrgi Ke Ko-ta.” ucapanya terbata-bata, dan mendadak cadel.

“Apa yang hendak Ibu katakan?” tanya Tiara, mendekatkan telinga ke mulut ibunya.

“Ko-kota... Ko-kota.”

Hanya satu kata yang didengar Tiara. Sebelum akhirnya, Nurma kembali menutup matanya.

“Bu... Ibu tidak kenapa-napa, ‘kan?” Tiara menggenggam erat bahu ibunya.

Tidak ada respon.

Reflek, Tiara mengarahkan jarinya pada pergelangan tangan Nurma yang tersa dingin.”Tidak mungkin!” ujarnya, menggelengkan kepala.

Kemudian beralih pada bagian atas lehernya.

Tiara kembali menggeleng.”Ini tidak mungkin. Ibuku masih hidup!” gumamnya, gemetar.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
KarlTzy
cerita yg menarik, lanjutkan dan tetap semangat menulisnya ya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status