"Hafizah, kamu tidak bisa pergi begitu saja. Aku akan mengejar mu ke mana pun kamu melangkah. Tidak ada yang bisa kamu lakukan tanpa kehadiranku."Hafidz kembali masuk ke dalam mobilnya untuk mengejar Hafizah. Ia menyadari bahwa tidak ada yang bisa memaksa sikap Hafizah. Hafidz mengerti bahwa tindakan Lestari telah menimbulkan luka yang mendalam bagi Hafizah, dan perubahan yang terjadi padanya sangat mengkhawatirkan."Hafizah, kamu harus tahu bahwa aku selalu mendukungmu. Namun, demi keselamatanmu, aku lebih memilih untuk bertindak sendiri. Risikonya akan ku tanggung sendirian, tetapi aku tidak bisa membiarkanmu berada dalam keadaan seperti ini. Meskipun kamu kuat dan tangguh, aku ingin kamu bisa mengandalkan ku."Menyadari bahwa Hafidz mengejarnya, Hafizah segera menghentikan mobil dan keluar dengan cepat. "Hafidz! Keluar sekarang!" Hafizah mengetuk pintu mobil Hafidz yang awalnya enggan dibuka. Namun, setelah terus-menerus mengetuk, H
Hafizah tiba bersama pengacara yang telah diajaknya bekerja sama. Di sana, ia melihat Lestari yang sudah dibawa oleh polisi untuk menemuinya. Hafizah meminta waktu kepada pengacaranya agar bisa berbicara berdua dengan Lestari."Hafizah, ternyata kamu ada di sini. Apakah kamu menyesal telah memenjarakan ku? Tapi kamu salah memilih lawan. Aku sudah siap untuk bebas kapan saja, karena jaminanku sangat kaya, lebih dari yang kamu bayangkan. Apakah kamu ingin mengemis permintaan maaf dariku? Katakan saja, Hafizah, aku sama sekali tidak berniat memberikan maaf untuk semua kesalahanmu," ujar Lestari dengan nada merendahkan.Hafizah mendengarkan semua ucapan Lestari. Dia menyadari bahwa berada di dekat orang seperti Lestari hanya akan membuatnya mendengar kata-kata yang menyakitkan. Namun, tujuannya bukan hanya itu; ia merasa perlu untuk menghadapi Lestari secara langsung, meskipun ia tahu risikonya bisa membuat telinganya panas."Diam!""Apa maksudmu memb
"Hafidz, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu seharusnya berada di Thailand?" tanya Hafizah dengan terkejut saat melihat Hafidz yang berdiri sambil membawa kotak makanan."Apakah aku tidak boleh datang ke sini? Bukankah kamu merindukanku? Aku membawakan makan siang untukmu, mungkin kamu suka dengan makanan ini. Kita bisa makan bersama, jika kamu mau," jawab Hafidz."Sepertinya kamu tidak perlu memikirkan apa yang aku inginkan. Seharusnya kamu ada untuk anakmu yang selalu kamu lindungi, tapi kenapa kamu datang ke sini hanya untuk makan siang bersamaku?" balas Hafizah.Hafizah merasa sulit untuk menerima kenyataan bahwa Hafidz kembali mempermainkan perasaannya. Ia menganggap perhatian yang diberikan Hafidz hanya sebagai ungkapan rasa bersalah, meskipun sebenarnya Hafizah sendiri yang memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan pernikahan itu."Hafizah, aku tahu kamu belum siap dengan semua ini. Aku sudah memaafkan diriku sendiri karena egois
Menghadapi situasi tersebut, Lestari merasa terjebak dan tidak bisa bergerak, terutama setelah Hafizah memegang lengannya. "Lepaskan!" Suara Hafizah bergema di telinganya. Lestari tidak memiliki pilihan lain selain berteriak, berharap Hafizah akan sedikit memperhatikan dan melepaskan tangannya. "Tidak akan! Kamu tahu aku sudah muak dengan semua yang kamu lakukan. Apakah kamu masih ingat siapa dirimu yang dulu di hadapanku?" Hafizah mengingatkan Lestari akan masa lalu, dan keyakinan Hafizah untuk bersikap berani saat ini berasal dari tekadnya agar semua yang pernah terjadi tidak terulang. Lestari merasa frustrasi ketika polisi masuk ke dalam rumah dengan senjata terarah, memaksanya untuk diam. "Angkat tangan!" Hafizah pun melepaskan lengan Lestari dan mundur sedikit. Akhirnya, polisi mendekat dan memasangkan borgol di pergelangan tangan Lestari."Ikutlah bersama kami!"Lestari berusaha melepaskan diri, namun kesulitan, sementara Hafizah merasa lega setelah polisi membawa Lestari
"Ya! Dengarkan aku baik-baik, Lestari! Aku tidak akan pernah memberi kamu kesempatan lagi. Kenapa kamu bisa bebas?" Suara Hafidz terdengar sangat marah kepada Lestari, yang saat itu duduk di sofa sambil menikmati jus. "Tenang, Hafidz. Jangan terlalu emosional terhadapku. Lagipula, kamu sudah tahu aku bebas. Bagaimana kalau kita mengadakan acara kumpul keluarga saja?" "Tutup mulutmu! Aku bukan keluargamu lagi! Jangan harap aku akan mengakui kamu sebagai keluarga!" Sementara Lestari masih berbicara dengan Hafidz di telepon, Hafizah tiba dengan membawa makanan di atas sebuah piring untuk mantan mertuanya. "Bu, ini aku bawakan makanan." Lestari melihat apa yang dibawa Hafizah dan menyadari bahwa itu bukan makanan yang sesuai seleranya, jauh dari yang diharapkannya."Kamu tidak melihat apa yang ada di depanmu? Kamu bisa melihat aku membeli banyak makanan lezat, tetapi kamu tidak bisa memahami itu. Aku sama sekali tidak ingin menc
Setelah selesai makan, Hafizah segera pergi untuk mencari kebutuhan bulanan yang akan disimpan di lemari es, setidaknya untuk persediaan selama seminggu."Baiklah, ini adalah pengalaman pertamaku melakukan ini. Aku sudah menyiapkan daftar belanja seperti ibu-ibu pada umumnya, dan sekarang saatnya untuk membeli semua yang aku butuhkan," ujarnya.Hafizah mulai menjelajahi toko, mencari barang-barang yang diperlukan, didampingi oleh para bodyguard yang setia mengawalnya tanpa lelah. Mereka sudah tidak merasa lapar, terutama karena Hafizah telah menyediakan minuman untuk mereka selama bertugas."Aku tidak mengerti, semua bahan makanan harganya sudah naik, dan aku harus menyesuaikan anggaran meskipun uangku tidak akan habis," keluhnya, sama seperti wanita pada umumnya.Hafizah mengambil sayuran yang ada di depannya ketika tiba-tiba dia mendengar suara seseorang menepuk bahunya."Ibu Hafizah, ada telepon dari Pak Hafidz."Wanita itu en
Hafidz telah memberi tahu dokter yang merawat Putri bahwa anak tersebut memerlukan pengobatan terbaik. Namun, keterbatasan fasilitas di rumah sakit itu tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan penyakit langka seperti yang diderita Putri.Segera, Hafidz meminta rumah sakit untuk merujuk Putri ke luar negeri, memilih rumah sakit yang direkomendasikan oleh seorang teman lamanya yang tinggal di luar negeri.Hari itu juga, Hafidz terbang ke Thailand, di mana banyak orang menjalani operasi plastik dan berbagai prosedur medis lainnya. Thailand juga dikenal memiliki pengobatan yang canggih, termasuk untuk penyakit langka seperti yang dialami Putri."Ayah akan melakukan segalanya untukmu, sayang. Jadi, semangat lah untuk sembuh. Di sini, Ayah akan menemanimu sampai kamu membuka mata lagi," kata Hafidz saat berada di dalam mobil ambulans yang menuju bandara.Hafidz memilih untuk menggunakan pesawat pribadinya agar tidak perlu lama-lama membawa anaknya.
Hafizah menangis sepanjang perjalanan, menyadari bahwa malam ini ia akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih menyakitkan daripada pengkhianatan, yaitu terpaksa memenuhi harapan yang tidak diinginkannya. "Aku tidak menyangkal perasaanku, tetapi mengapa Hafidz tidak bisa melihat dengan jelas konsekuensi dari memaksakan pernikahan seperti ini? Aku tidak mau, dan dia juga tidak mau memahami semua ini."Hari yang seharusnya menjadi momen bahagia bagi Hafizah, Hafidz, dan Putri justru berubah menjadi kesedihan, bahkan bagi Hafidz yang masih menunggu anaknya di luar ruang ICU. "Aku bodoh! Aku salah karena membiarkan Hafizah pergi dariku, tetapi aku hanya ingin melihat Putri sembuh dari sakitnya. Permintaan Putri sangat berarti bagiku. Apa salahnya? Dia mencintaiku, dan aku juga mencintainya."Hafidz merenungkan dengan dalam tindakan yang telah dilakukannya terhadap Hafizah. Sementara itu, Hafizah yang telah tiba di rumah merasakan kehilangan yang mendal
Hafidz berusaha menghubungi Hafizah, namun tidak ada jawaban dari wanita itu. Kini, ia merasa bahwa Hafizah mungkin marah padanya dan merasa terluka karena telah disalahkan sebelumnya."Apakah aku sudah berlebihan terhadap Hafizah? Aku harus segera meminta maaf padanya sebelum semuanya terlambat."Hafidz masih menunggu kabar dari dokter yang berada di dalam ruangan, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan permintaan Putri. "Kamu tetap di sini, jangan lupa kabari aku jika ada informasi dari dokter. Aku akan segera kembali.""Jangan, Pak Hafidz. Saya khawatir akan ada tindakan serius. Sebaiknya Pak Hafidz tetap di sini, takutnya mereka meminta persetujuan untuk operasi seperti sebelumnya, dan saya tidak bisa melakukannya."Hafidz terdiam. Ia tidak akan pergi setelah mengingat apa yang terjadi pada anaknya, dan ia tidak mungkin meminta bodyguard untuk mengambil alih tanggung jawabnya di sini."Kamu benar. Sekarang, hubungi bodyguard yang ada di rumah untuk membawa Hafizah ke sini. Jangan