Endang, pekerja wanita yang kemarin dipergokin Upik berduaan di bilik kamar mandi bersama pak Bowo, kembali masuk bekerja.
Pekerjaannya adalah memberi pakan ayam dan memeriksa telur-telur ayam. Pekerja di peternakan ayam pak Bowo tidaklah banyak, hanya bekisar enam orang tidak termasuk Upik.Empat orang adalah pria dan dua orang wanita. Satu orang wanita lagi adalah Sukiyem, pembantu rumah pak Bowo yang bekerja mengawasi para Pekerja.Pekerja wanita kerap berganti. Kebanyakan diberhentikan sepihak oleh pak Bowo. Alasannya beragam, mulai dari tak becus, sampai karna tak mau melayani pak Bowo. Ibu Laila istri pak Bowo tidak tahu sama sekali ulah nakal suaminya, ia keseringan berada di rumah orangtuanya. Alasannya, karna tak tahan dengan aroma tak enak dari kandang-kandang ayam itu. Sementara para pekerja lainnya, hapal betul kebiasaan pak Bowo. Para pekerja laki-laki kerap diam diam menonton adegan panas antara pak Bowo dan Pekerja wanitanya.Endang berjalan menunduk ke arah kandang. Ia tahu pak Bowo memperhatikannya dari jauh. Saat memasuki gudang tempat pakan ayam disimpan, pak Bowo tampak bergerak dari posisinya. Ia berjalan menuju gudang, mengikuti Endang masuk ke dalam.Sampainya di dalam gudang, pak Bowo menutup pintu, mendapati Endang yang sedang menakar pakan ayam. Endang terkejut, pakan ayam terjatuh dari tangannya."Bapak! kenapa ke sini?""Kita masih punya urusan yang belum kelar Endang.""Tt, tapi pak. Banyak orang di sini, jangan Pak!"Endang melangkah mundur, pak Bowo mendekatinya dan kemudian mendekap tubuh Endang dengan kuat. Nafas pak Bowo memburu, mencumbui leher Endang seperti ingin melahapnya. dalam sekejab ia sudah berhasil membuka kaos lengan panjang yang dikenakan Endang.Di luar, para Pekerja menyadari hal itu. Mereka berempat mengendap-endap mengintip gudang. Sukiyem kebetulan sedang menyetrika di dalam rumah, ia tak menyadari hal tersebut.Di dalam gudang, Endang berlari menghindari pak Bowo yang sudah kesetanan. Atasan yang ia kenakan hanya Bra berwarna putih saja, belahan dadanya menyembul mengkal. Pemandangan ini semakin membuat gila pak Bowo, dan panas dingin para pengintip di luar.***Di dalam rumah, Sukiyem sedang menyetrika. Tumpukan pakaian yang sudah ia susun rapi tampak membuatnya kelelahan. Ia meregangkan badan sembari menenggak minuman teh manis di sebelahnya.Dari dapur, terdengar suara pak Bowo memanggilnya."Hei kamu! segera telfonkan istri saya untuk pulang ya! badan saya sakit semua ini." perintah pak Bowo.Sukiyem heran, tak biasanya pak Bowo memanggilnya dengan panggilan tegas seperti itu. Biasanya pak Bowo memanggilnya dengan panggilan lembut jika istrinya tak di rumah."Bbbaa, baik Pak."Sukiyem mengambil HPnya. Ia juga heran, kenapa pak Bowo tak memintanya untuk memijatnya saja seperti biasanya. Namun, karna kali ini pak Bowo terlihat tak seperti biasa, Sukiyem takut untuk menawarkan pijatan mesranya.Sukiyem-pun menelfon buk Laila, meminta untuk segera pulang karna Bapak sedang tidak enak badan. Buk Laila sebenarnya istri yang sangat mencintai suaminya. Saking cintanya, semua hartanya ia percayakan saja pada pak Bowo, termasuk peternakan ayam tersebut."Ibuk sebentar lagi pulang Pak, udah di jalan katanya."Sukiyem berjalan menuju dapur, mengira pak Bowo masih ada di sana. Ternyata pak Bowo sudah tidak di sana lagi.Para pekerja yang mengintip dari luar sedang gerah-gerahnya menyaksikan adegan panas dari dalam gudang, menyaksikan bagaimana Endang berontak dan pak Bowo tak kunjung mendapatkan 'gol kemenangan'. Pak Bowo semakin beringas, menindih tubuh Endang seperti harimau yang menaklukkan mangsanya. Ia membuka sabuk pinggangnya terburu-buru demi melihat Endang yang sudah tak berdaya. Celana jeansnya ia tanggalkan seketika, pakaian dalamnya ia lempar entah kemana. Ia tarik celana training Endang, sekali tarik tertanggallah setengah, semakin gilalah pak Bowo demi melihat tubuh mulus nan putih di depannya.Upik yang sedari tadi menyapu pinggiran kandang-kandang ayam, seperti melihat keadaan dejavu. Jika para pekerja laki-laki sudah berkumpul mengintip seperti itu, berarti di dalam pak Bowo dan pekerja perempuan sedang melakukan hal yang membuat mereka bergairah dan senang. Upik tetap melanjutkan pekerjaannya seolah menganggap itu hal yang lumrah. Tiba-tiba ia melihat benda bulat hitam yang semalam ia bawa dari kebun ubi, menggelinding keluar dari belakang rumah pak Bowo. Menggelinding terus sampai berhenti di dekat perapian yang ia buat semalam dan masuk ke dalam tumpukan jerami. Benda bulat itu mengeluarkan sedikit cahaya ungunya dari celah-celah retakan permukaannya.Entah kenapa Upik merasa benda itu telah melakukan sesuatu.Sebuah kendaraan roda dua berhenti di halaman. Setelah masuk ke rumah, ia kembali keluar."Bapaaak! dimana Bapak?"Buk Laila tampak turun dari motornya, memanggil-manggil suaminya. Ia melihat para pekerja kemudian berhambur bubar seketika demi melihat kedatangan buk Laila secara kebetulan, mereka lari terburu-buru menuju kandang ayam."Hey kalian! Bapak dimana?" tanya buk Laila.Para pekerja berhenti seketika, mereka membalikkan badan ke arah buk Laila dan saling menoleh satu sama lain."Saya tanyak kok diam? Bapak dimana?"Para pekerja serentak menunjuk ke arah gudang dengan ragu.Buk Laila mendekati gudang, saat tangannya hendak membuka pintu, ia mendengar suara dari dalam."Paaaak, tolong jangan lakukan ini paaak. Saya mohon, huhuhuhu. ""Gak bakal sakit kok, malah enak. Kamu tenang saja ya, rileks, saya pelan-pelan saja yaaa!"Mendengar hal ini buk Laila langsung meradang, ia buka pintu selebar-lebarnya. Tampak olehnya pak Bowo sedang berada di atas tubuh Endang, mereka sama sekali tak mengenakan pakaian sehelaipun.______________*** "AAAAAAAAA!!!" Santi berteriak, mengejutkan penghuni rumah yang sudah hampir terlelap. Upik yang sudah tidak tidur bersama lagi dengan Santi dan kini ia menghuni kamar Rian, terhenyak setelah lima menit ia memejamkan mata. "Santi? kenapa dia?!" ucap Upik segera beranjak dari ranjangnya. Dug! Dug! Dug! Santi menggedor-gedor pintu kamarnya yang ternyata sengaja dikunci dari luar oleh Liom karena seringnya Santi berusaha untuk kabur. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat demi menyadari waktu pada Bom itu tinggal tiga menit lagi. Liom dan Rian yang tidur sekamar langsung beranjak begitu mendengar teriakan Santi. "Kau mengunci kamarnya, Julian?!" tanya Rian panik. "Ya! cepatlah!" "Ach! si4l!" gerutu Rian panik. Liom dan Rian membuka pintu kamar, di depan kamar mereka, tampak Upik yang sudah bergegas menuju kamar Santi. Liom dan Rian-pun mengikuti langkah upik bersamaan. Namun langkah mereka seketika berhenti saat Mpus mendahului mereka bak hembusan angin. Mpus sudah b
"KENAPA KAU SERAHKAN BAYIKU, B4JINGAAAAN!!!" Praaankk!! Praaangggg!!! Santi mengamuk, ia yang seharusnya masih lemah dan berdarah-darah melangkah menuju sebuah vas bunga besar di atas nakas dan melemparkannya ke arah Mpus. Vas bunga itu pecah berkeping-keping dengan tumpahan air yang mengisi vas itu menggenang di lantai. Mpus bergeming, ia berdiri menatap pintu masuk ruang tamu sambil bersidekap. "Apa maksudnya ini? jadi, jadi kau tadi diam tak menjawab bukan karena kehendakmu, Santi?" tanya Liom tampak bingung. "Aku yakin, pria aneh ini yang menahanku untuk tidak bereaksi! entah apa maksudnya?! apa kau langsung gil4 saat mendapati jumlah uang dan mendengar nominal sepuluh juta dolar?! Hah! tak kusangka orang aneh sepertimu bahkan lebih matrealistis dari orang sepertiku!" cecar Santi sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mpus dengan netra melotot dan berair. Liom menatap nyalang ke arah Mpus yang masih bergeming tak menyahut, ia mengernyitkan keningnya tak mengerti. Liom menoleh ke ar
***Mpus yang menyadari Wijaya telah berada di dekat mereka segera pasang badan. Ia menghalangi Wijaya untuk mendekat. "Kau, siapa? penampilanmu aneh sekali! dari tadi aku salah fokus padamu! apakah kau semacam dukun atau paranormal?" tanya Wijaya memperhatikan Mpus dari ujung kaki ke kepala. "Kau tak berhak atas bayi itu! enyahlah dari sini!" "Oh, ya?! begitukah? kau tak bertanya dulu pada Santi? isteriku?" tanyanya percaya diri. Mpus berpaling, melihat ke arah Santi yang sedang memeluk bayinya. Santi tampak ragu dan menatap Mpus dan Wijaya bergantian. "Ayo, mari! berikan bayi itu padaku, Santi!" ucap Wijaya masih percaya diri. "Kau telah berjanji akan menceraikan kedua isterimu jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Mas!" Wijaya berdecak kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan membuang cerutunya sembarang. "Sepertinya ada yang kau tak mengerti, Santi! aku tak mungkin menceraikan mereka!""Apa maksudmu, Mas? bukankah kau yang kemarin bersumpah akan men
*** Wijaya adalah suami Santi, seorang pria berpengaruh di Kota ini. Menikahi Santi baginya adalah sebuah kesalahan yang ternyata berbuah manis. Hanya saja, manisnya buah tak bisa ia miliki begitu saja, karna Santi bukanlah wanita lemah dan bodoh seperti sangkaannya pertama kali, demikian buah manis itu tak pula dengan mudah ia peroleh karna terhalang oleh dua orang Istrinya. Sebenarnya Wijaya menikahi Santi tidaklah ia rencanakan. Hanya main-main, demikian dengan Surat Perjanjian yang ia tandatangai asal saja. Baginya, tidur dengan banyak wanita, dan tak ada satupun yang mengandung anaknya, sudahlah membuktikan bahwa dirinyalah yang bermasalah. Tapi tidak dengan Santi, Ia ternyata benar-benar mengandung darah dagingnya. Awalnya, Wijaya meragukan kalau yang dikandung Santi adalah darah dagingnya. Seperti kebanyakan wanita yang mendatanginya dan mengaku hamil. Namun, karna kepercayaan diri Santi yang tinggi, Santi juga dalam keadaan perawan saat ia nikahi, dan ia bersedia melakukan
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w