Share

Bab 2. Tikus dan Bola Ajaib

Malam telah tiba, sekitar pukul tujuh Upik bergegas ke dapur, perutnya sudah lapar betul.

Pintu dapur rumah pak Bowo belum dibuka, dan nampan yang biasa berisi makanan sisapun belum kelihatan di bawah pintu. Upik menunggu di luar, tepat di samping pintu dapur.

Sudah sejam, tak kunjung ada yang membukakan pintu. Biasanya buk Laila istri pak Bowo atau Sukiyem pembantu di rumah itu akan memanggil manggil Upik untuk mengambil jatah makannya.

Lapar yang ia rasakan memaksanya mencoba mengetuk pintu dapur.

Tok, tok, tok!

Upik menunggu, berharap ketukannya disambut terbukanya pintu. Namun, tak ada respon sama sekali.

Sudah dua jam lebih Upik menunggu, ia memutuskan melihat ke arah depan rumah. Biasanya pak Bowo ataupun istrinya akan marah jika Upik memperlihatkan dirinya di halaman depan rumah pak Bowo. Namun kini, ia betul betul kelaparan.

Ia melangkah ragu ke depan rumah, ia perhatikan pintu dan jendela semuanya tertutup. Sepertinya, keluarga pak Bowo sedang tidak ada di rumah.

Upik melangkah gontai, ia benar-benar kelaparan. Ia remas perutnya, matanya mengitari sekeliling, berharap menemukan sesuatu yang bisa ia makan.

Upik masuk ke rumahnya, sebuah bangunan bekas kandang ayam yang berdinding papan jarang-jarang. Upik berbaring di lapisan tumpukan jerami, kakinya ia tekuk dan ia peluk. Lapar sekali ia malam ini.

Samar ia mendengar suara decitan tikus di kakinya. Upik menghentak- hentakkan kakinya, ia beranjak ke sebuah peti usang kemudian membuka tutup peti dan merogoh sesuatu.

Ctak!

Sebuah korek api gas ia nyalakan. Ia kemudian mengambil sebuah lampu cemprong yang tersangkut di dinding dan menyalakannya, tikus yang ia cari tak terlihat lagi.

Tapi belum berapa lama, kembali tikus itu menggigit kakinya. Kali ini Upik melihat seekor tikus berwarna putih bersih diam bergeming di kakinya. Upik berjongkok perlahan, kali ini ia harus bisa menangkap tikus ini, pikirnya. Namun sayang, tikus itu meloncat begitu tangan Upik hendak meraihnya.

"Aiisssh!" kesal Upik.

Tikus itu tampak berlari keluar, ia seperti mengejek Upik yang tak bisa mengejarnya. Ejekan tikus itu seperti dipahami oleh Upik, ia berlari keluar mengikuti kemana tikus itu berlari.

Mengejar dan terus mengejar, tak sadar Upik sudah berada cukup jauh dari area kandang ayam pak Bowo. Ia menyadari dirinya tengah berdiri di kebun singkong milik warga. Matanya mengitari sekitar, hanya sinar bulan yang menerangi.

Suara tikus terdengar lagi, Upik memasang mata betul betul, membiaskan matanya dengan cahaya temaram bulan untuk dapat melihat keberadaan tikus yang mengganggunya.

Tikus itu berada di atas tumpukan ubi kayu. Ia berdecit-decit seolah memanggil-manggil. Upik mendekati tikus itu, ia seperti mengerti tikus itu menyuruhnya mengambil ubi itu untuk dijadikan pengganjal perutnya malam ini.

Mata Upik berbinar, mulutnya terbuka melebar. Ia segera mengambil dua-tiga ubi kayu dan ia rangkul seolah mendapatkan rezeki nomplok. Ia julurkan tangannya ke arah tikus itu, tikus itu seolah mengerti, meloncat di atas telapak tangan upik dan berdecit-decit.

Ubi kayu di tangannya ia rangkul, tikus itu kemudian bertengger di bahunya. Saat Upik hendak beranjak, seberkas cahaya berwarna ungu menyeruak dari dalam tumpukan ubi-ubi tersebut. Upik menoleh, ia bingung dengan cahaya yang ia saksikan. Kembali ia berjongkok di depan tumpukan ubi tersebut, tangannya membongkar tumpukan ubi sampai dasar. Ia temukan sebuah benda bulat hitam sebesar bola kasti dengan retakan-retakan di permukaannya. Retakan-retakan itu mengeluarkan cahaya ungu dari dalam.

"Cantik." Upik berbisik.

Tikus menimpali dengan decitannya seolah memperhatikan juga benda itu.

"Ini apa?" tanya Upik pada tikus itu, disahut decitan tikus.

"Yaaah, ini mungkin bola ajaib?" Upik mendekatkan bola itu ke tikus seolah menunjukkannya dan disahut decitan kembali.

Upik mengambil benda bulat itu, ia mencoba mengantonginya. Namun benda bulat itu seperti besi, berat dan kokoh. Saku usang dari celana gembrong Upik tiba-tiba jebol, benda itu jatuh menimpa jari kelingking kaki Upik.

"Aduh!" Upik meringis. Jari kakinya sakit sekali tertimpa benda berat seperti besi itu.

Upik memutuskan untuk membawa benda bulat itu beserta dengan ubi-ubi tadi bersamaan. Tak lupa ia meraih tikus tadi dan meletakkannya di bahunya. Ia berlari menuju rumahnya terpincang-pincang.

Sampai di rumahnya, ia mengambil segenggam jerami kering, ia bakar kemudian menumpuk beberapa kayu bakar di atas api yang ia nyalakan. Ubi-ubi tadipun dimasukkan ke dalam bara api, malam ini Upik akhirnya bisa tidur dengan kenyang.

***

Larut malam bekisar pukul satu. Suara jangkrik dan binatang malam bersahut-sahutan. Seorang perempuan muda tertidur di dekat perapian. Seolah abai dengan dengungan nyamuk yang berusaha menancapkan suntikannya.

Sesekali tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang berkutu, siku dan lehernya yang penuh daki dan punggungnya yang gatal akibat tidur sembarang.

Sebuah benda bulat hitam bergerak menggelinding mendekati tubuh yang terlelap itu. Tikus yang menyadari pergerakan benda itu, keluar menyembul dari balik baju perempuan itu. Memperhatikan bola itu dan berdecit-decit pelan.

Bola itu tampak mengeluarkan cahaya yang terang. Fokus cahaya itu mengarah pada kaki perempuan itu. Cukup lama cahaya itu menyinari kakinya, dan kemudian kembali padam. Bola itu kembali menggelinding ke tempatnya semula. Melihat itu, tikuspun berdecit kencang.

Upik terbangun, mengucek matanya dan ia duduk menanyai tikus itu.

"Kenapa?"

Tikus itu mematuk-matuk jari kaki Upik, meminta Upik melihatnya.

Upik heran, jari kelingking kakinya tak sakit lagi, tak ada lebam bekas timpaan benda berat lagi di sana.

"Kok bisa?"

Tikus berlari menuju benda bulat hitam itu, dan mematuk-matuk benda tersebut seolah mengatakan benda itu telah menyembuhkan kakinya.

____________________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status