Malam telah tiba, sekitar pukul tujuh Upik bergegas ke dapur, perutnya sudah lapar betul.
Pintu dapur rumah pak Bowo belum dibuka, dan nampan yang biasa berisi makanan sisapun belum kelihatan di bawah pintu. Upik menunggu di luar, tepat di samping pintu dapur.Sudah sejam, tak kunjung ada yang membukakan pintu. Biasanya buk Laila istri pak Bowo atau Sukiyem pembantu di rumah itu akan memanggil manggil Upik untuk mengambil jatah makannya.Lapar yang ia rasakan memaksanya mencoba mengetuk pintu dapur.Tok, tok, tok!Upik menunggu, berharap ketukannya disambut terbukanya pintu. Namun, tak ada respon sama sekali.Sudah dua jam lebih Upik menunggu, ia memutuskan melihat ke arah depan rumah. Biasanya pak Bowo ataupun istrinya akan marah jika Upik memperlihatkan dirinya di halaman depan rumah pak Bowo. Namun kini, ia betul betul kelaparan.Ia melangkah ragu ke depan rumah, ia perhatikan pintu dan jendela semuanya tertutup. Sepertinya, keluarga pak Bowo sedang tidak ada di rumah.Upik melangkah gontai, ia benar-benar kelaparan. Ia remas perutnya, matanya mengitari sekeliling, berharap menemukan sesuatu yang bisa ia makan.Upik masuk ke rumahnya, sebuah bangunan bekas kandang ayam yang berdinding papan jarang-jarang. Upik berbaring di lapisan tumpukan jerami, kakinya ia tekuk dan ia peluk. Lapar sekali ia malam ini.Samar ia mendengar suara decitan tikus di kakinya. Upik menghentak- hentakkan kakinya, ia beranjak ke sebuah peti usang kemudian membuka tutup peti dan merogoh sesuatu.Ctak!Sebuah korek api gas ia nyalakan. Ia kemudian mengambil sebuah lampu cemprong yang tersangkut di dinding dan menyalakannya, tikus yang ia cari tak terlihat lagi.Tapi belum berapa lama, kembali tikus itu menggigit kakinya. Kali ini Upik melihat seekor tikus berwarna putih bersih diam bergeming di kakinya. Upik berjongkok perlahan, kali ini ia harus bisa menangkap tikus ini, pikirnya. Namun sayang, tikus itu meloncat begitu tangan Upik hendak meraihnya."Aiisssh!" kesal Upik.Tikus itu tampak berlari keluar, ia seperti mengejek Upik yang tak bisa mengejarnya. Ejekan tikus itu seperti dipahami oleh Upik, ia berlari keluar mengikuti kemana tikus itu berlari.Mengejar dan terus mengejar, tak sadar Upik sudah berada cukup jauh dari area kandang ayam pak Bowo. Ia menyadari dirinya tengah berdiri di kebun singkong milik warga. Matanya mengitari sekitar, hanya sinar bulan yang menerangi.Suara tikus terdengar lagi, Upik memasang mata betul betul, membiaskan matanya dengan cahaya temaram bulan untuk dapat melihat keberadaan tikus yang mengganggunya.Tikus itu berada di atas tumpukan ubi kayu. Ia berdecit-decit seolah memanggil-manggil. Upik mendekati tikus itu, ia seperti mengerti tikus itu menyuruhnya mengambil ubi itu untuk dijadikan pengganjal perutnya malam ini.Mata Upik berbinar, mulutnya terbuka melebar. Ia segera mengambil dua-tiga ubi kayu dan ia rangkul seolah mendapatkan rezeki nomplok. Ia julurkan tangannya ke arah tikus itu, tikus itu seolah mengerti, meloncat di atas telapak tangan upik dan berdecit-decit.Ubi kayu di tangannya ia rangkul, tikus itu kemudian bertengger di bahunya. Saat Upik hendak beranjak, seberkas cahaya berwarna ungu menyeruak dari dalam tumpukan ubi-ubi tersebut. Upik menoleh, ia bingung dengan cahaya yang ia saksikan. Kembali ia berjongkok di depan tumpukan ubi tersebut, tangannya membongkar tumpukan ubi sampai dasar. Ia temukan sebuah benda bulat hitam sebesar bola kasti dengan retakan-retakan di permukaannya. Retakan-retakan itu mengeluarkan cahaya ungu dari dalam."Cantik." Upik berbisik.Tikus menimpali dengan decitannya seolah memperhatikan juga benda itu."Ini apa?" tanya Upik pada tikus itu, disahut decitan tikus."Yaaah, ini mungkin bola ajaib?" Upik mendekatkan bola itu ke tikus seolah menunjukkannya dan disahut decitan kembali.Upik mengambil benda bulat itu, ia mencoba mengantonginya. Namun benda bulat itu seperti besi, berat dan kokoh. Saku usang dari celana gembrong Upik tiba-tiba jebol, benda itu jatuh menimpa jari kelingking kaki Upik."Aduh!" Upik meringis. Jari kakinya sakit sekali tertimpa benda berat seperti besi itu.Upik memutuskan untuk membawa benda bulat itu beserta dengan ubi-ubi tadi bersamaan. Tak lupa ia meraih tikus tadi dan meletakkannya di bahunya. Ia berlari menuju rumahnya terpincang-pincang.Sampai di rumahnya, ia mengambil segenggam jerami kering, ia bakar kemudian menumpuk beberapa kayu bakar di atas api yang ia nyalakan. Ubi-ubi tadipun dimasukkan ke dalam bara api, malam ini Upik akhirnya bisa tidur dengan kenyang.***Larut malam bekisar pukul satu. Suara jangkrik dan binatang malam bersahut-sahutan. Seorang perempuan muda tertidur di dekat perapian. Seolah abai dengan dengungan nyamuk yang berusaha menancapkan suntikannya.Sesekali tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang berkutu, siku dan lehernya yang penuh daki dan punggungnya yang gatal akibat tidur sembarang.Sebuah benda bulat hitam bergerak menggelinding mendekati tubuh yang terlelap itu. Tikus yang menyadari pergerakan benda itu, keluar menyembul dari balik baju perempuan itu. Memperhatikan bola itu dan berdecit-decit pelan.Bola itu tampak mengeluarkan cahaya yang terang. Fokus cahaya itu mengarah pada kaki perempuan itu. Cukup lama cahaya itu menyinari kakinya, dan kemudian kembali padam. Bola itu kembali menggelinding ke tempatnya semula. Melihat itu, tikuspun berdecit kencang.Upik terbangun, mengucek matanya dan ia duduk menanyai tikus itu."Kenapa?"Tikus itu mematuk-matuk jari kaki Upik, meminta Upik melihatnya.Upik heran, jari kelingking kakinya tak sakit lagi, tak ada lebam bekas timpaan benda berat lagi di sana."Kok bisa?"Tikus berlari menuju benda bulat hitam itu, dan mematuk-matuk benda tersebut seolah mengatakan benda itu telah menyembuhkan kakinya.____________________*** "AAAAAAAAA!!!" Santi berteriak, mengejutkan penghuni rumah yang sudah hampir terlelap. Upik yang sudah tidak tidur bersama lagi dengan Santi dan kini ia menghuni kamar Rian, terhenyak setelah lima menit ia memejamkan mata. "Santi? kenapa dia?!" ucap Upik segera beranjak dari ranjangnya. Dug! Dug! Dug! Santi menggedor-gedor pintu kamarnya yang ternyata sengaja dikunci dari luar oleh Liom karena seringnya Santi berusaha untuk kabur. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat demi menyadari waktu pada Bom itu tinggal tiga menit lagi. Liom dan Rian yang tidur sekamar langsung beranjak begitu mendengar teriakan Santi. "Kau mengunci kamarnya, Julian?!" tanya Rian panik. "Ya! cepatlah!" "Ach! si4l!" gerutu Rian panik. Liom dan Rian membuka pintu kamar, di depan kamar mereka, tampak Upik yang sudah bergegas menuju kamar Santi. Liom dan Rian-pun mengikuti langkah upik bersamaan. Namun langkah mereka seketika berhenti saat Mpus mendahului mereka bak hembusan angin. Mpus sudah b
"KENAPA KAU SERAHKAN BAYIKU, B4JINGAAAAN!!!" Praaankk!! Praaangggg!!! Santi mengamuk, ia yang seharusnya masih lemah dan berdarah-darah melangkah menuju sebuah vas bunga besar di atas nakas dan melemparkannya ke arah Mpus. Vas bunga itu pecah berkeping-keping dengan tumpahan air yang mengisi vas itu menggenang di lantai. Mpus bergeming, ia berdiri menatap pintu masuk ruang tamu sambil bersidekap. "Apa maksudnya ini? jadi, jadi kau tadi diam tak menjawab bukan karena kehendakmu, Santi?" tanya Liom tampak bingung. "Aku yakin, pria aneh ini yang menahanku untuk tidak bereaksi! entah apa maksudnya?! apa kau langsung gil4 saat mendapati jumlah uang dan mendengar nominal sepuluh juta dolar?! Hah! tak kusangka orang aneh sepertimu bahkan lebih matrealistis dari orang sepertiku!" cecar Santi sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mpus dengan netra melotot dan berair. Liom menatap nyalang ke arah Mpus yang masih bergeming tak menyahut, ia mengernyitkan keningnya tak mengerti. Liom menoleh ke ar
***Mpus yang menyadari Wijaya telah berada di dekat mereka segera pasang badan. Ia menghalangi Wijaya untuk mendekat. "Kau, siapa? penampilanmu aneh sekali! dari tadi aku salah fokus padamu! apakah kau semacam dukun atau paranormal?" tanya Wijaya memperhatikan Mpus dari ujung kaki ke kepala. "Kau tak berhak atas bayi itu! enyahlah dari sini!" "Oh, ya?! begitukah? kau tak bertanya dulu pada Santi? isteriku?" tanyanya percaya diri. Mpus berpaling, melihat ke arah Santi yang sedang memeluk bayinya. Santi tampak ragu dan menatap Mpus dan Wijaya bergantian. "Ayo, mari! berikan bayi itu padaku, Santi!" ucap Wijaya masih percaya diri. "Kau telah berjanji akan menceraikan kedua isterimu jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Mas!" Wijaya berdecak kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan membuang cerutunya sembarang. "Sepertinya ada yang kau tak mengerti, Santi! aku tak mungkin menceraikan mereka!""Apa maksudmu, Mas? bukankah kau yang kemarin bersumpah akan men
*** Wijaya adalah suami Santi, seorang pria berpengaruh di Kota ini. Menikahi Santi baginya adalah sebuah kesalahan yang ternyata berbuah manis. Hanya saja, manisnya buah tak bisa ia miliki begitu saja, karna Santi bukanlah wanita lemah dan bodoh seperti sangkaannya pertama kali, demikian buah manis itu tak pula dengan mudah ia peroleh karna terhalang oleh dua orang Istrinya. Sebenarnya Wijaya menikahi Santi tidaklah ia rencanakan. Hanya main-main, demikian dengan Surat Perjanjian yang ia tandatangai asal saja. Baginya, tidur dengan banyak wanita, dan tak ada satupun yang mengandung anaknya, sudahlah membuktikan bahwa dirinyalah yang bermasalah. Tapi tidak dengan Santi, Ia ternyata benar-benar mengandung darah dagingnya. Awalnya, Wijaya meragukan kalau yang dikandung Santi adalah darah dagingnya. Seperti kebanyakan wanita yang mendatanginya dan mengaku hamil. Namun, karna kepercayaan diri Santi yang tinggi, Santi juga dalam keadaan perawan saat ia nikahi, dan ia bersedia melakukan
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w