***Bambang melaju kencang menuju rumah mbah Acong, sampai di depan teras, ia berhenti seketika. Keluar dengan terburu-buru dan melangkah cepat masuk ke dalam. "Mbaah...! Mbaaah!""Mbah lagi tidak di rumah, Tuan." seorang Asisten Rumah Tangga berlari untuk memberitahu Bambang. "Mbah kemana?""Beliau sedang ada urusan di luar, Tuan.""Ambilkan saya telfon, hubungi Mbah Acong sekarang!""Baik, Tuan."Asisten Rumah Tangga itu tampak mengambil telepon wireless dan mecoba menghubungi mbah Acong. "Ini, Tuan." menyerahkan telepon pada Bambang. "Hallo, Mbah. Ini saya Bambang, HP saya diambil sama betina itu. Mbah sekarang dimana?"***Di sebuah bangunan tua dua lantai, mbah Acong mondar-mandir di teras, ia mengelus-elus dagunya yang berjanggut. Mpus menghampiri mbah Acong yang tampak sedang menunggu seseorang. "Siapa yang kau tunggu?""Bambang, dia akan segera datang ke sini.""Lantas, apa rencamu?""Pertama, kita menunggunya datang dulu."Mpus diam, tangan kirinya memegang tangan kanan
***Mereka semua berlari menuju tempat Bambang menjerit. Liom segera membuka pintu kamar, dan mendapati Bapaknya tergeletak kesakitan di depan pintu kamar mandi. "Pak Bambang!" mbah Dukun segera berlari mendekati. Mpus segera mendekati Bambang yang kesakitan, tubuhnya kaku menegang, tampak Bambang memegangi kelaminnya. Ia sesekali menggeliat, wajahnya tampak menahan rasa antara geli dan kesakitan. Upik yang melihat itu langsung menutup matanya, ia bersembunyi di belakang Liom. "Sebentar! biar saya lihat dulu." mbah Acong tampak berkonsentrasi melihat keadaan Bambang. Namun, "Ini semacam ritual yang belum tuntas!" Mpus segera mengambil kesimpulan. "Apa?!" tanya Liom. "Ya! semalam ia melakukan hubungan badan dengan wanita itu. Rencana wanita itu adalah membuat pak Bambang mencapai klimaks dan mengeluarkan spermanya. Namun, pak Bambang masih bisa mengontrol dirinya, ia menahannya. Dan sekarang, sperma itu dipaksa keluar oleh wanita itu.""Apa yang terjadi, jika spermanya keluar?"
***Mbah Acong memeriksa keadaan Bambang, lemas dan tak berdaya. Mbah Acong khawatir hal yang mungkin akan membahayakan fisik Bambang. Akhirnya, mereka sepakat untuk segera membawa Bambang ke Rumah Sakit. Meski kesakitan yang ia rasakan bukan berasal dari hal medis, namun ia harus mendapatkan perawatan untuk memulihkan kondisinya. Saat menuruni anak tangga, Liom dan satu orang Bodyguard membopong tubuh Bambang, sementara Mpus, Upik dan mbah Acong mengikuti dari belakang. Namun, saat akan sampai ke lantai dasar, Liom merasakan kepalanya berkunang-kunang, keringatnya bercucuran, tangan yang menopang tubuh Bapaknya gemetaran. Ia melepaskan pegangannya, hingga tubuh Bambang bagian atas hampir terbentur ke anak tangga. Beruntung, Mpus sigap menopang kepala Bambang."Liom? ada apa denganmu?!" sontak Upik menegurnya. Liom tak menjawab, ia memegangi kepalanya, hidungnya mengeluarkan darah, kemudian ambruk. Tubuhnya berguling di sisa anak tangga yang akan dituruni sampai ke lantai dasar.
***Semua sandera dibawa masuk ke sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Tempat yang terasing dan jarang bahkan hampir tak pernah didatangi oleh khalayak. Bangunan itu tampak usang dengan permukaan dindingnya dipenuhi rumput rambat sampai ke atas. Pokok anggur yang menjuntai bak lumut mewarnai tiang penyangga atap teras menambah kesan bangunan tersebut tampak tak terurus. Sesekali ada pula hewan melata menampakkan dirinya di sela-sela rimbunnya tanaman rambat itu. Empat buah mobil sedan hitam berhenti di depan bangunan itu. Beberapa orang berpakaian Preman keluar dari mobil, masing-masing dua orang Preman menggotong tubuh-tubuh sandera yang pingsan. Para sandera diletakkan berbaring terikat di sebuah gudang yang pengap. Salah satu sandera paruh baya dibawa naik ke lantai dua."Nyonya, pak Bambang tampak tak berdaya. Meski kami tak membiusnya, sepertinya memang dia sedang dalam keadaan tidak sehat." lapor Pimpinan preman itu. Rianti melangkah mendekati tubuh Bambang yang masih terk
***Upik mendekati Mpus segera, ia membuka ikatan tali yang melilit tubuh Mpus berlapis-lapis dengan cara membuka biasa. Melihat itu, Mpus yang masih terengah-engah, dengan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya kaget dan heran. Ia menguras banyak energi untuk melepas ikatan itu, namun Upik melepasnya dengan cara biasa saja. "Kka, kau bisa membuka ikatan ini begitu saja?" tanya Mpus. "Ya, ini hanya diikat dengan simpul biasa. Hanya saja, talinya sangat panjang, hingga melilit tubuhmu sampai berlapis-lapis." terang Upik. "Ttaa, tapi, aku kesulitan untuk melepaskan ini dari tadi.""Aku mengerti!" mbah Acong tiba-tiba bersuara. "Ya, Mbah?" tanya Upik. "Sebenarnya, tali yang mengikatmu itu tidaklah memiliki kekuatan magis yang besar, biasa saja. Namun, kau tadi dalam kepanikan, dan itulah yang dimanfaatkan si mbah Dukun itu.""Maksudnya?" tanya Mpus bingung. "Sepertinya, mbah Dukun tau kalau dahulu kau hanya seekor kucing yang tak bertuan. Dan ia memanfaatkan kepanikanmu. Dengan
***Mpus berjalan cepat menuju mbah Dukun. Melihat itu, mbah dukun kembali melancarkan tembakan bola cahayanya ke arah Mpus. Namun, Mpus tetap bisa mengelak dengan tetap berjalan menuju ke arah mbah Dukun. Mpus kemudian memasang kuda-kuda untuk melayang ke udara, mengarahkan telapak tangannya ke arah mbah Dukun, dan melemparkan sebuah kilat berwarna putih ke arah mbah Dukun. Namun, mbah Dukun bisa mengelak, dan kilat itu mengenai railling tangga dan patah seketika saat mengeluarkan ledakan kecil. Mpus segera menapak di atas lantai, ia sudah berada tepat di hadapan mbah Dukun. Mbah Dukun tampak mengeluarkan seberkas cahaya merah dari tangannya dan dengan senyuman mengatakan, "Kau tau ini apa? ini adalah energi yang kuserap darimu. Manis sekali rasanya, aku menjadi ketagihan. Sepanjang aku mengamalkan ilmu, baru kali ini kurasakan energi murni yang segar seperti ini." ucap mbah Dukun. "Itu tak berguna sama sekali untukku!" "Oh ya? ah, ini sudah sore hari, sebentar lagi matahari ak
***Setelah berada sekitar satu meter jaraknya, Rianti kemudian menyerahkan pistol pada Bambang, "Gadis itu, amankan dia Bambang!" perintah Rianti. Seperti robot, Bambang menurut saja. Ia tarik Upik dari genggaman tangan Mpus yang lemah, dan menodongkan senjata ke kepala Upik. Rambut Upik ia jambak sampai kepalanya mendongak ke atas. Upik menjerit kesakitan, tangannya berusaha meraih tangan Bambang untuk melepaskan jambakan itu. Melihat itu, Liom bergegas berdiri dan hendak meraih Upik. Namun, Bambang segera menodongkan pistol ke arah Liom. Bambang benar-benar tak melihat Liom sebagai anaknya, namun sebagai pengganggu yang siap ia musnahkan jika mengganggu. "Bapak! aku Julian anakmu! jangan dengarkan perempuan gila ini!" Liom perlahan melangkah ke arah Bambang. "Ckckckc, sayang sekali Julian. Dia tidak akan mendengarkanmu. Bahkan jika kusuruh menembakmu membabi buta, ia akan menurutinya." ucap Rianti sambil melangkah mendekati Liom. "Kurang ajar!" Liom mengepal tangannya kuat.
***Di luar bangunan tua itu, Mpus, Liom dan Upik berdiri. Mereka melihat ada beberapa mobil di halaman. "Yang mana yang bisa kau kendarai, Liom?" tanya Mpus. "Semuanya!" jawab Liom yakin. "Kau pilihlah salah satunya." "Sebelum itu, bisakah kau pindahkan Bapakku dan mbah Acong ke dalam mobil?" pinta Liom. Mpus memandang Liom sejenak, lalu mendekatinya, "Kau khawatir pada Bapakmu?""Ah, kau mulai lagi. Dia dan mbah Acong masih ada kemungkinan selamat. Aku sebagai manusia, masih memiliki hati untuk tak membiarkan mereka ada di sarang setan ini." "Hmmm, baiklah!" Mpus melangkah kembali ke dalam gedung, ia arahkan tangannya ke Bambang dan mbah Acong yang terkapar tak berdaya, perlahan kedua sosok yang tak sadarkan diri itu melayang di udara. Mpus mengarahkan tangannya ke arah Mobil, kedua sosok melayang mengikuti arah tangan Mpus. Melihat Bapaknya dan mbah Acong melayang keluar pintu, Liom langsung bergegas menuju sebuah mobil jenis Triton yang tak jauh darinya. Bambang dan mbah