Share

Bab 5. Benda Bulat itu Lapar

Banyak orang mengerumuni jenazah pak Bowo. Tak ada usaha penyelamatan dilakukan, karna korban sudah meninggal. Mereka membopong tubuh pak Bowo masuk ke dalam rumah.

Upik masih berdiri di teras gudang, ia menyaksikan sendiri bagaimana benda bulat hitam itu mengeluarkan cahaya ungunya, saat terjadi angin, mendung dan kilat.

Upik berlari mengejar benda bulat itu, ia sembunyikan di balik bajunya. Seolah tak perduli keributan yang terjadi, ia berlari menuju rumahnya.

Sampai di rumahnya, ia keluarkan benda bulat itu dari bajunya. Ia perhatikan betul-betul, benda itu tampak tak mengeluarkan cahaya ungu lagi dari celah-celah retakannya. Digoncang-goncangkannya benda tersebut, namun benda itu tetap tak mengeluarkan cahayanya.

"Kau ini apa?"

Benda bulat itu tampak mengeluarkan cahaya redup keunguan tidak seperti biasanya, lantas padam kembali.

"Apa kau hidup?"

Kembali benda bulat itu mengeluarkan cahaya redupnya seolah menyahuti pertanyaan Upik.

"Kau mengenalku?"

Kembali mengeluarkan cahaya, dan kemudian padam.

"Kau bisa berubah jadi apa saja?"

Kembali bercahaya.

"Aku melihatmu melakukan itu semua, untuk apa?"

Benda itu kali ini tak mengeluarkan cahayanya.

"Kenapa tak menjawabku? kalau benar kau hidup, apa kau juga makan?"

Benda itu kembali mengeluarkan cahaya, dan kemudian padam lagi.

"Apa yang kau makan?"

Benda itu tak mengeluarkan cahaya lagi. Sampai berkali-kali Upik bertanya hal yang berbeda, tak ada cahaya yang keluar lagi.

"Apa kau lapar?" Upik berencana mengakhiri pertanyaannya jika benda itu tak mau mengeluarkan cahayanya lagi.

Benda itu kemudian bercahaya, dan padam kembali.

"Jika kau tak makan, apa kau akan mati?"

Benda itu kemudian bercahaya, dan padam kembali.

"Kalau begitu apa yang kau makan?"

Benda itu tak bercahaya. Upik beranjak keluar, mengambil ubi kayu yang ia simpan di kolong rumahnya. Ia dekatkan pada benda itu, namun tetap saja benda itu tak mengeluarkan cahayanya. Upik berlari menuju kandang ayam, berpikir mungkin di dalam benda itu bersemayam semacam iblis atau makhluk halus, menginginkan darah segar seperti yang pernah ia dengar dari dongeng-dongeng ibunya dahulu. Namun, benda itu tak bercahaya sama sekali.

Upik tampak kesal,

"Ya sudah, aku tak tau apa yang kau makan. Jangan salahkan aku jika kau mati kelaparan."

Upik memasukkan benda itu ke dalam tas karung tempat pakaiannya.

***

Hari sudah petang, Upik berlari menuju belakang rumah pak Bowo. Berharap jatah makan malamnya sudah ada di bawah pintu dapur. Dan betapa girangnya ia mendapati makan malamnya kali ini tak seperti biasanya. Sebuah nasi bungkus. Ia ambil bungkusan tersebut, meloncat kegirangan, berlari menuju rumahnya.

Ia buka bungkusan tersebut, matanya berbinar, nasi padang terhidang di depannya. Karna kali ini ia makan enak, tak lupa ia keluarkan benda bulat itu dari tasnya, dan memanggil tikus putih agar duduk makan bersama dengannya.

Tikus itu datang mendekati Upik, benda bulat itu tak mengeluarkan cahayanya. Upik makan dengan lahapnya, bersama tikus itu mereka menghabiskan sebungkus nasi tanpa sisa.

Kantuk berat tiba-tiba melanda, Upik dan tikus tak bisa melawan kantuk, mereka berdua tertidur seketika. Sebelum terkapar, tikus masih sempat masuk ke dalam pakaian Upik. Benda bulat itu mengeluarkan cahaya ungunya redup berkedap-kedip, menggelinding masuk ke dalam tas pakaian Upik.

***

Malam semakin larut, tampak dua orang laki-laki berpakaian serba hitam membuka pintu rumah Upik. Mereka mengendap-endap mengangkat tubuh Upik. Anehnya Upik sama sekali tak sadarkan diri. Pakaian Upik dikemas dalam tas karung itu, tubuh Upik diangkat dan dibawa menuju sebuah mobil.

Mobil melaju kencang menembus malam. Setelah menempuh jarak berkilo-kilo meter, tampak mobil tersebut berhenti di tepian sungai, di bibir sungai terdapat sebuah sampan yang terbuat dari kayu. Tubuh Upik beserta tas pakaiannya diletakkan di sampan itu, dan didorong ke tengah sungai.

"Hallo Buk, Pak. Anak itu sudah kami hanyutkan ke sungai."

***

Matahari bersinar terik, di tengah sungai tanpa atap pelindung, tubuh Upik mengapung di atas sampan. Ia meringis kepanasan, matanya sakit berhadapan langsung dengan teriknya sinar matahari. Seketika Upik terlonjak kaget menyadari dirinya ada di tengah-tengah sungai.

Ia amati sekitar, sejauh mata memandang, pinggiran sungai hanya pepohonan dan hutan yang rimbun dan gelap. Suara-suara binatang hutan bersahut-sahutan, Upik ketakutan.

Ia kemudian teringat pada benda bulat yang ia simpan di dalam tasnya, segera ia rogoh tas itu. Ia kemudian menghembuskan nafas lega, benda bulat itu menggelinding keluar dari tas.

"Kau tau kita dimana ini?"

Benda itu tak mengeluarkan cahayanya.

"Kenapa kau tak menyelamatkan aku? kukira kau bisa melakukan banyak hal."

Benda itu tak mengeluarkan cahaya.

"Ini dimanaa? aku sangat takut!"

Tikus putih keluar dari pakaian Upik, tampaknya tikus itupun baru saja terbangun dari tidurnya. Tikus itu mencakar tangan Upik, hingga benda bulat itu terlepas dari tangannya. Benda itu menggelinding di tengah sampan, berhenti seketika. Beberapa detik kemudian retakan-retakan di permukaan benda itu membuka melebar, membentuk rekahan menganga. Benda itu tampak menyerap sinar matahari, cukup lama sampai akhirnya Upik mengerti kalau makanan benda itu adalah Sinar dan panas matahari.

Masih dalam keterpanan melihat pemandangan ajaib di depannya, ia kemudian menyaksikan benda bulat itu seketika bertansformasi menjadi sesosok manusia berpakaian serba putih. Upik terlonjak kaget, ia mundur beberapa jengkal.

Sosok itu seorang pria muda berusia bekisar dua puluh tahunan. Sangat bersih, bercahaya dan tampan.

"Sssiii, siapa kamu?!"

"Aku adalah wujud manusia dari bola ungu tadi."

"Apa ini wujud aslimu? kau juga bisa berubah menjadi Endang dan pak Bowo."

"Yaa, ini wujud asliku."

"Apa kau manusia?"

"Bukan, aku adalah jelmaan dari ruh doa-doa ibumu yang tak sempat terkabul dan terkubur bersama jasadnya di bawah tumpukan ubi kayu yang kau dapati malam itu."

"Apa kau pernah berjumpa dengan ibuku?"

"Tidak, aku hanya diberikan amanat untuk menjagamu."

"Lantas mengapa tak kau selamatkan aku saat mereka membawaku?"

"Aku lapar, aku butuh sinar dan panas matahari untuk mengembalikan energiku yang terkuras habis."

"Terkuras habis?"

"Setiap aku merubah wujudku, jika itu wujud asliku energi yang berkurang tidak seberapa, namun jika merubah wujud menjadi sosok lain, atau mengeluarkan kekuatan seperti angin dan petir kemaren, itu benar-benar menguras banyak energi."

"Maafkan aku, aku tak paham semalam. Apakah mereka menaburkan sesuatu di makanan semalam?"

"Ya, semacam ramuan tidur."

"Apakah kau berhak membunuh orang?"

"Kenapa? siapa yang ingin kau bunuh?"

"Oooh tidak. Maksudku, kenapa kau membunuh pak Bowo? kudengar dia adalah ayah kandungku." Upik menunduk, ia mengingat kata-kata Endang kemarin.

"Aku sama sekali tidak berhak membunuhnya, hanya saja ia berulang kali bersumpah. Dan aku mendapat pesan, bahwa ia layak mendapatkan apa yang ia sumpahkan, akupun tak menduga kalau Yang Kuasa ternyata mengambil nyawanya melalui petir itu."

"Apakah ibuku juga dibunuh?" Upik bertanya bergetar, matanya panas menahan lelehan air matanya.

"Akan kutampakkan padamu kisah Ibumu dan pak Bowo."

Pria itu mendekati Upik, menggenggam tangan Upik. Di genggaman itu keluar cahaya berwarna putih keunguan.

"Kau akan bisa melihat kilas balik kisah Ibumu semasa hidup sampai ia meninggal, pejamkan matamu."

________________

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status