"Aku tak mau berpisah denganmu Bowo! kau sudah berjanji menikahiku!"
"Aku tak bisa Ainun. Jika kita menikah, kita mau makan apa? aku sama sekali tak punya pekerjaan.""Lantas kau memilih Laila karna ia memiliki Peternakan Ayam?""Ini kesempatanku untuk merubah hidup Ainun. Mengertilah! Peternakan ayam milik keluarga Laila itu sangat besar, orangtuanya berjanji akan memberikan seperempat dari ternak ayam itu menjadi hak milikku jika aku menikahi putrinya.""Lantas bagaimana nasibku Bowo? kau lupa, aku mengandung anakmu sekarang? sudah memasuki empat minggu Bowo!""Aku mencintaimu Ainun, hanya saja kau harus ikuti rencanaku. Aku takkan membiarkanmu sendirian.""Apa rencanamu?""Kau akan kubawa ke rumah kami setelah aku menikahinya nanti. Akan kuperkenalkan kau sebagai sepupuku yang hamil di luar nikah.""Bagaimana kau bisa meyakinkannya?""Dia cinta mati padaku Ainun, dia akan menurutiku."***Rencana Bowo benar-benar terjadi. Ia menguasai seperempat dari ternak ayam milik keluarga Laila. Peternakan dibangun di halaman belakang rumah seluas dua hektar.Ainun benar-benar diboyong ke rumah mereka, diperkenalkan sebagai sepupu yang diusir keluarganya karna hamil di luar nikah.Awalnya, semua berjalan seperti rencana Bowo. Naasnya, seiring perkembangan kehamilan Ainun, fisik Ainun tidaklah semenarik saat ia gadis dahulu. Banyak goresan streachmark di perut, bokong dan paha. Wajah yang menghitam dan rambut yang kusam.Bowo tak bergairah lagi melihat Ainun, cintanya kian memudar. Ditambah ia melihat istrinya yang terawat dan masih kencang, menjadikannya semakin tak perduli lagi pada Ainun.Ainun menyesali segalanya, perubahan sikap Bowo semakin menyiksanya. Bowo bahkan tak segan bermesraan dengan istrinya di depannya. Parahnya lagi, saat Ainun meminta Bowo mengelus perutnya, Bowo malah meludah dan seolah jijik dengan Ainun.Saat Laila pergi, Ainun berusaha merayu Bowo. Ia mendatangi kamar Bowo dan berusaha mencumbu Bowo yang sedang tertidur. Terkaget, Bowo tak sengaja menolak tubuh Ainun hingga terpental ke belakang. Ainun kesakitan minta tolong, di pahanya mengalir darah kental.Bowo panik, ia ketakutan. Ia minta tolong sekencang-kencangnya.Di rumah sakit, Ainun melahirkan prematur. Bayi perempuan itu ditempatkan di inkubator selama dua minggu. Biaya sepenuhnya ditanggung oleh Bowo.Pasca melahirkan, Laila mendengar desas-desus dari para pekerja kalau Ainun mereka dapati pingsan di kamar mereka dalam keadaan mengenakan pakaian tidur yang terbuka. Laila mempertanyakan ini pada Bowo."Jujur padaku? kenapa dia pingsan di kamar kita?""Dia merayuku Laila, ia sepertinya tengah dirasuki gairah. Tak sengaja aku menolaknya kencang, dia jatuh dan pingsan."Laila merasa marah. Ia mengatakan akan mengusir Ainun dari rumah. Namun, ternyata rasa cinta Bowo masih ada terhadap Ainun. Meski itu hanya tersisa rasa iba. Ainun tak punya keluarga, yatim piatu sama seperti dirinya."Laila, biarlah dia di rumah kita saja. Kita tempatkan ia di belakang. Biarkan ia membesarkan anaknya di situ. Kita beri ia makan seadanya. Jika kau meragukanku, kau bisa mengawasiku dengan cara menyuruh Pekerja untuk memperhatikan setiap gerak-gerikku di rumah."Laila luluh dengan segala macam bujukan Bowo. Ainun di bawa ke rumah mereka beserta bayinya. Namun Ainun tak mau, ia bertahan mengatakan pada Laila bahwa anak yang ia lahirkan adalah anak dari Bowo.Mendengar itu, Laila sempat ribut berhari-hari lamanya dengan Bowo. Hingga akhirnya luluh dan memilih percaya pada Bowo, bahwa Ainun sedikit mengalami gangguan jiwa akibat trauma yang dia alami. Bahwa Ainun harus dibawa pulang, daripada berkoar-koar di luaran menciptakan isu miring di masyarakat.Ainun dibawa ke belakang rumah, ia ditempatkan bersama bayinya di kandang ayam yang sebelumnya dibersihkan dahulu. Kakinya dipasung sebelah. Ruang gerak Ainun benar-benar dibatasi. Rantai yang mengekang kakinya hanya menjuntai sepanjang lima meter. Artinya, Ainun hanya bisa bergerak sejauh lima meter, sekalipun itu untuk mandi ataupun buang air.Ainun benar-benar tersiksa, mengasuh bayi dalam kondisi mental terguncang dan fisik yang terpasung. Ia benar-benar seperti gila. Kecantikan dahulu sudah pudar sama sekali, ditutupi oleh kotoran yang jarang dibersihkan, dan guratan wajah yang tampak menua akibat stress berkepanjangan. Makanan yang ia perolehpun tak layak, makanan sisa layaknya untuk ternak.Belum lagi jika hujan melanda, rembesan hujan tak bisa terelakkan, karna dinding-dinding kandang ayam terdiri dari susunan papan yang jarang-jarang. Ainun berulang kali berpindah-pindah tempat, melindingi bayinya dari hujan dan dingin.Apalagi di saat libur di hari besar. Para pekerja, pak Bowo dan Istrinya bepergian selama beberapa hari. Tinggallah Ainun dan anaknya dalam kondisi terpasung.Selama mereka berlibur, Ainun berjuang bertahan hidup. Ia menjangkau tanaman singkong yang tumbuh di sekitar kandang ayam. Memakan daunnya mentah-mentah, membakar singkong jika hujan tak turun. Jika hujan turun, singkong terpaksa dimakan mentah-mentah.Selama bertahun-tahun Ainun bertahan dalam keterpasungan. Anaknya diberi nama Upik. Ia bahkan kehilangan semangat memberikan nama yang lebih baik untuk anaknya. Mendengar nama itu, para Pekerja kerap menamai anaknya si Upik Abu.Upik lincah berjalan kesana kemari, Ibunya sudah tak senormal dulu lagi, mentalnya benar-benar terganggu. Upik belajar bicara dari orang-orang sekitarnya, memakan apapun yang ia genggam, termasuk serangga ataupun cacing. Baginya, ia sama saja seperti ayam-ayam yang ia lihat. Ia bahkan tak ragu memakan pakan ayam yang bertabur di tanah.Di saat usianya lima tahun, ada seorang Pekerja perempuan yang sempat bertahan di sana selama setahun lebih. Mengajari Upik berbicara dan makan dengan layak. Keberadaannya di sana juga membawa dampak besar bagi Ainun dan Upik sendiri. Saat jam pulang kerja, ia menyempatkan membersihkan tubuh Ainun dan Upik. Membawa bekal makanan dari rumahnya agar mereka makan dengan layak.Hingga saat usia Upik menjelang tujuh tahun, Pekerja itu diberhentikan karna mengancam pak Bowo bahwa ia akan mengadu pada bu Laila tentang pelecehan yang ia dapatkan dari pak Bowo.Kepergian Pekerja itu membuat Upik dan Ibunya kehilangan. Mereka kembali kotor dan tak terurus. Hanya saja, Upik sudah mulai paham apa yang harus ia makan dan tidak boleh dimakan.***Malam itu, mendung gelap menutupu langit, angin semilir hilir-mudik membelai rambut kusut Ainun. Sudah sepuluh tahun ia dalam keterpasungan, dan tak ada seorangpun yang tahu bahkan peduli bahwa malam itu Ainun mengalami demam tinggi. Upik tertidur di pangkuannya, lelap sekali. Tubuh Ainun tiba-tiba mengejang, ia menggigil gemetar. Wajahnya pucat, giginya geratakan, nafasnya terputus-putus.Hujan deras kemudian mengguyur kandang itu, rembesannya menembus dinding papan membasahi tubuh Ainun yang sudah menggigil hebat. Semakin lama, angin semakin kencang beserta hujan. Dinginnya hantaman angin dan hujan tak mampu lagi ia tahankan. Ia tarik terpal yang melapisi sebagian dinding-dinding ruangan, ia selimutkan anaknya dan menundukkan tubuhnya seolah ingin melindungi anaknya dari terpaan derasnya hujan.***Pagi hari, cuaca lembab dan dingin. Aktifitas para Pekerja di kandang ayam sudah mulai terlihat. Tiba-tiba terdengar suara Upik menangis histeris. Ia hendak bergerak, namun tertahan tubuh kaku Ibunya di atasnya. Para Pekerja yang mendengar itu datang menghampiri, mereka terkejut mendapati tubuh Ainun telah kaku menjadi jasad.Mendapati hal itu, atas pertimbangan agar warga sekitar tidak mengetahui keberadaan Ainun selama ini disembunyikan, pak Bowo akhirnya memutuskan mengubur Ainun di kebun singkong agak jauh dari peternakan. Layaknya ternak mati yang dikubur begitu saja, tanpa doa, tanpa nisan.Upik yang malang, dengan usia yang masih sepuluh tahun, kerap sendirian di dalam kandang. Ia mencari-cari keberadaan Ibunya. Selama ini ia dalam kesendirian, seorang diri bagai ternak di dalam kandang.___________________*** "AAAAAAAAA!!!" Santi berteriak, mengejutkan penghuni rumah yang sudah hampir terlelap. Upik yang sudah tidak tidur bersama lagi dengan Santi dan kini ia menghuni kamar Rian, terhenyak setelah lima menit ia memejamkan mata. "Santi? kenapa dia?!" ucap Upik segera beranjak dari ranjangnya. Dug! Dug! Dug! Santi menggedor-gedor pintu kamarnya yang ternyata sengaja dikunci dari luar oleh Liom karena seringnya Santi berusaha untuk kabur. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat demi menyadari waktu pada Bom itu tinggal tiga menit lagi. Liom dan Rian yang tidur sekamar langsung beranjak begitu mendengar teriakan Santi. "Kau mengunci kamarnya, Julian?!" tanya Rian panik. "Ya! cepatlah!" "Ach! si4l!" gerutu Rian panik. Liom dan Rian membuka pintu kamar, di depan kamar mereka, tampak Upik yang sudah bergegas menuju kamar Santi. Liom dan Rian-pun mengikuti langkah upik bersamaan. Namun langkah mereka seketika berhenti saat Mpus mendahului mereka bak hembusan angin. Mpus sudah b
"KENAPA KAU SERAHKAN BAYIKU, B4JINGAAAAN!!!" Praaankk!! Praaangggg!!! Santi mengamuk, ia yang seharusnya masih lemah dan berdarah-darah melangkah menuju sebuah vas bunga besar di atas nakas dan melemparkannya ke arah Mpus. Vas bunga itu pecah berkeping-keping dengan tumpahan air yang mengisi vas itu menggenang di lantai. Mpus bergeming, ia berdiri menatap pintu masuk ruang tamu sambil bersidekap. "Apa maksudnya ini? jadi, jadi kau tadi diam tak menjawab bukan karena kehendakmu, Santi?" tanya Liom tampak bingung. "Aku yakin, pria aneh ini yang menahanku untuk tidak bereaksi! entah apa maksudnya?! apa kau langsung gil4 saat mendapati jumlah uang dan mendengar nominal sepuluh juta dolar?! Hah! tak kusangka orang aneh sepertimu bahkan lebih matrealistis dari orang sepertiku!" cecar Santi sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mpus dengan netra melotot dan berair. Liom menatap nyalang ke arah Mpus yang masih bergeming tak menyahut, ia mengernyitkan keningnya tak mengerti. Liom menoleh ke ar
***Mpus yang menyadari Wijaya telah berada di dekat mereka segera pasang badan. Ia menghalangi Wijaya untuk mendekat. "Kau, siapa? penampilanmu aneh sekali! dari tadi aku salah fokus padamu! apakah kau semacam dukun atau paranormal?" tanya Wijaya memperhatikan Mpus dari ujung kaki ke kepala. "Kau tak berhak atas bayi itu! enyahlah dari sini!" "Oh, ya?! begitukah? kau tak bertanya dulu pada Santi? isteriku?" tanyanya percaya diri. Mpus berpaling, melihat ke arah Santi yang sedang memeluk bayinya. Santi tampak ragu dan menatap Mpus dan Wijaya bergantian. "Ayo, mari! berikan bayi itu padaku, Santi!" ucap Wijaya masih percaya diri. "Kau telah berjanji akan menceraikan kedua isterimu jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Mas!" Wijaya berdecak kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan membuang cerutunya sembarang. "Sepertinya ada yang kau tak mengerti, Santi! aku tak mungkin menceraikan mereka!""Apa maksudmu, Mas? bukankah kau yang kemarin bersumpah akan men
*** Wijaya adalah suami Santi, seorang pria berpengaruh di Kota ini. Menikahi Santi baginya adalah sebuah kesalahan yang ternyata berbuah manis. Hanya saja, manisnya buah tak bisa ia miliki begitu saja, karna Santi bukanlah wanita lemah dan bodoh seperti sangkaannya pertama kali, demikian buah manis itu tak pula dengan mudah ia peroleh karna terhalang oleh dua orang Istrinya. Sebenarnya Wijaya menikahi Santi tidaklah ia rencanakan. Hanya main-main, demikian dengan Surat Perjanjian yang ia tandatangai asal saja. Baginya, tidur dengan banyak wanita, dan tak ada satupun yang mengandung anaknya, sudahlah membuktikan bahwa dirinyalah yang bermasalah. Tapi tidak dengan Santi, Ia ternyata benar-benar mengandung darah dagingnya. Awalnya, Wijaya meragukan kalau yang dikandung Santi adalah darah dagingnya. Seperti kebanyakan wanita yang mendatanginya dan mengaku hamil. Namun, karna kepercayaan diri Santi yang tinggi, Santi juga dalam keadaan perawan saat ia nikahi, dan ia bersedia melakukan
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w