Share

Bab 7. Petualangan

Sampan terus mengikuti arus sungai, saat Pemuda bola cahaya itu melepas genggamannya dari tangan Upik, cahaya yang keluar meredup kembali. Upik yang menyadari itu langsung tersentak, ia masih belum percaya dengan penglihatannya baru saja. Kilas balik tentang kisah hidup orangtuanya dan dirinya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Pemuda itu.

Upik tiba-tiba menunduk, isaknya terdengar sesak. Sebenarnya ia tidak mengerti tentang arti hidupnya sampai saat ini. Ia lahir dan hidup dengan penuh kepalsuan dan pembodohan. Membayangkan betapa sulit dan menyedihkannya akhir hidup Ibunya, Upik terisak terputus-terputus,

"Maaak..." lirihnya, air mata dan ingusnya seketika membanjiri wajahnya.

Tikus yang seolah mengerti kondisi Upik naik ke atas pundaknya, berdecit seolah mengatakan turut berdukanya.

"Ini sudah ditakdirkan Upik, aku akan selalu membantumu dalam kondisi apapun. Perjalanan menemukan jati dirimu akan dimulai dari sini."

"Jati diri?"

"Ya! selama ini kau terkurung dan disembunyikan, saatnya kau keluar dan menjadi manusia seutuhnya."

"Bagaimana dengan keluarga pak Bowo?"

"Sebenarnya, sudah saatnya kau keluar dari sana Upik. Jikapun semalam aku masih memiliki sisa energi, aku akan tetap membiarkan mereka membuangmu."

"Kenapa?"

"Seperti yang baru saja kukatan, sudah saatnya kau keluar dari sana. Mereka akan mendapati karma dari perbuatan mereka sendiri setelah kepergianmu."

"Maksudmu?"

"Yah, jika suatu hari kau kembali lagi ke tempat itu, takkan kau dapati keadaan sebelumnya di sana nanti."

Upik masih tak mengerti, namun ia lebih memilih diam. Bukan tak mau bertanya, hanya saja kapasitas pemikirannya tidaklah sekritis orang biasa.

"Siapa namamu?" Upik memecah hening setelah lama mereka saling diam.

"Namaku, Mpus..."

"Ha?!" Upik tampak terkejut sekali. Pikirnya, namanyalah yang paling singkat dan simpel di dunia ini, kenapa pula pria tampan dan gagah ini memiliki nama sesimpel itu? Upik bahkan tak bisa menahan tertawanya.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Mpus memperlihatkan mimik heran dan telinga yang memerah.

"Hahahahahhaah...!" Upik bahkan tak bisa menyembunyikan gelak tawanya lagi. Bahkan tikus putih seolah sepaham berdecit cukup keras.

"Itu nama pemberian dari Ibumu." Mpus tampak meyakinkan Upik dengan wajah seriusnya.

Upik seketika menghentikan tawanya, wajahnya kembali serius.

"Benarkah?"

"Ya, waktu itu aku masih berupa seekor kucing, aku belum memiliki keajaiban apapun. Aku selalu mengantarkan singkong ke Ibumu saat beliau kelaparan. Suatu hari beliau sedang demam tinggi, sementara kau menangis kelaparan. Aku membawakan singkong yang sudah dibakar untuknya, lantas ia mengucapkan terimakasih dan memanggiku dengan nama itu."

"Apa kau selalu datang setiap kali dipanggil oleh Ibuku?"

"Ya...!"

"Kenapa kau tak menolong Ibuku saat akhir hidupnya?"

"Aku masih menjadi seekor kucing biasa, aku tak memiliki keajaiban apapun pada saat itu."

"Sejak kapan kau berubah jadi bola ajaib itu?"

"Malam setelah Ibumu dikebumiman, aku menemukan gelembung-gelembung cahaya berterbangan di atas makamnya. Ada bisikan yang mengatakan kepadaku, bahwa itu adalah ruh dari doa-doa beliau yang belum terkabulkan, mengambang di udara. Kutanya pada Pembisik itu, apa yang harus dilakukan agar salah satu dari doa-doa bisa terkabul. Pembisik itu mengatakan, tangkap saja salah satunya."

"Dan kau menangkapnya?"

"Ya, namun ternyata aku terlalu terburu-buru. Tak kutanyakan apa yang terjadi padaku jika aku menangkapnya."

"Apa yang terjadi?"

"Kutangkap salah satu gelembung itu, aku ditarik masuk ke dalamnya, leherku rasanya tercekik, dan aku terkurung di dalam gelembung itu sampai mengeras seperti batu."

"Lantas kenapa kau berubah jadi manusia? bukankah kau seekor kucing?"

"Di dalam kurungan itu, Pembisik itu kembali mengatakan bahwa aku akan terbebas menjadi seorang manusia, memiliki kekuatan dan keajaiban, dan anak dari pemilik doa-doa itu akan dituntun untuk menemukanku."

Mendengar itu, Upik langsung menangkap tikus yang masih bertengger di pundaknya.

"Hey! apakah kau si Pembisik itu?"

Tikus itu menggerak-gerakkan kepalanya seolah bingung dengan pertanyaan Upik.

"Aku sudah mengalami penderitaan seumur hidupku, kenapa lama sekali aku menemukanmu?"

"Mungkin itulah kehendak yang kuasa, pasti ada rencana yang sangat menakjubkan di balik ini semua."

***

Di Peternakan milik pak Bowo, meski masih diselimuti suasana duka, para Pekerja masih melakukan aktifitas seperti biasanya. Membagikan pakan ayam dan membersihkan kandang seperti biasa.

Tiba-tiba seorang Pekerja berteriak, dan Pekerja yang lain berlarian menuju teriakan tersebut. Mereka menyaksikan ayam-ayam mati bergelimpangan.

Salah seorang Pekerja menelfon buk Laila untuk segera datang melihat keadaan kandang. Sekitar lima menit kemudian, buk Laila tiba. Naas, waktu lima menit ternyata sangat singkat untuk memisahkan dan memindahkan ayam-ayam yang sehat ke kandang yang terpisah dari ayam-ayam yang sekarat.

Lima menit waktu buk Laila untuk tiba ke Peternakan, ternyata sudah menyebabkan ratusan ekor ayam mati mendadak.

Semua orang yang ada di sana panik. Buk Laila segera menelfon Bapaknya. Naas, Bapaknya juga mengadukan hal yang sama di Peternakan miliknya, ayam-ayam miliknya mati mendadak. Parahnya lagi, hanya tempo setengah hari, ayam-ayam di Peternakan pak Bowo maupun Mertuanya semua mati tak bersisa.

***

Hari sudah menjelang Sore, Upik dan Mpus masih berada di atas sampan kayu. Di kejauhan mereka melihat sebuah pemukiman yang cukup padat.

"Bersiaplah Upik, petualangan kita akan dimulai dari sini."

Mpus kembali merubah dirinya menjadi bola hitam dan menggelinding ke dalam tas Upik.

______________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status