Sampan terus mengikuti arus sungai, saat Pemuda bola cahaya itu melepas genggamannya dari tangan Upik, cahaya yang keluar meredup kembali. Upik yang menyadari itu langsung tersentak, ia masih belum percaya dengan penglihatannya baru saja. Kilas balik tentang kisah hidup orangtuanya dan dirinya.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Pemuda itu.Upik tiba-tiba menunduk, isaknya terdengar sesak. Sebenarnya ia tidak mengerti tentang arti hidupnya sampai saat ini. Ia lahir dan hidup dengan penuh kepalsuan dan pembodohan. Membayangkan betapa sulit dan menyedihkannya akhir hidup Ibunya, Upik terisak terputus-terputus,"Maaak..." lirihnya, air mata dan ingusnya seketika membanjiri wajahnya.Tikus yang seolah mengerti kondisi Upik naik ke atas pundaknya, berdecit seolah mengatakan turut berdukanya."Ini sudah ditakdirkan Upik, aku akan selalu membantumu dalam kondisi apapun. Perjalanan menemukan jati dirimu akan dimulai dari sini.""Jati diri?""Ya! selama ini kau terkurung dan disembunyikan, saatnya kau keluar dan menjadi manusia seutuhnya.""Bagaimana dengan keluarga pak Bowo?""Sebenarnya, sudah saatnya kau keluar dari sana Upik. Jikapun semalam aku masih memiliki sisa energi, aku akan tetap membiarkan mereka membuangmu.""Kenapa?""Seperti yang baru saja kukatan, sudah saatnya kau keluar dari sana. Mereka akan mendapati karma dari perbuatan mereka sendiri setelah kepergianmu.""Maksudmu?""Yah, jika suatu hari kau kembali lagi ke tempat itu, takkan kau dapati keadaan sebelumnya di sana nanti."Upik masih tak mengerti, namun ia lebih memilih diam. Bukan tak mau bertanya, hanya saja kapasitas pemikirannya tidaklah sekritis orang biasa."Siapa namamu?" Upik memecah hening setelah lama mereka saling diam."Namaku, Mpus...""Ha?!" Upik tampak terkejut sekali. Pikirnya, namanyalah yang paling singkat dan simpel di dunia ini, kenapa pula pria tampan dan gagah ini memiliki nama sesimpel itu? Upik bahkan tak bisa menahan tertawanya."Kenapa kau tertawa?" tanya Mpus memperlihatkan mimik heran dan telinga yang memerah."Hahahahahhaah...!" Upik bahkan tak bisa menyembunyikan gelak tawanya lagi. Bahkan tikus putih seolah sepaham berdecit cukup keras."Itu nama pemberian dari Ibumu." Mpus tampak meyakinkan Upik dengan wajah seriusnya.Upik seketika menghentikan tawanya, wajahnya kembali serius."Benarkah?""Ya, waktu itu aku masih berupa seekor kucing, aku belum memiliki keajaiban apapun. Aku selalu mengantarkan singkong ke Ibumu saat beliau kelaparan. Suatu hari beliau sedang demam tinggi, sementara kau menangis kelaparan. Aku membawakan singkong yang sudah dibakar untuknya, lantas ia mengucapkan terimakasih dan memanggiku dengan nama itu.""Apa kau selalu datang setiap kali dipanggil oleh Ibuku?""Ya...!""Kenapa kau tak menolong Ibuku saat akhir hidupnya?""Aku masih menjadi seekor kucing biasa, aku tak memiliki keajaiban apapun pada saat itu.""Sejak kapan kau berubah jadi bola ajaib itu?""Malam setelah Ibumu dikebumiman, aku menemukan gelembung-gelembung cahaya berterbangan di atas makamnya. Ada bisikan yang mengatakan kepadaku, bahwa itu adalah ruh dari doa-doa beliau yang belum terkabulkan, mengambang di udara. Kutanya pada Pembisik itu, apa yang harus dilakukan agar salah satu dari doa-doa bisa terkabul. Pembisik itu mengatakan, tangkap saja salah satunya.""Dan kau menangkapnya?""Ya, namun ternyata aku terlalu terburu-buru. Tak kutanyakan apa yang terjadi padaku jika aku menangkapnya.""Apa yang terjadi?""Kutangkap salah satu gelembung itu, aku ditarik masuk ke dalamnya, leherku rasanya tercekik, dan aku terkurung di dalam gelembung itu sampai mengeras seperti batu.""Lantas kenapa kau berubah jadi manusia? bukankah kau seekor kucing?""Di dalam kurungan itu, Pembisik itu kembali mengatakan bahwa aku akan terbebas menjadi seorang manusia, memiliki kekuatan dan keajaiban, dan anak dari pemilik doa-doa itu akan dituntun untuk menemukanku."Mendengar itu, Upik langsung menangkap tikus yang masih bertengger di pundaknya."Hey! apakah kau si Pembisik itu?"Tikus itu menggerak-gerakkan kepalanya seolah bingung dengan pertanyaan Upik."Aku sudah mengalami penderitaan seumur hidupku, kenapa lama sekali aku menemukanmu?""Mungkin itulah kehendak yang kuasa, pasti ada rencana yang sangat menakjubkan di balik ini semua."***Di Peternakan milik pak Bowo, meski masih diselimuti suasana duka, para Pekerja masih melakukan aktifitas seperti biasanya. Membagikan pakan ayam dan membersihkan kandang seperti biasa.Tiba-tiba seorang Pekerja berteriak, dan Pekerja yang lain berlarian menuju teriakan tersebut. Mereka menyaksikan ayam-ayam mati bergelimpangan.Salah seorang Pekerja menelfon buk Laila untuk segera datang melihat keadaan kandang. Sekitar lima menit kemudian, buk Laila tiba. Naas, waktu lima menit ternyata sangat singkat untuk memisahkan dan memindahkan ayam-ayam yang sehat ke kandang yang terpisah dari ayam-ayam yang sekarat.Lima menit waktu buk Laila untuk tiba ke Peternakan, ternyata sudah menyebabkan ratusan ekor ayam mati mendadak.Semua orang yang ada di sana panik. Buk Laila segera menelfon Bapaknya. Naas, Bapaknya juga mengadukan hal yang sama di Peternakan miliknya, ayam-ayam miliknya mati mendadak. Parahnya lagi, hanya tempo setengah hari, ayam-ayam di Peternakan pak Bowo maupun Mertuanya semua mati tak bersisa.***Hari sudah menjelang Sore, Upik dan Mpus masih berada di atas sampan kayu. Di kejauhan mereka melihat sebuah pemukiman yang cukup padat."Bersiaplah Upik, petualangan kita akan dimulai dari sini."Mpus kembali merubah dirinya menjadi bola hitam dan menggelinding ke dalam tas Upik.______________*** "AAAAAAAAA!!!" Santi berteriak, mengejutkan penghuni rumah yang sudah hampir terlelap. Upik yang sudah tidak tidur bersama lagi dengan Santi dan kini ia menghuni kamar Rian, terhenyak setelah lima menit ia memejamkan mata. "Santi? kenapa dia?!" ucap Upik segera beranjak dari ranjangnya. Dug! Dug! Dug! Santi menggedor-gedor pintu kamarnya yang ternyata sengaja dikunci dari luar oleh Liom karena seringnya Santi berusaha untuk kabur. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat demi menyadari waktu pada Bom itu tinggal tiga menit lagi. Liom dan Rian yang tidur sekamar langsung beranjak begitu mendengar teriakan Santi. "Kau mengunci kamarnya, Julian?!" tanya Rian panik. "Ya! cepatlah!" "Ach! si4l!" gerutu Rian panik. Liom dan Rian membuka pintu kamar, di depan kamar mereka, tampak Upik yang sudah bergegas menuju kamar Santi. Liom dan Rian-pun mengikuti langkah upik bersamaan. Namun langkah mereka seketika berhenti saat Mpus mendahului mereka bak hembusan angin. Mpus sudah b
"KENAPA KAU SERAHKAN BAYIKU, B4JINGAAAAN!!!" Praaankk!! Praaangggg!!! Santi mengamuk, ia yang seharusnya masih lemah dan berdarah-darah melangkah menuju sebuah vas bunga besar di atas nakas dan melemparkannya ke arah Mpus. Vas bunga itu pecah berkeping-keping dengan tumpahan air yang mengisi vas itu menggenang di lantai. Mpus bergeming, ia berdiri menatap pintu masuk ruang tamu sambil bersidekap. "Apa maksudnya ini? jadi, jadi kau tadi diam tak menjawab bukan karena kehendakmu, Santi?" tanya Liom tampak bingung. "Aku yakin, pria aneh ini yang menahanku untuk tidak bereaksi! entah apa maksudnya?! apa kau langsung gil4 saat mendapati jumlah uang dan mendengar nominal sepuluh juta dolar?! Hah! tak kusangka orang aneh sepertimu bahkan lebih matrealistis dari orang sepertiku!" cecar Santi sembari menunjuk-nunjuk ke arah Mpus dengan netra melotot dan berair. Liom menatap nyalang ke arah Mpus yang masih bergeming tak menyahut, ia mengernyitkan keningnya tak mengerti. Liom menoleh ke ar
***Mpus yang menyadari Wijaya telah berada di dekat mereka segera pasang badan. Ia menghalangi Wijaya untuk mendekat. "Kau, siapa? penampilanmu aneh sekali! dari tadi aku salah fokus padamu! apakah kau semacam dukun atau paranormal?" tanya Wijaya memperhatikan Mpus dari ujung kaki ke kepala. "Kau tak berhak atas bayi itu! enyahlah dari sini!" "Oh, ya?! begitukah? kau tak bertanya dulu pada Santi? isteriku?" tanyanya percaya diri. Mpus berpaling, melihat ke arah Santi yang sedang memeluk bayinya. Santi tampak ragu dan menatap Mpus dan Wijaya bergantian. "Ayo, mari! berikan bayi itu padaku, Santi!" ucap Wijaya masih percaya diri. "Kau telah berjanji akan menceraikan kedua isterimu jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Mas!" Wijaya berdecak kesal. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan membuang cerutunya sembarang. "Sepertinya ada yang kau tak mengerti, Santi! aku tak mungkin menceraikan mereka!""Apa maksudmu, Mas? bukankah kau yang kemarin bersumpah akan men
*** Wijaya adalah suami Santi, seorang pria berpengaruh di Kota ini. Menikahi Santi baginya adalah sebuah kesalahan yang ternyata berbuah manis. Hanya saja, manisnya buah tak bisa ia miliki begitu saja, karna Santi bukanlah wanita lemah dan bodoh seperti sangkaannya pertama kali, demikian buah manis itu tak pula dengan mudah ia peroleh karna terhalang oleh dua orang Istrinya. Sebenarnya Wijaya menikahi Santi tidaklah ia rencanakan. Hanya main-main, demikian dengan Surat Perjanjian yang ia tandatangai asal saja. Baginya, tidur dengan banyak wanita, dan tak ada satupun yang mengandung anaknya, sudahlah membuktikan bahwa dirinyalah yang bermasalah. Tapi tidak dengan Santi, Ia ternyata benar-benar mengandung darah dagingnya. Awalnya, Wijaya meragukan kalau yang dikandung Santi adalah darah dagingnya. Seperti kebanyakan wanita yang mendatanginya dan mengaku hamil. Namun, karna kepercayaan diri Santi yang tinggi, Santi juga dalam keadaan perawan saat ia nikahi, dan ia bersedia melakukan
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w