Share

Bab 4. Membeli Cheetah Dalam Karung

Entah sudah berapa lama Anggun pingsan, ia baru saja sadar saat aroma minyak kayu putih menyengat hidungnya beberapa kali. Gadis itu perlahan membuka mata, tatapannya yang gelap kini berangsur membaik. Menatap langit-langit kamar, mata Anggun lantas mengedar ke seluruh ruangan. Otaknya yang kosong kini mulai terisi oleh adegan demi adegan sebelum akhirnya ia jatuh pingsan.

Semua orang kini berada di dalam kamarnya, satu per satu ditatapnya dengan tatapan sedikit heran hingga akhirnya ia menatap sosok yang ia yakini sebagai Vicky Rahmanto. Bergegas bangun, Anggun lantas memeluk pria yang duduk di sisi ranjangnya dengan begitu erat. "Vicky, aku hanya bermimpi 'kan? Semua yang terjadi ini hanyalah mimpi buruk 'kan? Aku hanya ingin kamu yang menjadi suamiku, bukan yang lain."

Semuanya terdiam begitu saja ketika mendengar Anggun berkata demikian. Hingga akhirnya salah satu orang yang hadir dalam ruangan itu angkat bicara dan menyadarkan Anggun. "Mbak Anggun, yang kamu peluk itu Mas Vickal bukan Mas Vicky."

Mendengar teguran dari Rani, adik angkat Vicky~sontak saja Anggun melepaskan pelukannya dan beringsut mundur. Mata Anggun menyorot tajam ke arah pria itu dan mulai menyalak marah. "Kamu bukan Vicky tapi kok kamu diam saja sih saat aku peluk? Kamu cari kesempatan ya?!"

"Mbak, yang cari kesempatan itu siapa? Kamu sendiri 'kan yang peluk-peluk saya?!" Vickal menyanggah dengan wajah mulai kesal, ia memalingkan muka dan sengaja tidak menatap Anggun.

Anggun menggeleng, ia menutup kedua telinganya dengan menggunakan telapak tangan. Kenyataan ini begitu sulit untuk ia terima, terlebih ia harus menerima kenyataan dimana ia salah suami di hari penting seperti ini. Siapa orangnya yang bisa menerima jika pada kenyataannya ia dibuat malu dan harus menderita banyak kerugian.

Semua orang menatap Anggun dengan resah, mereka seolah mengerti rasa bingung yang kini dialami oleh Anggun. Menarik napas, gadis manis itu lantas menyentuh tangan pria yang katanya bernama Vickal tersebut dengan gemetar. "Mas Vickal, semua ini adalah kesalahpahaman. Aku sama sekali tidak tahu jika kamu bukanlah Vicky yang aku maksud."

Pria itu hanya melirik Anggun untuk sesaat, tak menanggapi meskipun rasa kesal masih terlihat awet di wajahnya yang tampan. Anggun kembali melanjutkan ucapannya, "Jadi, apakah kamu bisa membatalkan akad nikah barusan? Aku sama sekali tidak mengenalmu, yang kukenal adalah Vicky dan aku hanya ingin menikah dengan Vicky."

Tatapan keduanya kini bertumpu satu sama lain, alih-alih seperti kucing yang menggemaskan Vickal terlihat seperti cheetah yang siap menerjang dengan taring-taring tajamnya.

"Sebenarnya kamu ingin menikah dengan siapa? Vicky Rahmanto bukan?" tanya Vickal lalu menyipitkan bola maya, ia mulai menipiskan jarak dengan mendekatkan wajahnya ke arah Anggun. "Vicky Rahmanto itu saya."

"Bohong! Kamu berbohong padaku! Dasar bujang lapuk!" Anggun berteriak histeris, ia menyambar bantal lalu memukulkan benda empuk itu ke tubuh Vickal secara bertubi-tubi. "Berhentilah membohongiku! Kau ingin mengambil kesempatan 'kan?!"

Semua orang saling pandang, mereka turut cemas dengan perubahan sikap Anggun yang terlihat begitu berputus asa. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menyadarkan Anggun dan memberinya pengertian secara perlahan.

"Nak Anggun, kami mohon jangan berteriak histeris seperti itu." Andini membuka suara, wanita itu maju dari tengah-tengah kerumunan keluarga besar. Wanita paruh baya berwajah cantik itu Anggun mengenalnya sebagai mama sambung Vicky selama ini. Peringatan yang beliau lontarkan membuat Anggun berhenti menyerang Vickal. "Apa yang dikatakan Vickal benar, dia bernama Vicky Rahmanto. Nama yang sama dengan Vicky yang kamu kenal."

Anggun terbengong untuk sesaat, kepalanya seolah dihantam batu dengan penjelasan tersebut. Andini menghela napas, ia maju beberapa langkah untuk mendekat ke arah Anggun. "Kedua anak kembar ini sama-sama memiliki nama Vicky Rahmanto. Hanya saja sewaktu kecil kakek mereka memanggil Vicky yang tertua dengan nama Vickal agar lebih mudah dalam membedakan. Jadi Nak Anggun, tidak ada yang salah dengan nama itu karena keduanya memang memiliki nama yang sama di buku kelahiran."

Anggun terdiam beberapa saat, ia lantas memberanikan diri untuk menatap Andini dan orang-orang disekitarnya. "Kalo begitu aku ingin menikah dengan Vicky yang satunya. Aku sama sekali tidak mengenal Vickal dan aku hanya butuh Vicky disampingku."

Semua orang kembali saling tatap, kini Vicky yang diinginkan Anggun hadir maju mendekat ke arah Anggun. "Anggun, apa bedanya aku dengan Mas Vickal? Kamu bisa mengenal Mas Vickal mulai sekarang, dia pria yang begitu baik dan bertanggungjawab. Aku yakin dalam insiden ini, Tuhan telah memilih dia sebagai pendampingmu yang terbaik dan sebenarnya."

"Vicky, kenapa kamu bilang begitu? Kita sudah saling mengenal sejak SMP, apakah kamu tidak memiliki perasaan apapun kepadaku?" tanya Anggun dengan alis mengerut. Gadis itu tanpa sadar mencengkeram sprei yang berada dibawah tubuhnya dengan perasaan harap-harap cemas.

Vicky menatap ibunya sejenak, ada perasaan sungkan yang tidak bisa ia jelaskan dengan gamblang. "Bukan begitu Anggun, akad nikah itu sudah diucapkan oleh Mas Vickal. Sekarang keputusannya tinggal ditangan Mas Vickal, apakah dia mau melepaskanmu atau tidak."

Mendengar ucapan Vicky demikian, Anggun lantas mengalihkan tatap ke arah Vickal. Sungguh ia sangat berharap kerelaan Vickal untuk melepas dirinya dan bisa meresmikan hubungannya dengan Vicky. "Mas Vickal, kamu dengar sendiri 'kan? Semua ini tergantung padamu. Tolong Mas Vickal lepaskan aku, aku ingin Vicky-lah yang mengucapkan janji suci itu untukku. Sungguh, aku sangat ingin menikah dengan Vicky dan bukan dirimu."

Vickal yang sedari tadi cuek dan dingin, perlahan membalas tatapan Anggun. Meskipun tidak terlalu mengenal, bibir tipis warna peach di hadapannya itu memiliki racun yang cukup membuat hati Vickal tersakiti. "Kamu kira semudah itu, Anggun? Saya tidak akan pernah mengucapkan akad nikah sembarangan apalagi harus menariknya."

"Jadi maksudmu?" Anggun tak berani mengatakan kemungkinan yang bakal terjadi kali ini. Bola matanya yang indah kini tertuju penuh pada sosok Vickal yang duduk diatas ranjang di hadapannya.

Vickal menarik napas, ia lalu menoleh ke arah Vicky. "Vicky, katakan pada saya apakah saya tidak pantas untuk menjadi pendamping Anggun?"

"Ehmm... Kamu—"

"Saya tidak akan melepaskan Anggun, saya telah menikahinya hari ini." Vickal memutuskan, membuat Anggun tercengang dan shock parah. Perlahan pria itu bangkit dari duduknya lalu menatap Anggun sekali lagi. "Saya bukan tipe pria yang suka mempermainkan akad nikah, Anggun. Saya tetap akan mempertanggungjawabkan apa yang sudah saya ucapkan di depan umum."

"Ka-kamu—"

"Paman, kita lanjutkan saja pernikahannya. Jangan membuat orang lain dan tamu undangan menunggu. Jangan sampai Anda mempermalukan diri sendiri di depan tamu agung," ucap Vickal pada Hermawan yang sedari tadi membisu karena merasa turut bersalah. Pria bernama Vickal itu melenggang pergi tanpa beban, membuat Anggun benci setengah mati.

"Dasar kau bujang lapuk! Jika kau membenciku maka jangan membuatku menderita seperti ini. Dasar sialan kamu!" Anggun histeris, kesal sampai ke ubun-ubun karena nyatanya Vickal sendiri tidak mau melepaskannya dan memilih untuk bertahan. Anggun mengambil bantal sekali lagi lalu melemparkannya ke arah Vickal hingga menimpuk punggung kekar tersebut. "Sialan kamu, sialan!"

****

Atas persetujuan bersama akhirnya pesta pernikahan tetap saja dilanjutkan. Meskipun Anggun begitu terguncang, ia tidak punya pilihan lain karena ia masih bisa memikirkan bagaimana wajah pamannya jika sampai ia tidak hadir di depan tamu undangan.

Dengan begitu sangat terpaksa, Anggun akhirnya harus bersanding dengan Vickal—saudara kembar Vicky yang tertua. Meskipun tidak bahagia, Anggun menerima keadaan dengan perasaan kesal dan benci yang besar.

Sedikit menjaga jarak, Anggun tidak ingin berdekatan dengan Vickal. Meskipun mereka suami istri sekarang, Anggun sendiri merasa menyesal karena telah memilih seekor cheetah hadir dalam kehidupannya.

Melihat pernikahan itu, Vicky duduk memojok di salah satu sudut ruangan. Pria bertubuh kekar yang memiliki postur tubuh dan bentuk wajah yang sama dengan Vickal tersebut menatap jauh ke arah pelaminan dimana Anggun dan Vickal duduk bersandingan meskipun ada jarak tipis diantara mereka.

Menatap putra angkatnya menyendiri, Andini tidak tinggal diam. Perlahan ia menghampiri Vicky dan menyentuh pundaknya untuk menyadarkan lamunan pemuda tersebut. "Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja bukan?"

Vicky tersadar, ia menoleh cepat ke arah ibunya lalu menghela napas. "Tidak Bu, aku tidak apa-apa."

"Sungguh?" Andini mencoba menegaskan, sesekali ia melirik ke arah pelaminan dengan tatapan penuh rasa penasaran. "Kamu tidak sedang kecewa 'kan?"

Vicky terlihat resah, ia terkekeh lalu menggosok dahinya beberapa kali. "Ibu bicara apa? Tentu saja aku bahagia dengan pernikahan Vickal. Akhirnya saudara laki-lakiku bisa menikah juga dengan seorang gadis, bukankah itu kabar yang begitu menggembirakan?"

Andini terdiam sesaat lalu mengulas senyum tipis. "Tapi wajahmu terlihat sedih, Vicky."

"Oh benarkah? Aku rasa tidak demikian Bu. Aku turut bahagia dengan pernikahan Mas Vickal, aku berharap dia akan mendapatkan jodoh suatu hari nanti dan lihatlah ia berjodoh dengan Anggun sekarang."

Andini hanya diam, ia kembali menatap ke arah pelaminan dengan tatapan dingin dan tak terbaca. "Lalu apa rencanamu setelah ini Vicky?"

Vicky belum menjawab, ia menatap ke penjuru arah lalu menggosok tengkuknya. "Entahlah, mungkin aku akan melanjutkan kuliah sementara waktu sambil belajar mengelola bisnis pabrik mebel milik almarhum ayah."

Andini menghela napas, perlahan ia maju ke arah meja prasmanan dan mengambil dua buah gelas berisi jus jeruk yang nikmat dan segar. Membawanya ke hadapan Vicky, Andini menatap anak angkatnya lalu menyerahkan gelas tersebut secara perlahan. "Vicky, tidakkah kau iri melihat mereka bersanding?"

"Bu, kau bicara apa?" Vicky mencebik, ia menerima gelas itu lalu buru-buru meminum isinya. "Aku sudah bilang bahwa aku sangat bahagia dengan pernikahan mereka."

"Kamu bohong, Vicky. Bohong!" Andini lalu menyeringai, perlahan ia menyesap jusnya. "Aku bisa melihat kekecewaan itu di matamu, Anakku. Bukankah Anggun adalah gadis yang cantik dan baik?! Tidakkah kau ingin memilikinya juga?"

"Bu, apa maksudmu? Tentu saja ia cantik, dia seorang gadis." Vicky menyanggah, mengedarkan pandang dan berharap tidak menatap bola mata ibunya yang begitu awas.

Andini tersenyum tipis, ia meminum kembali jusnya sebelum akhirnya ia melanjutkan ucapannya. "Tidakkah kau memiliki rencana untuk merebutnya, Vicky?"

"Bu, apa yang kau katakan?" Vicky terkejut, ia segera menoleh ke arah ibu angkatnya dengan tatapan tak mengerti.

"Ya, tidak salah lagi. Kamu tidak salah dengar Vicky." Andini menjawab dengan mantap, ia menatap anak angkatnya dengan tatapan berbeda. "Jika kamu benar-benar menyukainya, kenapa tidak merebutnya saja? Vicky, kebahagiaan itu mahal dan kamu harus memperjuangkannya. Lalu untuk apa bertahan dan menderita jika alternatif untuk merebut telah tersedia di depan mata. Vicky, jangan jadi anak bodoh. Pergi dan rebut apa yang kau mau, kamu pantas mendapatkan apa yang seharusnya kamu dapatkan."

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status