Share

Ada Keanehan

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 12:31:58

Ardan masih terpaku di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah Ayunda yang tertidur. Sudah lima tahun berlalu, dan selama itu pula keluarganya tidak pernah benar-benar peduli pada kondisi Ayunda. Mereka menganggap gadis itu hanya beban, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada dalam kehidupan mereka sejak awal.

Dan Mahesa? Lelaki itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Sehari setelah pernikahannya dengan Ayunda, ia justru menikahi wanita lain—wanita yang sebenarnya memang sudah menjadi bagian dari hidupnya jauh sebelum Ayunda muncul. Pernikahan dengan Ayunda hanyalah formalitas, pemuas egonya semata, sesuatu yang ia lakukan hanya karena ia bisa.

Ardan tahu semua itu, dan itu membuatnya semakin muak.

Namun, sekarang Ayunda sudah sadar. Ia tidak bisa terus menyembunyikan wanita itu di rumah sakit selamanya. Ia harus mengambil keputusan—keputusan yang mungkin akan mengguncang segalanya.

Ia ingin Ayunda mendapatkan keadilan. Lima tahun yang hilang dari hidupnya, penderitaan yang ia alami, pengkhianatan yang ia terima—semua itu tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Tapi di sisi lain, Ardan juga memiliki ketakutannya sendiri. Jika Ayunda mengingat segalanya, jika ia tahu apa yang telah terjadi selama ia tak sadarkan diri ….

Apakah ia masih punya kesempatan untuk tetap berada di sisi wanita itu?

Ardan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia harus berpikir jernih. Yang pasti, ia tidak akan menyerahkan Ayunda kepada keluarganya, apalagi membiarkannya kembali ke tangan Mahesa. Tidak. Kali ini, Ayunda akan mendapatkan kebebasannya.

Dan ia, Ardan, akan memastikan bahwa ia tidak kehilangan wanita itu—bagaimanapun caranya.

Ayunda menggeliat pelan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Tatapan kosongnya menyapu ruangan, seakan mencoba mengenali tempat di mana ia berada. Ardan yang masih duduk di tepi ranjang langsung mendekat, jemarinya menggenggam tangan Ayunda dengan lembut.

“Ayunda …?” Suaranya terdengar pelan, penuh kehati-hatian.

Ayunda menoleh, matanya yang bening menatap wajah Ardan dengan kebingungan. “Ardan?” Ia mengerjap, suaranya terdengar lemah.

Ardan tersenyum kecil, lega karena Ayunda mengenalinya. “Ya, aku di sini.”

Ayunda mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi rasa lemah membuatnya meringis. Ardan buru-buru menopang bahunya, membantu agar ia bisa bersandar dengan nyaman. “Pelan-pelan. Kau sudah lama tertidur, tubuhmu masih butuh waktu untuk pulih.”

Ayunda terdiam sesaat, sebelum akhirnya bertanya, “Berapa lama?”

Ardan menatapnya lekat, lalu menjawab dengan suara pelan, “Lima tahun.”

Mata Ayunda melebar. “Lima … tahun?”

Ardan mengangguk. “Setelah jatuh dari tangga. Sejak saat itu, kau tidak sadarkan diri.”

Wajah Ayunda memucat, pikirannya berusaha mengingat, namun semua terasa kabur. “Aku … tidak ingat apa pun.”

Ardan menggenggam tangannya lebih erat. “Itu tidak masalah. Jangan memaksakan diri.”

Ayunda menatap Ardan, matanya dipenuhi kebingungan. “Kenapa kau ada di sini?”

Ardan terdiam. Ia tahu Ayunda pasti bertanya-tanya, mengapa bukan Mahesa yang duduk di sisinya saat ia sadar, mengapa pria yang menunggunya justru Ardan.

Dengan napas berat, Ardan akhirnya berkata, “Mahesa … dia tidak pernah datang. Sejak hari itu, dia pergi.”

Ayunda terdiam. Sesuatu di dadanya terasa sesak, meskipun entah mengapa tidak ada air mata yang keluar.

Ardan mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh lembut pipi Ayunda. “Aku yang menjagamu selama ini, Ayunda. Aku yang selalu ada di sini, menunggu kau kembali.”

Ayunda menatapnya dalam, ada sesuatu di mata pria itu—ketulusan, kepedulian, dan perasaan yang lebih dalam dari sekadar tanggung jawab.

Jemari Ayunda yang masih lemah tiba-tiba bergerak, menggenggam tangan Ardan yang masih menempel di pipinya. Ardan terkejut, tapi ia tidak menarik diri. Sentuhan itu terasa hangat, begitu nyata.

“Terima kasih, Ardan .…” Ayunda berbisik pelan.

Ardan menatapnya, hatinya bergetar. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Ayunda baik-baik saja, memastikan ia tidak pernah merasakan kesepian lagi.

Dengan penuh kelembutan, Ardan menunduk dan mengecup kening Ayunda. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Ayunda memejamkan mata, membiarkan kehangatan itu meresap ke dalam hatinya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa … aman.

Ayunda masih diam, merasakan kehangatan yang begitu asing tapi nyaman dari Ardan. Bibirnya sedikit bergetar, bukan karena takut, tetapi karena perasaan yang perlahan mulai muncul di hatinya.

Ardan masih menggenggam tangannya, ibu jarinya dengan lembut mengusap punggung tangan Ayunda. "Kau butuh waktu untuk pulih. Jangan pikirkan hal lain dulu, ya?" ucapnya lembut.

Ayunda menatapnya dalam, ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya, tetapi ia terlalu lelah untuk mengungkapkannya sekarang. “Aku merasa … kosong,” bisiknya.

Ardan tersenyum kecil. “Itu wajar. Kau baru saja kembali dari tidur panjang, tapi aku akan ada di sini untukmu. Apa pun yang kau butuhkan, aku akan mengusahakannya.”

Ayunda terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya, “Apa kau selalu ada di sini selama lima tahun ini?”

Ardan mengangguk tanpa ragu. “Setiap hari.”

Hati Ayunda mencelos. Pria ini … selama ini menunggunya? Menjaganya? Sementara suaminya sendiri bahkan tidak pernah datang? Tapi kakak iparnya yang selalu datang?

Ardan bisa melihat emosi di mata Ayunda, maka dengan hati-hati, ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi wanita itu lagi. “Aku tahu ini sulit. Aku tahu kau pasti banyak bertanya-tanya, tapi kau tidak sendiri, Ayunda. Aku di sini.”

Ayunda mengerjap, lalu menunduk menatap genggaman tangan mereka. Jemarinya terasa kecil di dalam genggaman pria itu, hangat dan melindungi.

Tiba-tiba, perut Ayunda berbunyi pelan.

Ardan terkekeh. “Kau pasti lapar.”

Ayunda tersipu malu, lalu mengangguk pelan. “Sepertinya begitu.”

Ardan berdiri. “Tunggu sebentar, aku akan membawakan makanan untukmu.”

Namun, saat ia hendak melangkah, tangan Ayunda menahan pergelangan tangannya. Ardan menoleh, mendapati Ayunda menatapnya dengan sorot mata yang tak bisa ia artikan.

“Ardan … jangan pergi terlalu lama,” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.

Hati Ardan mencelos. Ia tersenyum hangat, lalu menangkup tangan Ayunda dengan kedua tangannya. “Aku hanya akan pergi sebentar, dan aku pasti kembali.”

Ayunda mengangguk, perlahan melepaskan genggamannya. Ardan menatapnya sekali lagi sebelum beranjak pergi, meninggalkan ruangan dengan jantung yang masih berdegup kencang.

Sementara Ayunda, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, merasakan sesuatu yang hangat di dadanya—sesuatu yang berbeda dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.

***

Ardan terkejut melihat Ayunda yang baru keluar dari kamar mandi dengan meringis. "Kenapa, ya, buang air kecil saja rasanya perih sekali?" tanya Ayunda dengan wajah yang sedikit memerah.

Ardan melotot, ia teringat jika sebelum Ayunda sadar, ia sudah berulang kali menyentuhnya tanpa ampun. Ia merasa bersalah dan takut Ayunda akan marah padanya.

"Ayunda, aku ... aku minta maaf," kata Ardan dengan suara yang bergetar.

Ayunda terkejut mendengar kata-kata Ardan. "Minta maaf? Kenapa?" tanya Ayunda dengan rasa penasaran.

Ardan mengambil napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ... aku takut aku telah melakukan sesuatu yang tidak benar padamu."

Ayunda terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah merah padam. "Apa yang kamu lakukan padaku?" tanya Ayunda dengan suara yang bergetar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Usai Bangun dari Koma   Tamat

    Beberapa hari setelah liburan itu, tibalah waktunya Aluna dan Elvano mulai sekolah di tempat baru: sekolah internasional dengan program khusus bahasa Arab yang sudah didaftarkan oleh Dipta.Pagi itu, Aluna menyiapkan seragam barunya dengan tangan sedikit gemetar. Semua terasa asing: warna seragam, lambang sekolah, bahkan bau buku tulis barunya pun berbeda. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, menarik napas panjang sambil berbisik, “Nuna pasti bisa.”Dipta dan Ayunda ikut mengantar sampai gerbang sekolah. Elvano berusaha tampak santai, meski dari sorot matanya, Aluna tahu kakaknya juga gugup. “Jangan takut, Nuna. Kita sama-sama kok,” katanya, mencoba menguatkan.Begitu masuk ke lingkungan sekolah, suasana benar-benar berbeda. Anak-anak dari berbagai negara berjalan tergesa sambil berbicara dengan campuran bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ada yang berkulit putih, sawo matang, hingga hitam legam—semua bercampur di satu tempat yang penuh warna.Guru-guru menyambut mereka dengan ramah, me

  • Usai Bangun dari Koma   Australia

    Keesokan paginya, mereka berangkat lebih awal menuju bandara. Matahari baru saja terbit, cahayanya masih lembut menyinari jalanan. Koper-koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil, dan semua anggota keluarga tampak sedikit canggung, menyembunyikan rasa haru di balik senyum.Aluna duduk di kursi mobil sambil memeluk boneka beruang kecil pemberian Adam. Tatapannya kosong memandang keluar jendela, berusaha merekam setiap sudut jalan yang sudah begitu akrab di matanya. Sementara itu, Ayunda sesekali menoleh ke belakang memastikan anak-anaknya baik-baik saja. Elea duduk di pangkuan William, tampak masih mengantuk.Sesampainya di bandara, suasana menjadi semakin emosional. Beberapa kerabat yang ikut mengantar menahan air mata. Pelukan, doa, dan ucapan hati-hati terdengar silih berganti. Dipta mengusap bahu Aluna dan Elvano sambil berbisik, “Kita mulai perjalanan baru, Nak. Jangan takut.”Tak lama kemudian, mereka pun naik pesawat. Aluna memandangi jendela, melihat Indonesia perlahan mengec

  • Usai Bangun dari Koma   Aluna

    Mereka semua sudah sibuk mempacking barang-barang. Di sana, Dikta pun sudah mendapatkan tempat tinggal yang pas, nyaman, dan strategis untuk keluarganya. Ia tak mau jika sesampainya di Australia nanti keluarganya justru kesulitan. Dikta benar-benar memprioritaskan kenyamanan; menurutnya, itu adalah hal yang paling penting. Ia tak ingin anak-anak dan istrinya merasa tidak betah di tempat baru.“Anak-anak juga sudah aku daftarkan di sekolah internasional yang mengajarkan bahasa Arab. Semoga saja mereka bisa cepat beradaptasi dan belajar dengan baik,” ucap Dikta sambil menata dokumen penting di koper.Ayunda mempercayakan semua urusan itu kepada suaminya. Ia sendiri sibuk mengemas pakaian anak-anak, yang ternyata jumlahnya cukup banyak.Sementara itu, rumah mereka di Indonesia diserahkan kepada William untuk diurus. Bahkan, kalau William mau tinggal di sana pun tidak masalah, karena masih ada beberapa pembantu yang bertugas merawat rumah. Ayunda juga berpikir, mungkin suatu hari nanti si

  • Usai Bangun dari Koma   Adam Main

    Di detik-detik terakhir Aluna masih berada di Indonesia, Adam semakin berani mendekatinya. Bahkan sekarang Adam sudah memiliki nomor ponsel Aluna dan mereka kadang saling bertukar pesan singkat.Hari ini, Adam memberanikan diri untuk datang main ke rumah Aluna.Aluna tak menyangka saat melihat Adam muncul di depan pintu rumahnya. “Kak Adam? Kamu kok tiba-tiba ke sini?” tanyanya sedikit terkejut, tapi senyumnya tetap merekah.Adam menggaruk tengkuknya, sedikit gugup. “Hehe aku cuma mau ketemu sebelum kamu pindah. Boleh, kan?”Di ruang tamu, Ayunda juga ikut menyambut Adam. Dengan ramah, ia mengajak Adam duduk dan berbasa-basi menanyakan kabarnya.“Gimana keadaan Anggun sekarang, Dam?” tanya Ayunda hati-hati.Wajah Adam tampak sedikit suram. “Keadaannya masih sama, Tante Sepertinya kakak memang sudah benar-benar depresi. Kadang masih sering mengamuk. Sekarang masih dirawat intensif di rumah sakit jiwa,” jawabnya lirih.Ayunda mengangguk pelan, matanya memancarkan rasa prihatin yang mend

  • Usai Bangun dari Koma   Pertandingan Terakhir

    Sudah hampir satu minggu sejak kepergian Oma Ola, namun rasa kehilangan itu masih begitu terasa. Kadang, Elea masih sering menangis setiap kali ia masuk ke kamar Oma yang kini sunyi dan kosong.Aluna dan Elvano selalu berusaha menghiburnya, meski mereka sendiri juga masih merasakan duka yang sama.Ayunda yang juga masih diselimuti kesedihan, perlahan mencoba menguatkan diri. Ia merangkul bahu anak-anaknya, berusaha menanamkan keyakinan bahwa Oma Ola sekarang sudah bahagia di tempat yang lebih baik.Malam itu, mereka memilih duduk bersama di sofa panjang di ruang keluarga. Dipta duduk di sebelah Ayunda, menggenggam tangan istrinya erat, memberi isyarat bahwa ia selalu ada untuknya.Elea duduk di sebelah Aluna, sementara Elvano duduk di ujung, menatap keluarganya dalam diam. Suasana hening, tapi penuh kehangatan.Ayunda menghela napas panjang sebelum berkata dengan lembut, “Kalian harus ingat, ya kita ini keluarga, kita ini saudara. Jangan pernah ada yang saling menyakiti. Saudara itu h

  • Usai Bangun dari Koma   Meninggalkannya Oma

    Di rumah, Aluna, Elvano, dan Elea menyambut kedatangan ayah dan bunda mereka yang datang bersama Oma Ola.Akhirnya, seluruh drama itu selesai. Ayah mereka terbukti tidak berselingkuh dengan siapa pun, dan Anggun sudah ditemukan serta kini dirawat di rumah sakit. Hal tersebut membuat kakak beradik itu merasa sangat lega. Ketenangan yang sempat hilang akhirnya kembali menyelimuti keluarga mereka.Tadi, Adam juga sudah mengabari tentang kondisi Anggun yang benar-benar memprihatinkan. Elvano pun turut prihatin dengan apa yang menimpa kakak dari Adam tersebut.Begitu Ayunda dan Dipta sampai, ternyata mereka membawa kejutan untuk Elea. Sebuah kue tart cantik sudah disiapkan, lengkap dengan lilin bertuliskan angka 12.Elea tampak sangat senang. Matanya berbinar, senyumnya merekah lebar.Mereka langsung tersenyum dan kompak mengucapkan, “Selamat ulang tahun, Elea!”Elea menangkupkan tangan di dada, hampir tak percaya dengan kejutan kecil itu. “Makasih, Ayah, Bunda, Kakak-kakak,” ucapnya pela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status