Ardan terjebak dalam rasa bersalahnya. Ia hampir saja keceplosan mengungkapkan bahwa selama Ayunda koma, ia telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.
'Kali ini, aku harus lebih berhati-hati,' batinnya. Sementara itu, dokter telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Ayunda. Meskipun ia masih belum bisa berdiri tanpa alat bantu, kondisinya telah membaik secara signifikan. Namun, masih banyak sesi fisioterapi yang harus dijalaninya untuk memulihkan kekuatan otot-ototnya yang kaku akibat lima tahun terbaring tanpa sadar. Ayunda menatap Ardan dengan tatapan penuh kebingungan. "Kalau Mahesa sudah tidak menginginkanku lagi, lantas aku harus pulang ke mana, Ardan?" tanyanya lirih. Ardan terdiam, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang masa depannya yang kini terasa begitu tak pasti. Ardan menelan ludah, menatap Ayunda yang kini menunggu jawaban darinya. Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung makna yang begitu dalam. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang ke mana ia harus melangkah setelah semua yang terjadi. Ayunda masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan yang lebih penting, ingatannya pun mungkin belum kembali sepenuhnya. Namun, di balik matanya yang bening itu, ada kesedihan dan kebingungan yang begitu nyata. “Kau bisa tinggal di sini dulu, di rumah sakit, sampai kondisimu benar-benar membaik,” ujar Ardan akhirnya, berusaha terdengar tenang. Ayunda menghela napas pelan. "Setelah itu?" Ardan terdiam. Ia tidak bisa membiarkan Ayunda kembali ke rumah Mahesa. Lelaki itu sudah meninggalkannya, menikahi wanita lain hanya sehari setelah pernikahan mereka. Tidak ada tempat bagi Ayunda di sana, dan ia tidak akan membiarkan Ayunda kembali ke lingkungan yang hanya akan menyakitinya lebih dalam. “Kau bisa tinggal bersamaku,” kata Ardan akhirnya, suaranya lebih pelan dari yang ia kira. Ayunda menatapnya, jelas terkejut. “Bersamamu?” Ardan mengangguk. “Aku punya rumah. Tidak mewah, tapi cukup untukmu. Aku bisa menjagamu, Ayunda.” Tatapan Ayunda melembut, tetapi ia masih ragu. “Apa tidak merepotkan?” Ardan terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana. “Sejak lima tahun lalu, aku sudah merawatmu. Apa menurutmu sekarang akan jadi lebih merepotkan?” Ayunda tersenyum tipis, meski masih ada kebimbangan di hatinya. Ia tahu Ardan telah banyak berkorban untuknya, bahkan lebih dari suaminya sendiri. Tapi … mengapa? “Kenapa kau melakukan semua ini untukku, Ardan?” tanyanya pelan. Ardan terdiam. Pertanyaan itu menohok tepat di hatinya. Ia ingin menjawab dengan jujur, ingin mengatakan bahwa perasaannya terhadap Ayunda telah berkembang jauh lebih dalam dari sekadar rasa tanggung jawab. Tapi sekarang bukan waktunya. “Karena kau berharga,” jawabnya akhirnya. “Dan aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi.” Ayunda menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Mungkin, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya. Ayunda hanyalah seorang yatim piatu yang miskin. Ia tidak memiliki tempat tinggal maupun keluarga yang bisa ia andalkan. Tak heran, selama lima tahun ia koma, tak ada seorang pun yang mencarinya atau menunggunya sadar. Namun, di balik semua kesedihan itu, Ayunda merasa bersyukur. Setidaknya, masih ada Ardan—satu-satunya orang yang peduli padanya. Tanpa Ardan, ia mungkin sudah lama terlupakan, menghilang tanpa jejak dalam kesunyian rumah sakit. Ayunda menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. “Terima kasih, Ardan … Kalau bukan karena kamu, aku tidak tahu bagaimana nasibku sekarang,” ucapnya lirih. Ardan menoleh, matanya menatap dalam ke arah Ayunda. Ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang sulit diartikan. “Jangan berterima kasih padaku, Ayunda. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan.” Ayunda tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi banyak pertanyaan. Mengapa Ardan begitu peduli padanya? Apakah hanya karena rasa tanggung jawab, atau ada alasan lain yang lebih dalam? Puing-puing ingatan yang perlahan kembali hanya menghadirkan kepedihan bagi Ayunda. Sosok Mahesa, lelaki yang selama ini ia cintai, kembali memenuhi pikirannya. Ia pernah berpikir bahwa menikah dengan Mahesa akan membuatnya bahagia, menjadikannya seorang ratu di hati pria itu. Namun, kenyataan begitu kejam. Di malam pertama, impian itu hancur. Mahesa telah menduakannya—bahkan sejak awal. Alasannya? Karena Ayunda terlalu naif, terlalu polos, dan menolak disentuh saat pacaran. Mahesa menganggapnya sebagai istri yang tak bisa memenuhi keinginannya, sesuatu yang membuatnya merasa berhak mencari wanita lain. Ayunda menatap Ardan dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar saat ia menceritakan semua itu. “Untung saja aku belum pernah disentuh lelaki bejat itu,” katanya lirih, dengan nada getir yang jelas terdengar. “Setidaknya, aku masih suci .…” Kata-kata itu bagai tamparan keras bagi Ardan. Tubuhnya menegang, jantungnya berdetak kencang. Ayunda tidak tahu—tidak menyadari—bahwa selama ini ia telah disentuh. Bukan oleh Mahesa, tetapi olehnya … oleh Ardan. Ia merasakan gelombang rasa bersalah yang begitu besar menghantam dirinya. Selama ini, ia telah berbuat kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Dan kini, Ayunda masih mempercayainya, masih menganggapnya sebagai penyelamat. Ardan menggenggam erat tangannya sendiri, berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Ia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya. Tidak sekarang. Tapi satu hal yang pasti—Ayunda harus tetap berada dalam kebohongan ini. Ia tidak boleh tahu apa yang telah terjadi selama lima tahun ia koma. Karena jika ia tahu … Ardan mungkin akan kehilangan satu-satunya wanita yang kini ingin ia lindungi lebih dari apa pun. Ardan menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia menatap Ayunda yang kini duduk di ranjang rumah sakit dengan ekspresi rapuh, seolah hatinya masih terluka oleh kenangan masa lalu. “Kau pasti sangat kecewa,” kata Ardan akhirnya, suaranya berusaha terdengar tenang. Ayunda tersenyum pahit. “Kecewa itu sudah pasti, tapi lebih dari itu, aku merasa bodoh. Aku mencintai orang yang bahkan tak pernah benar-benar menginginkanku.” Ardan merasakan dadanya semakin sesak. Ia ingin mengatakan bahwa Mahesa memang tidak pantas untuk Ayunda. Bahwa pria itu adalah seorang bajingan yang telah menyia-nyiakan wanita sebaik dirinya. Tapi … ia sendiri? Ia lebih baik darinya? Setelah apa yang ia lakukan selama ini? Ayunda menundukkan kepala, jemarinya mencengkeram selimut dengan erat. “Tapi aku bersyukur masih memiliki kamu, Ardan,” katanya lirih. “Kamu satu-satunya yang ada di sini untukku.” Ardan menelan ludah, rasa bersalahnya semakin menggunung. Tangannya terulur, ragu-ragu sebelum akhirnya dengan lembut menggenggam tangan Ayunda. “Aku akan selalu ada untukmu, Ayunda.” Ayunda menatapnya, ada kehangatan dalam tatapannya yang polos. Ia tidak tahu apa yang tersembunyi di balik sikap Ardan. Ia tidak tahu rahasia besar yang selama ini disembunyikan pria itu. Ardan tahu, suatu hari nanti kebenaran bisa saja terungkap. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menjaga Ayunda, memastikan wanita itu merasa aman di sisinya. Dan mungkin, meski dengan cara yang salah, ia bisa menebus semua dosa yang telah ia perbuat.Akhirnya, perjuangan selama 50 jam membuahkan hasil. Dengan tangan yang masih terpasang infus, Dipta berhasil membobol sistem milik Siren dan membekukan seluruh jaringan digital yang ia kendalikan. Siren, yang saat itu sedang berusaha mentransfer seluruh dana dari perusahaan Dipta ke rekening pribadinya, gagal total. Dana tersebut berhasil dikembalikan, dan semua jejak digitalnya diamankan.Dipta tidak berhenti sampai di situ. Ia sudah merencanakan segalanya. Setelah memastikan sistem kembali stabil, ia langsung mengirimkan tim polisi ke lokasi yang telah dilacak sebelumnya. Siren dan beberapa orang yang terlibat akhirnya berhasil dikepung.Melihat keberhasilan itu, Ayunda tak bisa menahan luapan emosinya. Dengan refleks, ia langsung memeluk Dipta yang masih duduk lemah di kursinya. Pelukan itu spontan, penuh rasa lega dan bahagia.Momen itu sempat membuat semua yang ada di ruangan terdiam. William dan beberapa staf yang melihatnya langsung salah tingkah. Mereka berpura-pura sibuk, me
Namun Dipta tetap tak bergeming. Matanya terpaku pada deretan kode yang terus bergerak di layar. Napasnya berat, seperti menahan beban tak kasat mata yang terus menindih.William menatap Ayunda sekilas, lalu memberi isyarat mata. Ia mengerti maksudnya.“Aku panggil dokter sekarang,” bisik William. “Kalau dia tidak mau istirahat dengan sadar, kita harus paksa.”Ayunda mengangguk pelan. Beberapa menit kemudian, dokter kantor datang dengan peralatan lengkap. Melihat itu, Dipta mengerutkan kening.“Kalian serius?” protesnya pelan.“Kalau kamu terus memaksa tubuhmu begini, kamu bisa kolaps. Kami butuh kamu tetap hidup, Dipta,” jawab Ayunda tanpa basa-basi.Setelah dicek, suhu tubuh Dipta mencapai 39 derajat Celsius. Dokter menyarankan agar ia diberi infus dan obat penurun demam. Tanpa menunggu izin lebih lanjut, William dan Ayunda langsung mengarahkan dokter membawa Dipta ke ruangan istirahat khusus.Di ruangan itu, Ayunda duduk di sisi tempat tidur sementara infus dipasang ke tangan Dipta
Melihat kelengahan Dipta dan Ayunda, Siren tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, ia mendorong Dipta dengan sekuat tenaga hingga pria itu tersungkur keras ke lantai jembatan. Tak berhenti di situ, Siren juga mendorong Ayunda, membuat wanita itu terhuyung dan nyaris jatuh. Telapak tangannya terhempas ke permukaan jembatan yang penuh dengan serpihan kaca, membuatnya berdarah hebat."Aku akan menghancurkan perusahaanmu untuk kedua kalinya, Dipta! Dan kali ini aku pastikan, kau takkan bisa bangkit lagi selamanya!" teriak Siren dengan penuh dendam sebelum akhirnya melarikan diri ke arah hutan kecil di balik jembatan.Dipta yang sempat hendak mengejar langsung berhenti saat mendengar Ayunda menahan erangan kesakitan. Ia segera berbalik dan melihat wanita itu tengah berusaha bangkit sambil memegangi tangannya yang dipenuhi darah."Ya ampun, Ayunda maafkan aku. Semua ini karena aku. Kamu tak seharusnya terseret dalam kekacauan ini," ucap Dipta dengan panik.Ia segera membantu Ayunda ber
Dipta segera berdiri. "Kita harus ke rumah sakit sekarang. Kalau orang itu masih hidup, kita harus pastikan dia aman dan bisa bicara sebelum semuanya terlambat."Ayunda menggenggam tasnya erat-erat, menahan gemetar di ujung jarinya. "Aku ikut."Oma Ola mengangguk, memberi restu dengan sorot mata penuh keyakinan. "Pergilah. Aku akan tetap di sini, mengoordinasi tim hukum."Tanpa membuang waktu, Dipta dan Ayunda melesat keluar hotel. Di dalam mobil, udara terasa berat, seolah beban kebenaran itu sendiri menekan mereka."Kalau ini benar ulah Siren," kata Ayunda pelan, "dia sudah jauh lebih berbahaya dari yang kita kira."Dipta mengangguk sambil menatap lurus ke jalan. "Aku curiga, ini bukan hanya soal proyek atau dendam. Ini bisa melibatkan jaringan yang lebih besar. Ada sesuatu yang Siren lindungi dengan segala cara."Mereka tiba di rumah sakit. Lorong-lorongnya lengang, kecuali satu ruangan di ujung, dijaga dua orang polisi. Dipta menunjukkan tanda pengenalnya. Mereka diperbolehkan mas
Bahkan di tengah malam itu, Ayunda dan Dipta tetap mengadakan pertemuan terbuka dengan perwakilan warga, berusaha mencari titik temu demi meredam kekacauan yang terjadi.Namun, suasana pertemuan jauh dari kondusif. Ayunda menjadi sasaran makian dari beberapa warga. Mereka memojokkan dirinya, bahkan ada yang merendahkan, mengatakan bahwa seorang wanita tidak pantas menjadi pemimpin, apalagi setelah membuat banyak warga menderita.Dengan ketenangan luar biasa, Ayunda menjelaskan bahwa sebelum proyek ini dimulai, ia telah melakukan kerja sama resmi dengan para pihak terkait dan memberikan kompensasi yang nilainya tidak main-main. Ia menegaskan, "Siapa pun yang mengalami kerugian karena proyek ini, saya bertanggung jawab penuh. Kami siap mengganti semua kerugian dengan adil."Namun, sebagian besar warga hanya terdiam. Dari raut wajah mereka, terlihat jelas ada sesuatu yang disembunyikan. Seolah-olah mereka hanya mengikuti skenario yang diatur oleh pihak terten
Dipta, yang awalnya tampak malu-malu, akhirnya mau juga makan bersama Oma Ola dan Ayunda. Di sana, si kembar disuapi oleh sang babysitter, karena memang mereka sedang sangat sulit makan—mungkin memasuki fase GTM (Gerakan Tutup Mulut). Padahal, Ayunda sudah berusaha memberinya vitamin, tapi tetap saja tidak banyak membantu. Namun, Ayunda tidak menyerah. Ia terus saja merayu si kembar dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya mereka mau menghabiskan makanan, dibantu oleh tangan-tangan penuh kasih yang menyuapi.Malam itu menjadi momen pertama kalinya Dipta makan bersama keluarga Ayunda. Suasana di meja makan terasa hangat dan penuh tawa ringan. Oma Ola tampak sangat tertarik dengan kehadiran Dipta, sebaliknya Ayunda justru lebih banyak diam. Pikirannya berkecamuk, mengingat kejadian siang tadi saat Siren—mantan istri Dipta—melabraknya di tempat umum.Meski begitu, Ayunda mencoba menepis semua kekhawatirannya. Ia tahu, antara dirinya dan Dipta tidak ada hubungan apa-apa