Share

Ketakutan Ardan

Penulis: AgilRizkiani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 13:03:59

Ardan terjebak dalam rasa bersalahnya. Ia hampir saja keceplosan mengungkapkan bahwa selama Ayunda koma, ia telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.

'Kali ini, aku harus lebih berhati-hati,' batinnya.

Sementara itu, dokter telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Ayunda. Meskipun ia masih belum bisa berdiri tanpa alat bantu, kondisinya telah membaik secara signifikan. Namun, masih banyak sesi fisioterapi yang harus dijalaninya untuk memulihkan kekuatan otot-ototnya yang kaku akibat lima tahun terbaring tanpa sadar.

Ayunda menatap Ardan dengan tatapan penuh kebingungan. "Kalau Mahesa sudah tidak menginginkanku lagi, lantas aku harus pulang ke mana, Ardan?" tanyanya lirih.

Ardan terdiam, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang masa depannya yang kini terasa begitu tak pasti.

Ardan menelan ludah, menatap Ayunda yang kini menunggu jawaban darinya. Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung makna yang begitu dalam. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang ke mana ia harus melangkah setelah semua yang terjadi.

Ayunda masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan yang lebih penting, ingatannya pun mungkin belum kembali sepenuhnya. Namun, di balik matanya yang bening itu, ada kesedihan dan kebingungan yang begitu nyata.

“Kau bisa tinggal di sini dulu, di rumah sakit, sampai kondisimu benar-benar membaik,” ujar Ardan akhirnya, berusaha terdengar tenang.

Ayunda menghela napas pelan. "Setelah itu?"

Ardan terdiam. Ia tidak bisa membiarkan Ayunda kembali ke rumah Mahesa. Lelaki itu sudah meninggalkannya, menikahi wanita lain hanya sehari setelah pernikahan mereka. Tidak ada tempat bagi Ayunda di sana, dan ia tidak akan membiarkan Ayunda kembali ke lingkungan yang hanya akan menyakitinya lebih dalam.

“Kau bisa tinggal bersamaku,” kata Ardan akhirnya, suaranya lebih pelan dari yang ia kira.

Ayunda menatapnya, jelas terkejut. “Bersamamu?”

Ardan mengangguk. “Aku punya rumah. Tidak mewah, tapi cukup untukmu. Aku bisa menjagamu, Ayunda.”

Tatapan Ayunda melembut, tetapi ia masih ragu. “Apa tidak merepotkan?”

Ardan terkekeh kecil, berusaha mencairkan suasana. “Sejak lima tahun lalu, aku sudah merawatmu. Apa menurutmu sekarang akan jadi lebih merepotkan?”

Ayunda tersenyum tipis, meski masih ada kebimbangan di hatinya. Ia tahu Ardan telah banyak berkorban untuknya, bahkan lebih dari suaminya sendiri. Tapi … mengapa?

“Kenapa kau melakukan semua ini untukku, Ardan?” tanyanya pelan.

Ardan terdiam. Pertanyaan itu menohok tepat di hatinya. Ia ingin menjawab dengan jujur, ingin mengatakan bahwa perasaannya terhadap Ayunda telah berkembang jauh lebih dalam dari sekadar rasa tanggung jawab. Tapi sekarang bukan waktunya.

“Karena kau berharga,” jawabnya akhirnya. “Dan aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi.”

Ayunda menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. Mungkin, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Ayunda hanyalah seorang yatim piatu yang miskin. Ia tidak memiliki tempat tinggal maupun keluarga yang bisa ia andalkan. Tak heran, selama lima tahun ia koma, tak ada seorang pun yang mencarinya atau menunggunya sadar.

Namun, di balik semua kesedihan itu, Ayunda merasa bersyukur. Setidaknya, masih ada Ardan—satu-satunya orang yang peduli padanya. Tanpa Ardan, ia mungkin sudah lama terlupakan, menghilang tanpa jejak dalam kesunyian rumah sakit.

Ayunda menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. “Terima kasih, Ardan … Kalau bukan karena kamu, aku tidak tahu bagaimana nasibku sekarang,” ucapnya lirih.

Ardan menoleh, matanya menatap dalam ke arah Ayunda. Ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang sulit diartikan. “Jangan berterima kasih padaku, Ayunda. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”

Ayunda tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi banyak pertanyaan. Mengapa Ardan begitu peduli padanya? Apakah hanya karena rasa tanggung jawab, atau ada alasan lain yang lebih dalam?

Puing-puing ingatan yang perlahan kembali hanya menghadirkan kepedihan bagi Ayunda. Sosok Mahesa, lelaki yang selama ini ia cintai, kembali memenuhi pikirannya. Ia pernah berpikir bahwa menikah dengan Mahesa akan membuatnya bahagia, menjadikannya seorang ratu di hati pria itu. Namun, kenyataan begitu kejam. Di malam pertama, impian itu hancur.

Mahesa telah menduakannya—bahkan sejak awal. Alasannya? Karena Ayunda terlalu naif, terlalu polos, dan menolak disentuh saat pacaran. Mahesa menganggapnya sebagai istri yang tak bisa memenuhi keinginannya, sesuatu yang membuatnya merasa berhak mencari wanita lain.

Ayunda menatap Ardan dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar saat ia menceritakan semua itu. “Untung saja aku belum pernah disentuh lelaki bejat itu,” katanya lirih, dengan nada getir yang jelas terdengar. “Setidaknya, aku masih suci .…”

Kata-kata itu bagai tamparan keras bagi Ardan. Tubuhnya menegang, jantungnya berdetak kencang. Ayunda tidak tahu—tidak menyadari—bahwa selama ini ia telah disentuh. Bukan oleh Mahesa, tetapi olehnya … oleh Ardan.

Ia merasakan gelombang rasa bersalah yang begitu besar menghantam dirinya. Selama ini, ia telah berbuat kesalahan yang tak bisa dimaafkan. Dan kini, Ayunda masih mempercayainya, masih menganggapnya sebagai penyelamat.

Ardan menggenggam erat tangannya sendiri, berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Ia tidak boleh menunjukkan kegelisahannya. Tidak sekarang. Tapi satu hal yang pasti—Ayunda harus tetap berada dalam kebohongan ini. Ia tidak boleh tahu apa yang telah terjadi selama lima tahun ia koma.

Karena jika ia tahu … Ardan mungkin akan kehilangan satu-satunya wanita yang kini ingin ia lindungi lebih dari apa pun.

Ardan menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Ia menatap Ayunda yang kini duduk di ranjang rumah sakit dengan ekspresi rapuh, seolah hatinya masih terluka oleh kenangan masa lalu.

“Kau pasti sangat kecewa,” kata Ardan akhirnya, suaranya berusaha terdengar tenang.

Ayunda tersenyum pahit. “Kecewa itu sudah pasti, tapi lebih dari itu, aku merasa bodoh. Aku mencintai orang yang bahkan tak pernah benar-benar menginginkanku.”

Ardan merasakan dadanya semakin sesak. Ia ingin mengatakan bahwa Mahesa memang tidak pantas untuk Ayunda. Bahwa pria itu adalah seorang bajingan yang telah menyia-nyiakan wanita sebaik dirinya. Tapi … ia sendiri? Ia lebih baik darinya? Setelah apa yang ia lakukan selama ini?

Ayunda menundukkan kepala, jemarinya mencengkeram selimut dengan erat. “Tapi aku bersyukur masih memiliki kamu, Ardan,” katanya lirih. “Kamu satu-satunya yang ada di sini untukku.”

Ardan menelan ludah, rasa bersalahnya semakin menggunung. Tangannya terulur, ragu-ragu sebelum akhirnya dengan lembut menggenggam tangan Ayunda. “Aku akan selalu ada untukmu, Ayunda.”

Ayunda menatapnya, ada kehangatan dalam tatapannya yang polos. Ia tidak tahu apa yang tersembunyi di balik sikap Ardan. Ia tidak tahu rahasia besar yang selama ini disembunyikan pria itu.

Ardan tahu, suatu hari nanti kebenaran bisa saja terungkap. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin menjaga Ayunda, memastikan wanita itu merasa aman di sisinya. Dan mungkin, meski dengan cara yang salah, ia bisa menebus semua dosa yang telah ia perbuat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Usai Bangun dari Koma   Tamat

    Beberapa hari setelah liburan itu, tibalah waktunya Aluna dan Elvano mulai sekolah di tempat baru: sekolah internasional dengan program khusus bahasa Arab yang sudah didaftarkan oleh Dipta.Pagi itu, Aluna menyiapkan seragam barunya dengan tangan sedikit gemetar. Semua terasa asing: warna seragam, lambang sekolah, bahkan bau buku tulis barunya pun berbeda. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, menarik napas panjang sambil berbisik, “Nuna pasti bisa.”Dipta dan Ayunda ikut mengantar sampai gerbang sekolah. Elvano berusaha tampak santai, meski dari sorot matanya, Aluna tahu kakaknya juga gugup. “Jangan takut, Nuna. Kita sama-sama kok,” katanya, mencoba menguatkan.Begitu masuk ke lingkungan sekolah, suasana benar-benar berbeda. Anak-anak dari berbagai negara berjalan tergesa sambil berbicara dengan campuran bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ada yang berkulit putih, sawo matang, hingga hitam legam—semua bercampur di satu tempat yang penuh warna.Guru-guru menyambut mereka dengan ramah, me

  • Usai Bangun dari Koma   Australia

    Keesokan paginya, mereka berangkat lebih awal menuju bandara. Matahari baru saja terbit, cahayanya masih lembut menyinari jalanan. Koper-koper besar sudah dimasukkan ke dalam mobil, dan semua anggota keluarga tampak sedikit canggung, menyembunyikan rasa haru di balik senyum.Aluna duduk di kursi mobil sambil memeluk boneka beruang kecil pemberian Adam. Tatapannya kosong memandang keluar jendela, berusaha merekam setiap sudut jalan yang sudah begitu akrab di matanya. Sementara itu, Ayunda sesekali menoleh ke belakang memastikan anak-anaknya baik-baik saja. Elea duduk di pangkuan William, tampak masih mengantuk.Sesampainya di bandara, suasana menjadi semakin emosional. Beberapa kerabat yang ikut mengantar menahan air mata. Pelukan, doa, dan ucapan hati-hati terdengar silih berganti. Dipta mengusap bahu Aluna dan Elvano sambil berbisik, “Kita mulai perjalanan baru, Nak. Jangan takut.”Tak lama kemudian, mereka pun naik pesawat. Aluna memandangi jendela, melihat Indonesia perlahan mengec

  • Usai Bangun dari Koma   Aluna

    Mereka semua sudah sibuk mempacking barang-barang. Di sana, Dikta pun sudah mendapatkan tempat tinggal yang pas, nyaman, dan strategis untuk keluarganya. Ia tak mau jika sesampainya di Australia nanti keluarganya justru kesulitan. Dikta benar-benar memprioritaskan kenyamanan; menurutnya, itu adalah hal yang paling penting. Ia tak ingin anak-anak dan istrinya merasa tidak betah di tempat baru.“Anak-anak juga sudah aku daftarkan di sekolah internasional yang mengajarkan bahasa Arab. Semoga saja mereka bisa cepat beradaptasi dan belajar dengan baik,” ucap Dikta sambil menata dokumen penting di koper.Ayunda mempercayakan semua urusan itu kepada suaminya. Ia sendiri sibuk mengemas pakaian anak-anak, yang ternyata jumlahnya cukup banyak.Sementara itu, rumah mereka di Indonesia diserahkan kepada William untuk diurus. Bahkan, kalau William mau tinggal di sana pun tidak masalah, karena masih ada beberapa pembantu yang bertugas merawat rumah. Ayunda juga berpikir, mungkin suatu hari nanti si

  • Usai Bangun dari Koma   Adam Main

    Di detik-detik terakhir Aluna masih berada di Indonesia, Adam semakin berani mendekatinya. Bahkan sekarang Adam sudah memiliki nomor ponsel Aluna dan mereka kadang saling bertukar pesan singkat.Hari ini, Adam memberanikan diri untuk datang main ke rumah Aluna.Aluna tak menyangka saat melihat Adam muncul di depan pintu rumahnya. “Kak Adam? Kamu kok tiba-tiba ke sini?” tanyanya sedikit terkejut, tapi senyumnya tetap merekah.Adam menggaruk tengkuknya, sedikit gugup. “Hehe aku cuma mau ketemu sebelum kamu pindah. Boleh, kan?”Di ruang tamu, Ayunda juga ikut menyambut Adam. Dengan ramah, ia mengajak Adam duduk dan berbasa-basi menanyakan kabarnya.“Gimana keadaan Anggun sekarang, Dam?” tanya Ayunda hati-hati.Wajah Adam tampak sedikit suram. “Keadaannya masih sama, Tante Sepertinya kakak memang sudah benar-benar depresi. Kadang masih sering mengamuk. Sekarang masih dirawat intensif di rumah sakit jiwa,” jawabnya lirih.Ayunda mengangguk pelan, matanya memancarkan rasa prihatin yang mend

  • Usai Bangun dari Koma   Pertandingan Terakhir

    Sudah hampir satu minggu sejak kepergian Oma Ola, namun rasa kehilangan itu masih begitu terasa. Kadang, Elea masih sering menangis setiap kali ia masuk ke kamar Oma yang kini sunyi dan kosong.Aluna dan Elvano selalu berusaha menghiburnya, meski mereka sendiri juga masih merasakan duka yang sama.Ayunda yang juga masih diselimuti kesedihan, perlahan mencoba menguatkan diri. Ia merangkul bahu anak-anaknya, berusaha menanamkan keyakinan bahwa Oma Ola sekarang sudah bahagia di tempat yang lebih baik.Malam itu, mereka memilih duduk bersama di sofa panjang di ruang keluarga. Dipta duduk di sebelah Ayunda, menggenggam tangan istrinya erat, memberi isyarat bahwa ia selalu ada untuknya.Elea duduk di sebelah Aluna, sementara Elvano duduk di ujung, menatap keluarganya dalam diam. Suasana hening, tapi penuh kehangatan.Ayunda menghela napas panjang sebelum berkata dengan lembut, “Kalian harus ingat, ya kita ini keluarga, kita ini saudara. Jangan pernah ada yang saling menyakiti. Saudara itu h

  • Usai Bangun dari Koma   Meninggalkannya Oma

    Di rumah, Aluna, Elvano, dan Elea menyambut kedatangan ayah dan bunda mereka yang datang bersama Oma Ola.Akhirnya, seluruh drama itu selesai. Ayah mereka terbukti tidak berselingkuh dengan siapa pun, dan Anggun sudah ditemukan serta kini dirawat di rumah sakit. Hal tersebut membuat kakak beradik itu merasa sangat lega. Ketenangan yang sempat hilang akhirnya kembali menyelimuti keluarga mereka.Tadi, Adam juga sudah mengabari tentang kondisi Anggun yang benar-benar memprihatinkan. Elvano pun turut prihatin dengan apa yang menimpa kakak dari Adam tersebut.Begitu Ayunda dan Dipta sampai, ternyata mereka membawa kejutan untuk Elea. Sebuah kue tart cantik sudah disiapkan, lengkap dengan lilin bertuliskan angka 12.Elea tampak sangat senang. Matanya berbinar, senyumnya merekah lebar.Mereka langsung tersenyum dan kompak mengucapkan, “Selamat ulang tahun, Elea!”Elea menangkupkan tangan di dada, hampir tak percaya dengan kejutan kecil itu. “Makasih, Ayah, Bunda, Kakak-kakak,” ucapnya pela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status