[Gimana kondisi kamu sekarang? Udah baikan?]Alya membaca pesan dari Arfan tanpa berniat membalasnya. Bagaimanapun ia harus menjaga jarak, karena sekarang Arfan bukan siapa-siapanya lagi.Alya menghela napas dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Setelah Arfan dan mamanya pergi dari kamar hotelnya, Alya memang belum beranjak dari tempat tidur. Alya merasa napasnya dingin dan dan tubuhnya terasa amat ringan. Jadi, daripada pingsan, ia memilih untuk beristirahat beberapa saat. Sementara Aleta berada di tempat tidur kakek dan neneknya.Arfan memang menyediakan suite room untuk Alya, Aleta, dan kedua orang tua Alya. Yang di dalamnya ruangan besar itu terdapat satu king bed, dua singel bed, kamar mandi dengan fasilitas mewah, dapur, meja makan, serta in house movie yang mereka gunakan untuk menerima tamu. Jadi, meskipun berada di hotel, Aleta tidak merasa jenuh karena ruangan tersebut cukup luas dan dilengkapi fasilitas yang mewah.Beberapa saat setelah menerima pesan dari Arfan itu,
"Bentar, Ibu buka pintu dulu," pamit Bu Narti.Ternyata Prima yang datang sembari membawa sup ayam yang ia pikir adalah makanan kesukaan Alya. Biasanya Alya memakan sup ayam itu tanpa memberikan bumbu apa-apa lagi. Baik sambal, kecap, ataupun perasan jeruk nipis."Yah, aku telat, ya?" tanya Prima sembari berjalan mendekati Alya."Kenapa?" Alya menoleh ke arah laki-laki itu."Ini aku bawain sup ayam kesuka ...." Prima sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya saat melihat apa yang ada di depan Alya. "Loh, Al? Bukannya kamu enggak suka makan pedas?" Prima terheran-heran melihat Alya telah menghabiskan beberapa ceker ayam, lalu seblak yang tampak begitu pedas di mangkuk tinggal setengah, juga bakso berisi banyak cabe berwarna merah pedas telah terbelah dan belahannya sudah tidak ada lagi di mangkuknya yang artinya telah dimakan Alya.Alya memaksakan diri untuk tersenyum. "Lagi pingin aja. Sini, ayo makan bareng!"Prima duduk tanpa melepas tatapannya dari wajah Alya. Lima tahun ia mengenal
"Jadi kamu di sini sampai kapan?" tanya Prima setelah menidurkan Aleta. Meski belum memiliki anak sendiri, tetapi Prima sudah luwes dalam hal mengasuh anak. Karena selama ini ia memang sangat dekat dengan keponakan-keponakannya."Nunggu ada keputusan pengobatan Aleta mau gimana," jawab Alya.Prima langsung menggeser duduknya menghadap Alya. Mengambil bantal sofa lalu diletakkan di pangkuannya. "Emang siapa yang mutusin? Dokter?"Alya menggelengkan kepalanya."Terus? Arfan?"Alya menghela napas berat. "Kalau aja ... aku punya banyak uang ya, Prim?"Sekali lagi Alya menghela napas. Kali ini ia tersenyum miris. Ingin rasanya ia tertawa terbahak-bahak, menertawakan dirinya sendiri. Kadang ingin ia bertanya, apakah hidup memang setidak adil ini? Namun, mau bertanya seribu kali pun, tidak akan mengubah apa-apa."Emang mau Arfan gimana?"Alya menatap Prima cukup lama. Setelahnya ia menunduk baru menjawab, "Mamanya minta program bayi tabung di luar negeri.""Bayi tabung?" kejar Prima. "Kamu s
Prima menghela napas panjang. "Kalau gitu, kalian bisa nyaman, lah. Aleta juga pasti nyaman tinggal di sini beberapa hari.""Sebenarnya niat awalku juga ingin tinggal di rumah kamu. Tapi, ternyata Arfan udah nyiapin kamar ini. Dan Aleta seneng banget. Jadi, ya ... udah. Maaf, ya?" Alya merasa tidak enak dengan Prima. Pemuda itu begitu baik kepadanya dan keluarganya selama ini. Melihat raut wajah Prima yang seperti merasa kecewa membuat Alya merasa bersalah kepadanya."Enggak apa-apa santai aja."Alya dan Prima kontan menoleh ke arah pintu saat tiba-tiba terdengar pintu kamar Alya digedor-gedor. Kedua orang tua Alya yang sedang beristirahat di kamar mereka pun ikut keluar."Siapa, Al?" tanya Bu Narti.Alya menggelengkan kepalanya lalu menatap ke arah pintu lagi."Biar aku yang buka." Prima melangkah tegap menuju pintu kamar hotel Alya. Ia siap menghadapi orang yang menggedor-gedor pintu tanpa etika itu.Namun, baru saja Prima membuka pintu dan belum juga melihat siapa yang datang, ia l
"Enggak!" teriak Meira tanpa kendali.Aleta yang sedang tidur, amat terkejut mendengar teriakan Meira itu. Balita itu langsung terbangun dan menangis histeris karena ketakutan. "Mama ...!" Kontan Alya dan kedua orang tuanya langsung menoleh ke arah ruang tidur dimana Aleta berada. Bu Narti berlari tergopoh-gopoh untuk menghampiri cucunya. Pak Ihsan pun menyusul dengan alat bantu jalannya. Sementara Alya dan Arfan serta Prima, menatap penuh kebencian pada Meira. "Keterlaluan kamu, Mei!" geram Alya.Meira pun tidak menyangka jika teriakannya itu akan menimbulkan masalah seperti ini. Ia gelagapan dan tak bisa menjawab kata-kata Alya."Bawa dia pergi dari sini, Fan!" titah Alya dengan tatapan tak beralih sedikitpun dari Meira. "Kamu tenang aja, Mei! Setelah ini, kami akan pergi dari sini. Kamu enggak usah khawatir, aku enggak akan melakukan apa yang sudah kamu lakukan sama aku. Aku percaya, kuasa Tuhan itu ada." Alya menjeda ucapannya. "Jika ada manusia yang kamu sakiti, tapi dia engga
Alya tahu betul kalau Arfan sedang menyindirnya. Selalu seperti itu. Dan ternyata sampai detik ini sikap laki-laki itu sama sekali tidak berubah. Arfan tetap Arfan yang dulu, yang selalu cemburu saat Alya berkata akan ada kegiatan dengan teman laki-lakinya. Padahal itu untuk tugas kampus. Akan tetapi, laki-laki itu tidak akan pernah membiarkan Alya pergi tanpa pengawasannya.Memang hal-hal seperti itu yang justru membuat Alya teramat rindu. Sikap posesif Arfan yang tidak pernah Alya dapat dari siapapun lagi di dunia ini. Seolah-olah Tuhan menciptakan sikap itu memang khusus untuk Arfan."Aku enggak segila itu juga, Fan!" geram Alya. "Lah, barusan mau tinggal di rumahnya, kan?""Fan!" tegur Alya. "Kamu bisa bayangin enggak gimana rasanya jadi aku, jadi orang tuaku, jadi Aleta?" Alya sengaja berbicara dengan nada pelan, tetapi dengan penekanan yang mengena. Karena ia tahu, Arfan hanya bisa luluh dengan itu. "Kami, yang terbiasa hidup dengan tenang, damai, nyaman, tanpa pernah mendengar
Alya tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Arfan. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan. Meski bayang wajah Aleta terus menari di pelupuk matanya.Alya menghela napas berat. Ini pilihan teramat sulit untuknya. Namun, belum juga Alya menjawab, Pak Ihsan keluar dari ruang tidurnya dan duduk di samping Arfan."Nak Arfan, Bapak paham betul apa yang kalian berdua rasakan. Bapak juga merasakan hal yang sama." Pak Ihsan menghela napas berat. "Tapi ... untuk membahas soal pernikahan, kali ini ... Bapak rasa-rasanya tidak bisa mengizinkan kalian rujuk lagi.""Tapi, Pak?" potong Arfan."Iya, Bapak paham. Yang terpenting saat ini memang Aleta. Tapi ... bukan berarti untuk menyelamatkan Aleta, kita harus mengorbankan sesuatu yang baik-baik saja," jelas Pak Ihsan.Arfan dan Alya diam mendengarkan penuturan Pak Ihsan. Memang usia yang lebih matang menjadikan seseorang lebih bijaksana. Tidak lagi hanya mengandalkan emosi seperti yang dilakukan oleh Arfan."Berat bagi Bapak untuk melepas kembali a
"Aku mau, kita bikin perjanjian!" ucap Meira dengan tegas.Arfan membuka map yang diserahkan Meira lalu membaca isinya. "Gila!" umpat Arfan dalam hati.Tanpa kata Arfan menyerahkan kembali map tersebut pada Meira, lalu melenggang ke kamar. Tak peduli dengan para pengacara yang telah diundang Meira itu."Fan! Arfan!" seru Meira sembari mengejar suaminya itu. "Kita harus selesaikan masalah ini, Fan! Aku enggak mau kamu ombang-ambing kayak gini!"Saat tiga langkah lagi Arfan mencapai pintu kamarnya, laki-laki itu berhenti dan membalikkan badannya. "Aku enggak pernah minta kamu masuk dalam kehidupanku. Sama sekali!" tegas Arfan. "Jadi, sekarang aku mau kayak gimana, itu bukan urusan kamu!""Fan!" seru Meira tidak terima. "Aku istri kamu, Fan! Karena aku Alya enggak dipenjara. Sekarang setelah aku enggak ada guna buat kamu, kamu mau buang aku?"Meira menatap Arfan dengan nyalang. Ia benar-benar emosi pada lelaki di depannya itu. "Aku enggak main-main, Fan! Kalau kamu berani nikah lagi sama