USAI KEPUTUSAN CERAI
- Hilya Lelaki berwibawa itu berdiri tepat di hadapanku. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Buru-buru aku bangkit dari duduk. "Ya, Pak," ucapku sopan. Dadaku bergemuruh, apa mungkin ini hari terakhir aku bekerja di sini? "Saya suka perempuan ber-value sepertimu. Kerja baik-baik, Hilya." Ucapan singkat Pak Fadlan membuatku terkejut. Tak mengira sama sekali kalau Big Bos akan berkata seperti itu. Beliau memang sangat bijaksana sebagai pimpinan. Tapi bukankah Aruna itu menantunya? Apa nanti tindakannya ini tidak menimbulkan masalah dengan keluarga besan. Walaupun begitu aku lega. Kupikir Pak Fadlan akan memecatku, rupanya tidak. Alhamdulillah, aku masih bekerja. Mencari pekerjaan sekarang tidak gampang. "Eh, i-iya, Pak," jawabku gugup. "Terima kasih banyak dan maafkan atas kelancangan saya tadi." Pak Fadlan hanya tersenyum lantas melangkah pergi. Longgar sekali rasa dalam dadaku. Meski aku tahu ini bukan akhir dari kemelut, tapi setidaknya aku masih bisa bekerja. Aku menunduk, tersenyum samar dengan netra berkabut. Bayangan Rifky yang selalu ceria saat menyambutku pulang kerja, kembali menjelma di pepuk mata. Anakku. "Hilya," panggilan itu membuatku kembali kaget. Menyebabkan air mata luruh ke pipi dalam sekali kedipan. "Pak Tristan," ujarku seraya menghapus air mata dengan cekatan. Pria itu masih memandangku. Segera kuambil map yang ada di atas meja. Kemudian memberikan padanya. "Saya sudah membenahi laporannya, Pak." Lelaki itu membuka map. Meneliti setiap tulisan dan angka yang tertera di sana. Dia memang sangat jeli. Setiap apa yang dikerjakan oleh bawahannya, harus benar dan sempurna. "Pak, lebih baik saya dipindahkan saja ke divisi lain," ujarku lirih. Semoga staf di sekelilingku yang hanya tersekat papan setinggi dada orang dewasa tidak mendengar ucapanku. Sama sekali lelaki di hadapanku ini tidak merespon. Dia hanya memandangku sekilas kemudian kembali fokus ke berkas. Aku pun akhirnya diam. Daripada di dengar karyawan lain dan masalah bisa runyam. Jika ada kesempatan, aku akan bicara langsung saja pada Pak Fadlan. "Oke, ini kubawa." Tristan mengacungkan map sejenak, lantas melangkah pergi menuju ke ruangannya. Aku kembali duduk. Lega tapi tetap harus waspada dan berhati-hati. Orang kaya bisa berbuat apa saja dengan uangnya. Jangankan orang kaya, Arham saja tega mencampakkan perempuan yang sudah berkorban segalanya. Dia lupa bagaimana kami berdua sama-sama bangkit membina hidup dan karir. Lalu, lelaki mana yang bisa kupercaya sekarang? Perih kembali menghujam dada. ***L*** Aku tidak berselera makan siang itu. Meski Ani dan Ika menghiburku. "Jangan khawatir, Pak Fadlan orang bijak, Hil. Beliau nggak akan ngambil keputusan sembrono mecat kamu. Buktinya tadi. Beliau malah ngasih support ke kamu. Beliau pasti paham menantunya itu kayak gimana," kata Ani. "Santai saja, Hilya. Kalau Mbak Aruna ke kantor, nggak usah pedulikan. Lagian dia nggak setiap hari ke sini, kan?" ujar Ika. Aruna memang bekerja di kantor papanya sendiri. Perusahaan yang bekerjasama dengan Global Company, tempatku bekerja. Wanita itu sering bolak-balik antara kantor papanya dan kantor mertuanya. Di sini juga ada asistennya Aruna. "Ssttt, dia tuh 100 kurang 5%." Ika berbisik lirih. Membuat Ani terkekeh dan aku tersenyum getir. Aku bahagia, mempunyai sahabat yang selalu mendukungku. Menurutku Aruna tidak seperti itu. Dia bersikap semaunya sendiri karena punya uang dan kuasa. Sanggup melakukan apa yang ia inginkan. Merasa di atas angin karena mempunyai segalanya. Jadi dia begitu gampang merendahkan orang lain. Tidak punya sikap menghargai pada sesama. "Aku tahu kamu wanita yang strong, Hilya. Kalau aku diposisimu, mungkin sudah gila." ujar Ika di antara denting piring dan sendoknya. "Dikhianati, dicerai saat hamil, kehilangan ibu, dituduh jadi selingkuhan pula. Kuat banget kamu. Hatimu terbuat dari apa, sih?" lanjutnya. Aku tersenyum kecil. Bukan karena lucu, tapi karena kegetiran yang bahkan sudah tidak bisa kutangisi lagi. "Lelaki paling lucnut itu ya mantan suamimu. Udah ditemani kembali bangkit setelah sekarat, dibantu membangun karir, eh apa balasannya." Ika malah berapi-api hingga Ani menyuruhnya diam. Karena khawatir di dengar para karyawan yang sedang makan. Siang itu kantin ramai seperti biasa. Suara gelas beradu, piring diletakkan, dan obrolan karyawan bercampur menjadi satu. Aku pikir Mas Arham adalah lelaki yang berbeda. Aku pikir dia adalah rumah yang selama ini kucari. Kami bisa saling melengkapi dan menyembuhkan luka. Tapi ternyata dia sama saja. Kami masih sering bertemu karena ada Rifky. Teringat sekali saat pertama kali aku memeluk Rifky. Tubuhnya kecil, tangisannya pelan, seakan tahu ibunya sedang kelelahan. Aku masih ingat bagaimana malam-malam panjang yang kulewati sendirian, menyusui dalam gelap, menahan nyeri di sekujur tubuh setelah melahirkan. Hanya Mbak Asmi dan budhe yang menemaniku. Mas Arham baru datang setelah aku pulang dari rumah sakit. Memang sengaja dikabari setelah aku melahirkan. Setiap kali menatap Rifky, ada kebahagiaan yang sulit dijelaskan. Tapi di saat yang sama, ada luka yang begitu dalam. Dan sekarang, aku masih berdiri meski babak belur. Aku menghela napas panjang dan mencoba fokus pada makan siangku lagi. ***L*** From: Tristan Subject: Rapat Hilya, tolong ke ruang rapat sekarang. Kita bahas progres proyek kemarin. Aku mengembuskan napas pelan. Baru saja duduk sudah dipanggil. Apa dia tidak khawatir timbul fitnah baru. Aku menutup email lalu bangkit. "Aku ke ruang rapat dulu, An," pamitku pada Ani. "Hati-hati, Hil. Aku tahu kamu profesional. Tapi tidak dengan orang yang ingin membuatmu jatuh tersungkur." Sahabatku berkata lirih. Kujawab dengan anggukan kepala. "Hil, ini belum berganti hari. Kamu harus hati-hati." Ika berbisik setelah menghampiriku. Aku melangkah menuju ruang rapat dengan pikiran ke mana-mana. Bisa saja ini dimanfaatkan untuk menjatuhkanku oleh orang yang membenciku. Namun aku tidak peduli, aku sedang bekerja sekarang. Kubiarkan saja asistennya Aruna mencuri pandang padaku. Di depan ruang rapat, aku mengetuk pintu sebelum masuk. Tristan sudah ada di sana, duduk di ujung meja panjang dengan beberapa berkas di hadapannya. Kami tidak hanya berdua. Tapi di meja lain ada juga divisi perencanaan yang sedang meeting. Ruang rapat itu memang cukup besar. "Duduklah," katanya tanpa mengangkat kepala. Aku menarik kursi dan duduk, menyiapkan buku catatan dan tablet di tangan. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Tristan belum mengatakan apa-apa. Aku meliriknya sekilas dan saat itulah kami berpandangan. Tatapan yang membuatku tidak nyaman. "Ada yang perlu kita bahas, Pak Tristan?" tanyaku sopan. Dia serius memandangku. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya tiba-tiba. "Apa setelah peristiwa pagi ini bisa dikatakan saya baik-baik saja, Pak?" Hening. "Pindahin saja saya ke divisi lain." "Saya nggak sebodoh Arham. Demi beling dia melepaskan berlian sepertimu. Jadi saya nggak ingin kehilangan staf potensial seperti kamu. Tidak ada acara pindah ke divisi lain," ujarnya tenang. Seolah permasalahan pagi tadi tak bermakna apa-apa baginya. Tapi bisa menjadi bencana bagiku. Lelaki itu sangat serius memandangku. Next .... Selamat membaca 🥰Pak Umar benar-benar terharu pada orang-orang muda yang sungguh bijaksana menyikapi kenyataan. Berpuluh tahun terakhir ini, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan sedalam itu. Mungkinkah ini kebahagiaan terakhir yang ia kecap. Usia makin senja, tidak tahu kapan akan kembali ke haribaan-Nya.Setidaknya dia sudah pernah merasa sebahagia ini dan merasa sangat dihargai. Bisa bertemu kembali dengan anak-anak yang dulu dikhianati.🖤LS🖤"Hai, Baby Cantik." Aruna menyentuh lembut pipi Aurora yang digendong oleh Hilya. Malam itu dari rumah Mbak Asmi, Bre langsung mengajak istri dan anak perempuannya ke sebuah kafe, di mana ia janji ketemuan dengan Tristan. Mak As tidak ikut. Dia akan menjaga anak-anak di rumah Mbak Asmi. Khawatir Mbak Asmi dan Ustadz Izam kewalahan.Ganti Hilya mengusap pelan lengan Hasby. "Tambah gemoy aja Hasby.""Iya. Kuat banget nyemilnya.""Adek." Hasby yang berusia dua tahun berusaha menggapai Aurora. Sejak tadi todler itu memang memperhatikan Aurora yang digendong bu
Begitu Hilya mengajak putrinya keluar ruangan, Bre merebahkan diri di karpet yang sudah kosong oleh mainan. Tiba-tiba Rifky dan Rafka kembali menubruk dan memeluknya. Bre pura-pura mengerang, "Aduh ... dua raksasa kecil menyerang Papa!"Dua bocah terbahak-bahak. Malah tambah antusias menggoda papanya. Mereka kembali bercanda dan berebut perhatian.Suara di ruang bermain menarik perhatian Hilya yang duduk di sofa sambil menyusui Aurora. Ada kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebuah kebahagiaan yang mahal harganya.Dan di pagi yang dingin itu, di tengah kesibukan mengurus suami dan anak-anak, Hilya merasa menjadi manusia paling kaya di dunia karena memiliki mereka.🖤LS🖤Jam sebelas siang, Bre sekeluarga berangkat ke Malang. Mak As juga ikut. Dalam perjalanan anak-anak tertidur semua karena kecapekan bermain tadi.Mereka langsung ke bandara untuk menjemput Pak Umar. Sudah hampir dua tahun tidak bertemu. Bre bolak-balik menawari membelikan tiket, tapi Pak Umar yang tid
USAI KEPUTUSAN CERAI - Extra PartMalang, di bulan Juli.Kabut tipis dan hawa dingin masih memeluk kota, menyusup hingga ke sela-sela jendela di pagi itu. Harum kopi yang baru saja diseduh, menebar aromanya ke seluruh penjuru rumah. Di ruang bermain berukuran lima kali empat meter, kekacauan kecil berlangsung. Mainan warna-warni berserakan seolah baru saja diterjang badai. Robot-robot berbaring terlentang karena habis dicampakkan pemiliknya, mobil-mobilan terguling, balok-balok kayu berhamburan, dan lego berserakan. Namun tawa dua bocah laki-laki, Rifky dan Rafka, membuat segala kekacauan itu terasa lebih sempurna."Rafka, ayo dorong mobil balapmu lebih kenceng!" teriak Rifky, matanya berbinar penuh semangat."Iya," jawab Rafka seraya mendorong mobil yang dipegangnya lebih kuat. Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal, berlomba mendorong mobil-mobilan sepanjang karpet warna pastel yang penuh oleh mainan yang berserak.Sementara itu di sudut ruangan, baby Aurora duduk manis di atas
Pak Umar tambah terkejut, tapi ada binar di matanya. Apa tamunya itu tetangga anaknya. "Apa kamu tetangganya Asmi?""Bukan, Pak. Kenalkan nama saya Arham. Saya papa kandungnya Rifky."Kali ini Pak Umar terkesiap. Memandang Arham lekat-lekat, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. Jadi, dialah lelaki yang pernah menjadi suami putrinya. Yang mengkhianati Hilya seperti yang telah dilakukannya dulu.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling diam, membiarkan angin pagi menjadi saksi ketegangan yang merayap di antara mereka."Jadi, kamu ayah kandungnya Rifky?"Arham mengangguk. "Saya dulu suami Hilya, Pak. Kami berpisah sebelum Rifky lahir."Pak Umar menyandarkan tubuh ke kursi. Akhirnya dia bertemu juga dengan mantan menantu yang tidak pernah dikenalnya. Hilya tidak pernah cerita atau menunjukkan foto mantan suaminya. Padahal dua tahun yang lalu mereka juga bertemu. Bre mengirimkan tiket supaya dia bisa ke Surabaya bertemu keluarganya.Arham menyalami Pak Umar dan mencium tangannya.
Arham terhenti sejenak. Satu kejutan ia dapatkan ketika beberapa saat memulai hubungan. Sekat itu terasa. Persis ketika malam pertamanya dengan Hilya. Namun Agatha terlihat biasa, sedangkan Hilya menunjukkan rasa tidak nyaman karena rasa sakit.Hal mengejutkan itu Arham simpan sampai mereka selesai melakukannya. Benarkah istrinya masih perawan? Yang dia nikahi padahal seorang janda. Memang tidak ada darah yang keluar seperti halnya Hilya dulu. Tapi Arham tidak mungkin salah merasakannya. Lelaki itu mengecup istrinya sambil berkata, "Boleh aku tanya sesuatu?"Agatha memandang sang suami dengan wajah lelah. Keringat membasahi pelipis. Baru kali ini dia merasakan bagaimana berhubungan suami istri yang dulu hanya sekedar angan, akhirnya pupus setelah Bre memutuskan untuk bercerai. "Tanya apa, Mas?""Yang kunikahi perawan atau janda?""Janda yang masih perawan," jawab Agatha dengan cepat. "Kamu kaget, Mas?""Ada apa dengan pernikahanmu bersama Bre waktu itu?" tanya Arham dengan nada pelan
USAI KEPUTUSAN CERAI- Perawan Author's POV Arham masih memperhatikan Pak Umar yang tengah membaca surat kabar. Di zaman canggih begini, lelaki itu tetap setia dengan media cetak. Beberapa menit kemudian, dari dalam rumah muncul seorang wanita dengan kursi rodanya. Menghampiri Pak Umar yang akhirnya meletakkan koran di atas meja. Kemudian mereka berbincang. Entah bicara apa, Arham tidak bisa mendengarnya.Mungkin bukan sekarang. Nanti saja kalau ada kesempatan, ia akan bicara dengan Pak Umar. Sepertinya lelaki itu pemilik rumah makan ini. Gampang untuk mencarinya nanti. Dia juga harus memberitahu Agatha terlebih dulu. Biar istrinya tidak kaget.Jika sekarang menghindar pun, bisa jadi suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali. Kemungkinan itu sangat besar. Sebab cucu Pak Umar adalah anaknya."Kenapa, Mas?" Agatha heran melihat Arham terdiam."Nggak apa-apa. Nanti kalau sudah sampai di hotel, ada yang ingin kuceritakan.""Ya." Agatha mengangguk dengan perasaan penasaran. Arham yan