Share

8. Cemas

last update Last Updated: 2025-02-08 16:38:08

USAI KEPUTUSAN CERAI

- Cemas

"Jangan pandangi saya seperti itu, Pak. Tatapan Pak Tristan bisa menimbulkan banyak masalah bagi saya," ujarku pelan tapi penuh penekanan.

"Saya tidak ingin permasalahan pagi tadi berkelanjutan," lanjutku memohon. Karena aku capek sekali dengan banyaknya permasalahan dalam hidupku.

Tristan mengatai Mas Arham, apa ia tidak sadar kalau dirinya juga hampir seperti mantanku itu. Punya istri tapi menggoda perempuan lain. Janda pula itu.

"Kalau kita saling menghindar. Malah dikira kita memang ada hubungan. Santai saja." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Spontan aku menarik diri ke belakang. Kemudian memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada yang melihat ke arah kami.

"Pak Tristan, bisa saja santai tapi imbasnya ke saya. Tolonglah saya di sini untuk bekerja. Saya single mom, tolong hargai saya." Baru kali ini aku benar-benar memohon pada pria itu. Tak mengapa demi tetap bertahan kerja karena aku belum siap mencari pekerjaan lainnya. Di sini gaji bagus dan dekat dengan rumah.

Aku tidak butuh simpati. Aku hanya ingin hidupku kembali berjalan seperti biasa. Tenang dan nyaman.

"Arham nggak ngurusi anaknya?"

"Masih. Tapi saya juga ada tanggung jawab lainnya. Tolong jangan mempersulit permasalahan saya. Kalau Pak Tristan tidak bisa memindahkan saya, biar saya bicara langsung pada Pak Fadlan."

Lelaki dihadapanku terdiam beberapa saat. Kemudian membuka berkas. "Kita bahas mengenai projek dan laporanmu tadi pagi," ujarnya mengalihkan topik pembicaraan.

Tristan memang kenal baik dengan Mas Arham. Mereka dipertemukan dalam urusan pekerjaan. Projek yang berulangkali ditangani bersama.

Maka tak heran, Tristan tahu semua permasalahanku dengan Mas Arham.

Ketika aku tengah serius memperhatikan pembicaraan kami, ponsel di saku baju kerjaku berdering. Namun kuabaikan.

"Angkat dulu teleponmu daripada mengganggu pembahasan kerja," ujar Tristan tampak terganggu karena ponselku kembali berdering.

Mbak Asmi menelepon. Ada apa? Jantungku berdebar kencang. Khawatir terjadi sesuatu di rumah. Tak biasanya dia menelepon di jam kerja. Untuk memberitahu tentang sesuatu, cukup mengirimkan pesan.

"Ya, Mbak. Aku lagi meeting sama bos," jawabku lirih.

"Rifky demam tinggi, Hil. Sampai 40°. Sekarang mbak bawa ke klinik dan dokter bilang harus opname."

Aku mematung dan tanganku gemetar. Perlahan tubuhku lemas.

"Tapi kamu jangan khawatir. Ini sudah diinfus dan Rifky nggak rewel. Dia masih mau ngemil ini. Mbak hanya ngasih tahu kamu. Nanti sepulang kerja, langsung saja ke klinik Harapan Medika."

"Oh, iya."

Mbak Asmi menyudahi panggilan. Degup jantungku masih berpacu hebat. Rifky. Kupikir dia sudah baik-baik saja setelah minum obat tadi pagi sebelum aku berangkat kerja. Memang sejak kemarin pagi, anak itu meriang.

"Ada apa?" tanya Tristan.

"Tidak ada apa-apa, Pak. Mari kita lanjutkan pembicaraan tadi supaya lekas selesai," jawabku setenang mungkin.

"Pulanglah! Anakmu sakit, kan?"

Rupanya dia menguping pembicaraanku. Padahal aku sudah berkata lirih dan menutupi dengan tangan.

"Tidak usah, Pak. Rifky sudah ditangani sama dokter." Aku kembali fokus pada berkas. Namun lelaki itu spontan menutup berkasku. "Kamu pulang saja. Kita bisa melanjutkannya besok."

Tristan memandangku. Beberapa detik kemudian aku mengangguk. "Terima kasih, Pak." Aku memberesi berkas dan membawa tablet kembali ke meja kerja.

Saat merapikan mejaku, Ani menghampiri. "Kamu mau ke mana?"

"Anakku opname di klinik, An. Aku pulang dulu. Pak Tristan sudah ngasih izin."

"Rifky sakit apa?" Ani terlihat kaget dan cemas.

"Demam. Aku pulang dulu, ya."

"Ya, hati-hati bawa motornya. Semoga Rifky lekas sembuh."

"Aamiin."

Aku bergegas melangkah melewati para staf yang sibuk. Mereka tampak kaget dan bingung melihatku tergesa. Mungkin ada yang mengira kalau aku diberhentikan kerja.

Saat masih mengenakan jaket di dekat motor, tiba-tiba ada yang menghampiriku. Aroma parfum mahalnya terhidu dipenciuman. Aku menoleh ke belakang.

Wanita cantik itu bersedekap memperhatikan. Wajahnya tampak puas melihatku pulang sebelum jam kerja usai. Apa dia juga berpikir kalau aku dipecat?

Aruna pasti sudah tahu kalau aku tadi di sidang di ruangan Big Bos. Tahu tentang kekisruhan di ruang kerja. Pasti asistennya yang memberikan laporan.

"Hmm, rupanya ini hari terakhir kamu kerja di sini," ujarnya sinis. "Kalau dapat pekerjaan baru, baik-baik ya kamu di sana. Jangan menggoda bos dan suami orang lagi," lanjutnya yang terdengar begitu menyakitkan.

Aku memakai helm dan mengabaikan ucapannya. Tidak ada waktu untuk meladeni. Terserah dia mau bilang apa aku tidak peduli. Yang berkuasa di sini adalah Pak Fadlan dan Tristan. Aku akan lebih mendengarkan mereka daripada Aruna. Meski dia menantu di perusahaan ini.

Senyum wanita itu kian lebar saat melihatku pergi tanpa kata-kata. Dia mungkin merasa menang karena telah berhasil membuatku dibuang. Bodo amat, Aruna. Hanya membuang waktu untuk meladenimu.

Motor kupacu cepat di tengah terik matahari yang mulai condong ke barat. Musim kemarau yang membakar bumi.

Aku berhenti sejenak di toko mainan. Membeli helikopter mainan kesukaan Rifky. Supaya dia senang dan lekas sembuh.

Sesampainya di klinik aku melangkah cepat menuju kamar perawatannya. Saat pintu kubuka perlahan, Mbak Asmi meletakkan telunjuknya di depan bibir. Rupanya Rifky sedang tertidur.

Yazid yang tengah duduk membaca buku lekas berdiri dan mencium tanganku. Dia masih memakai seragam sekolah.

"Panasnya sudah turun, Mbak?" tanyaku lirih.

"Alhamdulillah, sudah. Hasil tes darahnya hanya menunjukkan trombosit turun. Tapi untuk DB dan typusnya negatif. Mungkin karena radang juga, kemarin Rifky bilang tenggorokannya sakit, kan?"

Aku mengangguk.

"Tadi panas banget sampai mbak panik, Hil. Tapi Rifky masih berlari menyambut kakaknya pulang sekolah. Setelah mbak gendong, suhu tubuhnya tinggi banget. Akhirnya mbak bawa ke klinik. Yazid yang megangin adiknya waktu mbak boceng." Cerita Mbak Asmi membuat mataku memanas. Terharu sekaligus lega. Andai tanpa mereka, aku bisa apa.

Kutarik kursi dan duduk tepat di sebelah tempat tidur Rifky. Aku hanya memandanginya. Khawatir kalau kusentuh, dia bakalan terbangun.

"Arham dikabari, nggak?" tanya Mbak Asmi. Sebab dia yang mempunyai nomor ponsel mantan suamiku itu. Sudah lama nomernya kublokir. Jadi kalau ada apa-apa, Mas Arham bertanya pada Mbak Asmi.

"Nggak usah, Mbak."

"Kalau gitu mbak tinggal pulang dulu. Biar Yazid ganti baju sekalian mandi dan langsung kembali ke sini."

"Ya." Aku mengangguk. "Bawakan baju ganti untukku."

Mbak Asmi mengiyakan lantas mengajak anaknya pulang.

Air mataku berjatuhan saat memandang tubuh kecil yang terbaring dengan selang infus di tangannya. Bibirnya kemerahan dan terlihat agak kering.

Wajah itu milik Mas Arham semua. Seolah ingin menunjukkan pada dunia dan membungkam suara-suara sumbang dari orang yang menyudutkan dan menghakimiku kala itu.

"Baru juga cerai, sekarang malah hamil sama lelaki lain."

"Bisa jadi yang dikandung itu bukan anak suaminya. Makanya dicerai. Arham loh kalem, ramah, dan nggak neko-neko."

Ya, orang melihat Mas Arham memang sebaik itu. Benar yang dikatakan orang, istrilah yang paling tahu siapa suaminya daripada ibu, saudara-saudaranya, apalagi orang lain.

Tapi mulut-mulut itu sekarang bungkam setelah melihat Rifky adalah versi kecil dari papanya.

Wajah Rifky memang bisa membungkam mulut orang-orang, tapi setiap hari aku selalu berhadapan dengan duplikat sosok yang menghancurkan hati dan perasaanku.

Rifky anakku. Aku akan mencintai dan melakukan apapun demi kebahagiaannya.

Lamunaku terhenti ketika ponsel dalam tas berdenting.

[Bagaimana keadaan Rifky?]

Next ....

Selamat Membaca.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (14)
goodnovel comment avatar
Akbar
ko aku mewek ya ......
goodnovel comment avatar
Rohana
hadeeeh aruna nyebelin bangett
goodnovel comment avatar
Aminah Adjaa
nyiiiiiiiiiiiiimaaaak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Usai Keputusan Cerai   219. Extra Part 3

    Pak Umar benar-benar terharu pada orang-orang muda yang sungguh bijaksana menyikapi kenyataan. Berpuluh tahun terakhir ini, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan sedalam itu. Mungkinkah ini kebahagiaan terakhir yang ia kecap. Usia makin senja, tidak tahu kapan akan kembali ke haribaan-Nya.Setidaknya dia sudah pernah merasa sebahagia ini dan merasa sangat dihargai. Bisa bertemu kembali dengan anak-anak yang dulu dikhianati.🖤LS🖤"Hai, Baby Cantik." Aruna menyentuh lembut pipi Aurora yang digendong oleh Hilya. Malam itu dari rumah Mbak Asmi, Bre langsung mengajak istri dan anak perempuannya ke sebuah kafe, di mana ia janji ketemuan dengan Tristan. Mak As tidak ikut. Dia akan menjaga anak-anak di rumah Mbak Asmi. Khawatir Mbak Asmi dan Ustadz Izam kewalahan.Ganti Hilya mengusap pelan lengan Hasby. "Tambah gemoy aja Hasby.""Iya. Kuat banget nyemilnya.""Adek." Hasby yang berusia dua tahun berusaha menggapai Aurora. Sejak tadi todler itu memang memperhatikan Aurora yang digendong bu

  • Usai Keputusan Cerai   218. Extra Part 2

    Begitu Hilya mengajak putrinya keluar ruangan, Bre merebahkan diri di karpet yang sudah kosong oleh mainan. Tiba-tiba Rifky dan Rafka kembali menubruk dan memeluknya. Bre pura-pura mengerang, "Aduh ... dua raksasa kecil menyerang Papa!"Dua bocah terbahak-bahak. Malah tambah antusias menggoda papanya. Mereka kembali bercanda dan berebut perhatian.Suara di ruang bermain menarik perhatian Hilya yang duduk di sofa sambil menyusui Aurora. Ada kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebuah kebahagiaan yang mahal harganya.Dan di pagi yang dingin itu, di tengah kesibukan mengurus suami dan anak-anak, Hilya merasa menjadi manusia paling kaya di dunia karena memiliki mereka.🖤LS🖤Jam sebelas siang, Bre sekeluarga berangkat ke Malang. Mak As juga ikut. Dalam perjalanan anak-anak tertidur semua karena kecapekan bermain tadi.Mereka langsung ke bandara untuk menjemput Pak Umar. Sudah hampir dua tahun tidak bertemu. Bre bolak-balik menawari membelikan tiket, tapi Pak Umar yang tid

  • Usai Keputusan Cerai   217. Extra Part 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI - Extra PartMalang, di bulan Juli.Kabut tipis dan hawa dingin masih memeluk kota, menyusup hingga ke sela-sela jendela di pagi itu. Harum kopi yang baru saja diseduh, menebar aromanya ke seluruh penjuru rumah. Di ruang bermain berukuran lima kali empat meter, kekacauan kecil berlangsung. Mainan warna-warni berserakan seolah baru saja diterjang badai. Robot-robot berbaring terlentang karena habis dicampakkan pemiliknya, mobil-mobilan terguling, balok-balok kayu berhamburan, dan lego berserakan. Namun tawa dua bocah laki-laki, Rifky dan Rafka, membuat segala kekacauan itu terasa lebih sempurna."Rafka, ayo dorong mobil balapmu lebih kenceng!" teriak Rifky, matanya berbinar penuh semangat."Iya," jawab Rafka seraya mendorong mobil yang dipegangnya lebih kuat. Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal, berlomba mendorong mobil-mobilan sepanjang karpet warna pastel yang penuh oleh mainan yang berserak.Sementara itu di sudut ruangan, baby Aurora duduk manis di atas

  • Usai Keputusan Cerai   216. Perawan 3

    Pak Umar tambah terkejut, tapi ada binar di matanya. Apa tamunya itu tetangga anaknya. "Apa kamu tetangganya Asmi?""Bukan, Pak. Kenalkan nama saya Arham. Saya papa kandungnya Rifky."Kali ini Pak Umar terkesiap. Memandang Arham lekat-lekat, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. Jadi, dialah lelaki yang pernah menjadi suami putrinya. Yang mengkhianati Hilya seperti yang telah dilakukannya dulu.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling diam, membiarkan angin pagi menjadi saksi ketegangan yang merayap di antara mereka."Jadi, kamu ayah kandungnya Rifky?"Arham mengangguk. "Saya dulu suami Hilya, Pak. Kami berpisah sebelum Rifky lahir."Pak Umar menyandarkan tubuh ke kursi. Akhirnya dia bertemu juga dengan mantan menantu yang tidak pernah dikenalnya. Hilya tidak pernah cerita atau menunjukkan foto mantan suaminya. Padahal dua tahun yang lalu mereka juga bertemu. Bre mengirimkan tiket supaya dia bisa ke Surabaya bertemu keluarganya.Arham menyalami Pak Umar dan mencium tangannya.

  • Usai Keputusan Cerai   215. Perawan 2

    Arham terhenti sejenak. Satu kejutan ia dapatkan ketika beberapa saat memulai hubungan. Sekat itu terasa. Persis ketika malam pertamanya dengan Hilya. Namun Agatha terlihat biasa, sedangkan Hilya menunjukkan rasa tidak nyaman karena rasa sakit.Hal mengejutkan itu Arham simpan sampai mereka selesai melakukannya. Benarkah istrinya masih perawan? Yang dia nikahi padahal seorang janda. Memang tidak ada darah yang keluar seperti halnya Hilya dulu. Tapi Arham tidak mungkin salah merasakannya. Lelaki itu mengecup istrinya sambil berkata, "Boleh aku tanya sesuatu?"Agatha memandang sang suami dengan wajah lelah. Keringat membasahi pelipis. Baru kali ini dia merasakan bagaimana berhubungan suami istri yang dulu hanya sekedar angan, akhirnya pupus setelah Bre memutuskan untuk bercerai. "Tanya apa, Mas?""Yang kunikahi perawan atau janda?""Janda yang masih perawan," jawab Agatha dengan cepat. "Kamu kaget, Mas?""Ada apa dengan pernikahanmu bersama Bre waktu itu?" tanya Arham dengan nada pelan

  • Usai Keputusan Cerai   214. Perawan 1

    USAI KEPUTUSAN CERAI- Perawan Author's POV Arham masih memperhatikan Pak Umar yang tengah membaca surat kabar. Di zaman canggih begini, lelaki itu tetap setia dengan media cetak. Beberapa menit kemudian, dari dalam rumah muncul seorang wanita dengan kursi rodanya. Menghampiri Pak Umar yang akhirnya meletakkan koran di atas meja. Kemudian mereka berbincang. Entah bicara apa, Arham tidak bisa mendengarnya.Mungkin bukan sekarang. Nanti saja kalau ada kesempatan, ia akan bicara dengan Pak Umar. Sepertinya lelaki itu pemilik rumah makan ini. Gampang untuk mencarinya nanti. Dia juga harus memberitahu Agatha terlebih dulu. Biar istrinya tidak kaget.Jika sekarang menghindar pun, bisa jadi suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali. Kemungkinan itu sangat besar. Sebab cucu Pak Umar adalah anaknya."Kenapa, Mas?" Agatha heran melihat Arham terdiam."Nggak apa-apa. Nanti kalau sudah sampai di hotel, ada yang ingin kuceritakan.""Ya." Agatha mengangguk dengan perasaan penasaran. Arham yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status