USAI KEPUTUSAN CERAI
- Maafkan Bunda Duh, Tristan ini memang cari masalah. Bukankah bininya ada di kantor tadi? Maunya apa sih. Dia sama saja kayak Arham. Kuletakkan ponsel di atas meja. Membalas pesannya hanya akan menciptakan permasalahan makin ke mana-mana. Kembali kupandangi Rifky yang terlelap. Selang infus menancap di lengannya yang kecil, membuat hatiku perih. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang sesak. Tangan kecil Rifky kusentuh pelan. "Sembuh, ya, Nak," bisikku. Ponsel kembali bergetar di atas meja. Lagi-lagi nama Tristan muncul di layar. Kali ini dia menelepon. Nekat sekali orang ini. Aku mengabaikannya. Lalu menekan tombol 'silent' dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar suara siapa pun saat ini. Rifky menggerakkan jemari, tubuhnya menggeliat pelan. Aku langsung mendekat, menelusuri wajah mungilnya yang mulai bergerak. Matanya terbuka tampak sayu. "Unda," suaranya serak. "Iya, Sayang. Bunda di sini." Aku tersenyum. Dia menatap sekeliling, lalu menoleh padaku. Diam sejenak, lalu melihat ke tangannya yang terpasang selang infus. Aku tersenyum dan membelai kepalanya. "Nanti kalau Rifky sudah sehat, dokter akan melepaskannya. Rifky lekas sembuh, ya." Bocah itu menangis. Perlahan aku mengangkatnya dan menggendong. Dia sepertinya takut karena tangan kecilnya terbalut perban putih untuk mengikat supaya jarum dan selang infusnya tidak bergerak-gerak. Rifky meletakkan dagunya di pundakku dan kulitnya yang bersentuhan denganku terasa hangat. Diam-diam aku meneteskan air mata. Dia kalau sakit masih bisa bermain. Setelah minum obat dua tiga kali pasti sembuh. Namun kali ini harus opname. Kuhapus air mata saat Rifky memandangku. "Papa mana?" tanyanya tiba-tiba. Aku terdiam. "Papa, Unda." Rifky menatapku dengan mata sayu yang penuh harapan. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan suara yang tiba-tiba terasa berat. "Papa kan sibuk kerja. Di sini ada Bunda dan Budhe." Ekspresi Rifky terlihat kecewa. Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Kalau boleh memilih, aku tidak ingin Rifky sibuk menanyakan papanya. Cukuplah ada aku saja untuk dia. Maafkan Bunda, Nak. "Papa, Unda," ujarnya lagi. Jantungku seperti diremas. Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin memberinya alasan yang bisa dimengerti oleh seorang anak kecil usia dua tahun, tapi tidak ada satu pun kata yang terasa tepat. Rifky masih menatapku, menunggu jawaban. Akhirnya aku menarik napas dan mencoba tersenyum. "Eh, tadi Bunda beliin helikopter buat Rifky. Yuk, kita buka." Aku dudukkan Rifky dengan pelan di atas ranjang. Tubuhnya terasa masih gemetar. Lalu kukeluarkan mainan dari dalam kotaknya. Tatapan Rifky langsung berbinar. Helikopter berwarna putih dan hitam itu dipeluknya sambil berbaring. Dia bahagia memandangi mainannya. Air mata yang kutahan-tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dicegah. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa rapuh. ***L*** Jam tujuh malam Ani datang bersama suami dan anak perempuannya yang berusia tiga tahun. Disusul oleh Ika dan suaminya. Mereka benar-benar support terbaikku setelah Mbak Asmi. Anak-anak bermain dengan riang di temani oleh Mbak Asmi. Sementara aku duduk ngobrol dengan Ani dan Ika. "Papanya nggak kamu kabari?" tanya Ani lirih. "Nggak." "Rifky nggak nanyain tentang papanya. Biasa anak kecil kalau sakit pengen ditunggui papa dan bundanya," sahut Ika. "Ya, Rifky juga tanya tadi. Tapi aku bujuk." Ponsel di dekatku berpendar. Kali ini Tristan menelepon. Spontan ku-reject tanpa menunggu lama. "Wow, Pak Tristan meneleponmu. Nekat banget si bos ini, Hil," kata Ika. "Sejak siang tadi nggak kubalas dan kuterima teleponnya. Dia nanyain kabarnya Rifky. Males banget aku sama lelaki model-model kayak gini," ujarku seraya memadamkan ponsel. Biar tidak di telepon lagi. "Dia beneran suka sama kamu." Ani memandangku. "Padahal sudah punya istri yang cantik dan kaya," lanjut Ika. "Kamu pikir perempuan seperti itu cukup buat lelaki seperti Pak Tristan. Lelaki sukses itu menginginkan perempuan yang cerdas, mindset bagus, punya skill dan ber-value. Bukan hanya wanita yang bisa dandan dan bergaya saja. Jalan-jalan, traveling sesuka hati mentang-mentang punya uang sendiri." "Lalu untuk apa dia menikahi Aruna, kalau bukan seleranya," sergah Ika. "Mereka kan dijodohkan. Orang-orang kaya biasa mengatur pernikahan anak-anaknya demi kepentingan bisnis," jawab Ani. Aku diam. Bosan sekali mendengar hal begini. Tidak penting bagiku. Tapi aku sangat menghargai mereka yang datang membesuk Rifky. Anakku pun senang karena ada yang peduli. Supaya dia tidak menanyakan tentang papanya lagi. ***L*** "Kamu kerja saja nggak apa-apa. Biar mbak yang jagain Rifky. Dia udah nggak demam lagi. Kata perawat tadi malam, besok Rifky sudah boleh pulang kalau hari ini trombositnya naik." Mbak Asmi berkata setelah aku selesai salat subuh. Rifky masih tertidur pulas. Semalaman dia minta gendong. Pengen dimanja. Memang setiap hari dia lebih banyak bersama Mbak Asmi daripada denganku. "Nggak usah cemas. Rifky baik-baik saja." "Baiklah, Mbak. Kalau gitu aku masuk kerja ya hari ini." Mbak Asmi mengangguk. Setelah Yazid terbangun, aku mengajaknya pulang. Mandi dan bersiap-siap. "Kak, nanti langsung pulang ke rumah Mbah Par saja, ya. Sore setelah tante pulang kerja, tante jemput ke sana dan kita langsung ke klinik." Mbah Par itu budhe. Kakak sulung ibu yang sudah sepuh. "Yazid di rumah saja, Tan. Berani kok. Yazid janji nggak akan ke mana-mana. Nunggu sampe Tante Hilya pulang," tolak ponakanku. "Terus kamu nanti makan siangnya gimana?" "Aku bisa beli nasi uduk di warung dekat sekolah." "Baiklah." Aku memberi Yazid uang saku. Bocah itu langsung pamit berangkat ke sekolah naik sepeda. Kuperhatikan hingga dia keluar dari pintu pagar. Sejenak aku termangu. Dalam kondisi kami seperti ini, aku sangat bersyukur, anak-anak tumbuh menjadi penurut dan tidak nakal. Bahkan Yazid sudah bisa momong Rifky kalau Mbak Asmi sibuk di toko atau memasak. Rifky masih dinafkahi papanya, sedangkan Yazid? Segera aku bersiap-siap lalu berangkat kerja. Sampai kantor nyaris terlambat. Di parkiran sudah sepi dan kendaraan karyawan sudah berjajar di sana semua. Oh, aku yang paling terakhir tiba. "Kutunggu di ruanganku, Hilya." Aku langsung menoleh mendengar suara itu. Ternyata Tristan yang sudah berbalik dan melangkah pergi. Kuambil map dan tablet di meja kerja, tanpa menyapa Ani yang memandangku heran. Mungkin dia pikir aku tidak akan masuk kerja karena menunggui Rifky di klinik. "Kenapa nggak membalas pesanku kemarin?" tanya Tristan tanpa memandangku yang duduk di hadapannya. "Anakku baik-baik saja, Pak. Sudah saya bilang kemarin, sebaiknya Pak Tristan dan saya tidak usah berkomunikasi selain urusan kerja. Saya tidak mau ada masalah lagi," jawabku seraya membuka berkas. "Saya peduli sama kalian." Lelaki ini memang nekat. "Yang saya butuhkan di sini hanya kerja dan gajian, Pak. Untuk urusan pribadi masing-masing tidak etis rasanya saling ikut campur." "Saya pimpinan di sini dan wajar kalau saya perhatian sama kamu. Kalau terjadi sesuatu sama keluarga, terutama anakmu, pasti akan berimbas pada pekerjaan di kantor." "Nggak akan, Pak. Saya profesional. Buktinya saya tetap masuk kerja meski anak saya sakit. Tapi saya sudah memastikan kalau Rifky baik-baik saja. "Dulu ketika saya mengalami permasalahan hebat hingga bercerai dan saya hamil, saya tetap masuk kerja dan menyelesaikan pekerjaan saya dengan baik. Saya tetap bertanggungjawab pada pekerjaan." Lelaki di hadapanku terdiam memandang. Tatapannya malah terlihat lebih dalam. Terkesima. Ah, aku tidak butuh rasa kagummu, Pak Tristan. Kamu sama saja seperti papanya Rifky. "Kamu perempuan luar biasa," pujinya kemudian. Aku bergeming tanpa memandang pria yang terkadang menyebut dirinya 'aku', kadang juga 'saya'. "Aku suka dengan perempuan sepertimu." Next .... Selamat Membaca 🫶🏻 🔸Pembaca pasti bertanya-tanya. Siapakah tokoh utama lelaki di cerbung ini? Yang akan berpasangan dengan Hilya. Sebab dua pria di sini red flag semua. 🔸 Kita tunggu ya, apa cuman ada 2 lelaki itu atau akan muncul Hero baru.Pak Umar benar-benar terharu pada orang-orang muda yang sungguh bijaksana menyikapi kenyataan. Berpuluh tahun terakhir ini, dia tidak pernah merasakan kebahagiaan sedalam itu. Mungkinkah ini kebahagiaan terakhir yang ia kecap. Usia makin senja, tidak tahu kapan akan kembali ke haribaan-Nya.Setidaknya dia sudah pernah merasa sebahagia ini dan merasa sangat dihargai. Bisa bertemu kembali dengan anak-anak yang dulu dikhianati.🖤LS🖤"Hai, Baby Cantik." Aruna menyentuh lembut pipi Aurora yang digendong oleh Hilya. Malam itu dari rumah Mbak Asmi, Bre langsung mengajak istri dan anak perempuannya ke sebuah kafe, di mana ia janji ketemuan dengan Tristan. Mak As tidak ikut. Dia akan menjaga anak-anak di rumah Mbak Asmi. Khawatir Mbak Asmi dan Ustadz Izam kewalahan.Ganti Hilya mengusap pelan lengan Hasby. "Tambah gemoy aja Hasby.""Iya. Kuat banget nyemilnya.""Adek." Hasby yang berusia dua tahun berusaha menggapai Aurora. Sejak tadi todler itu memang memperhatikan Aurora yang digendong bu
Begitu Hilya mengajak putrinya keluar ruangan, Bre merebahkan diri di karpet yang sudah kosong oleh mainan. Tiba-tiba Rifky dan Rafka kembali menubruk dan memeluknya. Bre pura-pura mengerang, "Aduh ... dua raksasa kecil menyerang Papa!"Dua bocah terbahak-bahak. Malah tambah antusias menggoda papanya. Mereka kembali bercanda dan berebut perhatian.Suara di ruang bermain menarik perhatian Hilya yang duduk di sofa sambil menyusui Aurora. Ada kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebuah kebahagiaan yang mahal harganya.Dan di pagi yang dingin itu, di tengah kesibukan mengurus suami dan anak-anak, Hilya merasa menjadi manusia paling kaya di dunia karena memiliki mereka.đź–¤LSđź–¤Jam sebelas siang, Bre sekeluarga berangkat ke Malang. Mak As juga ikut. Dalam perjalanan anak-anak tertidur semua karena kecapekan bermain tadi.Mereka langsung ke bandara untuk menjemput Pak Umar. Sudah hampir dua tahun tidak bertemu. Bre bolak-balik menawari membelikan tiket, tapi Pak Umar yang tid
USAI KEPUTUSAN CERAI - Extra PartMalang, di bulan Juli.Kabut tipis dan hawa dingin masih memeluk kota, menyusup hingga ke sela-sela jendela di pagi itu. Harum kopi yang baru saja diseduh, menebar aromanya ke seluruh penjuru rumah. Di ruang bermain berukuran lima kali empat meter, kekacauan kecil berlangsung. Mainan warna-warni berserakan seolah baru saja diterjang badai. Robot-robot berbaring terlentang karena habis dicampakkan pemiliknya, mobil-mobilan terguling, balok-balok kayu berhamburan, dan lego berserakan. Namun tawa dua bocah laki-laki, Rifky dan Rafka, membuat segala kekacauan itu terasa lebih sempurna."Rafka, ayo dorong mobil balapmu lebih kenceng!" teriak Rifky, matanya berbinar penuh semangat."Iya," jawab Rafka seraya mendorong mobil yang dipegangnya lebih kuat. Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal, berlomba mendorong mobil-mobilan sepanjang karpet warna pastel yang penuh oleh mainan yang berserak.Sementara itu di sudut ruangan, baby Aurora duduk manis di atas
Pak Umar tambah terkejut, tapi ada binar di matanya. Apa tamunya itu tetangga anaknya. "Apa kamu tetangganya Asmi?""Bukan, Pak. Kenalkan nama saya Arham. Saya papa kandungnya Rifky."Kali ini Pak Umar terkesiap. Memandang Arham lekat-lekat, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. Jadi, dialah lelaki yang pernah menjadi suami putrinya. Yang mengkhianati Hilya seperti yang telah dilakukannya dulu.Untuk beberapa saat, mereka hanya saling diam, membiarkan angin pagi menjadi saksi ketegangan yang merayap di antara mereka."Jadi, kamu ayah kandungnya Rifky?"Arham mengangguk. "Saya dulu suami Hilya, Pak. Kami berpisah sebelum Rifky lahir."Pak Umar menyandarkan tubuh ke kursi. Akhirnya dia bertemu juga dengan mantan menantu yang tidak pernah dikenalnya. Hilya tidak pernah cerita atau menunjukkan foto mantan suaminya. Padahal dua tahun yang lalu mereka juga bertemu. Bre mengirimkan tiket supaya dia bisa ke Surabaya bertemu keluarganya.Arham menyalami Pak Umar dan mencium tangannya.
Arham terhenti sejenak. Satu kejutan ia dapatkan ketika beberapa saat memulai hubungan. Sekat itu terasa. Persis ketika malam pertamanya dengan Hilya. Namun Agatha terlihat biasa, sedangkan Hilya menunjukkan rasa tidak nyaman karena rasa sakit.Hal mengejutkan itu Arham simpan sampai mereka selesai melakukannya. Benarkah istrinya masih perawan? Yang dia nikahi padahal seorang janda. Memang tidak ada darah yang keluar seperti halnya Hilya dulu. Tapi Arham tidak mungkin salah merasakannya. Lelaki itu mengecup istrinya sambil berkata, "Boleh aku tanya sesuatu?"Agatha memandang sang suami dengan wajah lelah. Keringat membasahi pelipis. Baru kali ini dia merasakan bagaimana berhubungan suami istri yang dulu hanya sekedar angan, akhirnya pupus setelah Bre memutuskan untuk bercerai. "Tanya apa, Mas?""Yang kunikahi perawan atau janda?""Janda yang masih perawan," jawab Agatha dengan cepat. "Kamu kaget, Mas?""Ada apa dengan pernikahanmu bersama Bre waktu itu?" tanya Arham dengan nada pelan
USAI KEPUTUSAN CERAI- Perawan Author's POV Arham masih memperhatikan Pak Umar yang tengah membaca surat kabar. Di zaman canggih begini, lelaki itu tetap setia dengan media cetak. Beberapa menit kemudian, dari dalam rumah muncul seorang wanita dengan kursi rodanya. Menghampiri Pak Umar yang akhirnya meletakkan koran di atas meja. Kemudian mereka berbincang. Entah bicara apa, Arham tidak bisa mendengarnya.Mungkin bukan sekarang. Nanti saja kalau ada kesempatan, ia akan bicara dengan Pak Umar. Sepertinya lelaki itu pemilik rumah makan ini. Gampang untuk mencarinya nanti. Dia juga harus memberitahu Agatha terlebih dulu. Biar istrinya tidak kaget.Jika sekarang menghindar pun, bisa jadi suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali. Kemungkinan itu sangat besar. Sebab cucu Pak Umar adalah anaknya."Kenapa, Mas?" Agatha heran melihat Arham terdiam."Nggak apa-apa. Nanti kalau sudah sampai di hotel, ada yang ingin kuceritakan.""Ya." Agatha mengangguk dengan perasaan penasaran. Arham yan