Share

BAB 3 Demam Laknat

"Fa, kamu kayaknya demam deh." Vina merasa cemas sebab sepulang dari madrasah sehabis setoran hafalan pada ustazah, Sifa agak pucat.

Sifa juga merasakan hal yang dimaksud temannya. Ia cukup rawan terkena demam apalagi sakit kepala karena memiliki tekanan darah rendah. Untuk mengistirahatkan diri, Sifa dituntun berbaring di kasur asrama. Teman-temannya yang lain ada yang sudah terlelap dan ada juga yang masih sibuk menghafal.

"Aku ya kok ngerasa kalo sikap Ustaz Sufi jadi beda sama kamu? Bahkan dia waktu pelajaran di madras malam itu waktu kamu dihukum beliau kayak sengaja nyari-nyari nama kamu. Apa jangan-jangan dia udah ngebet nikah dan minta petunjuk istikharah dan nemu kamu di mimpinya?" Vina tiada henti mengoceh disaat Sifa merasakan perasaan buruk di dirinya.

"Aku mau cerita, tapi kamu jangan ember ke siapa-siapa ya!" pinta Sifa. Vina mengangguk serta antusias memokuskan pandang. "Aku mau dijodohin sama bapak setelah lulus sekolah, aku gak bisa nolak karena aku harus bantu mereka balas budi, aku harus gimana?"

Vina tersentak bahkan sampai melotot. "Kamu mau dijodohin? Terus A Azam gimana?"

Wajah Sifa yang pucat kian bertambah pucat. Memikirkan perasaan Azam sekarang rasanya ia tak sanggup. Sifa menggeleng pelan lalu berbaring menatap kosong ke langit-langit.

"Aku belum cerita hal ini sama dia, aku takut banget, Vin," lirih Sifa.

"Aku juga takut dengernya, tapi kalo kamu sembunyiin gini kasihan dia nanti sakit hatinya parah," saran Vina.

"Kata bapak, aku mau dijodohin sama anak orang kaya dan aku takut kehidupan aku jadi kayak di film-film gitu, punya suami kejam, mertua jahat, ipar licik, aku takut banget loh, Vin," cicit Sifa segera membaur ke pelukan Vina. Air matanya pun tak dapat dibendung lagi.

Mau tidak mau Vina berusaha meyakinkan temannya agar menghilangkan suuzan. "Kamu gak boleh mikir gitu, siapa tahu suami kamu nanti orang saleh, mertua orang baik, dan ipar-ipar penyayang," hibur Vina.

"Aku sayang banget sama A Azam," ucap Sifa berusaha menyeka air mata.

"Memangnya keluargamu punya hutang budi apa, kok tega harus mengorbankan kamu?" Vina merasa geram.

Sifa tak menjawab pertanyaan itu, dengan begitu pun Vina merasa bahwa pertanyaannya salah. Ia tak berhak tahu masalah keluarga orang lain sekalipun itu temannya.

"Aku gak tau keluargaku berhutang apa, mereka gak mau ngasih tau," lirih Sifa akhirnya.

"Aku paham perasaan kamu sekarang, lebih baik kamu istirahat supaya demamnya cepet turun," saran Vina.

"Lebih baik kita buat surat untuk A Azam abis itu kita kirim ke dia, mungkin itu akan lebih baik," ucap Sifa dengan yakin.

"Kamu gak apa-apa?" Raut wajah Vina berubah cemas.

Sifa mengangguk. Keduanya segera merancang isi surat untuk menyampaikan hal penting tersebut. Entah kapan mereka bisa bertemu tetapi setidaknya surat yang akan dikirim sudah siap diberikan.

***

Sore ini Vina mendapat giliran memasak untuk makan malam. Makanya ia mengajak Sifa menemaninya berbelanja ke pasar. Terlebih dahulu keduanya menghadap Umi untuk minta izin keluar area pondok.

"Kalian berdua saja? Sufian sedang nganggur, biar dia yang antar kalian, ya?"

"Jangan Umi, kami hanya mau belanja ke pasar di seberang, nggak terlalu jauh dari pondok juga," tolak Sifa dengan nada pelan.

"Gak apa-apa, sekalian Umi mau nitip belanjaan sama kalian. Kalo umi nitip belanjaan sama Sufian, dia suka gak inget, makanya sekalian saja, ya?"

Tidak ada kata penolakan lagi setelah itu. Keduanya bergegas keluar untuk menyetujui keinginan Umi untuk berbelanja. Tidak lupa diberikan daftar belanjaan yang harus dibeli. Sifa tampak gusar begitu melihat Sufian keluar dari rumah dengan menebar pesona dingin dan galaknya. Membayangkan jadi istri ustaz galak membuat Sifa merinding sendiri.

"Kayaknya Ustaz Sufi udah diskusi sama keluarga soal mau nikahin kamu, jadilah Umi juga bersikap baik sama kamu, Fa!" bisik Vina.

"Jangan suuzan ah, aku kan jadi takut!" tampik Sifa tidak ingin membebani perasaannya.

Saat Sufian meminta kedua santrinya segera masuk ke mobil, Sifa berdiri canggung sedangkan Vina berpura-pura tidak mendengar. Mereka sangat gugup kala itu apalagi saat mengetahui beberapa santri tengah mengamati mereka.

"Tunggu apalagi? Nunggu magrib dulu?" sindir Sufian tak ada lemah lembut.

Sifa dan Vina saling pandang beberapa saat kemudian duduk di jok belakang, membuat Sufian menggeleng. "Gak ada yang mau duduk di depan sini nemenin saya?" tanyanya mengamati Sifa dari kaca spion dalam. Kini Vina mengerti apa yang menjadi modus guru mudanya itu.

"Nggak Ustaz, di sini saja," jawab Vina seadanya.

Selama perjalanan mereka saling diam karena canggung jika salah kata di hadapan guru mereka. Rupanya Sifa menyadari jika Sufian terus mencuri pandang padanya melalui kaca spion. Sesekali Sifa menampik pandangan mata itu tapi karena risih maka sesekali Sifa membalasnya dengan tatapan nyalang.

"Ustaz Sufi ganjen banget ya sekarang!" tegur Sifa.

"Ganjen ke calon istri emangnya gak boleh?"

Sifa kalah telak dan Vina membulatkan matanya tak percaya. Keduanya memilih diam kembali daripada melanjutkan perdebatan yang tidak bermakna itu. Vina yang merasa jadi nyamuk seketika membuka daftar belanjaan dari Umi yang ternyata tulisannya seperti tulisan tangan dokter profesional. Maklumlah Umi ialah pensiunan guru bahasa arab. Jadi, tulisannya selalu menggunakan huruf arab.

"Fa, ini apaan?"

Sifa menoleh heran, "Itu ... sawi? Eh bukan kayaknya, apa ya?"

"Aku nanya malah balik nanya!"

"Ya sama aku juga gak ngerti."

"Apa yang gak ngerti?" tanya Sufian menengahi perbincangan.

"Ini Ustaz, kami gak ngerti ini apa," tunjuk Vina memberikan daftar belanjaan dari umi.

"Oh ... ini rawit."

"Kalian berdua cocok, Fa, tadi katamu ini sawi, kata Ustaz Sufi ini rawit. Gak beda jauh. Sama kayak nama kalian, Ustaz Sufi dan Sifa," ucap Vina tanpa berpikir akan perasaan temannya kala itu.

Saat mereka sampai di pasar, segera Sifa dan Vina turun dengan begitu antusias untuk membeli berbagai macam belanjaan. Pasar memang menjadi tempat healing sejenak bagi para santri. Kala itu Ustaz Sufian hanya duduk memantau dari dalam, sesekali dirinya memikirkan apa saja yang sudah dikatakan pada Sifa untuk menggoda gadis itu dan responnya tampak jelas bahwa perjodohan yang terjadi pasti karena paksaan.

Selepas kedua santriwati itu masuk kembali dengan belanjaan cukup banyak, Ustaz Sufian segera memutar arah mobil ke jalur yang berbeda dengan jalan pulang.

"Kita jalan-jalan dulu, saya mau kenal lebih dekat sama calon istri saya."

"Hah?"

Vina diam mengamati raut wajah teman di sampingnya. Mustahil jika gadis itu sampai tak sampai terbawa perasaan. Namun sungguh untuk pertama kalinya Vina mendengar Sufian berbicara manis.

"Sifa udah berapa lama pacaran sama Azam?" tanya Sufian tiba-tiba.

"Ustaz kok nanya gitu," bantah Sifa sangat malu.

"Ya soalnya kamu calon istri saya, jadi saya berhak tahu 'kan?"

"Astagfirullah, Ustaz!" Vina membungkam mulutnya segera karena terkejut akan ucapan Sufian.

"Kenapa? Ada yang salah?"

Sifa mendadak jantungan setiap kali Sufian mengatakan hal demikian. Ia tak mengerti ada apa dengan ustaznya ini. Mengapa mendadak sekali bertingkah aneh dan membuatnya takut.

"Jadi, Ustaz Sufi betulan mau nikah sama Sifa?" tanya Vina ingin klarifikasi yang jelas.

"Memang kapan saya bercanda?"

Vina melihat ke arah teman di sampingnya yang tampak pucat. Sifa jadi bingung sendiri ada apa dengan hidupnya.

"Kok diam? Kamu suka mabuk perjalanan ya, Fa?" tanya Sufian.

"Saya mabuk ucapan manis Ustaz."

Vina bertepuk tangan dengan heboh di sana. Ia tak menyangka jika temannya akan berani mengatakan hal tersebut. Sungguh langka dan luar biasa.

"Kamu suka lagu apa, siapa tahu kesukaan kita sama?" tanya Sufian lagi.

"Saya gak suka lagu."

"Tuh kan bener kita sama."

"Ustaz, saya kira Ustaz beneran dingin sama galak, eh ternyata seru juga ya bercanda gini sama Ustaz," ucap Vina begitu menikmati alur perjalanan yang memualkan bagi Sifa.

"Saya galak sama murid, kalo sama calon istri saya manja."

"Astagfirullah," bisik Sifa tak sanggup lagi.

"Ustaz kalo mau beneran serius sama Sifa, harus gercep, Ustaz! Soalnya Sifa mau dijodohkan sama orangtuanya setelah lulus sekolah nanti," ungkap Vina tanpa ragu mengatakan semua rahasia temannya.

"Apa?"

Sifa segera mencubit lengan Vina sehingga gadis itu merintih dan diam. Sufian memperhatikan tingkah keduanya dari kaca spion lalu pemikirannya langsung terpaku pada kalimat 'dijodohkan' yang berarti Sifa sudah mengetahui bahwa dirinya akan dijodohkan.

"Jadi dia sudah tahu mengenai perjodohannya," batin Sufian.

"Dijodohkan sama siapa?"

"Gak usah dengerin Vina, Ustaz." Sifa menjawab dengan agak meninggikan nada bicaranya.

"Sifa gak dikasih tau, Ustaz. Kejutan mungkin."

Sufian hanya diam selama sisa perjalanan. Mobil berhenti di rumah kiai tepat ketika azan magrib tinggal beberapa menit lagi akan berkumandang. Sifa merasa kepalanya pusing setelah cukup lama berada dalam mobil tanpa jaket. Dinginnya suasana magrib begitu terasa sehingga demamnya yang belum pulih seratus persen kembali menyerang tubuhnya.

"Saya sudah mengabari yang lain kalau malam ini makannya bakal agak telat," ucap Sufian sebelum turun dari mobil untuk menuju masjid.

Sufian membukakan pintu untuk Sifa dan Vina keluar. Sifa berusaha keluar dan sayangnya kondisi tubuhnya terasa lemah sehingga ia terhuyung dan tak sengaja menubrukkan diri ke dada bidang Sufian.

"Kamu kenapa?" Sufian sontak memegangi kedua lengan Sifa agar menjauh dari dirinya. Bagaimanapun ia tak bisa begitu dekat dengan seorang perempuan yang bukan mahram sekalipun sudah berniat untuk menikahinya.

"Maafkan saya, Ustaz, saya gak sengaja, maaf," lirih Sifa ketakutan.

"Ustaz, Sifa demam lagi," lapor Vina yang segera menopang tubuh temannya yang lemas.

Beberapa saat Sifa masih berusaha menstabilkan diri dan kesadarannya, akan tetapi semakin lama ia tak dapat melakukan itu. Sifa kembali tak sadar. Itu kali kedua Sifa mengalami pingsan.

"Ustaz, saya harus gimana?" Vina terdengar gemetar karena cemas terhadap kondisi temannya.

Sufian segera melepas jaket yang dikenakannya. "Selimuti dengan ini, ayo kamu shalat magrib dulu biar saya jaga dia sementara waktu," usul Sufian.

Vina setuju dan bergegas menuju masjid. Sementara Sifa dibawa oleh Sufian memasuki rumah kiai. Kedatangan Sufian memangku Sifa yang dalam kondisi tak sadar membuat Umi nyaris menjerit cemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status