Share

BAB 2 Gadis Buronan Takzir

Keluarga kiai tengah sarapan bersama di meja makan. Umi terlihat senang karena Sufian mau makan bersama setelah pembicaraan semalam. Melihat hal itu abinya juga berpikiran sama mengenai perasaan putranya. Mereka mengira Sufian menerima perjodohan itu dengan lapang dada.

"Bener kan kata Umi kemarin?" goda Umi dengan seulas senyum.

"Bener apanya, Umi?" tanya Sufian terus mengunyah.

"Semalam kamu lihat sendiri kan calon menantu bungsu keluarga kita? Dia pasti berhasil membuat putra Umi jatuh hati, 'kan?" tebak Umi.

"Semalam aku sudah melihatnya." Jawaban tersebut dilontarkan dengan ekspresi wajah yang datar.

"Terus gimana tanggepan kamu? Kamu bersedia nikahi dia dalam waktu dekat?" tanya Abi.

Sufian tidak menjawab lagi, ia memasukkan tangannya ke saku baju dan mengeluarkan secarik kertas yang didapatnya semalam. Itu ia tunjukkan kepada Abi dan Umi. Setelah membaca isinya secara bergantian, Abi dan Umi beradu pandang sebentar sebelum akhirnya tertawa bersama.

"Jadi bagaimana, Yan? Kamu suka sama Sifa 'kan?" Umi justru tak mengindahkan surat tersebut dan memilih mengulang pertanyaan yang sama.

"Suka apanya, Umi? Dia gak seperti yang Umi ceritakan, dia santriwati nakal yang berpacaran saat pelajaran berlangsung. Gak cuma itu, dia ceroboh dan kurang fokus dalam pelajaran. Apa itu hal yang benar, Umi? Seharusnya dia mendapat hukuman atas perbuatannya yang melanggar aturan pesantren ini!" tegas Sufian.

"Jangan menilai orang hanya karena kesalahan satu kalinya saja, itu bukan hal baik, gimana sih putra Abi ini!" tegur abi.

"Sifa akan dihukum untuk kesalahannya, tapi bukan berarti dia akan dihilangkan dari pilihan menantu keluarga kita," timpal Umi.

"Agar kamu puas, hukum Sifa hari ini juga, Abi serahkan semuanya padamu."

Sufian menunduk merasa bersalah mendengar itu, kemudian ia kembali mengangkat pandangannya. "Kenapa harus dia? Memangnya gak ada perempuan lain yang bisa aku peristri selain dia?" tanya Sufian mendadak gerogi.

"Ada, banyak kok kalo nanti kamu sudah menikah dengan Sifa, kamu bisa tuh minta izin nikah lagi," ejek Abi.

Mungkin benar bahwa itu ialah ejekan, tetapi menurut Sufian itu bisa jadi sebuah ide bagus. Dirinya akan menikahi Sifa seperti yang diinginkan kedua orang tuanya kemudian ia akan menikah kembali dengan perempuan yang hanya dirinya cintai. Itu pertimbangannya.

***

Sifa terus mencari surat pemberian Azam di seluruh saku pakaian yang dikenakannya semalam. Ia sangat panik sehingga tidak dapat fokus dan sadar kalau pelajaran di sekolah akan segera dimulai.

"Sifa ...!" Vina, teman sekamar Sifa membuka pintu dengan spontan. Ia menyadari temannya belum juga datang ke kelas sehingga memutuskan kembali menjemputnya. "Kamu nyari apa? Ayo bentar lagi masuk kelas nanti telat dihukum lagi!" ajaknya sewot.

"Kamu duluan aja, Vin, aku masih nyari sesuatu!" Sifa terus melacak di seluruh saku pakaian yang semalam dipakai.

"Apa yang kamu cari sepagi ini, Fa? Ayo pergi biar nanti pulang dari kelas kita cari sama-sama! Ayo!" ajak Vina menarik lengan temannya.

"Gak bisa! Ini kalo gak ketemu sekarang bahaya banget!" ungkap Sifa.

"Hah? Kamu dapet surat dari A Azam lagi?" tebak Vina langsung paham.

"Iya, tapi suratnya gak ada! Gimana kalo ketahuan sama ustaz atau ustazah, aku bakal dihukum!"

"Kok bisa ilang? Ilangnya dimana?" Tiba-tiba Vina ikut panik.

"Kalo aku tahu gak akan aku cari lah!"

Sifa semakin bertambah panik saat Vina tiba-tiba menarik lengannya ke belakang lemari. Vina bersikap begitu karena bel sudah berbunyi dan staf jadwal keamanan akan berkeliling ke setiap kamar santri. Apalagi lokasi kamar mereka selalu menjadi paling pertama saat pengecekan.

"Mampus kita, Fa," bisik Vina begitu menyadari bahwa dirinya lupa menutup pintu saat hendak bersembunyi.

Belum terlambat, Sifa akhirnya menarik Vina keluar dari kamar menuju tempat yang jauh dari pengecekan. Hari itu mereka berdua bolos dengan alasan yang tidak jelas.

"Kalian sedang apa di sana?"

Vina dan Sifa menoleh ke arah suara. Sufian berdiri memandangi mereka dengan heran sekaligus curiga. Seharusnya anak SMA ada di kelas tetapi dua siswi ini malah ada di sekitar madrasah.

"Kenapa kalian gak masuk kelas?" tanya Sufian.

Sifa dan Vina yang tengah berdiri di hadapan Ustaz Sufian langsung menunduk setunduk-tunduknya. Keduanya menyesal tapi bukan karena tidak masuk kelas melainkan karena tidak berhasil bersembunyi.

"Jawab!" bentak Sufian.

"Maaf Ustaz, tadi kita kesiangan," ucap Vina begitu gemetar. Untuk pertama kalinya ia bolos sekolah hanya karena ingin menyelamatkan Sifa.

"Kita?" ulang Sufian.

"Maaf maksud saya kami, Ustaz," ralat Vina.

"Sudah tahu salah bukanya mengaku malah sembunyi di sini! Apa yang membuat kalian kesiangan? Kalian bergadang semalaman menghafal Al-Quran?" tanya Sufian.

"Sebenernya semua ini gara-gara Sifa, Ustaz! Dia nyari—"

Sifa secepatnya menginjak kaki Vina agar tak jujur kepada Sufian perihal surat yang dicari.

"Kamu nyari apa, Sifa?" tanya Sufian mengalih pandang pada Sifa yang tak juga bersuara.

"Saya gak nyari apa-apa, Ustaz."

"Kamu nyari ini?" Sufian menunjukkan surat yang semalam didapatkannya.

Sifa dan Vina mengangkat pandangan mereka masing-masing. "Masyaallah Ustaz!" sewot Vina segera menutup mulutnya agar tak terbuka lebar.

"A–astagfirullah!" Sifa turut terkejut bukan main. Kalau bisa, ia ingin pingsan saja di tempat lalu saat sadar dia sudah berada jauh dari Sufian.

"Ini yang kamu cari? Nah, saya kembalikan karena semalam jatuh di lantai madrasah!" Sufian menyodorkan kertas itu dan diterima dengan tangan gemetar Sifa.

Sifa hanya menunduk dan tak berani mengatakan apa-apa lagi.

"Saya akan hukum kamu!" Ustaz Sufian berbalik untuk pergi.

"Vina gak dihukum juga, Ustaz?" tanya Vina dengan berani.

Ustaz Sufian berbalik lagi menatap dua santriwati itu. "Untuk yang kesiangan saya kasih toleransi, tapi untuk yang pacaran saya gak bisa kasih toleransi. Jadi, hanya kamu yang saya hukum!" tunjuknya pada Sifa.

"Ta–tapi ... apa hukumannya, Ustaz? Saya gak mau dihukum berduaan sama A Azam di hadapan semua santri, saya mohon jangan, Ustaz, saya mohon," lirih Sifa sembari merapatkan kedua tangannya menghadap Sufian.

Vina bahkan tidak percaya jika temannya akan berbuat seperti itu kepada Sufian yang terbilang killer.

"Kamu gak akan dihukum seperti itu, tenang saja," jawab Ustaz Sufian membuat Sifa sedikit lega tapi juga gelisah. "Tapi kamu akan segera saya nikahi." Ustaz Sufian berlalu begitu saja tanpa menghiraukan raut kedua santriwati di sana.

Vina sangat terkejut dengan ucapan Sufian barusan. Ia segera menghadap Sifa dan bertanya sekali lagi tentang apa yang dikatakan Ustaznya baru saja. Vina merasa jika itu hanya pendengarannya saja saking tidak percayanya.

"Fa, tadi itu beneran Ustaz Sufi? Dia ... dia mau hukum kamu dengan cara nikahi kamu? Fa, tadi beneran dia bilang gitu? Fa aku gak salah denger kan...." Tangan Vina gemetaran saat meminta kejelasan dari Sifa atas ucapan Sufian.

Sifa kehilangan sadar dalam sekejap setelah semua itu terdengar. Vina yang sama terkejutnya langsung panik melihat temannya pingsan saat itu juga. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sifa mengalami pingsan.

Sifa mulai sadarkan diri di ruangan UKS. Ya, selepas pingsan tadi Vina tidak dapat diam saja dan memilih berteriak memanggil bantuan Sufian. Sekarang Sifa ditemani Vina di ruangan yang sepi dan terdapat obat-obatan.

"Fa, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit, gak?" tanya Vina.

"Aku gak apa-apa. Kamu bawa aku ke sini pake cara apa, jangan bilang aku diseret?" Sifa mulai mengubah posisinya menjadi duduk.

Vina memberikan segelas teh hangat untuk sahabatnya. "Aku gak bawa kamu ke sini kok tapi Ustaz Sufi, jadi tenang aja."

"Hah?!"

"Kamu gak usah khawatir, Fa, pasti ucapan Ustaz Sufi tadi itu cuma bercanda, aku yakin kok dia gak akan mau nikahi gadis kayak kamu!" jelas Vina.

"Maksudnya apa? Kamu ngatain aku?" tanya Sifa.

"Eh bukan gitu, ya kan dia ustaz mana ada nikah sama santri kayak kita ini, dia juga pilih-pilih kali! Ustaz plus guru plus lagi anaknya kiai ya pasti nikahnya juga sama yang sebanding! Iya gak sih?" ralat Vina.

"Iya sih, tapi emang ada perempuan yang mau sama Ustaz Sufi yang kita aja merasa gak tahan sama sikapnya?"

"Bener juga! Kayaknya Ustaz Sufi udah nyerah dan mau milih santri di sini aja buat dijadikan istri. Kebetulan dia kecantolnya sama kamu, Fa!"

"Enak saja! Eh, gak baik tahu gibahin orang apalagi dia guru kita juga!" Sifa segera membantah.

Keduanya merapalkan istighfar bersama lalu

reflek menoleh ke arah pintu yang mana Sufian sedang berdiri bersidekap tangan di dada untuk melihat kondisi Sifa yang sudah sadarkan diri. Baik Sifa maupun Vina berharap ustaz mereka tak mendengar gibahannya.

"Ucapan saya yang tadi sama sekali gak bercanda. Kamu kenal saya bukan? Saya orang yang gak suka bercanda!" ungkap Sufian sengaja.

"Tapi Ustaz jangan nikahi temen saya yang ini, kasihan dia nanti tertekan!" celetuk Vina. Entah apakah Sufian harus tertawa atau marah mendengarnya.

"Tertekan?" ulang Sufian.

"Ustaz beneran mau nikah sama Sifa? Jangan bercanda gini, Ustaz, gak lucu," ungkap Vina meski dari nadanya terdengar ragu.

"Saya serius. Kami akan menikah setelah Sifa lulus nanti, jadi siap-siap bekal ilmunya dari sekarang ya, Sifa." Sufian sengaja mengatakan itu. Entahlah, dia merasa menyenangkan karena sudah membuat santriwatinya terbebani pikiran. Jahat memang!

"Saya gak mau nikah sama Ustaz!" aku Sifa terang-terangan.

"Ustaz pikir-pikir lagi kalau mau sama Sifa, dia tidurnya muter kayak gasing!" Vina menambahkan.

"Lalu?" Sufi mengangkat sebelah alisnya.

Sifa menghela berat dan berpikir sejenak sebab kesal dengan ustaznya yang mendadak aneh. Ia turun dari ranjang UKS dibantu Vina dan keduanya segera pamit pada Sufian serta berterimakasih. Sufian merasa telah dianggap remeh oleh kedua santriwati itu. Sifa bilang tidak mau menikah dengannya dan memang Sufian mau menikah dengannya? Dia juga terpaksa karena terus diperintah orangtua.

"Jangan jual mahal, Sifa, mau bagaimanapun kamu tetap akan terpaksa saya nikahi."

"Hei! Segera temui guru piket untuk menagih hukuman kalian! Jangan bolos!" teriak Sufian akhirnya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status