Share

BAB 4 Diratukan Calon Mertua

Umi memerintah Sufian agar membawa Sifa ke kamar saja. Namun, Abi melarang dan meminta Sufian membaringkannya di sofa ruang tengah. Itu karena Abi tidak ingin Sifa curiga mengenai perjodohannya. Mau bagaimanapun Sifa masih terlalu belia memikirkan perjodohan sehingga Abi mewanti-wanti keluarganya untuk tidak memberitahu anak gadis mereka mengenai hal itu.

"Ambilkan minyak angin di lemari obat, Yan!" titah Umi setelah menyelimuti tubuh Sifa dengan selimut.

"Kenapa dia bisa pingsan, Yan? Kamu bicara apa padanya?" Abi tak kalah cemas melihat Sifa tak sadarkan diri.

Sufian duduk di sebelah Abinya dengan raut cemas dan tidak bisa dimengerti. Ia begitu tidak menyukai Sifa walau sedikit tetapi beberapa hari ke belakang takdir seolah selalu menuntunnya untuk mendekat dengan Sifa. Lalu sekarang, ia merasa masih gugup sebab baru saja mengangkat tubuh Sifa dari mobil menuju rumah yang secara tak langsung membuat kedua tangannya sudah memeluk gadis itu.

"Sufian!"

"Astaghfirullah, Abi. Iya, Abi?" tanya Sufian tercengang mendengar suara meninggi sang Abi.

"Kamu apakan dia?"

Umi masih terus mendekatkan aroma minyak angin ke hidung Sifa supaya segera membuatnya sadar.

"Abi, dia sedang demam. Sejak kemarin dia memang kurang sehat, begitu kata Vina teman sekamarnya." Sufian menjelaskan.

"Syukurlah. Abi khawatir kamu bicara hal yang tidak-tidak padanya. Ingat, meski kamu sudah diberi kewenangan untuk tahu siapa calon istrimu, jangan katakan apapun padanya mengenai perjodohan. Dia harus fokus pada belajarnya untuk sekarang ini. Kamu mengerti maksud Abi kan, Yan?"

"Tapi, Abi, Sifa sudah tahu."

"Apa? Siapa yang memberitahunya?" Abi semakin terlihat gusar.

"Orangtuanya sendiri."

"Bagaimana—"

"Alhamdulillah ...."

Sufian dan Abi mengalihkan topik saat melihat Sifa membuka matanya. Gadis itu segera beranjak dan duduk di lantai menghadap Umi sebab terkejut karena ia lancang berbaring di sofa dengan gurunya. Sufian mengangkat ujung bibir membentuk senyum kecil ketika melihat itu.

"Sifa, duduklah di sini dengan Umi, ya? Gimana kabarmu sekarang, apa sudah lebih baik?" Umi menuntun Sifa untuk kembali duduk di sofa.

"Tak usah takut, tadi kamu tak sadarkan diri jadi kami sengaja bawa kamu ke rumah sini. Duduklah dulu. Umi, bawakan teh hangat untuknya," titah Abi.

Umi dengan senang hati beranjak disusul Sufian yang berjalan menuju kamar. Pemuda itu merasa begitu aneh. Pasalnya Umi dan Abi seolah lebih mempedulikan gadis itu ketimbang dirinya yang merupakan putra mereka. Jadi, Sufian merasa agak iri sebab Sifa mendapat kasih sayang dari orangtuanya. Apa itu semata-mata karena Abi dan Umi tak memiliki anak perempuan atau ada hal lain? Sufian tak tahu pasti mengapa harus Sifa orangnya.

***

Tinggal menghitung hari untuk sampai pada pengumuman kelulusan, tetapi surat yang ingin diberikan Sifa kepada Azam belum juga tersampaikan. Sifa sangat keteteran materi untuk persiapan ujian apalagi saat itu ia sempat beberapa hari tak hadir karena demam yang tak kunjung sembuh. Sehingga ia tak dapatkan waktu untuk menemui atau bahkan hanya bertemu sekilas dengan Azam.

Raut wajah Sifa tidak mendukung sama seperti cuaca pagi hari itu. Tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan selain beraktivitas di dalam kamar karena hujan sejak subuh yang tak juga mereda.

Sebulan ini Sifa sangat terganggu dengan isu yang menyatakan dirinya akan dijadikan menantu kiai. Akan tetapi ia tak menanggapi sama sekali hal tersebut karena masih begitu ingat terhadap apa yang akan ia hadapi nanti. Perjodohan untuk balas budi. Ck, sebenarnya Sifa benci mengingat hal itu atau jika bisa ia ingin kabur saja.

"Vin, mungpung hujannya belum berhenti anter aku ke batas pondok yuk! Aku gak bisa nunggu lama lagi, A Azam harus cepet tahu hal ini, aku gak mau lihat dia kecewa berat," mohon Sifa.

"Kalo dihukum gimana?"

"Tenang aja, kamu gak bakal dihukum kok!" canda Sifa.

Vina mengerti. Mereka mengeluarkan payung lantas membuka pintu kamar untuk keluar. Sufian yang sedang berkeliling dengan mengenakan payung juga, melihat dua santriwati itu keluar maka ia mengernyit heran. Akan kemana dua gadis itu saat hujan begini? Pikirnya.

Sejak kejadian Sifa pingsan di mobil kala itu, Sifa merasa begitu aneh dan dirinya sangat malu setiap kali berpapasan dengan Sufian. Ditambah isu-isu tak menyenangkan membuatnya di kelas Sufian pun tak lagi aktif bertanya atau sekadar memandang untuk memperhatikan penjelasan pun sudah tak dilakukan. Ia jadi merasa canggung dan semakin minder.

"Kami mau jalan-jalan, Ustaz, bosen di dalam," jawab Vina tanpa ditanya ketika berpapasan dengan Sufian.

"Lebih baik kalian tetap di dalam sampai hujannya reda, supaya gak demam." Sufian sengaja menyindir Sifa yang terlihat hanya menunduk.

Sifa yang menunduk jadi semakin menunduk mendengar itu. Entah mengapa rasanya begitu memalukan dan ia berjanji pada diri sendiri agar tak mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi dengan melibatkan Sufian.

"Kami hanya jalan-jalan sebentar kok, Ustaz, mari ya, assalamualaikum," pamit Vina.

Sufian memandangi kepergian dua gadis itu dengan dahi masih mengernyit heran akan kemana keduanya pergi. Dari tempatnya berdiri ia terus mengikuti langkah dua santriwati tersebut ke mana perginya. Sufian juga heran dengan perubahan sikap Sifa terhadapnya sebab menjadi sedikit lebih dingin. Lamunannya pecah saat panggilan telepon masuk. Segera diangkat sebab itu adalah panggilan dari teman lamanya.

Sufian memanggil Sifa dan Vina sehingga dua gadis tadi berbalik lagi dan menghentikan langkah mereka. Sufian mengisyaratkan dengan tangan agar keduanya diam di tempat sebab ia akan mengabarkan sesuatu.

Vina sudah memegangi lengan sahabatnya dengan erat. Ia berpikir bahwa Sufian sudah tahu maksud keduanya hendak pergi kemana dan sekarang mereka akan dihukum. Begitulah kiranya Vina dan Sifa.

"Saya kedatangan tamu, jadi ayo bantu umi masak untuk menjamu!" ajak Sufian.

Sifa menatap pemuda itu sekilas dengan sinis karena usahanya kali ini gagal. Namun, ia tidak bisa membenci gurunya sendiri sebab takut nanti ilmu yang didapatnya jadi tidak berkah. Berat hati keduanya melangkah mengikuti Ustaz Sufian menuju rumah lebih tepatnya dapur untuk membantu Umi yang katanya sedang memasak banyak.

Melihat putranya datang membawa calon menantu, Umi tentu terkejut sekaligus penasaran untuk apa dibawa ke rumah. Beliau beranjak dari sofa dan menyambut mereka dengan senyuman hangat.

"Temen lama aku mau datang, Mi, aku bawa mereka untuk bantu Umi di dapur," ucap Sufian segera mengenalkan tugas santriwatinya di sana.

Umi menggeleng dibarengi senyum lalu langsung mengajak keduanya memasuki dapur. Rasa bahagia juga begitu terasa oleh Umi karena dengan begitu mungkin putranya berusaha mengenal Sifa lebih dekat. Itu berarti pula bahwa Sifa akan segera sah menjadi menantu keluarganya.

"Neng, duduk dulu aja di sana, Umi mau ke atas dulu," titah Umi yang diikuti anggukan takzim dua santriwati di sana.

Sifa dan Vina duduk di bangku panjang yang ada di dapur. Mereka diam memandangi sekeliling dapur tanpa berani menyentuh apapun.

"Heran gak sih sama sikap Ustaz Sufi, padahal santri kepercayaan umi banyak, kok kita yang kena!" cerca Vina.

"Iya ya padahal kita bukan santri ndalem, bukan santri kepercayaan, bukan santri istimewa." Sifa menambahkan kekurangan mereka.

"Justru kita akhir-akhir ini buronan takzir, kan? Cuma belum ketauan aja. Hahaha!"

"Ish gak boleh gitu, ini mungkin tanda bahwa kita berhak menerima berkah dari keluarga kiai, alhamdulillah harusnya!" tegur Sifa setelah menyadari ada yang salah dari cara mereka memandang perintah Sufian.

"Astagfirullah, iya bener juga alhamdulillah."

"Ini pertama kalinya aku masuk ke dapur rumah kiai, bagus banget ya!" Sifa terlihat asyik melihat sekeliling.

"Fa, Fa, bayangin kamu beneran nikah Ustaz Sufi ... tiap hari masak di dapur ini bareng Umi, tiap hari bisa makan bareng Abi Yai, tiap hari—"

"Hush! Istighfar, Vin, istighfar! Mana ada Ustaz Sufi mau milih istri model begini? Lagian aku udah bilang aku tuh mau dijodohkan. Udah deh, kamu bikin aku inget hal itu terus, nyesek, tahu!" Sifa mengerucutkan bibirnya tanda protes.

"Kalo Ustaz Sufi beneran mau, calon jodohmu itu gak akan bisa apa-apa! Jalur langit, Fa!"

Sifa mencubit pipi sahabatnya yang terus saja menjadi Mak comblang atas isu dirinya yang akan dijadikan menantu kiai. Memangnya Vina pikir Sifa tidak terbawa perasaan setiap kali mendengar isu bahwa ia akan dipersunting Ustaz Sufi? Justru karena itulah dia menjadi canggung saat berhadapan dengan Ustaz Sufi!

"Eh, berarti selama ini A Azam juga udah denger berita aneh ini ya kan, Vin?" Sifa baru saja terpikirkan ke arah sana.

"Lah iya juga!"

"Aduh gimana ya reaksinya denger itu. Aku jadi makin gak sabar pengen ketemu A Azam, pengen ceritain semua yang aku rasa saat sekarang ini!"

Obrolan dua santriwati itu terputus dengan sendirinya ketika suara sandal mendekat ke arah dapur. Umi dengan jilbab syar'i andalannya lantas tersenyum melihat dua gadis itu masih saja di tempat yang sama saat ia pergi tadi.

"Kalian lulus barengan ya tahun ini, Neng?" tanya Umi basa-basi.

"Iya, Umi."

"Mau pada lanjutin belajar di mana?" Sebenarnya pertanyaan itu untuk melihat sejauh mana cita-cita Sifa yang akan terenggut jika ia menikah.

"InsyaAllah pengennya ke jenjang lebih tinggi, Umi. Rencana kami pengen kuliah bareng tapi sepertinya takdir berkata kami harus punya jalan masing-masing," jawab Vina dengan segala kesantunan bertuturnya.

"Jadi Neng ...."

"Vina, Umi."

"Iya, Neng Vina mau lanjut kuliah, kalau Neng Sifa mau lanjut kuliah juga kah?" pancing Umi sebab dilihatnya gadis itu kurang bersemangat.

"Kalau orangtua di rumah mengizinkan ya Sifa juga pengen kuliah, Umi."

"Semoga harapan kalian apapun itu bisa dipermudah oleh Allah, ya. Dan semoga ilmu-ilmu yang selama ini kalian dapat dari pesantren di sini bisa bermanfaat dan berkah."

"Aamiin Ya Rabb." Serempak Sifa dan Vina menjawab.

"Kami mohon ridanya dari Umi, biar ilmu kami berkah, Umi," pinta Sifa dengan kepala menunduk sebab malu-malu.

"Dan pada dapet jodoh yang bisa membersamai hingga surganya Allah ya, Neng."

"Sifa mah jodohnya sudah dekat, Umi." Vina, berulah lagi.

"Eh? Neng Sifa sudah mau menikah ya?" pancing Umi dibarengi senyum lebar.

"Nggak, Umi. Vina ini loh kalo bicara suka asal!"

"Beneran, Umi, katanya Sifa mau kok dijadikan menantu Umi daripada harus dijodohkan."

"Apa?" Seorang pemuda menyahut dari ambang pintu dapur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status