Share

BAB 5 Pembatalan Pernikahan

Sifa mengantarkan minuman untuk tamu di rumah Sufian bersama dengan Umi. Ia terus menunduk karena yang duduk di ruang tamu adalah dua pemuda bukan mahramnya. Ketika ia hendak pergi, salah seorang di antara pemuda itu memanggil namanya. Kali ini bukan suara Sufian melainkan suara temannya Sufian.

Sifa merasa deg-degan hebat sampai ketika berbalik ia masih terus menunduk. Pikirannya bertanya hal salah apa yang sudah diperbuat hingga harus berurusan dengan tamunya Sufian. Ketika ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat ke arah pemuda yang memanggilnya, Sifa lantas membulatkan mata tak percaya.

"Kang Taufik!" seru Sifa segera bergegas ke hadapan tamu Sufian yang ternyata ialah kakaknya sendiri.

Bukan hanya Sufian yang terkejut melihat Sifa mengenal teman lamanya, melainkan Umi juga. Mereka saling tatap sejenak lalu selanjutnya hanya menonton apa yang dilakukan Sifa.

"Kakang kapan ke sini? Kok bisa aku baru sadar kalo yang datang itu Kakang!" Tak disadari air mata gadis itu luruh. Suaranya pun jadi terdengar gemetar. Bagaimana tidak, sudah hampir tiga tahun kakaknya tidak berkunjung ke rumah atau ke pondok karena banyak kesibukan bersama keluarga barunya di luar kota.

"Kakang mau ke rumah ibu, sengaja mampir ke sini buat ketemu Iyan sama pengen lihat adek Kakang yang katanya mondok di sini. Ternyata kamu sudah besar, Fa, sudahlah jangan nangis, malu tuh sama Ustaz," ejek Taufik.

Sifa menyadari hal tidak sopan yang ia lakukan di hadapan gurunya. Untuk itu ia meminta maaf dan segera berpamitan kembali ke belakang. Sifa meminta Taufik menemuinya nanti kalau urusannya dengan Sufian sudah selesai.

Sufian baru mengetahui jika Sifa adalah adik dari teman lamanya. Ia jadi ingat kala SMA dulu dirinya selalu bercanda akan menikahi anak cantik adik dari Taufik. Ternyata sekarang Allah seolah mengabulkan hal tersebut. Saat Umi bergegas meninggalkan ruang tamu, Taufik langsung mengambil kesempatan untuk bertanya.

"Dengar-dengar bapakku mau jodohkan Sifa buatmu, kamu yakin dengan hal itu?" tanya Taufik cemas. Mengingat adiknya yang masih terbilang belia untuk menikah, ia sebagai kakak merasa sakit hati.

Sufian menunduk sebelum menjawab pertanyaan itu. "Aku tahu semua orang ragu, awalnya aku sendiri juga ragu karena mana ada seusia aku ini menikahi anak yang baru saja lulus SMA. Tapi, aku yakin ini terbaik. Kamu gak perlu khawatir, aku akan jaga dia sebagaimana keinginanku dulu waktu anak itu masih balita," ungkap Sufian.

Taufik mengangguk meski sebenarnya ia begitu berat melepas adiknya begitu saja menuju pernikahan. Ketika ayahnya bilang bahwa Sifa akan dinikahkan dengan putra bungsu kiai, maka Taufik seketika memutuskan datang untuk melihat ekspresi temannya yang sejak dahulu terkenal dingin.

***

"Sudah, Fa, jangan nangis lagi," bujuk Vina sembari menepuk-nepuk punggung temannya.

Mereka tidak kembali ke kamar melainkan mampir ke koridor sekolah yang sepi karena itu adalah hari libur. Sifa menangis sejadi-jadi di sana karena rindunya terhadap Taufik dan juga rasa takut karena pernikahannya ada di depan mata dan ia belum tahu siapa lelaki yang akan jadi suaminya. Ia ingat ungkapan ibunya bahwa Taufik akan pulang untuk menyaksikan pernikahannya. Sungguh hancur hati Sifa rasanya.

"Eh itu ada anak santriwan! Hei, Dani!" panggil Vina tiba-tiba ketika seorang santriwan cilik sekitar usia sepuluh tahun lewat.

"Manggil saya, Teh?" Dani kebingungan menunjuk dirinya sendiri.

"Iya cepetan sini! Ada yang mau saya titip ke kamu!" ajak Vina membuat anak itu mendekat. "Nah, tolong kasih ke A Azam ya, bilangin dari teh Sifa," suruh Vina.

"Oh buat A Azam, iya-iya."

"Jangan dibaca!" peringat Vina kemudian.

Sifa masih tak dapat menahan air matanya untuk tak turun. Ia lagi dan lagi menangis di samping temannya. Vina tak menghentikan tangisan Sifa dan terus membiarkan air matanya terkuras agar perasaan gadis itu lega.

"Ustaz Sufi!" Vina beranjak kala ustaz mudanya ditemani Taufik.

Sifa berusaha menahan air matanya agar tak turun lagi tetapi tak bisa. Taufik langsung mendekatinya serta mengusap-usap punggung sang adik untuk menenangkan. Vina dan Sufian sama-sama berdiri menyaksikan itu, bedanya Vina sudah menangis karena melihat Sifa.

"Sebaiknya kita pergi, mereka butuh waktu bersama," ucap Sufian berbalik meninggalkan tempat itu disusul oleh Vina yang juga membuntuti langkah ustaznya. "Kamu mau kemana?" tanya Sufian melihat Vina di belakangnya.

"Eh iya, saya harusnya ke arah sana, Ustaz. Maaf." Buru-buru gadis itu berlari ke arah berlawanan dengan jalan yang Sufian ambil.

Taufik berusaha tak sedih padahal hatinya sungguh sakit harus menyaksikan adiknya mesti bersikap dewasa di saat yang belum waktunya. Namun ia sendiri tak bisa membantu banyak selain berdoa. Ia sudah meminta waktu agar Sifa tak dijodohkan sekarang, tapi orangtuanya bersikeras dan ditambah sulit ketika Sifa juga terpaksa setuju.

"Aku takut, Kang," lirih Sifa.

"Iya Kakang ngerti, kamu jangan takut karena keluarganya pasti akan sangat menyayangi kamu," hibur Taufik.

"Kalo nggak, gimana?"

Taufik menggeleng pelan. "Jangan suuzan, Fa ... nanti kamu akan rasakan sendiri, sekarang fokuslah dulu belajar di sini, ya?"

"Kakang gak bakal kayak bapak, kan?" tanya Sifa penuh harap.

"Maksudnya?"

"Kang, kelulusanku di depan mata. Temen-temenku pada sibuk mikirin universitas untuk melanjutkan pendidikan, bahkan beberapa orang ada yang daftar ke luar negeri juga. Sedangkan aku?" Tangis Sifa kembali luruh.

"Aku harus ngehadepin keinginan bapak sama ibu, aku bakal jadi seorang istri dari seseorang yang aku sendiri gak tahu siapa dia. Kenapa bapak gak mau ngasih tahu setidaknya dengan begitu aku gak berpikiran macam-macam begini, jadi aku mohon sama Kakang sekarang, kasih tahu aku ...."

"Siapa lelaki yang menagih utang Budi ke keluarga kita? Siapa keluarga yang tega mau menghancurkan masa depanku, Kang?"

Taufik masih bungkam bahkan saat Sifa berontak meminta dijawab atas satu pertanyaannya mengenai calon suaminya. Sifa terus membasahi pipinya dengan air mata dan ia berharap Taufik mau memberitahunya.

"Kamu akan diberitahu, Fa, kamu akan tahu dia siapa, siapa calon suamimu itu tapi nggak sekarang."

"Kenapa? Terus kapan? Sampai kapan aku dibodohi seperti ini, Kang? Apa aku gak layak jadi perempuan yang baik sampai masalah jodoh saja harus disembunyikan begini?" cecar Sifa tak terima akan respon kakaknya.

"Fa, cobalah mengerti kalo kamu tahu dia sekarang maka fokusmu pada pelajaran akan hilang," bujuk Taufik.

"Kakang pikir sekarang ini saat aku gak tahu dia siapa maka aku akan tetap fokus? Nggak ada, Kang! Fokusku belajar sudah hilang sejak kali pertama bapak dan ibu bilang aku akan menikah sehabis lulus sekolah! Semua harapanku, cita-citaku yang sudah aku rancang langsung musnah, Kakang! Aku merasa gak punya lagi tujuan hidup!"

"Kakang harus pulang sekarang, Fa." Taufik melepas genggaman tangan adiknya dengan perlahan agar masih berusaha menjaga perasaannya.

Sifa tak mencegah, tak juga mengizinkan. Gadis itu hanya menangis dan saat Taufik melangkah menjauh beberapa langkah, Sifa memeluk kakinya sendiri untuk melampiaskan tangisnya yang begitu menyesakkan. Taufik ingin memeluk Sifa untuk menenangkan, ingin membantah kedua orangtuanya agar tak mengambil sikap gegabah mengenai pernikahan, dan ingin melawan siapa saja yang berani membuat adik kecilnya menangis.

Taufik ingat betul dahulu ia selalu jadi Superhero bagi Sifa kalau saja ada orang atau sesuatu hal yang membuat Sifa terancam dan menangis. Namun kini, di depan matanya sendiri Taufik hanya bisa membiarkan semuanya seolah tak peduli. Taufik tak bisa melakukan apa-apa, tak bisa menjadi Superhero—lagi—karena alasan tangisan Sifa sekarang bukan lagi karena orang asing, tapi karena dirinya.

Sufian memandangi langkah Taufik yang terburu-buru keluar dari gerbang pondok menuju motor yang terparkir. Sufian melirik ke sebelah kanannya dan ia bisa melihat Sifa dengan segala penderitaan yang sedang dialami. Sufian merasa bersalah dan berjanji akan membatalkan perjodohan tersebut apapun respon orangtuanya nanti. Yang Sufian tahu sekarang ini hanya keputusannya lah yang menjadi bantuan bagi gadis itu.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status