Sifa mengantarkan minuman untuk tamu di rumah Sufian bersama dengan Umi. Ia terus menunduk karena yang duduk di ruang tamu adalah dua pemuda bukan mahramnya. Ketika ia hendak pergi, salah seorang di antara pemuda itu memanggil namanya. Kali ini bukan suara Sufian melainkan suara temannya Sufian.
Sifa merasa deg-degan hebat sampai ketika berbalik ia masih terus menunduk. Pikirannya bertanya hal salah apa yang sudah diperbuat hingga harus berurusan dengan tamunya Sufian. Ketika ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat ke arah pemuda yang memanggilnya, Sifa lantas membulatkan mata tak percaya."Kang Taufik!" seru Sifa segera bergegas ke hadapan tamu Sufian yang ternyata ialah kakaknya sendiri.Bukan hanya Sufian yang terkejut melihat Sifa mengenal teman lamanya, melainkan Umi juga. Mereka saling tatap sejenak lalu selanjutnya hanya menonton apa yang dilakukan Sifa."Kakang kapan ke sini? Kok bisa aku baru sadar kalo yang datang itu Kakang!" Tak disadari air mata gadis itu luruh. Suaranya pun jadi terdengar gemetar. Bagaimana tidak, sudah hampir tiga tahun kakaknya tidak berkunjung ke rumah atau ke pondok karena banyak kesibukan bersama keluarga barunya di luar kota."Kakang mau ke rumah ibu, sengaja mampir ke sini buat ketemu Iyan sama pengen lihat adek Kakang yang katanya mondok di sini. Ternyata kamu sudah besar, Fa, sudahlah jangan nangis, malu tuh sama Ustaz," ejek Taufik.Sifa menyadari hal tidak sopan yang ia lakukan di hadapan gurunya. Untuk itu ia meminta maaf dan segera berpamitan kembali ke belakang. Sifa meminta Taufik menemuinya nanti kalau urusannya dengan Sufian sudah selesai.Sufian baru mengetahui jika Sifa adalah adik dari teman lamanya. Ia jadi ingat kala SMA dulu dirinya selalu bercanda akan menikahi anak cantik adik dari Taufik. Ternyata sekarang Allah seolah mengabulkan hal tersebut. Saat Umi bergegas meninggalkan ruang tamu, Taufik langsung mengambil kesempatan untuk bertanya."Dengar-dengar bapakku mau jodohkan Sifa buatmu, kamu yakin dengan hal itu?" tanya Taufik cemas. Mengingat adiknya yang masih terbilang belia untuk menikah, ia sebagai kakak merasa sakit hati.Sufian menunduk sebelum menjawab pertanyaan itu. "Aku tahu semua orang ragu, awalnya aku sendiri juga ragu karena mana ada seusia aku ini menikahi anak yang baru saja lulus SMA. Tapi, aku yakin ini terbaik. Kamu gak perlu khawatir, aku akan jaga dia sebagaimana keinginanku dulu waktu anak itu masih balita," ungkap Sufian.Taufik mengangguk meski sebenarnya ia begitu berat melepas adiknya begitu saja menuju pernikahan. Ketika ayahnya bilang bahwa Sifa akan dinikahkan dengan putra bungsu kiai, maka Taufik seketika memutuskan datang untuk melihat ekspresi temannya yang sejak dahulu terkenal dingin.***"Sudah, Fa, jangan nangis lagi," bujuk Vina sembari menepuk-nepuk punggung temannya.Mereka tidak kembali ke kamar melainkan mampir ke koridor sekolah yang sepi karena itu adalah hari libur. Sifa menangis sejadi-jadi di sana karena rindunya terhadap Taufik dan juga rasa takut karena pernikahannya ada di depan mata dan ia belum tahu siapa lelaki yang akan jadi suaminya. Ia ingat ungkapan ibunya bahwa Taufik akan pulang untuk menyaksikan pernikahannya. Sungguh hancur hati Sifa rasanya."Eh itu ada anak santriwan! Hei, Dani!" panggil Vina tiba-tiba ketika seorang santriwan cilik sekitar usia sepuluh tahun lewat."Manggil saya, Teh?" Dani kebingungan menunjuk dirinya sendiri."Iya cepetan sini! Ada yang mau saya titip ke kamu!" ajak Vina membuat anak itu mendekat. "Nah, tolong kasih ke A Azam ya, bilangin dari teh Sifa," suruh Vina."Oh buat A Azam, iya-iya.""Jangan dibaca!" peringat Vina kemudian.Sifa masih tak dapat menahan air matanya untuk tak turun. Ia lagi dan lagi menangis di samping temannya. Vina tak menghentikan tangisan Sifa dan terus membiarkan air matanya terkuras agar perasaan gadis itu lega."Ustaz Sufi!" Vina beranjak kala ustaz mudanya ditemani Taufik.Sifa berusaha menahan air matanya agar tak turun lagi tetapi tak bisa. Taufik langsung mendekatinya serta mengusap-usap punggung sang adik untuk menenangkan. Vina dan Sufian sama-sama berdiri menyaksikan itu, bedanya Vina sudah menangis karena melihat Sifa."Sebaiknya kita pergi, mereka butuh waktu bersama," ucap Sufian berbalik meninggalkan tempat itu disusul oleh Vina yang juga membuntuti langkah ustaznya. "Kamu mau kemana?" tanya Sufian melihat Vina di belakangnya."Eh iya, saya harusnya ke arah sana, Ustaz. Maaf." Buru-buru gadis itu berlari ke arah berlawanan dengan jalan yang Sufian ambil.Taufik berusaha tak sedih padahal hatinya sungguh sakit harus menyaksikan adiknya mesti bersikap dewasa di saat yang belum waktunya. Namun ia sendiri tak bisa membantu banyak selain berdoa. Ia sudah meminta waktu agar Sifa tak dijodohkan sekarang, tapi orangtuanya bersikeras dan ditambah sulit ketika Sifa juga terpaksa setuju."Aku takut, Kang," lirih Sifa."Iya Kakang ngerti, kamu jangan takut karena keluarganya pasti akan sangat menyayangi kamu," hibur Taufik."Kalo nggak, gimana?"Taufik menggeleng pelan. "Jangan suuzan, Fa ... nanti kamu akan rasakan sendiri, sekarang fokuslah dulu belajar di sini, ya?""Kakang gak bakal kayak bapak, kan?" tanya Sifa penuh harap."Maksudnya?""Kang, kelulusanku di depan mata. Temen-temenku pada sibuk mikirin universitas untuk melanjutkan pendidikan, bahkan beberapa orang ada yang daftar ke luar negeri juga. Sedangkan aku?" Tangis Sifa kembali luruh."Aku harus ngehadepin keinginan bapak sama ibu, aku bakal jadi seorang istri dari seseorang yang aku sendiri gak tahu siapa dia. Kenapa bapak gak mau ngasih tahu setidaknya dengan begitu aku gak berpikiran macam-macam begini, jadi aku mohon sama Kakang sekarang, kasih tahu aku ....""Siapa lelaki yang menagih utang Budi ke keluarga kita? Siapa keluarga yang tega mau menghancurkan masa depanku, Kang?"Taufik masih bungkam bahkan saat Sifa berontak meminta dijawab atas satu pertanyaannya mengenai calon suaminya. Sifa terus membasahi pipinya dengan air mata dan ia berharap Taufik mau memberitahunya."Kamu akan diberitahu, Fa, kamu akan tahu dia siapa, siapa calon suamimu itu tapi nggak sekarang.""Kenapa? Terus kapan? Sampai kapan aku dibodohi seperti ini, Kang? Apa aku gak layak jadi perempuan yang baik sampai masalah jodoh saja harus disembunyikan begini?" cecar Sifa tak terima akan respon kakaknya."Fa, cobalah mengerti kalo kamu tahu dia sekarang maka fokusmu pada pelajaran akan hilang," bujuk Taufik."Kakang pikir sekarang ini saat aku gak tahu dia siapa maka aku akan tetap fokus? Nggak ada, Kang! Fokusku belajar sudah hilang sejak kali pertama bapak dan ibu bilang aku akan menikah sehabis lulus sekolah! Semua harapanku, cita-citaku yang sudah aku rancang langsung musnah, Kakang! Aku merasa gak punya lagi tujuan hidup!""Kakang harus pulang sekarang, Fa." Taufik melepas genggaman tangan adiknya dengan perlahan agar masih berusaha menjaga perasaannya.Sifa tak mencegah, tak juga mengizinkan. Gadis itu hanya menangis dan saat Taufik melangkah menjauh beberapa langkah, Sifa memeluk kakinya sendiri untuk melampiaskan tangisnya yang begitu menyesakkan. Taufik ingin memeluk Sifa untuk menenangkan, ingin membantah kedua orangtuanya agar tak mengambil sikap gegabah mengenai pernikahan, dan ingin melawan siapa saja yang berani membuat adik kecilnya menangis.Taufik ingat betul dahulu ia selalu jadi Superhero bagi Sifa kalau saja ada orang atau sesuatu hal yang membuat Sifa terancam dan menangis. Namun kini, di depan matanya sendiri Taufik hanya bisa membiarkan semuanya seolah tak peduli. Taufik tak bisa melakukan apa-apa, tak bisa menjadi Superhero—lagi—karena alasan tangisan Sifa sekarang bukan lagi karena orang asing, tapi karena dirinya.Sufian memandangi langkah Taufik yang terburu-buru keluar dari gerbang pondok menuju motor yang terparkir. Sufian melirik ke sebelah kanannya dan ia bisa melihat Sifa dengan segala penderitaan yang sedang dialami. Sufian merasa bersalah dan berjanji akan membatalkan perjodohan tersebut apapun respon orangtuanya nanti. Yang Sufian tahu sekarang ini hanya keputusannya lah yang menjadi bantuan bagi gadis itu.Sufian masuk dengan begitu tergesa-gesa ke dalam rumah dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan sang abi yang tengah sendirian sembari di tangannya terus berputar tasbih. Mata pria tersebut terpejam dengan mulut bergerak membaca zikir. Meski ragu, Sufian memaksa dirinya untuk mengganggu. Dirinya berharap Abi mengetahui keberadaannya tanpa dipanggil."Abi," panggil Sufian dengan nadanya yang terdengar ragu. Ia akhirnya memutuskan angkat suara.Menyadari kehadiran putranya, Abi menyudahi aktivitas zikir berpindah mengamati raut gelisah di wajah Sufian. Beliau tersenyum melihat itu. "Kenapa, Yan?"Sufian menunduk sejenak sebelum mengungkap isi hatinya yang berantakan. Dari raut wajahnya saja sudah kelihatan kalau masalah itu sangat mengganggu."Ada masalah soal Sifa lagi? Dia nakal lagi di kelas?" Abi mencoba menebak."Bukan begitu, Abi. Ini lebih parah dari itu. Sebenarnya ... Sifa akhir-akhir ini murung di kelas, selama pelajaran dia tidak fokus dan jarang memperhatikan apa ya
Sufian menuruni anak tangga sekolah untuk sekadar melihat-lihat suasana sebelum pergi. Tanpa sengaja ia melihat seorang perempuan duduk berdua dengan temannya di bangku dan tampak asyik bercerita. Senyum yang dilihat oleh Sufian semakin menambah tempo debaran jantungnya dan juga tanpa sadar dia sudah merekahkan senyumnya."Ustaz Sufi?" Panggilan itu memaksa Sufian memalingkan pandang. Ia melihat Azam berdiri tak jauh dari tempatnya lalu perlahan mendekat. Sekarang keduanya sudah saling berdekatan."Ada apa, Azam?" Azam memberikan sepucuk surat yang diterimanya beberapa hari lalu perihal Sifa yang akan dijodohkan. Saat ini dia ingin bertanya langsung mengenai isu yang belakangan terdengar di telinganya."Hubungannya dengan saya, apa?" tanya Sufian. Memang, kabar perjodohannya tidak diketahui siapapun juga di pondok sebab keluarganya menutup kabar tersebut."Ustaz merebut perempuan pilihan saya, kenapa Ustaz malah memilihnya? Masih banyak gadis lain di sini, bukan?" tanya Azam dengan n
"Dia masih kecil, bimbing dia dengan kelembutan dan jangan dengan cara kasar. Kamu ingat bagaimana Rasulullah mendidik istri kecilnya Sayyidah Aisyah, bukan? Anggaplah sekarang ini kamu sedang berusaha meneladani Baginda Rasulullah sehingga itu menjadi ladang pahala untuk kamu."Sufian tertegun sebelum akhirnya menutup sambungan telepon dengan abinya. Ia sadar akan sikap ia yang begitu keras terhadap Sifa. Bahkan api pun tidak dapat dipakai untuk memadamkan api, kan? Maka Sufian segera meletakkan ponsel di meja lantas keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Sifa. Sudah tengah malam tetapi gadis itu belum juga kembali."Dia ada di mana sekarang?" gumamnya mulai mencari.Sufian sudah memutari hampir seluruh ruangan rumah demi mencari istrinya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sifa. Sufian melangkah ke teras sembari terus mencari-cari barangkali Sifa menenangkan dirinya dalam kegelapan di sana, tapi tak juga ditemukan gadis itu di sekitaran rumah.Sufian terlonjak ketika pundaknya dite
Setelah selesai berkemas pakaian, Sifa dan Sufian keluar dari kamar secara bersamaan. Di ruang keluarga sudah ada orangtuanya yang menatap mereka dengan sendu karena Sifa akan pergi jauh. Terutama tatapan Ibu. Sejak obrolan pagi tadi mengenai pulangnya mereka, Ibu seolah kehilangan semangat dalam hal apapun."Kamu bener mau ninggalin Ibu, Fa?" Akhirnya pertanyaan itu keluar."Bukan begitu, Bu, aku cuma ...." Sifa menoleh sebentar pada suaminya yang berdiri di samping dan langsung mendapat anggukan kecil. " Ustaz Sufi kan guru para santri, gak mungkin kami terus di sini," jawab Sifa sambil menunduk. Sebenarnya ia juga sedih meninggalkan rumah tapi kesedihan yang dirasakan bercampur dengan marah.Ibu merangkul tubuh kecil Sifa untuk dipeluk. Keduanya larut dalam tangis perpisahan. Pun sebagai Bapak yang sudah lepas tanggungjawab pada putrinya, Bapak terlihat lebih tegar menahan diri agar tak menumpahkan tangis di hadapan orang-orang.Selepas acara pamitan, Sifa dan Sufian mulai menaikkan
Sufian memasak sarapan pagi pertama di rumah baru. Melihat giatnya sang tuan, Pak Maman yang baru datang langsung menghampiri sambil sesekali menggoda ustaz mudanya. Rumah Pak Maman tidak jauh dari pondok pesantren pun dari rumah Sufian, cukup mudah baginya pulang pergi saat bekerja."Kamu cari pembantu aja A, buat masak sama beberes rumah, biar kamu bisa fokus dapetin hati istri!" celetuk Pak Maman."Nggak ah, Pak, nanti kalo pembantunya perempuan takut suka sama saya, kalo pembantunya laki-laki takut suka sama istri saya," jawab Sufian membalas candaan."Kamu ini ada-ada saja!""Serius, Pak, secara kan Pak Maman juga tau saya ini ganteng toh?" Sufian melontarkan candaan lain.Tawa keduanya menggema di dapur sehingga Sifa yang hendak membersihkan ruang tengah segera menghampiri sumber suara. Ia mendapati Sufian tengah memasak sendirian sebab Pak Maman sudah keluar untuk memanaskan mesin mobil."Ustaz?" panggil Sifa dengan nada heran. Rasanya tadi ia mendengar suara tawa dari dapur. "
"Duduk saja dulu, ada yang mau saya bicarakan!" titah Sufian sementara dirinya berjalan menuju lemari untuk memilih baju. Sifa terduduk takut di sana tapi tak bisa menolak keinginan lelaki itu. Setelah mereka kembali duduk bersampingan, Sufian meminta Sifa tidak berpikir macam-macam. Lagi pula Sufian tak berniat menyakiti atau melakukan hal yang ditakutkan gadis itu."Tadi aku bicara dengan Abi, mengenai obrolan kita tadi pagi." Kalimat tersebut keluar dari mulut Sufian.Sifa hanya menundukkan kepalanya sebab malu sudah bertanya lancang mengenai hal itu. Namun, ia merasa berhak tahu apalagi setelah ia menyadari kalau Sufian sama sekali tak tahu perkara balas budi di balik pernikahan itu."Saya di sini sebagai orang yang akan menyampaikan kebenaran walau sebenarnya pahit. Abi bilang, keluargamu menyerahkan putrinya untuk dinikahkan denganku karena keluarga Abi sudah membiayai kamu sejak kecil." Sufian merasakan lidahnya kelu karena tatapan Sifa kali ini tampak menahan bulir bening yang
Sufian dan Sifa melangkah bersampingan sore itu. Mereka hendak mengunjungi rumah kiai karena Abi terkhusus Umi ingin sekali melihat Sifa secara langsung pasca pernikahan berlangsung. Ya, meski sebenarnya Sufian sempat habis-habisan membujuk Sifa untuk mau datang ke sana. Sifa mengenakan gamis hitam saat itu, sama seperti warna kemeja yang dikenakan suaminya. "Ustaz, aku takut," ungkap Sifa ketika selangkah lagi mereka menuju gerbang masuk area rumah yang diapit oleh masjid dan pondok pesantren."Takut siapa? Takut dilihat Azam?" tebak Sufian.Sifa menunduk dan diam. Benar seperti yang dikatakan Sufian bahwa Sifa takut Azam akan melihatnya berjalan bersama lelaki yang tak lain adalah ustaznya sendiri. Sifa tak bisa bayangkan perasaan Azam nanti. Tiba-tiba saja Sufian meraih tangan Sifa untuk digenggamnya erat. "Gak usah takut. Bismillah saja," kata Sufian yang berhasil membuat Sifa kembali yakin.Keduanya berjalan kaki memasuki area rumah kiai yang berada di tengah-tengah pondok, lebi
"Salah satu saudari kita yaitu Sifa Nurul Azizah sudah boyong dari pesantren, saya harap kalian masih bersemangat belajar di sini terutama teman-teman dekatnya," ucap Halima sebagai kalimat pembuka sebelum mengajar para santri di malam hari itu.Dia baru kembali mengajar setelah terserang demam dua hari sehingga malam ketika kiai mengumumkan pernikahan Sufian maka dirinya tidak tahu. Sekarang dia sudah membuka lembaran kitab untuk dikaji bersama."Ustazah, tadi sore saya lihat Sifa bersama suaminya datang kemari!" seru seorang santri mengangkat tangan."Iya begitu? Dia tidak menemui saya kok, dia sudah menikah ya? Bukannya Sifa baru lulus dari sekolah?" Halima mendadak gelisah serta penasaran."Dia tadi langsung ke rumah kiai, Ustazah!""Meminta restu mungkin, ya?" tebak Halima lagi masih setengah tidak percaya."Iya, sekaligus saja mungkin bertemu mertua. Kelihatannya sekarang pun mereka menginap di sana.""Apa? Mertua siapa? Maksud kalian ini siapa yang menikah sih?" tanya Halima bi