Share

7. Sidang Pagi buat Rastri

 Sejak langkahnya memasuki gerbang keesokan harinya Rastri tahu ia akan menghadapi hal-hal yang tak biasa hari itu. Tapi semuanya sudah dipikirkan dan diduganya jauh-jauh hari sebelumnya. Tiga orang satpam yang mengawasinya masuk saling berbisik.

Dan ia menangkap sekilas bayangan orang di jendela yang melihatnya seolah sudah mengintai sejak matahari terbit. Petugas resepsionis di lobi hanya meliriknya ketika langkah Rastri langsung berbelok ke pintu ruang redaksi. Mereka semua berusaha untuk bersikap biasa—justru hal itu membuat situasinya tampak tak biasa. 

Tak ada yang menyapanya. 

Dan ketika seseorang berusaha menyapa “hai!” kepadanya, Redaksi Pelaksananya yang botak telah menepuk bahunya, dan membisikkan bahwa ia ditunggu di ruang Pimpinan Redaksi. Meskipun ia telah menduga hal ini akan terjadi, Rastri tetap merasakan lututnya goyah.

Ia meletakkan tas punggungnya asal saja di sembarang meja. Dan dengan langkah yang lemas ia mengikuti sang Redpel. Dari belakang ia melihat botak di kepala Redaksi Pelaksana makin licin dan meluas—pemandangan yang justru makin membuatnya depresi. 

Seakan otomatis bagai robot, akhirnya Rastri berhasil juga sampai di ruang rapat Pimpinan Redaksi. Seruang kepala menengok dan memelototinya waktu ia menjatuhkan dirinya di sebuah kursi yang dibiarkan kosong—meskipun banyak yang masih berdiri berjejalan di sepanjang dinding. Jadi ia tahu, kursi itu khusus disediakan untuknya: sang pesakitan. 

“Saya sangat kecewa hal ini bisa terjadi di penerbitan kita.”

Ucapan itulah yang menyambut Rastri begitu ia duduk. Kata-kata yang diucapkan Pimpinan Redaksi terdengar lunak, empuk dan berirama. Nyaris seperti berbisik. Tetapi semua yang berada di situ seakan merasa kata-kata itu menggelegar, keras dan kasar, tepat di gendang telinga masing-masing. Sebab: tatapan mata di wajah yang mulutnya baru mengatakan itu tajam dan menusuk. 

Semua yang mendengarkan kata-kata itu menunduk. Bahkan Redaksi Pelaksana botak yang biasanya akrab sekali dengan Pimpinan Redaksi tak berkomentar apa-apa—mungkin karena ia merasa kesalahan yang diperbuat Rastri juga merupakan tanggungjawabnya. Semua orang tahu itu.

Si botak itu bersyukur dalam hati pimpinannya tak mengutik-utik masalah itu. Atau barangkali belum? Brengsek, setan apa yang telah merasuki Rastri sehingga melakukan yang seharusnya tidak boleh? Bukankah hal semacam itu merupakan pengetahuan dasar bagi setiap wartawan? Dan Rastri bukan karyawan kemarin sore! 

“Saya sangat kecewa. Sekali lagi, sangat kecewa. Bukan hanya karena seseorang melanggar kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh jajaran redaksi kita serta telah menjadi keputusan perusahaan penerbitan ini. Tetapi karena kalian tampaknya berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang bagus. Sekali lagi, tanpa koordinasi. Dan ini jauh lebih memalukan dari apapun yang kita lakukan.”

Rastri menunduk makin dalam. Kata-kata kembali berhamburan. Namun Rastri tak mampu lagi menyimak. Yang didengarnya hanya dentuman jantungnya sendiri. Yang dirasakannya hanya tatapan tajam yang mengiris hatinya. Udara dalam ruang terasa sangat menyesakkan. Seandainya ia boleh bersikap semaunya, ia pasti telah megap-megap mencoba menghirup udara yang lebih segar dan lebih banyak. 

Akan tetapi itu semua bukan karena udara. Itu semua karena antisipasi tubuhnya terhadap tekanan yang diterimanya. Semua dugaan dan persiapan yang ditanamnya dalam otaknya untuk menghadapi situasi itu sama sekali sia-sia. Ia tak lagi mendengar perkataan Pimpinan Redaksi, semua yang di sekelilingnya seakan bergoyang. Dan Rastri berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya dan bersikap setegar mungkin. 

Seseorang tiba-tiba menyeruak dari balik kerumunan. Pimpinan Redaksi melotot, tetapi orang itu tampaknya sudah siap menerima tatapan kemurkaan pimpinannya, katanya, “Ada telepon, Pak Priyo!”

“Apakah kamu tidak tahu kami sedang rapat?” sahut Pimpinan Redaksi menggelegar. Rastri tersentak. Apakah akhirnya Pimpinan Redaksi mereka yang terkenal tenang dan kalem itu akan meledak? Hari inikah kejadiannya? Gara-gara aku? Semua orang makin dalam menundukkan kepalanya. 

“Ini te-telepon da-dari Kapolda, Pak Priyono!” sahut orang itu terbata-bata. Pak Priyono mendengus. Ia menyandarkan punggungnya sejenak. 

“Aku terima dari ruang rapat. Di sini.” Dan ia menyambar gagang telepon di meja panjang di belakang kursinya. 

Ketika berbicara di telepon nada suaranya telah berubah jauh lebih lembut dari sebelumnya. Bahkan berkali-kali ia mengatakan “Ya, Pak” dan “Siap, Pak” seolah-olah kini ia telah menjadi prajurit anak buah sang Kapolda.

Ketika ia meletakkan teleponnya, tak ada lagi seringai murka di wajahnya seolah angin surga baru saja membelainya. Lalu dengan gerakan gesit ia bangun dari kursinya, dan tanpa berkata-kata ia memasuki ruang kantornya yang tertutup sambil menyuruh Redaksi Pelaksana mengikutinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status