Share

6. BENCI YANG BERHARGA

“Benci dan cinta itu dua hal yang memiliki perbedaan tipis. Tanpa sadar, saat kamu membenci, tiba-tiba cinta telah terselip di antaranya.” –Hafiz Altariksyah

——

KALAU tahu kayak gini jadinya, mending gue enggak ikut.” Seira melirik Sean yang tengah fokus menyetir. Pipinya sengaja digembungkan kemudian mendengkus kasar.

Sean mengacak rambut Seira gemas. “Lo gemasin banget, sumpah. Kalau bukan adik, sudah gue awetkan terus gue letak di museum.”

Seira menepis tangan Sean dari rambutnya. Kemudian menatap horor sekaligus menghadiahi satu pukulan kuat di lengan sang tertua.

Hanya kekehan sebagai respons dari tindakan sang bungsu.

“Sean, lo enggak boleh goda calon pacar gue kayak gitu.” Suara bariton yang lebih rendah terdengar di antara mereka. Pemilik suara itu adalah Hafiz, lelaki yang memiliki wajah seperti tokoh dalam animasi.

 Namun, sayangnya, Seira sangat membenci Hafiz!

“Lo diam! Jangan sampai mulut lo gue koyak!” peringat Seira, kemudian bersedekap.

Ia kesal pada Sean dan benci pada Hafiz. Niat untuk menonton hilang begitu saja, sejak Hafiz masuk ke mobil.

“Sei, lo enggak boleh benci sama gue terlalu dalam, karena lo bisa saja jatuh cinta sama gue suatu saat dan sangat dalam.” Hafiz menaik turunkan alisnya secara bersamaan, menggoda Seira yang masih setia memasang wajah datar.

Sean hanya tersenyum tipis menanggapi interaksi Seira dan Hafiz. Tidak ingin ikut campur lebih, karena ia tahu, keduanya mampu mengatasi masalah yang terjadi.

“Abang, gue mau pulang. Turunkan gue di depan!” pinta Seira.

Sean mengangguk. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika bungsu sudah memberi titah. Sehebat apa pun ia memaksa dan mengekang orang lain, itu tidak akan berlaku kepada Seira. Adiknya punya senjata ampuh untuk melumpuhkan dirinya.

“Lain kali, kalau mau ngajak gue jalan, si Alien itu jangan diajak. Muak gue!” saran Seira setelah keluar dari mobil. Kemudian membanting pintu kuat hingga membuat Sean dan Hafiz terkejut mendadak.

“Adik lo mirip singa betina,” ucap Hafiz refleks.

Sean melirik Hafiz di bangku penumpang. “Elo sih, cari masalah mulu sama Seira. Lo tahu ‘kan, itu anak gimana sifatnya?”

Hafiz mengangguk. Lantas pindah ke samping Sean. “Tapi jujur, gue cinta dia yang seperti itu.”

Kekehan terdengar dari mulut Sean. “Lo suka apa dari Seira, sih? Dia itu dingin kayak kulkas. Enggak kayak gue, ramah dan menyenangkan.” Menaikkan sudut bibirnya begitu tipis.

Hafiz bergidik ngeri. “Sial! Gue masih normal, Monyet. Gue masih suka tempe bukan terung.”

Kening Sean mengerut namun detik berikutnya ia tertawa. Kalimat Hafiz barusan terasa menggelitik perutnya.

“Kalau pun gue gay, ogah gue jalin hubungan sama lo! Gue bingung menentukan siapa uke dan seme di antara kita. Enggak mungkin gue, ‘kan? Dan gue yakin, lo juga enggak bakalan mau jadi uke.” canda Sean. Tawanya masih menggema

di dalam mobil, dan itu membuat Hafiz cemberut layaknya seorang perempuan yang sedang datang bulan.

“Sialan lo!”

——

Kaki mungil itu berlari menyelusuri jalan setapak yang semakin lama semakin digenangi air hujan. Sepatu kets warna biru tua itu tak bisa terselamatkan dari genangan air karena Velin berlari cukup kencang. Rambut ekor kudanya bergoyang sana-sini mengikuti irama langkah kakinya.

Untuk hari ini, ia terlalu sial! Motornya yang selalu setia menemaninya tiba-tiba saja sakit dan harus di rawat di bengkel terdekat. Dan lebih parah, tak satu pun yang meminjamkan motor kepadanya. Padahal karyawan di toko bunga tempatnya bekerja bukan hanya dirinya. Ada sekitar 4 orang dan ditambah dirinya menjadi 5 orang.

Dengan terpaksa ia mengantar bunga dengan menggunakan angkutan umum. Sangat ribet! Tadinya, Miska menawarkan untuk membawa mobil, tapi ... helo, Velin tidak bisa membawa benda yang mampu mengirimnya ke rumah sakit itu dalam hitungan detik.

Lupakan saja!

Velin meneduh di emperan toko terdekat. Ada sekitar 7 orang yang meneduh jika Velin tidak salah hitung. Menepuk pelan rambut dan pakaiannya yang basah akibat guyuran hujan.

Dan refleks Velin menoleh ke samping kiri saat sebuah jaket tiba-tiba mendarat di tubuhnya.  

Velin melotot seakan bola matanya melompat keluar, dan menghempaskan jaket itu dari tubuhnya saat tahu siapa lelaki yang berani menyampirkan kain hangat itu padanya. Sean!

Lagi-lagi lelaki itu.

“Lo butuh itu.” Sean kembali memasang jaket itu ke tubuh Velin dan lagi Velin menolak.

“Aku lebih baik kedinginan dari pada memakai jaket kamu.”

Sean  tidak akan terpancing. Ia tahu bahkan sangat tahu bagaimana sifat seorang Velin. Meskipun dalam suasana marah jika diberi sedikit ancaman maka amarah itu akan mereda sendiri.

“Tapi gue enggak bisa membiarkan lo mati sebelum gue puas bermain. Seandainya lo mati, itu harus di tangan gue.” Senyum Sean terpatri indah di bibir.

Velin merinding melihat itu. “Dasar psikopat!” pekiknya kuat. Tidak peduli jika beberapa pasang mata menatap aneh ke arah mereka.

“Gue suka gelar itu. Gelar yang selalu lo sematkan ke gue dari dulu.”

“Sakit jiwa!”

Velin berlari menembus hujan. Tidak peduli jika ia terguyur hujan. Tidak peduli jika nantinya ia akan demam atau flu. Menghindari Sean jauh lebih diutamakan dari pada yang lain.

Pulang ke flat adalah tujuan yang lebih baik. Pekerjaan? Ia bisa meminta izin pada Miska melalui telepon nantinya. Karena percuma jika ia kembali ke toko, pakaiannya tidak menjamin itu.

Setidaknya ada rasa lega dalam hati, karena bunga telah diantar dengan sempurna olehnya. Jadi, beristirahat untuk sementara tidak apa, bukan?

——

Klakson terdengar dari mobil sport warna merah yang berhenti di depan Sean. Kepala Hafiz menyembul keluar setelah jendela kaca berhasil turun.

“Woi, lo gila! Main lari saja. Lo kata kita sedang syuting adegan film bollywood?” keluh Hafiz.

Sean tersenyum geli sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. “Ya, seperti itu. Tapi sayangnya, bukan lo yang jadi pemeran ceweknya.”

“Jangan mulai Sean. Sumpah, rasanya gue pengin tendang bagian bawah lo itu. Biar impoten sekalian.” Hafiz berlagak seolah akan menendang bagian bawah Sean.

Sean refleks menutup bagian bawahnya dengan kedua telapak tangan. “Lo kira-kira kalau kasih ancaman! Kalau barang gue mati, Velin gue apa kabar?”

Hafiz mendelik kesal. Dia pikir, hanya dirinya yang gila karena mengejar Seira selama ini. Tapi ternyata ada yang lebih gila darinya.

Sean!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status