"Maksud lo apa, gue itu sekarang ada di toko buku bukan di pasar, enak aja ngomong gitu ke gue." gadis itu terus-terusan mengeluarkan nada tinggi.
"Ah—gue tau, maksud lo. Lo berlagak nyinyirin gue pakai cara halus kan? Sok-sokkan nyindir gaya bicara gue kan? Gak banget, tau gak? Lo tinggal bilang langsung ke gue aja apa susahnya, gue bakal dengerin dan gak bakal marah karena kejujuran lo secara langsung."
"Gue emang anaknya cerewet, banyak omong. Dan sekarang lo salah, lo salah karena udah masuk ke hati gue dengan cara yang salah, karena apa? Karena lo udah buat gue jatuh dari rak ini dan bikim darah tinggi gue naik." cerocosnya terus.
Verdi hanya diam, pasrah mendengar ucapan gadis itu tanpa mau meladeni. Jika bisa, ia akan pergi dari hadapannya.
"Sori, gue minta maaf. Gak ada yang parah kan, patah tulang mungkin? Gak kan? Gue pergi." Seketika Verdi ingin segera berlalu dan tak mau menemuinya lagi. Untuk kali ini saja, ia sudah mendapat banyak omelan, apalagi jika ia bertemu selanjutnya?
"Eits... Enak aja mau pergi-pergi tanpa tanggungjawab, lo harus tanggungjawab dulu sama perbuatan lo." gadis berambut pendek ini langsung memberhentikan langkah Verdi, dengan merentangkan kedua tangannya menghalangi.
"Perbuatan apa yang lo maksud? Gue nggak sengaja dan gue udah minta maaf sama lo kan!" ketus Verdi semakin risih di depan gadis yang tengah memandanginya.
"Cuma maaf? Nggak berlaku buat zaman sekarang." jawab gadis itu sambil menyeringai.
Ia masih tak terima atas kejadian yang menimpanya barusan. Meskipun luka yang ia rasakan tak begitu sakit, namun harga dirinya mau diletakkan dimana? Ia jatuh di tengah banyak orang yang berada di toko ini. Memalukan.
"Terus lo mau apa? Gue nggak ada waktu buat ladenin ocehan lo, gue mau cari adek gue." ujar Verdi semakin malas. Namun, ia dibuat ling-lung oleh gadis yang membuat moodnya memburuk hari ini.
Rupanya niat Verdi untuk belanja mencari buku di sini salah. Lebih baik ia belanja di toko lain daripada di sini yang hanya akan mendapati gadis gila.
"Lo bayarin buku gue dulu, baru gue maafin." jawabnya sedikit angkuh, ia masih sedikit meringis kesakitan karena luka yang sudah mendarat di lututnya.
Verdi menatap buku yang ada di tangan gadis itu. Setebal dan semahal itu. Nggak akan ia membayar buku itu untuknya.
"Emang lo siapa? Pacar? Nyokap? Teman? Enggak kan. Berani nyuruh orang." Verdi yang kini enggan menatap wajah gadis yang sedang di depannya sontak ingin pergi. Enak saja main bayar-bayar. Namun niatnya kembali terurung, lagi-lagi gadis itu menahannya.
"Lo... Lo nggak tau siapa guekenalin gue cewek cantik dari Bandung yang insyaallah jadi menantu idaman. Nama gue Dinda!" ia menceloteh ucapannya sambil mengulurkan tangan kanan untuk berjabat tangan dengan Verdi. Tapi hal itu sia-sia.
"Kalau lo berani pergi dari gue, lo lihat aja apa yang bakal terjadi sama diri lo." kejamnya melotot.
"Gak butuh kenalan sama lo!" ketus Verdi tanpa menerima uluran tangan itu. Membuat gadis itu menarik lagi tangannya dengan malunya.
"Ck! Ya udah lah. Males gue ngomong sama lo lama-lama, ketemu sama lo buat gue kesel! Oke... Lo akan gue maafin tapi,-" Verdi mengangkat sedikit alisnya, "lo harus traktir gue makan, baru gue maafin, mau nggak?" tawar Dinda seenaknya.
Apakah ada, cewek seperti Dinda di sekitar kalian?
Verdi berdecak, giginya ia kaitkan erat, "lo bener-bener ngeselin emang!" gereget Verdi semakin kentara dengan kepalan tangan yang hendak terkena muka Dinda. Tapi ia berhasil mengontrol.
'Dasar! Belum kenal udah minta traktir.' batin Verdi menatap sinis gadis yang tengah tersenyum tipis kali ini.
**
"Eh kak, ini siapa sih? Cewek kakak? Kok dari tadi buntutin kita." Rentetan pertanyaan dari mulut seorang Vanya Rastra Verista setelah melihat gadis itu mengikutinya dari belakang.
"Nggak, gue teman dia kok."
Vanya menatap Verdi sekilas, dan seketika mendapat anggukan pelan dari Verdi.
Cuaca kota Bandung saat ini sangat panas, apalagi dengan keramaian yang membuat mobil Verdi mengalami kemacetan untuk mencari kafe. Mereka nampak kegerahan dan bosan dengan suasana kali ini.
"Nama kamu siapa?" tanya Dinda memecah keheningan disela-sela kemacetan lalu lintas.
"Vanya Rastra Verista, nama kakak?"
"Nama yang cantik. Nama kakak Adinda Clara Amarta, panggil aja kak Dinda." balas Dinda memberikan sedikit senyuman hangat.
Tapi berbeda dengan Verdi, ia masih diam dan hanya membuka ponsel berwarna hitam setelah mendapat notif dari temannya, dengan segera ia mengecek grup WhatsApp.
Risky: Tempat biasa jam 11 bisa gak?
Paul: Mau ngapain, ngantuk.
Alex: Mager gue. Males keluar kamar.
Risky: Penting!
Rendra: Oke gue ke sana nanti.
Radit: 2in
Alex: Ciri-ciri orang males ngetik ada di diri kau, Dit.
Radit: Baru nyuci baju emak, takut bajunya robek kalau kelamaan ngetik. Hahaha.
Risky: Lah itu lo ngetik panjang banget.
Otong: Gue ada janji sama pacar gue. Ntar kalau dia marah, gue kena imbas.
Regal: JIJIK!
Otong: SUKA-SUKA GUE LAH, KATA-KATA GUE! BILANG AJA LO IRI SAMA GUE YANG PUNYA PACAR, IYA KAN?
Regal: Ngapain iri sama lo, gue juga punya.
Otong: Siapa? Anak tik-tokers itu?
Regal: Cerewet!
Rizky: Gue tunggu kalian jam 11
Tanpa ada niatan membalas, Verdi kembali fokus untuk menyetir mobil kesayangannya.
"Jangan main hape kalau lagi nyetir. Lo tau kan bahaya dari aksi lo itu?" ingat Dinda membuat Verdi membuang muka.
"Lo bisa celaka, entah itu nab—"
"Kalau lo terus-terusan ngomel, bisa-bisa gue celaka karena muak denger ocehan lo itu." kata Verdi mendiamkan semuanya.
Tak lama mereka sampai di kafe blacksweat yang tak jauh dari toko buku sebelumnya.
Meja dengan nomor.13 berada tepat di dekat jendela. Kafe ini sering Verdi kunjungi ketika ia lagi badmood dan berkumpul bersama teman-temannya. Sehingga, para pelayan disini sudah sangat mengenal mereka.
Kafe bernuasa klasik yang memberi kesan enak dipandang mata, aroma coklat yang khas merasuk dalam indra penciuman, hingha membuat hati seseorang akan menjadi betah berlama-lama disini.
"Katanya temen, kok diem-dieman?" Kata Vanya membuat Dinda menatap cowok itu kesal. "Oh iya kan Kak Verdi sangat rapi dalam menyimpan kata-katanya."
Mereka menyantap makanan dengan lahap, setelah beberapa menit menunggu. Selesainya, mereka menyibukkan diri dengan bermain benda kecil yang selalu mereka bawa kemana-mana. Ponsel selalu ada kapan saja dan dimana saja, bukan?
Vanya pun iseng membuka kamera ponselnya, ia berselfie ria memfoto makanan dan kafe ini, tak lain hanyalah sebagai ajang kepameran belaka.
Satu ide terbesit di kepala Vanya. Ia mempunyai ide untuk menjepret kebersamaan dua orang di depannya. Dengan cepat, mengabadikan momen indah dari kakaknya ini. Ia memotret beberapa kali tanpa ketahuan mereka berdua. Lirik-lirik pandang berhasil dijepret.
'Lumayan buat simpanan kakak, ups! Maksudnya ngebaperin kakak,' batin Vanya terkekeh geli.
"Thanks ya lo udah traktir gue sampai perut gue kenyang. Sebenarnya sih gue udah maafin lo, tapi karena perut gue gak bisa diajak kompromi yaague cari alasan lain. Sori ya." terang Dinda menampakkan rentetan gigi putihnya, ia tersenyum malu.
"Tau gitu gue turunin lo di jalan." gumam Verdi.
"Iya kak santai aja, maafin kak Verdi ya, dia orangnya emang dingin, judes, jelek, hidup lagi. Dia selalu diam kalau hal itu nggak begitu penting, makanya sabar ya kak punya teman model beginian." Kekeh Vanya mendapat respon tawa dari Dinda.
"Apa sih, balik!" Verdi mengeluarkan suara yang membuat dua gadis itu berhenti tertawa, ia langsung berdiri meninggalkan mereka.
"Ish! Katanya mau ke mall, gimana sih? Kan Vanya belum beli tas, sepatu, apalagi sekarang kan ada,-"
"Bawel banget lo, Van."
Mobil merah itu kembali melaju dengan kencang, memisahkan hati seseorang yang sudah dihuni orang dan menjauhkannya. Sungguh disayangkan, jika mobil mereka menabrak hati orang lain nantinya. Iya, bukan?
"Gue turun di sini aja." Dinda menunjuk jalan yang akan ia turuni, tetapi berbeda dengan Verdi, entah kenapa dia masih melajukan mobilnya dengan sangat cepat.
"Turunin gue di sini."
"Udah kak, ikut aja sama kita. Vanya kan belum pernah diajak main sama kak Verdi, apalagi sama cewekpacarnya." Goda Vanya mendapat lirikan dari mereka berdua. Membuat Vanya mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. Peace.
"Vanya!"
Ups!
**
Di sinilah mereka sekarang, mall pusat perbelanjaan terkenal di Bandung. Vanya yang memimpin, ia berjalan di depan dan Verdi bersebelahan dengan Dinda di belakang Vanya.
"Adik lo keren juga ya, umur berapa?" obrolan pun dimulai saat mereka sudah berjalan mengelilingi mall itu.
"Empat belas, masih terlalu kekanak-kanakan, kan?" balasnya. Dinda hanya mengangguk pelan lalu mengalihkan pandangan menatap sederetan baju yang ada di sampingnya.
"Lo nggak minta gue buat beliin lo baju, kan?"
Dinda tertawa melihat Verdi. "Nggak lah, santai aja, gue aja nggak kenal sama lo. Oh iya, nama lo siapa? Sebenernya gue nggak terlalu betah sih sama orang yang pendiam, sinis kayak lo. Kan gue orangnya bawel jadi ng—"
"Verdian Rahmat Saputra, panggil gue Verdi." potongnya cepat mendapat respon dari Dinda dengan memonyongkan bibir mungil itu.
Pria paling sinis pertama kali yang ia temui.
Hening.
"Lo anak mana?" tanya Verdi saat suasana kembali hening.
"Bandung."
"Ck, maksud gue sekolah mana?" geram Verdi melirik Dinda sekilas.
"Oh bilang dong, gue Putra Bangsa, 12 MIPA 5 dan gue ambil sastra. Cukup rumit sih bagi gue. Lo masih pelajar kan, bukan om-om yang seolah punya muka baby face?" tawa Dinda berusaha menhidupkan.
Verdi tersenyum sebentar. "Gue masih SMA. Padma Widjaya, 12 MIPA 2."
"Gue nggak tau lokasi itu di mana. Tapi gue pernah denger sih." tawa Dinda yang menyadari akan keasingan nama SMA itu. "Salam kenal, ya."
"Padahal SMA gue terkenal dengan kecerdasannya." lirih Verdi bangga.
Selang waktu karena keasyikan dengan Dinda. Verdi lupa bahwa ia berada disini bersama adiknya, tapi kemana Vanya? Kenapa dia nggak ada disini?
"Lo lihat nggak, kayak ada yang kurang." ucap Verdi bingung sambil menatap sekitarnya.
"Ha? Apaan?"
"VANYA, VANYA DIMANA?!"
Verdi panik, ia mengeluarkan ponsel dan menelfon adiknya. Tapi tak ada respon dari sana, ia menelfon berkali-kali sambil berkeliling mencari keberadaan Vanya. Ia sangat takut.
"Loh, Din, kamu belum pulang?" tanya Bu Rere yang barusaja keluar dari dalam ruangan itu. Menunggu Verdi yang sampai sekarang masih belum membuka matanya."Belum Ma, Dinda mau nungguin Verdi sampai dia sadar." balasnya, membuat Bu Rere semakin sesak. Ia tersenyum palsu ke gadis yang benar-benar menyayangi anaknya itu."Tidak usah, biar Mama sama Om yang tungguin Verdi. Kamu pulang saja, sudah malam. Keluarga kamu pasti nyariin kamu." elak Bu Rere menyadari bahwa hari sudah begitu gelap.Oh iya—bener, gue lupa belum kabarin mereka. Gumamnya lalu tersenyum kecil."Ya sudah Ma, Dinda pulang dulu ya, besok Dinda kesini lagi. Kalau Verdi sudah sadar, salam buat dia ya, Ma, bilangin kalau Dinda kangen berat sama Verdi." canda Dinda tersenyum lebar.Luka yang ada dalam diri Dinda kini perlahan menghilang. Berawal dari senyuman kecil, hingga celotehan dapat ke
Pak Rahmat, Vanya, dan Dinda pun berdiri, setelah melihat Bu Rere berjalan mendekat ke arah mereka, cara berjalannya terlihat seperti orang penuh ketidakpastian. Ada apa?"Gimana, Ma? Dokter bilang apa tentang keadaan Verdi?" tanya pak Rahmat penuh kecemasan. Ia pun sudah berada disini sejak Bu Rere pergi meninggalkan Dinda dan Vanya. Hanya selang beberapa menit saja setelah kepergiannya."Iya Ma, gimana, kak Verdi nggak parah kan?" tambah Vanya dengan raut yang melemah. Membuat mereka kembali larut dalam kesedihan."Tidak. Kak Verdi akan baik-baik aja." kata Bu Rere seolah memperlihatkan ketegarannya. Ia tak kuasa untuk membahas perihal kondisi anaknya kali ini. Dalam hati Bu Rere, ia terus meminta pada Tuhan agar puteranya segera sadar dan dapat melihat dunianya lagi."Pa, kita cari makan dulu yuk. Mama tadi belum makan, makanya sekarang agak pusing." lanjutnya menatap Pak Rahmat seaka
Verdi terus bersenandung ringan, menyanyikan lagu asal-asalan dibarengi setelan musik supaya tidak terjadi keheningan. Lagu itu spesial, lagu yang pernah ia nyanyikan ke Dindanya. Dulu.Mengingat nama Dinda, Verdi terus-terusan tersenyum. Apalagi terbayang senyuman Dinda yang mengulas ketulusan.Gue janji akan selalu ada di samping lo. Batin Verdi setelahnya.Namun, sebuah nama kembali mendarat di pikiran Verdi, hingga membuatnya berhenti melanjutkan lagu yang masih dalam tahap reff tersebut. Lagi-lagi nama itu. Mengapa selalu muncul disaat yang tidak pas? Mengapa? Verdi mengeram, meluapkan kekesalan.Apa ia harus memberitahu Anggun tentang masalah ini? Verdi terus-terusan bergelut dengan pikirannya sendiri. Mencari jalan terbaik untuk dirinya, Dinda, dan sahabatnya."Anggun harus tau tentang Danis." putusnya setelah berpikir dua kali, lalu ia mencari ponsel
"Ver, kamu nggak marah kan sama aku?" tanya Dinda terus-menerus, mengulang setiap pertanyaan tanpa ada jawaban yang berbeda dari mulut Verdi.Tidak. Itu dan itu secara berulang."Enggak, Din, ngapain aku marah sama kamu kalau nggak ada hal yang jelas terlihat?" Verdi membalasnya dengan kerutan dahi serta tatapan yang berubah hangat.Jelas-jelas Verdi tidak menunjukkan ekspresi marah sedikitpun, hanya saja wajah yang sekarang nampak sedikit pucat pasi. Dinda memang tak menyadari karena wajah Verdi yang tertutup warna seperti putih salju."Ya karena aku tadi ninggalin kamu sendirian di sana."Pria itu membuang nafas kasar. "Udah berapa kali aku bilang, hm? Aku nggak marah sama sekali sama kamu, jadi stop tanya seperti itu. Paham?" ujar Verdi semakin kesal, menatap wajah gadisnya yang terus merasa khawatir."Tapi kan aku khawatir sama
Semua penjuru berbalut kain dekorasi mewah nan indah, meskipun acara berlangsung di luar ruangan. Beberapa furniture menghiasi pesta pernikahan kali ini.Dinda dan Verdi pun mengambil duduk di bagian barisan belakang, dimana tepat berada di dekat keluarga pengantin yang berpakaian serba seragam. Mereka menikmati segala bentuk persembahan dan hiburan yang ada di pesta ini. Simple namun terkesan elegan.Mata Dinda tak henti-henti menatap Verdi dengan tatapan kagum, kagum akan ciptaan Tuhan yang hampir mendekati kata sempurna baginya.Ia juga menyadari bahwa kali ini ia bisa bersama pacarnya di acara pernikahan temannya. Untuk yang pertama. Bibirnya tertarik, mengulas senyum."Iya, aku emang ganteng." ucapan itu berhasil membuat Dinda mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Ia tertangkap basah oleh pacarnya.Gadis itu akhirnya melempar pandangan
"Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik."Pagi."Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini."Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda."Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat."Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet k
Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.
Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver
"Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau